
Peran Tarbiyah Dari Ibu Yang Shalihah – Alhamdulillāh, segala puji bagi Allāh Rabb semesta alam yang telah memberikan kepada kita semua kenikmatan dan karunia yang tak terhitung banyaknya. Kita mohon kepada Allāh, agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang pandai bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada penutup para rasul, Nabi Muhammad yang telah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin dan mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Demikian pula bagi para sahabat yang telah Allāh pilih untuk menemani nabi-Nya dalam menyampaikan risalah ini, untuk keluarga beliau dan seluruh orang yang mengikuti serta meneladani sunnah-sunnah beliau hingga hari kiamat. Ikhwāh fīllāh a’āzzaniy wa iyyakum, pada kesempatan kali ini kami ulas beberapa nasihat yang berkaitan dengan guru pertama. Ya dibalik kesalihan dan kesuksesan seorang anak ada peran tarbiyah dari ibu yang shalihah.
- Syaikh bin Baz رحمه اللّه
Penulis rasa tidak ada diantara kita yang merasa asing dengan Syaikh Bin Baz رحمه اللّه. Beliau ulama legendaris asal Arab Saudi yang hidup pada abad 20 M. Beliau lahir di kota Riyadh pada bulan Dzul Hijjah tahun 1330 H atau sekitar bulan November tahun 1912 M. Ulama yang tidak hanya terkenal dengan kedalaman ilmunya, akan tetapi juga lewat jasa-jasanya yang demikian besar terhadap kaum muslimin di seantero dunia.
Ulama yang terkenal dengan kelembutan hati, ketawadhu’an,kedermawanan, ketakwaan, kezuhudan, dan berbagai sifat mulia lainnya yang sulit ditemui kecuali pada ulama-ulama Salaf. Ya, tidak salah memang jika beliau dijuluki sebagai baqiyyatus Salaf (sisa ulama Salaf di masa kini). Beliau adalah al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz رحمه اللّه.
Beliau berasal dari keluarga al-Baz yang asal usulnya dari Madinah, kemudian pindah ke daerah bernama Huthah Bani Tamim. Keluarga Baz sejak dahulu telah dikenal dengan ilmu pertanian, perdagangan, dan akhlak mereka yang baik. Beliau menjabat sebagai Mufti kerajaan Saudi Arabia, ketua al-Lajnah ad-Da-imah, dan Majma’ul Fiqh al-Islamy di masanya.
Beliau dibesarkan di sebuah lingkungan kondusif yang sarat dengan nilai-nilai ilmiah, keshalihan, dan kesederhanaan, serta jauh dari kemegahan dunia dan gemerlapnya peradaban medern yang semu. Kota Riyadh kala itu merupakan negara ilmu dan hidayah yang dihuni oleh banyak ulama dari tokoh agama. Terutama ulama-ulama penerus dakwah islahiyyah yang diusung oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab رحمه اللّه, yang dibangun atas dasar Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah. Kondisi Riyadh di masa beliau cukup stabil dan aman; seiring dengan berhasilnya Raja ‘Abdul ‘Aziz رحمه اللّه merebut kembali kota tersebut dan menegakkan pemerintahan yang adil berdasarkan syari’at Islam di sana.
Di lingkungan inilah Syaikh Bin Baz beranjak dewasa dan tentunya al-Qur’an sejak dahulu merupakan pelita hidupnya. Dengan al-Qur’an-lah beliau memulai karirnya dalam menuntut ilmu. Sebagaimana adat para ulama Salaf رحمه اللّه. Beliau menghafalnya di luar kepala sebelum baligh, sembari mentadabburi dan mempelajari tafsir dan hukum-hukum yang dikandungnya. Dari sini kemudian beliau beralih mempelajari ilmu-ilmu syar’i lainnya melalui para ulama Rabbaniyyah, dengan penuh kesungguhan, keuletan dan kesabaran.
Banyak dari kita yang mengenal beliau sebagai ulama yang tuna netra, akan tetapi sebenarnya beliau tidak terlahir demikian. Beliau lahir dengan penglihatan sehat, namun pada usia 16 tahun beliau menderita sakit mata dan penglihatannya berangsur-angsur melemah, hingga akhirnya tidak bisa melihat total ketika berusia 20 tahun. Akan tetapi alangkah besar hikmah yang tersembunyi di balik ‘musibah’ hilangnya penglihatan beliau ini.
Hikmah pertama: Salah satunya ialah pahala besar yang Allah janjikan dalam sebuah hadits qudsi:
إِذَا ابتَلَيتُ عَبدِي بِفَقدِ حَبِيبَتَيهِ، عَوَّ ضتُهُمَا الجَنَّةَ.
“Bila hamba-Ku Ku-uji dengan kehilangan kedua matanya, kelak Aku akan mengganti keduanya dengan Jannah.”[1]
Hikmah kedua: Kekuatan hafalan dan kecerdasan yang luar biasa. Syaikh bin Baz termasuk huffazh (penghafal hadits hebat) di zamannya. Jika beliau ditanya tentang suatu hadits dalam Kutubussittah[2] atau yang lainnya seperti Musnad Imam Ahmad[3] dan kitab lainnya; beliau seringkali mampu menyebutkan sanad dan matannya, lalu menyebutkan perkataan ulama tentangnya dan bagaimana para perawinya serta syarah hadits tersebut.
Hikmah ketiga: Beliau terlahir dari semua kemegahan dunia dan godaannya. Karenanya, Syaikh Bin Baz melalui hidupnya dalam keadaan zuhud luar biasa dan penuh kewara’an. Beliau selalu mengarahkan wajah dan hatinya kepada urusan akhirat, bersikap tawadhu’ dan merendah di hadapan Allah ‘azza wa jalla.
Hikmah keempat: Cacat tersebut justru mendorong beliau untuk semakin gigih dalam menuntut ilmu hingga menjadi ulama terkemuka yang menjadi rujukan dan dikenal dengan keluasan imu, kedalaman pemahaman, dan kekuatan argumentasinya. Intinya Allah mengganti cahaya kedua matanya dengan cahaya dalam hati, kecintaan pada ilmu, kecerdasan akal, dan selalu berjalan meniti Sunnah Nabi.
Beliau dibesarkan dalam keadaan yatim, bahkan beliau tidak mengingat ayahnya yang telah meninggal saat beliau berusia tiga tahun. Beliau kemudian diasuh oleh ibunya yang bernama Hayya binti ‘Utsman bin ‘Abdillah bin Khuraim hingga sang ibu wafat ketika beliau berusia 25 tahun. Menurut penuturan Ahmad (putera beliau), beliau terlahir dengan fisik yang lemah hingga baru bisa berjalan ketika berusia tiga tahun. Demikian sang ibu senantiasa mendampinginya dengan penuh kasih sayang dan memberinya semangat untuk pantang menyerah.
Didikan sang ibu memang luar biasa. Hai ini dituturkan sendiri oleh beliau yang mengatakan: “Aku diasuh oleh ibuku yang bernama Hayya, bersama saudara seibuku yang lebih tua dariku, yaitu Ibrahim bin ‘Abdurrahman bin Saif dan saudara kandungku yang bernama Muhammad. Kedua saudaraku senantiasa memerhatikan urusan rumah dan berusaha memenuhi segala kebutuhan kami, akan tetapi ibulah yang mengurus kami semua. Jasanya terhadap kami demikian besar, dengan mendidik dan menanamkan sifat-sifat terpuji dalam diri kani.”
Pun demikian ibu yang shalihah ini telah mencurahkan segalanya demi mendidik putra-putranya, yaitu Syaikh ‘Abdul ‘Aziz dan kedua saudaranya, dan menyiapkan mereka untuk memikul tanggung jawab keluarga. Sang ibu mulai mengarahkan Syaikh bin Baz agar menuntut ilmu dan menanamkan pada dirinya sifat anti putus asa atau menyerah akibat sakit yang dideritanya kala itu, dimana pengobatan modern belum tersedia, padahal penyakit tersebut menyerang salah satu organ terpenting yang dimiliki puteranya, yaitu mata.
Ini jelas menunjukkan bahwa melaluli kekuatan imannya, sang ibu berusaha agar puteranya dapat melalui dua tahap penting kehidupan, dengan harapan ia berhasil dalam salah satunya dan mewujudkan cita-cita setiap ibu. Kedua tahapan tersebut ialah karir di bidang ilmu dan karir di bidang usaha untuk mencari penghidupan sesuai kemampuan yang ada.
Berangkat dari sini sang ibu mengarahkannya agar masuk ke beberapa kuttab (semacam TPA) untuk membaca al-Qur’an, sejak beliau berusia sekitar 10 tahun hingga 12 atau 13 tahun dan khatam pada usia 16 tahun kira-kira. Sang ibu tetap setia membimbing puteranya yang tuna netra dalam meniti karir ilmiahnya, hingg ia menyaksikan sendiri tanda-tanda keberhasilan dan buah manis dari kerja kerasnya selama ini.
Syaikh bin Baz mulai dikenal sebagai alim dan didatangi oleh para penuntut ilmu dari berbagai daerah. Pun demikian, pengorbanan sang ibu terhadap ilmu tidak berhenti sampai di situ. Syaikh bin Baz memang terkenal suka membantu setiap murid baru yang mengunjunginya di Riyadh. Beliau sering duduk bercengkerama dengannya dan membantu semua kebutuhannya mengingat murid tersebut adalah pendatang asing yang butuh perhatian khusus. Bahkan tidak jarang beliau mengajak murid baru tersebut ke rumahnya untuk makan siang atau makan malam. Syaikh meminta kepada ibunya agar memberikan jatah makan beliau kepada si murid dan ketika si ibu mengatakan bahwa ia tidak memiliki makanan lain selain itu, Syaikh menjawab: “Dia ini penuntut ilmu dan perantau yang membutuhkan, kita wajib menjadikannya tertarik kepada ilmu.”
Jawaban ini ternyata demikian berkesan di hati ibu yang shalihah ini, hingga ia pun bersemangat untuk memenuhi setiap kebutuhan para santri yang belajar kepada Syaikh bin Baz, baik dengan menyediakan makanan untuk mereka, menjahit pakaian mereka, atau hal yang mereka perlukan.[4] Inilah tarbiyah spesial yang beliau terima dari ibunya. Karenanya, tidak heran jika Syaikh bin Baz telah demikian terkenal dengan keshalihannya sejak muda.
Menurut penuturan Syaikh Sa’ad bin ‘Abdul Muhsin al-Baz رحمه اللّه kerabat beliau yang usianya 10 tanun lebih tua dari Syaikh bin Baz, sejak muda Syaikh bin Baz telah dikenal sebagai pemuda shalih yang taat beragama. Beliau juga dikenal sangat ramah dan pemurah. Bahkan saat beliau masih sebagai santri, bila beliaudisalami oleh seseorang maka beliau akan mengundang orang tersebut untuk makan siang atau makan malam, dan beliau tidak pelit dalam menyuguhkan apa saja kepada tamunya, hingga Allah menjadikan makanannya demikian berkah.
Seiring dengan bertambahnya usia beliau, sifat-sifat terpuji tadi semakin mengakar dalam diri beliau dan tidak bisa dipisahkan. Beliau melakukan semua itu secara fitri tanpa dibuat-buat dan hal ini diketahui persis oleh orang-orang yang mengenal beliau. Dengan kedalaman ilmu, keshalihan, ketawadhu’an dan keluhuran budi pekertinya terhadap semua orang; beliau menjadi orang yang demikian dicintai oleh seluruh lapisan masyarakat, hingga kepergian beliau pun menjadi musibah besar yang dirasakan oleh seluruh kaum muslimin. Tidak hanya di Saudi Arabia, namun di seluruh dunia.
Tidak terhitung berapa banyak orang yang menimba ilmu beliau, lalu menjadi ulama dan da’i di kemudian hari. Bisa kita bayangkan betapa besar tabungan pahala beliau di sisi Allah karena ilmu yang beliau ajarkan dan betapa besar pahala ibunda beliau yang mendidiknya sejak kecil untuk cinta kepada ilmu. Beliau wafat menjelang fajar pada pagi hari Kamis tanggal 27 Muharram 1420 H (13 Mei 1999), kemudian dishalatkan di Masjidil Haram dan jenazahnya diiringi oleh lautan manusia yang mencapai dua juta orang.
Sebagai muslim yang baik seyogyanya kita menerapkan hal-hal yang diperintahkan Allaah Ta’ala dalam aspek kehidupan kita. Sungguh indah bukan syariat Islam yang memperhatikan segala urusan bahkan dalam hal tarbiyah? Jadilah muslimah yang memiliki akhlak dan adab yang baik serta berwawasan luas yang sesuai dengan syari’at. Menjadi wanita shalihah itu sangat mulia, karena darinyalah akan mencetak generasi-generasi yang berakhlak dan beradab baik serta meliliki wawasan luas yang sesuai dengan syari’at.
Bukankah ibu itu sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya? Sebisa mungkin ajarkan ilmu-ilmu dasar syar’i yang nantinya akan dipergunakan secara terus-menerus atau berkelanjutan. Misalnya tanamkan pada diri anda, bahwa orang yang mengenalkan huruf hijaiyah ataupun bacaan al-Fatihah kepada anak-anak anda adalah diri anda sendiri, yang mana ketika shalat surat tersebut akan dibaca terus-menerus dan In syaa Allah akan menjadi amal jariyah.
Semoga Allah merahmati beliau dan kedua orang tua beliau, serta membalas jasa-jasa mereka terhadap Islam dan kaum muslimin aamiin. Semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi diri ini dan bagi pembacanyanya. Wallāhu Ta’āla A’lam. Atas perhatiannya saya ucapkan Jazaakumullaahu khair.
Daftar Pusaka
Baswedan, Sufyan bin Fuad. 2018. Ibunda Para Ulama. Jakarta:Pustaka Al-Inabah.
Diringkas oleh: Siti Haryani (Asatizah Ponpes Darul-Qur’an wal-Hadits OKU Timur).
[1] HR. Al-Bukhari no. 5653.
[2] Artinya kitab hadits yang enam, yaitu: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah.
[3] Yang menghimpun hampir 30 ribu hadits.
[4] Lihat ‘Abdul ‘Aziz bin Baz. ‘Aalimun faqadathul ummah hal. 33-39, oleh DR. Muhammad bin Sa’ad asy Syuwai-‘ir.
BACA JUGA :
Leave a Reply