Perjalanan Ruh Setelah Kematian (Bagian 3)

PERJALANAN RUH SETELAH KEMATIAN (BAGIAN 3)

 

PERJALANAN RUH SETELAH KEMATIAN (BAGIAN  3)

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata: “Sejumlah orang telah dibukakan tentang hal tersebut, sehingga mereka dapat mendengar suara jeritan ahli kubur yang sedang disiksa di dalam kuburnya, dan mereka dapat melihat langsung dengan mata mereka keadaan ahli kubur yang sedang disiksa di dalam kuburnya dalam beberapa hal yang telah diketahui, tetapi hal itu tidak dapat dilakukan selamanya dalam setiap waktu, akan tetapi hanya bisa melakukannya pada waktu tertentu.” (Majmu’ al-Fatwa, 4/296)

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu adalah sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari (Shahih al-Bukhari, no. 216) dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, seraya berkata, “Suatu saat Nabi Shalallahu Alayhi Wasallam melintas di sebuah kebun di kota Madinah atau kota Makkah, kemudian terdengar suara jeritan dua ahli kuburan yang sedang disiksa di dalam kuburannya masing-masing, maka Nabi Shalallahu Alayhi Wasallam bersabda, yang artinya,

“Keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa karena perkara besar, (Yakni karena melakukan suatu dosa kecil yang telah menjadi kebiasaannya, atau dalam pengertian bahwa dosa itu dianggap oleh keduanya bukan dosa besar (al-Fath, 1/318).” Kemudian beliau bersabda, “Bahkan itu adalah dosa besar, (Tetapi dosa itu termasuk dosa besar di sisi Allah, atau dosa itu menjadi besar karena membiasakannya), dimana salah satunya tidak melindungi diri dari (cipratan) air kencingnya, sedangkan yang satunya lagi (biasa) menyebarkan adu domba.”

Kemudian Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam meminta diambilkan pelepah pohon kurma dan membaginya menjadi dua bagian, dan masing-masing kuburan mendapatkan satu bagian. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan itu?” Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya: “Mudah-mudahan ia meringankan siksaan keduanya, selama kedua pelepah kurma ini belum kering.”

Ath-Thahawi (Syarh Musykil al-Atsar, 8/212, no. 1385) juga telah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang baik dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, bahwasanya beliau bersabda yang artinya: “Diperintahkan kepada seorang hamba (yang telah meninggal) dari hamba-hamba Allah supaya dicambuk di dalam kuburannya sebanyak 100 (seratus) kali, ia pun memohon dan meminta sehingga hanya tersisa satu kali saja, kemudian ia dicambuk satu kali dan kuburannya dipenuhi oleh kobaran api. Ketika cambukan itu diangkat darinya, maka ia bertanya, ‘Karena dosa apa sehingga kalian mencambukku?’ Para malaikat menjawab, ‘Kamu pernah menunaikan shalat tanpa bersuci, dan kamu pernah lewat di hadapan orang yang dizhalimi, tetapi kamu tidak menolongnya ‘.”

Dan di antara dalil penguat dalam masalah ini adalah sejumlah hadits yang dituturkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dalam kitab al-Qubur; yang kemudian dikutip oleh al-Allamah Ibnul Qayyim di dalam kitabnya ar-Ruh (Hal.319) dari salah seorang tabi’in yang diakui kredibilitasnya yang bernama Suwaid bin Hujair, seraya berkata, “Suatu ketika aku melintasi di sebuah sungai yang letaknya berada di antara daerah kami dan Basrah, dan ketika itu aku mendengar suara ringkikan, keledai, aku bertanya kepada mereka, “Suara ringkikan apakah itu?’ Mereka menjawab, ‘Itu suara ringkikan seorang laki-laki dari warga kami, dimana dahulu kalau ibunya melarangnya melakukan sesuatu, maka ia akan berkata kepada ibunya, ‘Meringkiklah sebagaimana keledaimu meringkik.’ Ketika laki-laki itu meninggal, maka suara ringkikan tersebut selalu terdengar dari dalam kuburnya setiap malam.”

Kejadian-kejadian nyata seperti tersebut diatas sangat banyak dan tidak mungkin di sebutkan semuanya karena tempat yang terbatas. Walau demikian, sesungguhnya kuburan itu, meskipun di hadapan orang-orang yang melihatnya terlihat tenang, akan tetapi di dalamnya memiliki masalah lain: betapa banyak penghuninya yang sedang merasakan siksaan sehingga mereka dirundung oleh kebingungan dan kesedihan yang tidak kunjung berakhir. Juga betapa banyak penghuninya yang sedang merasakan kenikmatan, sehingga mereka diliputi oleh kebahagian serta kesenangan hanya Allah tempat memohon pertolongan.

BEBERAPA (GAMBARAN) KEADAAN PENGHUNI KUBUR

Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits yang cukup panjang dalam Kitab at-Ta’bir –yakni Ta’bir ar-Ru’ya wa Tafsiruha– dari kitabnya al-Jami’ ash-Shahih (Shahih al-Bukhari, no. 7047), Bab Ta’bir ar-Ru’ya ba’ da Shalat ash-Shubh dari Samurah bin Jundab Radhiyallahu Anhu, beliau berkata; “Di antara yang sering Rasulullah Shalallahu Alayhi Wasallam katakan kepada para sahabatnya, ‘Apakah salah seorang dari kalian ada yang bermimpi?’ lalu beberapa orang menceritakan mimpinya kepada beliau. Suatu pagi beliau berkisah kepada kami, ‘Malam ini aku di datangi oleh dua orang (malaikat) keduanya mengajakku. Keduanya berkata kepadaku, ‘Bangkitlah’. Aku pergi mengikuti mereka berdua. Kami mendatangi seorang laki-laki yang berbaring, sementara di atasnya berdiri seorang lagi dengan batu besar (di tangannya). Tiba-tiba dia menghantamkan batu besar (di tangannya). Tiba-tiba dia menghantamkan batu itu ke kepala orang yang berbaring itu sampai kepalanya hancur, batu itu menggelinding. Dia mengambilnya, tidaklah dia kembali kepadanya, melainkan kepala itu telah kembali seperti sedia kalah, kemudian setelah itu dia melakukan kepadanya seperti yang dilakukanya pada kali pertama’.

Dalam redaksi lengkap hadits itu terdapat penjelasan tentang keadaan orang yang dihantam batu tersebut, bahwa, “laki-laki tersebut adalah orang yang mengambil al-Qur’an, tapi kemudian ia menentang isinya dan melalaikan shalat fardhu.”

Dan berkenaan dengan perbuatan maksiat tersebut; Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

فَوَيل لِّلمُصَلِّينَ .ٱلَّذِينَ هُم عَن صَلَاتِهِم سَاهُونَ

Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah, ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Mereka itu adalah orang-orang yang lalai, baik mereka lalai dari awal waktunya, di mana mereka selamanya atau umumnya mengakhirkannya hingga batas akhir waktunya, lalai dari rukun-rukun dan syarat-syaratnya yang telah diperintahkan kepadanya, atau lalai dari kekhusyuan ketika menunaikannya atau lalai dari merenungkan makna bacaannya. Redaksi hadits tersebut mencakup semua hal tersebut, tetapi barang siapa ada padanya salah satu dari semua hal tersebut, maka ia terkena bagian dari makna ayat tersebut, sedang barangsiapa yang ada padanya semua hal tersebut, maka ia mendapatkan balasan secara utuh dan telah sempurna pada dirinya sifat-sifat kemunafikan.” (Lihat, Tafsir Ibni Katsir (4/554)

Hadits lain yang berkaitan dengan masalah mimpi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundab dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda yang artinya: “Lalu kami berangkat, kami mendatangi sungai –menurutku (kata rawi hadits ini) dia berkata,– ‘Merah seperti darah, di sungai itu terdapat seorang perenang yang berenang, tiba-tiba di tepi sungai berdiri seorang laki-laki dengan batu yang ditumpuknya disisinya, jika perenang itu telah berenang sesuai dengan keinginannya, maka dia menepi menghampiri laki-laki yang telah menumpuk batu-batu itu, lalu dia membuka mulutnya lalu dia menjejalinya dengan batu, lalu dia pergi berenang kembali kemudian kembali lagi, setiap kali dia menghampirinya dia membuka mulutnya untuk dijejali dengan batu.” (HR. Muslim)

Dalam redaksi lengkap hadits tersebut dijelaskan, bahwa orang yang berenang dalam sungai yang airnya berwarna seperti darah serta dijejali batu adalah pemakan riba.

Ibnu Hubairah Rahimahullah berkata: “Pemakan riba akan disiksa dengan disuruh berenang di sungai yang airnya berwarna merah dan mulutnya akan dijejali batu, adalah karena asal riba itu terjadi dalam transaksi emas, dan emas itu bewarna kemerah-merahan. Sedangkan tindakan malaikat yang menjejali mulut orang tersebut dengan batu adalah isyarat bahwa dia adalah seorang yang tidak pernah merasa puas dengan harta yang ada. Begitu juga halnya dengan riba, dimana pelakunya berkhayal bahwa hartanya terus bertambah, padahal Allah membinasakannya dibelakangnya. (Fath al-Bari, 12/445)

Siksaan yang menimpa pemakan riba sebagaimana tersebut diatas niscaya akan berlangsung hingga dia dibangkitkan dari kuburnya pada hari kebangkitan dari kubur, sebagaimana yang disinyalir.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:

ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَٰواْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيطَانُ مِنَ ٱلمَسِّ

Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Yakni mereka tidak dapat berdiri dari kuburan mereka pada Hari Kiamat kecuali seperti orang yang dirasuki dan kemasukan setan. Hal itu karena ia biasa melakukan perbuatan mungkar.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu berkata, “Pemakan riba kelak akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan gila yang berjalan sempoyongan.”(Tafsir Ibnu Katsir, 1/326)

Menurut pendapat lain, bahwa mereka akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan perutnya buncit bagaikan wanita yang hamil, di mana setiap kali mereka berdiri, maka mereka terjatuh, dan orang-orang yang berjalan menginjak-injak mereka. Hal itu adalah isyarat bagi mereka, supaya mereka mengetahui keadaan mereka kelak pada Hari Kiamat dan siksaan yang akan mereka rasakan di balik perbuatan yang telah mereka lakukan. (Tafsir al-Qurthubi, 3/354)

Kemudian hadits lain yang berkaitan dengan mimpi yang di dalamnya menjelaskan keadaan orang-orang yang disiksa di dalam kuburan mereka ialah hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam, beliau bersabda: “Kemudian kami berangkat, kami mendatangi seperti tungku –Dia berkata, kira-kira dia berkata, ‘Ternyata terdengar dari dalamnya teriakan dan suara-suara.’– Dia berkata, ‘Kami menengok ke dalamnya, ternyata isinya adalah kaum laki-laki dan wanita yang telanjang. Tiba-tiba kobaran api datang kepada mereka dari bawah mereka. Jika kobaran api datang mereka berteriak histeris ketakutan.”

Yakni mereka menjerit kesakitan.

Dalam redaksi lengkap hadits tersebut dijelaskan, bahwa mereka adalah para pezina, baik yang laki-laki maupun perempuan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan, bahwa sebab keadaan mereka telanjang adalah karena mereka pantas dan berhak dipermalukan secara terbuka, karena kebiasaan mereka adalah menyepi di tempat mesum, dan mereka disiksa dengan keadaan sebaliknya. Sedangkan hikmah didatangkan siksaan di bawah mereka, karena perbuatan dosa yang mereka lakukan erat kaitannya dengan anggota tubuh mereka bagian bawah (yakni: kemaluan). (Fath al-Bari, 12/443)

Karena itu, wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa-dosa besar tersebut dan menjauhi sebab-sebab yang akan menjerumuskannya ke dalamnya, seperti berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram dan melakukan hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya fitnah, misalnya: mempertontonkan kemolekan tubuh, memperlihatkan bagian-bagian tubuh wanita yang dapat mengundang terjadinya fitnah, membiasakan mata memandang hal-hal yang diharamkan, membiasakan telinga mendengarkan lagu-lagu yang menggiring kepada hal-hal yang keji dan sebab-sebab lainnya.

Dalam hadits mengenai mimpi Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam tadi disebutkan pula: “Lalu kami mendatangi seorang laki-laki yang berbaring terlentang. Sementara seorang lagi berdiri di atasnya dengan pengait dari besi, dia mengarahkan pengait itu ke salah satu sisi wajahnya, lalu memotong rahang bawahnya sampai tengkuknya, hidungnya sampai tengkuknya, dan matanya sampai tengkuknya.” (Rawi (hadits ini) berkata, “Mungkin Abu Raja berkata, ‘Lalu membelah)’.” Sambung beliau, “Lalu dia pindah ke sisi yang lain dan dia memperlakukannya sama dengan yang pertama.”

Dalam redaksi lengkap hadits tersebut dijelaskan, bahwa laki-laki yang disiksa itu adalah “orang yang pergi dari rumahnya di pagi hari dan menyebarkan kebohongan yang tersebar hingga memenuhi cakrawala.”

Kemudian di antara orang-orang yang sedang disiksa di dalam kuburan mereka yang dilihat Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam dalam mimpi itu adalah sejumlah kaum yang tergelincir ke dalam perbuatan ghibah (membicarakan keburukan orang) yang diharamkan, sebagaimana hal itu dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad (Al-Musnad, 3/224) serta Abu Dawud (As-Sunan, 4879) dari Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu, beliau berkata, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Ketika aku dimi’rajkan, aku bertemu dengan suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga, dimana mereka mencakar muka serta dada mereka. Aku bertanya, ‘Siapakah mereka itu, wahai Jibril?’ Jibril menjawab, ‘Mereka itu ialah orang-orang yang suka memakan daging manusia (suka membicarakan kejelekan orang lain) dan merusak kehormatannya.”

Dari uraian tersebut di atas diketahui, bahwa dosa-dosa yang telah mereka lakukan yang diimpikan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam sedang disiksa semestinya membuat takut dan miris orang yang akan melakukannya, karena ia pun akan disiksa dengan siksaan seperti itu. Jadi sudah semestinya menjauhinya.

Dalam hal ini masih banyak contoh lain tentang azab dan nikmat yang dirasakan ahli kubur yang sebagiannya dijelaskan oleh Allah kepada makhluk-Nya.

Selayaknya kita memohon kepada Allah Yang Maha Pemurah lagi Mahamulia, semoga Allah meliputi kita dengan ampunan dan rahmat-Nya. Juga permohonan itu, kita tunjukkan juga untuk kedua orang tua kita serta saudara-saudara kita segenap kaum Muslimin.

SEBAB-SEBAB SESEORANG DIAZAB DALAM KUBUR

Mengenai masalah ini, al-Allamah Ibnul Qayyim –semoga Allah menyinari beliau dalam kuburnya– telah meletakkan suatu pasal yang bagus di dalam kitabnya ar-Ruh (Lihat, Kitab ar-Ruh, hal. 211-215) yang akan kami paparkan di sini secara ringkas. Dan beliau mengawalinya dengan berkata: Seseorang mungkin bertanya, “Apa saja hal-hal yang menyebabkan ahli kubur disiksa?”

Jawabannya dapat diberikan dalam dua bentuk jawaban: Jawaban global dan jawaban detail.

Adapun jawaban secara garis besarnya, adalah bahwa mereka itu disiksa karena ketidaktahuan mereka tentang Allah, melalaikan perintah-Nya serta berbuat maksiat kepadaNya, karena Allah tidak akan menyiksa ruh yang mengenaliNya, mencintaiNya, menunaikan perintah-Nya dan menjauhi laranganNya, sehingga kita pun dituntut untuk selalu berada dalam keadaan tersebut selamanya. Karena siksa kubur dan siksa akhirat itu sebagai konsekuensi dari kebencian dan kemurkaan Allah kepada hambaNya, sehingga barangsiapa yang dibenci dan dimurkai Allah di dunia ini serta tidak bertaubat, kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka ia berhak mendapatkan siksa di alam barzakh sesuai dengan kadar kebencian dan kemurkaan Allah Ta’alaa kepadanya, mungkin kadarnya sedikit dan mungkin juga besar, bisa jadi ia termasuk orang jujur dan bisa jadi juga termasuk pendusta.

Sedangkan jawaban yang mendetail adalah sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam berkenaan dengan dua orang laki-laki yang beliau dengar sedang disiksa di dalam kuburan masing-masing. Di mana salah satunya melakukan perbuatan dosa berupa kebiasaannya menyebarkan adu domba di antara manusia, dan laki-laki yang satunya lagi tidak membersihkan diri dari kencing, sehingga ia tidak bersuci sebagaimana yang diwajibkan. Jadi orang yang pertama telah melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan terjadinya permusuhan di antara manusia melalui lidahnya, meskipun ia benar. Dalam hal ini terdapat peringatan, bahwa orang yang menyebabkan terjadinya permusuhan di antara manusia dengan kebohongan dan rekayasa, niscaya siksaannya lebih besar.

Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam telah memberitakan sebagaimana yang termaktub dalam sebuah riwayat, bahwa salah seorang dari dua orang lelaki yang beliau lihat, dia sedang disiksa dengan memakan daging manusia, di mana ia adalah orang yang suka menggunjing orang lain, dan perbuatan tersebut juga termasuk mengadu domba. Dalam hadits lain dari Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam dijelaskan, bahwa seorang lelaki sedang dicambuk dalam kuburnya, sehingga kuburannya dipenuhi api, disebabkan ia telah menunaikan salah satu shalat (wajib) tanpa bersuci terlebih dahulu, dan disebabkan ia melewati orang yang sedang dizhalimi, tetapi ia tidak menolongnya.

Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam juga telah memberitakan sebagaimana yang termaktub dalam hadits Samurah bin Jundab yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang siksaan orang yang telah melakukan suatu kebohongan sehingga tersebar ke berbagai penjuru; tentang siksaan orang yang membaca al-Qur’an di malam hari dan tidak mengamalkannya di siang hari; tentang siksaan kaum wanita serta kaum laki-laki pezina dan tentang siksaan pemakan riba, di mana beliau telah memberitakan keadaan mereka menurut yang beliau saksikan di alam barzakh. Dalam hadits lain, Nabi Shalallahu Alayhi Wasallam telah memberitakan tentang dipecahkannya kepala sejumlah kaum dengan batu besar karena begitu beratnya kepala mereka dari menunaikan shalat; tentang orang-orang yang memakan dhari’ dan zaqum (makanan yang diperuntukkan bagi para penghuni neraka), karena mereka tidak mau menzakati harta mereka; tentang orang-orang yang memakan daging bangkai yang sudah membusuk, karena perbuatan zina yang telah mereka lakukan; tentang orang-orang yang memotong bibir mereka dengan gunting, karena mereka telah menyebarkan sejumlah fitnah melalui perkataan serta pidato. Bersambung….

REFERENSI:

Ditulis oleh : Dendi Asta Dinata

Penulis        : Khalid bin Abdurrahman asy-Syayi’

Judul           : Perjalanan Ruh Setelah Mati

Penerbit      : Darul Haq

Baca juga artikel:

Menjawab Syubhat-Syubhat Maulid (Bagian ke-2)

Aswaja Bersikap Terhadap Ahli Bid’ah

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.