Penjelasan 45 Hadits Yang Banyak Disalah-Pahami (Bagian V). Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
InsyaAllah di sini kami akan melanjutkan kembali pembahasan sebelumnya mengenai hadits-hadits Nabi yang sering disalah-pahami.
Hadits 7: Menghukumi Berdasarkan yang Zahir
Di catat oleh Al Bukhari (2680), Muslim (1713), An-Nasa-i (5401), At Tirmidzi (1339) dan yang lainnya,
عَن ْ هِشَامِ بنِ عُروَةَ، عَن ْ أَبِيهِ، عَن ْ زَينَبَ، عَن ْ أُمّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَهُ عَنهَا، أَنَ رَسُولَ اللَهِ صَلَى اللَهُ عَلَيهِ وَسَلَمَ ، قَالَ: “ إِنَكُم ْ تَختَصِمُونَ إِلَيَ وَلَعَلَ بَعضَكُم ْ أَلحنُ بِحُجَتِهِ مِن ْ بَعضٍ، فَمَن ْقَضَيتُ لَهُ بِحَقّ أَخِيهِ شيئًا بِقَو ْلِهِ فَإِنَمَا أَقطَعُ لَهُ قِطعَةً مِنَ النَارِ، فَلَا يَأ ْخُذ ْهَا
Artinya;
Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Zainab dari Ummu Salamah radhiallahu’anha, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Kalian menyerahkan persengketaan kalian kepadaku. Namun bisa jadi sebagian dari kalian lebih lihai dalam berargumen daripada yang lain. Maka barangsiapa yang karena kelihaian argumennya itu, lalu aku tetapkan baginya sesuatu hal yang sebenarnya itu adalah hak dari orang lain. Maka pada hakekatnya ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka. Oleh karena itu hendaknya jangan mengambil hak orang lain”[1]
Derajat Hadits:
Semua perawinya tsiqah tanpa keraguan. Baru dari Hisyam bin Urwah diriwayatkan oleh banyak imam dan huffadz. Hadits ini shahih tanpa keraguan, diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dalam Shahihain.
Diriwayatkan dari jalan lain oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya (3/261), sahabat Ibnu Umar radhiallahu’anhu dengan lafadz,
اختصم رجلان إلى النَبيّ صلَى اللهُ عليه وسلَم, فقال رسولُ اللهِ صلَى الُله عليه وسلَم إنَما أنا بشَرٌ وإنَما أقضي بينكما بما أسمعُ منكما ، ولعلَ أحدَكم أن يكونَ ألحنَ بحُجَتِه من بعضٍ، فمن قطعتُ له من حقّ أخيه شيئًا, فإنَما أقطع له قِطعةً من النَارِ
Artinya:
“Ada dua orang yang membawa persengketaannya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa. Aku akan memutuskan perkara dari persengketaan ini berdasarkan apa yang aku dengar dari kalian. Dan bisa jadi salah seorang dari kalian lebih lihai dalam berargumen daripada yang lain. Maka barangsiapa yang aku tetapkan baginya sesuatu hal yang sebenarnya itu adalah hak dari orang lain. Maka pada hakekatnya ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka” [2]
Penjelasan Hadits:
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan: “Dalam riwayat lain terdapat lafadz ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa ‘, maksudnya, ketika sebuah persengketaan didatangkan kepadaku, bisa jadi satu pihak lebih pandai dalam menyampaikan argumen. Lalu aku menyangka bahwa ia yang benar. Dan barangsiapa yang aku menangkan perkaranya untuk mengambil hak muslim yang lain, maka sesungguhnya itu potongan api neraka baginya”. Beliau juga menjelaskan, “makna sabda Nabi ‘sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa ‘, maksudnya adalah penekanan tentang sifat manusiawinya, yaitu bahwa seorang manusia tidak bisa mengetahui hal gaib dan perkara-perkara yang tersembunyi, kecuali Allah menunjukkan hal itu. Ini juga penegasan bahwa semua perkara hukum yang dibolehkan bagi manusia juga dibolehkan bagi Nabi. Dan Nabi hanya menghukumi sesuatu sesuai apa yang zhahir (nampak), karena hanya Allah yang mengetahui perkara batin (yang tersembunyi). Sehingga keputusan hukum didasari atas bukti, sumpah atau metode lainnya yang semuanya merupakan perkara-perkara zhahir. Tentunya dengan adanya kemungkinan yang diputuskan itu menyelisihi hakekat sebenarnya. Karena yang dibebani hanyalah menghukumi secara zhahir”[3]
Jika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengetahui perkara gaib ketika beliau masih hidup, terlebih lagi setelah beliau wafat. Sehingga hadits ini adalah bantahan bagi sebagian orang yang berkeyakinan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tahu perkara-perkara gaib secara mutlak sejak masih hidup bahkan hingga hari ini.
Al Khathabi menjelaskan, “maksud dari ألحن بحجته yaitu ia lebih pandai dalam berargumen”. Kemudian beliau juga menjelaskan, “Fikih dalam hadits ini yaitu wajib bagi hakim untuk memutuskan berdasarkan apa yang zhahir (nampak). Fikih lainnya, keputusan hakim tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal. Karena ketika hakim salah dalam memutuskan maka keputusan itu bisa diabaikan, dan keputusan itu dihasilkan dari apa yang nampak saja. Adapun hakekat kebenarannya dan juga hukum akhirat tidak diabaikan (masih tetap berlaku). Dalam hadits ini juga ada faidah bahwa tidak halal di sisi Allah bagi orang yang memenangkan perkara untuk mengambil apa yang dimenangkan itu jika ia sebenarnya tahu dirinya salah. Lihatlah, Nabi bersabda: ‘hendaknya jangan mengambilnya. Karena pada hakekatnya ketika itu aku telah menetapkan baginya sepotong api neraka ‘. Masalah ini mencakup harta, kehormatan, masalah seksual, jika semuanya itu terkait hak orang lain maka tidak halal merebutnya”[4]
Syaikh ‘Athiyyah Salim menjelaskan hadits ini: “Ada dua orang yang bersengketa datang kepada hakim. Dan hakim tentunya tidak mengetahui perkata gaib. Lalu salah seorang diantara dua orang tadi, bersumpah dengan sumpah palsu misalnya, atau ia mendatangkan bukti yang direkayasa. Hakim pun menghukumi sesuai dengan apa yang nampak, dan ia tidak boleh menghukumi kecuali berlandaskan ilmu. Kemudian hakim pun menetapkan putusan. Nah, sebenarnya dua orang yang bersengketa mereka lah yang sebenarnya mengetahui hakekat kebenarannya.
Adapun sang hakim, baik apa yang ia putuskan pada hakekatnya benar ataupun ternyata salah, beliau diberi udzur. Karena ia hanya bisa memutuskan berdasarkan apa yang nampak baginya. Juga ia hanya menerapkan kaidah: ‘penuduh wajib mendatangkan bukti, dan sumpah itu bagi yang tertuduh ‘. Ketika dua orang tadi keluar dari pengadilan dengan membawa putusan dari sang hakim. Sebenarnya orang yang memenangkan perkara mengetahui dengan pasti dalam hatinya bahwa putusan itu keliru, apakah lalu halal baginya untuk mengikuti putusan hakim? Tidak halal.
Saat itu hendaknya ia meminta fatwa pada hatinya, apakah hatinya tenang dengan putusan yang salah itu? Demi Allah ia tidak akan tenang. Ia akan pulang ke rumah dengan hati yang gundah. Karena sebelum masuk pengadilan, ia statusnya zhalim. Namun sekarang ia zhalim kuadrat bahkan sangat zhalim. Ketika belum masuk pengadilan, ia hanya menzhalimi dirinya sendiri dan lawan sengketanya. Namun sekarang, ia sudah menzhalimi hakim dan menzhalimi sebuah persaksian.
Oleh karena itu seluruh ulama kecuali madzhab Hanafi mereka berkata:
حكم الحاكم لا يحل حراماً
Artinya:
‘Putusan hakim tidak menghalalkan yang haram’”[5]
Hadits 8: Larangan Pelit Dan Pengecut
Dicatat oleh Abu Daud (2511), Ibnu Hibban (808), Ahmad (2/302),
عَن ْ مُوسَى بنِ عَلِيّ بنِ رَبَاحٍ، عَن ْ أَبِيهِ، عَن ْ عَبدِ العَزِيزِ بنِ مَروَانَ، قَال: سَمِعتُ أبا هريرة يقول: سمعت رَسُولَ الله صلى الله عليه و سلم يقول: “شر ما رجل شح هالع وجبن خالع”
Artinya:
Dari Musa bin Ali bin Rabbah, dari ayahnya, dari Abdul Aziz bin Marwan, ia berkata, aku mendengar Abu Hurairah berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut”[6]
Derajat Hadits:
Seluruh perawi hadits ini tsiqah, para perawi yang dipakai imam Muslim kecuali Abdul Aziz bin Marwan bin Hakim, namun ia statusnya tsiqah. Sehingga sanad hadits ini shahih tanpa keraguan. Hadits ini dishahihkan Al Mundziri dalam At Targhib (3/337), Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad (16/116), Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (560).
Penjelasan hadits:
Asy syuh semakna dengan al bukhl (pelit). Imam An Nawawi mengatakan:
الشحّ: هو البخل بأداء الحقوق، والحرص على ما ليس له
Artinya:
“Asy syuh adalah al bukhl (pelit) untuk menunaikan hak-hak, dan disertai semangat untuk menguasai hal yang bukan miliknya”[7]
Jadi asy syuh lebih parah dari al bukhl (pelit) karena asy syuh itu selain pelit juga semangat untuk mendapatkan hak dan harta orang lain.
Adapun al bukhl, Ar Raghib Al Asfahani mendefiniskan dengan bagus:
البُخلُ: إمساك القتنيا ت عما لا يحق حبسها عنه
Artinya:
“Al bukhl adalah menahan harta yang dimiliki pada keadaan yang tidak layak untuk menahannya ketika itu”[8]
Sebagian ulama juga memaknai bahwa al bukhl itu enggan mengeluarkan harta pada hal yang wajib.
Al-Faiyumi Rahimahullah mengatakan:
البخل في الشرع: منع الواجب
Artinya:
“Al-bukhl dalam syari’at artinya menahan harta pada hal yang wajib”[9]
Sifat pelit termasuk akhlak tercela. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَن يُوقَ شُحَ نَفسِهِ فَأُو ْلَئِكَ هُمُ المفلحُونَ
Artinya:
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”[10]
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَأَمَا مَن بَخِلَ وَاستَغنَى وَكَذَبَ بِالحسنَى فَسَنُيَسّرُهُ للعسرى
Artinya:
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar”[11]
Mukmin sejati itu dermawan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اليد العليا خير من اليد السفلى واليد العليا هي المنفقة واليد السفلى هي السائلة
Artinya:
“Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi dan tangan yang dibawah adalah orang yang meminta”[12]
Bersambung…
Sumber:
Begini Maksudnya! Penjelasan 45 Hadits Yang Banyak Disalah-Pahami karya Yulian Purnama, Pustaka Kangaswad, Edisi Pertama Jumadal Ula 1443 H.
Diringkas oleh: Rika Kowasanda (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)
[1] HR. Al Bukhari (2680), Muslim (1713), An-Nasa-i (5401), At Tirmidzi (1339(
[2] HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (3/261) 56 Syarh Shahih Muslim (12/5)
[3] Syarh Shahih Muslim (12/5)
[4] Ma’alimus Sunan (4/163)
[5] Syarh Arbain An Nawawiyyah (60/8)
[6] HR. Abu Daud (2511), Ibnu Hibban (808), Ahmad (2/302)
[7] Syarah Shahih Muslim Lin Nawawi (16/222) 61 Mufradatul Qur’an (1/109)
[8] Mufradatul Qur’an (1/109)
[9] Mashabihul Munir (1/37)
[10] QS. Al Hasyr: 9
[11] QS. Al Lail: 8-10
[12] HR. Bukhari no.1429, Muslim no.1033
Baca juga:
Leave a Reply