PERLUKAH HIZBIYAH DALAM DAKWAH ?

Perlukah Hizbiyah dalam Dakwah

PERLUKAH HIZBIYAH DALAM DAKWAH ?

Pembahasan Keenam:

BERGUGURANNYA GOLONGAN – GOLONGAN DI DEPAN JAMA’AH KAUM MUSLIMIN (AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH)

Golongan-golongan dalam bidang akidah, akhlak, dan po- litik ini berguguran di depan jama’ah kaum Muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang berjalan di atas jalan kenabian dan tidak pernah terpisahkan darinya meskipun hanya sesaat saja, tidak dari sisi nama dan tidak pula dari sisi sifat, mereka tidak memiliki seorang pun yang mereka menisbatkan diri kepadanya selain Nabi dan orang yang mengikuti jejak beliau. Mereka tidak memiliki jejak dan jalan selain jalan kenabian, yaitu al- Qur’an dan as-Sunnah. Mereka juga tidak memiliki kelompok dari kaum Muslimin selain kelompok mereka, yaitu kaum Muslimin. Hal itu karena suatu pokok itu tidak membutuhkan ciri khas yang membedakannya dengan yang lainnya, yang memerlukan nama tertentu adalah sesuatu yang keluar dari pokok tersebut, yaitu kelompok-kelompok yang terpecah dari pokoknya, jama’ah kaum Muslimin.

Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan lainnya disebutkan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

من دعا بدعوة الجاهلية فهو من جثاء جهنم, وإن صام وصلى وزعم أنه مسلم, فادعوابدعوة الله التي سماكم بها المسلمين عباد الله

Artinya: “Barang siapa menyeru dengan seruan jahiliyah, maka dia termasuk kelompok yang akan masuk ke dalam Neraka Ja hanam, meskipun dia berpuasa dan shalat serta mengaku bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Oleh karena itu, serulah dengan seruan Allah yang dengannya Allah menama- kan kalian sebagai kaum Muslimin, hamba-hamba Allah.”

               Mereka benar-benar merupakan perpanjangan alamiah bagi Islam dalam keseluruhan dan kejernihannya, serta bagi kaum Muslimin dalam persatuan dan keselarasan mereka.

Oleh karena itu, manakala seorang laki-laki datang kepada Imam Malik dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, aku akan bertanya kepadamu tentang sesuatu yang aku akan menjadikanmu sebagai hujjah antara diriku dengan Allah.” Imam Malik berkata, “Masya Allah, la quwwata illa billah (atas kehendak Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Silakan bertanya.” Laki-laki itu berkata, “Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah?” Imam Malik menjawab, “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang tidak mempunyai gelar yang mereka dikenal dengannya; bukan Jahmiyyah, bukan Qadariyyah, dan bukan pula Rafidhah.” Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr[1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,[2] “Demikian juga memecah belah umat dan mengujinya dengan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, misalnya dikatakankepada seseorang, ‘Kamu Syakili’ atau ‘Kamu Qarqandi’, karena ini adalah nama-nama batil yang Allah tidak menurunkan bukti terkait nama-nama tersebut, begitu juga nama-nama tersebut tidak ada di dalam Kitab Allah (al-Qur’an) dan tidak pula di dalam Sunnah Rasul-Nya, demikian juga dalam atsar-atsar yang di- kenal dari generasi Salaf umat ini, tidak Syakili dan tidak juga Qarqandi. Yang harus diucapkan oleh seorang Muslim apabila ditanya tentang hal itu adalah, ‘Saya bukan Syakili dan bukan pula Qarqandi, akan tetapi saya adalah Muslim yang mengikuti kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.’

Kami telah meriwayatkan dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan bahwa dia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Engkau berada di atas agama Ali atau agama Utsman?’ Ibnu Abbas menjawab, ‘Aku tidak berada di atas agama Ali dan tidak pula di atas agama Utsman, tetapi aku berada di atas agama Rasulullah.’

Demikianlah, setiap orang dari generasi Salaf mengatakan, ‘Masing-masing dari golongan-golongan yang bersumber dari hawa nafsu itu akan berada di dalam neraka. ‘Dan salah seorang dari mereka berkata, ‘Aku tidak peduli, nikmat mana yang lebih besar; Allah memberiku petunjuk kepada Islam, atau Allah menjauhkanku dari golongan-golongan yang bersumber dari hawa nafsu itu?’

Allah menamakan kita di dalam al-Qur’an dengan nama ‘orang-orang Muslim’, ‘orang-orang Mukmin’, dan ‘hamba-hamba Allah’, maka kita tidak boleh meninggalkan nama-nama yang dengannya Allah menamakan dan nenek moyang mereka menamakan diri mereka dengannya, nama-nama yang Allah tidak menurunkan satu pun bukti tentangnya.

Dahulu kaum Muslimin, dan mereka adalah para sahabat, sebelum munculnya benih-benih perpecahan dan percerai-beraian, mereka tidak memiliki nama khusus yang membedakan mereka dari yang lainnya, karena sesungguhnya mereka, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, merepresentasikan Islam dan kelanjutan alamiah dari Islam itu sendiri, akan tetapi manakala muncul aliran-aliran sesat yang dicakup oleh lafazh Ahlul Ahwa (para pengikut hawa nafsu) karena sikap mengikuti hawa nafsu sangat mendominasi mereka, lafazh Ahlul Bida’ (ahli bid’ah) karena mereka mengikuti apa yang berada di luar agama dan tidak dikenal olehnya, dan lafazh Ahlusy Syubuhat (ahli syubhat) karena mereka mencampur aduk kebenaran dengan kebatilan sehingga mereka membuatnya samar di mata orang awam, krena keluarnya mereka dari Sunnah disebabkan oleh penyakit syubhat yang rusak, dan teladan mereka di dalam hal ini adalah musuh Allah, iblis semoga Allah melaknatnya karena sesungguhnya dia adalah makhluk pertama yang melakukan analogi, sebagaimana disebutkan oleh Allah, Artinya:

“Iblis menjawab, “Aku lebih baik daripadanya. Engkau men- ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf:  12).

Ketika aliran aliran yang menisbatkan diri kepada Islam muncul dan terpecah dari kaum Muslimin mainstream, maka bermunculanlah gelar-gelar syar’i mereka yang merupakan ciri khas mereka sebagai jama’ah kaum Muslimin, untuk menafikan golongan-golongan dan aliran-aliran yang bersumber dari hawa nafsu, baik nama-nama tersebut memang berasal dari penamaan syariat seperti: al Jama’ah, Jama’atul Muslimin, al-Firqah an Najiyah, dan ath-Thaifah al-Manshurah, atau karena mereka senantiasa konsisten memegang Sunnah di depan ahli bid’ah, yang karena itu mereka dikaitkan dengan generasi umat Islam pertama, maka dikatakan kepada mereka: as-Salaf, Ahlul Hadits, Ahlul Atsar, dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dan gelar-gelar yang mulia ini menyelisihi segala gelar apa- pun yang berasal dari aliran mana pun dari beberapa sisi:

Pertama: Bahwa ia adalah penisbatan yang belum pernah terpisahkan sesaat pun dari umat Islam semenjak ia terbentuk di atas jalan kenabian, maka ia mencakup seluruh kaum Muslimin yang berada di atas jalan generasi kaum Muslimin yang pertama dan orang-orang yang meneladani mereka di dalam menerima ilmu dan metodologi memahaminya serta meneladani cara ber- dakwah kepadanya. Jadi, ia tidak terbatas pada periode waktu historis tertentu, akan tetapi harus dipahami bahwa maknanya terus berlanjut sepanjang hidup, dan golongan yang selamat ini ada pada ahli hadits dan Sunnah, dan mereka adalah orang- orang yang meniti manhaj ini, dan ia akan senantiasa ada hingga Hari Kiamat.

Bergugurannya Golongan-Golongan

Kedua: Bahwa gelar itu mencakup keseluruhan Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak khusus bagi aliran yang menye. lisihi al-Qur’an dan as-Sunnah dengan penambahan maupun pengurangan.

Ketiga: Bahwa gelar itu adalah gelar-gelar yang sebagiannya disebutkan di dalam Sunnah yang shahih, dan sebagiannya lagi tidak muncul kecuali untuk menghadapi manhaj-manhaj para pengekor hawa nafsu dan aliran-aliran yang sesat dalam rangka membantah bid’ah mereka, membedakan diri dari mereka, menjauhkan percampuran dengan mereka, dan memerangi mereka. Ketika bid’ah-bid’ah dan aliran-aliran yang bersumber dari hawa nafsu tersebar di masyarakat, maka mereka terbedakan dengan petunjuk Salaf, dan demikianlah seterusnya. Di antara hal yang perlu diperhatikan di sini adalah, bahwa seandainya umat ini berada di jalan Islam yang benar yang bersih dari bid’ah-bid’ah dan aliran-aliran yang bersumber dari hawa nafsu sebagaimana yang terjadi pada masa generasi awal umat ini dan masa awal generasi as-Salaf ash-Shalih, maka gelar-gelar yang membedakan ini tentunya tidak akan pernah ada, karena tidak adanya faktor yang mendorong hal itu.

Keempat: Bahwa ikatan wala (loyalitas) dan bara (berlepas diri), serta sikap mencintai dan memusuhi di kalangan mereka adalah berlandaskan Islam, bukan yang lain, bukan berdasarkan jalan yang dinamai dengan nama tertentu, bukan pula berdasar- kan metodologi tertentu, akan tetapi hanyalah berdasarkan al- Qur’an dan as-Sunnah saja, tak lebih.

Kelima: Bahwa gelar-gelar ini tidak mendorong mereka untuk bersikap fanatik kepada seseorang pun selain kepada Rasulullah.Manakala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya tentang hadits yang menerangkan tentang perpecahan umat Islam, beliau berkata, “Oleh karena itu, firqah najiyah (golongan yang selamat) dinamakan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan mereka adalah mayoritas yang terbesar dan kelompok yang paling besar.

Adapun aliran-aliran sisanya, maka mereka adalah orang- orang yang menyimpang, berpecah belah, membuat-buat bid’ah, dan para pengikut hawa nafsu, dan jumlah pengikut aliran tersebut tidak mendekati jumlah firqah najiyah, apalagi menyamainya, bahkan bisa jadi pengikut aliran tersebut sangat sedikit sekali, dan ciri khas aliran-aliran tersebut adalah memisahkan diri dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’. Oleh karena itu, siapa pun yang perkataannya sesuai dengan al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’, maka dia termasuk ke dalam kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Adapun penentuan tentang aliran-aliran ini, maka beberapa ulama telah menulis karya-karya tulis berkenaan dengan hal ini, dan mereka menyebutkannya di dalam kitab-kitab yang berisi makalah-makalah, akan tetapi memastikan bahwa aliran tertentu merupakan salah satu dari 72 golongan membutuhkan dalil (yang kuat), karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan untuk berkata tanpa ilmu secara umum, dan Allah mengharamkan untuk berkata atas nama-Nya dengan tanpa ilmu secara khusus, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

قل إنما حرم ربي الفوحش ما ظهر منها وما بطن والإثم والبغى بغير الحق وأن تشركوابالله ما لم ينزلبه سلطناوأن تقولوا على الله ما لا تعلمون

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, per- buatan dosa, perbuatan zhalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan dia tidak meurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kalian membicarakan tentang Allah apa yang kalian ketahui”. (QS. Al-A’raf: 33)

Di samping itu, banyak orang yang mengabarkan tentang aliran-aliran ini dengan landasan prasangka dan hawa nafsu, dia menjadikan golongannya yang dia menisbatkan diri kepadanya dan memberikan loyalitasnya kepada orang yang diikutinya sebagai Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan menjadikan siapa saja yang menyelisihi golongannya sebagai ahli bid’ah. Ini merupakan kesesatan yang nyata, karena para pengikut kebenaran dan Sunnah tidak memiliki orang yang mereka ikuti selain Rasulullah yang tidak berbicara menurut hawa nafsunya, karena yang dikatakan-nya tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya, maka beliaulah yang harus dibenarkan dalam setiap apa yang beliau kabarkan, dan beliaulah yang harus ditaati dalam setiap apa yang beliau perintahkan, dan kedudukan ini tidak dimiliki oleh seseorang pun dari kalangan para imam, karena setiap manusia, ucapannya boleh diambil dan boleh pula ditinggalkan kecuali Rasulullah. Oleh karena itu, barang siapa yang menjadikan seseorang selain Rasulullah, yang siapa saja yang mencintai dan menyepakatinya, maka dia termasuk ke dalam kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta siapa saja yang menyelisihinya, maka dia termasuk ke dalam ahli bid’ah dan pengikut aliran sempalan, sebagaimana hal itu terdapat pada kelompok-kelompok dari para pengikut imam-imam yang mumpuni dalam berbicara pada masalah agama dan lainnya, maka dia termasuk ke dalam kalangan ahli bid’ah, pengikut kesesatan, dan pengikut aliran sempalan.

Dengan hal ini, jelaslah bahwa manusia yang paling berhak menjadi firqah najiyah (golongan yang selamat) adalah ahli hadits dan Sunnah, yang tidak memiliki panutan yang mereka bersikap fanatik kepadanya kecuali Rasulullah, dan mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui tentang sabda- sabda dan kondisi-kondisi kehidupan beliau, orang-orang yang paling dapat membedakan mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dha’if, para imam kaum Muslimin yang memahami riwayat, orang-orang yang mengetahui makna-maknanya dan paling mengikuti kandungannya, baik dari sisi pembenaran, pengamalan, kecintaan, loyal kepada orang yang loyal kepada Sunnah dan memusuhi orang yang memusuhi Sunnah, orang- orang yang mengembalikan perkataan-perkataan yang global kepada apa yang beliau bawa berupa al-Qur’an dan as-Sunnah.

REFERENSI:

Diringkas oleh: Nadia Dika Valency

Referensi: Perlukah Hizbiyah Dalam Dakwah?, karya Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Edisi 01/Jumadal Ula 1439/ Februari 2018.

Bersambung ….

Referensi:

Diringkas oleh: Nadia Dika Valency

Sumber: Jual Beli Yang Dilarang Dalam Islam, Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun IX/1426H/2005M.


[1] Al-Intiqa, Ibnu Abdil Barr, hal. 35, dan darinya dalam kitab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal. 168.

[2] Al-Washiyyah al-Kubra, hal. 111 dan al-fattawa, 3/415

Baca juga artikel:

Musabaqah Hifzhil Qur’an dan Hadits

Nasehat untuk Para Pendidik

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.