Pakaian Wanita Untuk Shalat – Pasal ini membahas tentang disyariatkannya menggunakan pakaian yang indah bagi setiap orang yang memasuki masjid untuk melaksanakan shalat. Biasanya para fuqaha menamakan nya: “Bab Menutup Aurat dalam Shalat”. Memang sebagian fuqaha mengira bahwa pakaian yang di kenakan dalam shalat sama dengan pakaian yang dikenakan untuk menutup aurat dari pandangan orang. Mengenai pakaian dalam shalat ini, mereka mengambil dalil dari firman Allah: “Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain ke dadanya.” Selanjutnya, Allah berfirman: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasanya, yaitu perhiasan yang tertutup dalam pakaian kecuali kepada suami mereka.” (QS. An-Nur: 31)
Selanjutnya, para fuqaha mengatakan: “Seorang wanita diperbolehkan menampakkan perhiasan luar yang biasa tampak, di dalam shalat. Sedangkan perhiasan dalam yang tertutup tidak boleh diperlihatkan.
Mengenai “Perhiasan yang biasa tampak” ini, kaum salaf berselisih menjadi dua pendapat:
- Ibnu Mas’ud dan ulama yang sependapat dengan beliau, mengatakan: “Yang dimaksud adalah pakaian”.
- Ibnu Abbas dan ulama’ yang sependapat dengan beliau, mengatakan: Yang dimaksud adalah perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan, seperti: Celak dan cincin”.
Berangkat dari dua pendapat ini, para fuqaha berselisih pendapat mengenai hukum melihat wanita ajnabiyah. Ada yang mengatakan: Diperbolehkan melihat wajah dan kedua tangannya, tanpa disertai syahwat. Ini pendapat Abu Hanifah, Syafi’i, dan salah satu pendapat dalam madzhab Ahmad.
Ada pula yang mengatakan: Tidak diperbolehkan. Ini pendapat yang menonjol dalam madzhab Ahmad. Ia berkata bahwa setiap bagian tubuhnya, termasuk kukunya, adalah aurat. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik.
Sebenarnya Allah telah menjadikan dua perhiasan, yaitu: perhiasan yang zahir (tampak) dan perhiasan yang bathin (yang tidak tampak) Allah memperbolehkan seorang wanita memperlihatkan perhiasan zahirnya kepada selain suami dan orang-orang yang tak memiliki hubungan mahram. Adapun perhiasan yang tidak tampak, hanya boleh diperlihatkan kepada suami dan orang-orang yang mempunyai hubungan mahram dengannya.
Sebelum turunnya ayat-ayat hijab, kaum wanita keluar tanpa mengenakan jilbab, sehingga kaum pria bisa melihat wajah dan kedua tangannya. Pada masa itu, wanita diperbolehkan memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangannya. Ketika itu diperbolehkan untuk melihatnya, karena memang boleh diperlihatkan. Kemudian, Allah menurunkan ayat hijab dengan firman-Nya:
يٰۤـاَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِّاَزْوَا جِكَ وَبَنٰتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِيْنَ يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَا بِيْبِهِنَّ ۗ
Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (QS. Al-Ahzab 33 : Ayat 59)
Setelah itu, bagian wajah wanita ditutup dari pandangan kaum pria. Itu terjadi semasa Nabi menikahi Zainab binti Jahsy. Beliau mengulurkan kain penutup dan melarang Anas bin Malik melihatnya. Ketika beliau memilih Shofiyah binti Huyay, pada masa Perang Khaibar, para sahabat berkata:
“Bila beliau menghijabnya berarti ia menjadi salah satu ummahatul mukminin. Jika tidak, berarti menjadi salah seorang budak beliau. Lalu beliau menghijabnya. Karena itulah, Allah memerintahkan agar tidak ada yang meminta kepada isteri-isteri beliau kecuali dari belakang tabir serta memerintahkan isteri-isteri beliau, puteri-puteri beliau, dan isteri-isteri orang beriman agar mengulurkan jilbabnya.
Jilbab adalah mala’ah. Ibnu Mas’ud dan ulama’ yang lain menyebutnya dengan rida’. Masyarakat umum menyebutnya izar, yaitu semacam baju kurung besar yang menutup kepala dan seluruh badan wanita.
Ubaidah dan ulama lainnya Rahimahumullahu Anhum menyebutkan bahwa jilbab itu adalah pakaian yang menutup anggota tubuh, mulai dari bagian atas kepala, sehingga hanya kedua matanya saja yang tampak. la sejenis dengan niqab, “cadar”.
Jadi, para wanita dahulu mengenakan niqab. Di dalam “Ash-Shahih” disebutkan: “Sesungguhnya wanita-wanita yang sedang melakukan ihram, tidak mengenakan niqab dan tidak mengenakan gaffazain, dua sarung tangan.”
Jika mereka disuruh mengenakan jilbab agar tidak dikenal, artinya mereka diperintahkan menutup wajah atau menutup wajah dengan niqab, maka wajah dan kedua tangan itu termasuk perhiasan yang tidak boleh mereka perlihatkan kepada pria ajnabiy. Jadi, yang boleh lihat oleh para pria ajnabiy tinggallah pakaian yang tampak saja. Dengan demikian, Ibnu Mas’ud menyebutkan hukum yang final sedangkan Ibnu Abbas menyebutkan hukum pertama. Karena itu, firman Allah Subhanahu Wata’ala: “… atau kepada wanita-wanita Islam atau kepada budak-budak mereka….”
Menunjukkan bahwa seorang wanita muslimah diperbolehkan memperlihatkan perhiasan bathinah (yang tertutup) kepada budaknya. Mengenai hal ini terdapat dua pendapat :
Yang Pertama: Yang dimaksud adalah budak- budak wanita atau budak-budak wanita dari kalangan Ahli Kitab, sebagaimana yang telah dikatakan Ibnul Musayyib dan dikuatkan oleh Ahmad dan ulama’-ulama’ lainnya Rahimahumullahu ‘Anhum.
Yang Kedua: Yang dimaksudkan adalah budak laki-laki, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan ulama’ulama’ lainnya Rahimahumullahu Anhum. Ini juga merupakan pendapat Imam Asy- Syafi’i dan ulama’-ulama’ lainya Rahimahumullahu ‘Anhum, serta merupakan pendapat Imam Ahmad dari riwayat yang lain. Pendapat ini mengandung konsekuensi diperbolehkannya seorang budak laki- laki melihat majikan-majikan wanita mereka.
Ada beberapa hadits yang menyebutkan hal itu, ini didasarkan kebutuhan, karena seorang nyonya lebih sering perlu berbicara kepada budaknya dari pada keperluannya untuk melihat seorang saksi, pekerja, atau seorang yang sedang melamarnya. Jika melihat orang-orang ini saja mereka diperbolehkan, maka kepada seorang budak mereka lebih layak untuk diperbolehkan melihat. Bukan berarti si budak lantas merupakan mahram bagi nyonyanya sehingga diperbolehkan bepergian bersamanya. Kedudukannya sama dengan pembantu laki-laki yang sudah tidak memiliki keinginan terhadap wanita, yang boleh melihat nyonyanya, tetapi bukan merupakan mahram yang diperbolehkan untuk bepergian bersamanya.
Jadi, tidak semua orang yang diperbolehkan untuk melihat diperbolehkan pula untuk bepergian bersamanya atau berkhalwat (berduaan) dengannya. Sebaliknya, seorang budak diperbolehkan untuk melihat majikan wanita mereka dikarenakan kebutuhan, akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat dan bepergian dengannya, karena ia tidak tercakup di dalam sabda Nabi : “Janganlah seorang wanita bepergian jauh (safar) kecuali bersama suami atau orang yang mempunyai hubungan mahram.” (HR. Muslim)
Sebab, seorang budak yang telah dimerdekakan diperbolehkan untuk menikahi bekas nyonyanya sebagaimana seorang wanita boleh dinikahi oleh bekas suami saudara perempuannya, apabila saudaranya itu telah diceraikan.
Mahram adalah: Orang yang haram (menikahi seseorang wanita) selama-lamanya. Karena itu, Ibnu Umar berkata, “Safar yang dilakukan oleh seorang wanita bersama budaknya adalah kebinasaan.”
Jadi, ayat ini memberikan rukhshah (keringanan) kepada wanita muslimah untuk memperlihatkan perhiasan kepada orang-orang yang mempunyai hubungan mahram maupun yang tidak mempunyai hubungan mahram. Adapun hadits tentang safar, hanya mengizinkan bersama orang-orang yang mempunyai hubungan mahram. Dalam ayat ini disebutkan: “… Wanita-wanita Islam dan budak-budak yang mereka miliki “serta”… pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).”
Padahal seorang wanita tidak diperbolehkan melakukan safar (perjalanan jauh) bersama mereka.
Adapun firman Allah, “Atau wanita-wanita Islam” adalah sebagai larangan untuk memperlihatkannya kepada wanita-wanita musyrik. Jadi seorang wanita musyrik tidak diperkenankan melihat perhiasan wanita muslimah yang tidak tampak dan tidak diperbolehkan masuk ke pemandian bersama mereka.”
Akan tetapi, dahulu wanita-wanita Yahudi ada yang menemui ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dan wanita-wanita muslimah lainnya. Mereka melihat wajah dan kedua telapak tangan ummul muminin itu. Tidak demikian halnya laki-laki dari kalangan Yahudi. Maka, hal ini termasuk perhiasan lahir yang boleh dilihat wanita-wanita Dzimmi. Wanita- wanita Dzimmi itu tidak diperbolehkan untuk melihat perhiasan bathin, jadi tampak dan tertutupnya itu diukur sesuai dengan kadar yang diperbolehkan untuk diperlihatkannya.
Karena itu, ia memperlihatkan perhiasan-perhiasan bathin (yang tersembunyi) kepada kerabat-kerabatnya. Dan suami diperbolehkan melihat apa yang tidak boleh dilihat oleh kerabat. Adapun firman Allah, “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya,” merupakan dalil bahwa seorang wanita harus menutup leher nya. Jadi, leher termasuk perhiasan bathin bukan perhiasan lahir, termasuk perhiasan-perhiasan yang ada padanya seperti kalung dan lain-lain.
AURAT WANITA DAN LAKI-LAKI YANG HARUS DITUTUPI
Berikut ini adalah masalah aurat yang harus ditutup oleh kaum wanita dari pendangan kaum pria, begitu juga yang harus ditutup oleh kaum pria dari pandangan kaum pria, dan yang harus ditutup oleh kaum wanita dari pandangan kaum wanita. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا ينظر الرجلُ إِلى عَوْرَة الرَّجُل، ولا تَنظُرِالْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
Artinya: “Janganlah seorang pria melihat aurat pria yang lain, dan jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita yang lain.” (HR. Muslim)
Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda : “Jagalah auratmu, kecuali dari isteri dan budak-budakmu !” Saya (shahabat) bertanya, “Bagaimana jika suatu kaum berkumpul satu sama lain yang sejenis? Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Bila engkau bisa mengusahakan agar tidak seorangpun melihatnya, maka jangan sampai ia melihatnya.” Saya bertanya, “Bagaimana jika salah seorang dari kami dalam keadaan sendirian ?” Beliau bersabda, “Engkau lebih pantas untuk malu kepada Allah dari pada kepada yang lain.” (HR. Abu Dawud)
Rasulullah juga melarang seorang pria berada dalam satu kain dengan pria lain, demikian pula seorang wanita yang berada dengan wanita lain dalam satu kain. Beliau juga bersabda mengenai anak-anak:
مروهم بالصلاة لِسَبْعِ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشروَفَرَّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: “Perintahkanlah mereka melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, pukullah mereka agar melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Malik dalam Muwaththa’)
Inilah larangan melihat dan menyentuh aurat sesama jenis, karena hal itu mengandung keburukan. Adapun larangan melihat dan menyentuh bagi laki-laki terhadap wanita, adalah karena adanya nafsu seksual. Inilah dua hal yang berkenaan dengan aturan tentang aurat. Adapun dalam shalat adalah soal lain, yaitu apabila seorang wanita melaksankan shalat seorang diri, maka ia diperintahkan untuk menutup kepalanya dengan khimar (kerudung), sedangkan di luar shalat, ia diperbolehkan membuka kepalanya di rumahnya. Mengenakan perhiasan di dalam shalat adalah berkaitan hak Allah. Maka, tidak seorangpun diperbolehkan berthawaf di baitullah dalam keadaan telanjang, sekalipun seorang diri di waktu malam. Ia juga tidak boleh melaksanakan shalat dalam keadaan telanjang, sekalipun sendirian. Maka, diketahuilah bahwa mengenakan “pakaian yang indah” dalam shalat tidak sama dengan mengenakan hijab dari pandangan orang. Keduanya merupakan hal yang memiliki hukum yang berbeda satu sama lain.
Karena itu, terkadang orang yang melaksanakan shalat harus menutupi apa yang boleh diperlihatkan di luar shalat dan terkadang ada bagian tubuh yang diperlihatkan seorang wanita dalam shalat, yang biasanya mesti ditutupinya dari pandangan kaum pria. Contoh untuk yang pertama adalah dua pundak. Karena Nabi melarang seorang laki-laki melaksanakan shalat dengan hanya mengenakan satu kain sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat kain sedikitpun. Ini merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam shalat. Sedangkan di luar shalat, ia diperbolehkan memperlihatkan kedua pundaknya di hadapan kaum pria.
Demikian halnya wanita merdeka. la harus mengenakan khimar di dalam shalat. Sebagaimana sabda Nabi: “Allah tidak akan menerima shalat seorang wanita yang telah baligh, tanpa mengenakan khimar.” Padalah ia tidak berkewajiban mengenakan khimar di hadapan suami dan orang-orang yang mempunyai hubungan mahram dengannya. la di perbolehkan untuk memperlihatkan perhiasan bathin (yang tersembunyi) untuk mereka, sedangkan di dalam shalat ia tidak diperbolehkan membuka kepalanya, baik di hadapan mereka maupun di hadapan selain mereka.
Kebalikannya adalah mengenai wajah, dua tangan, dan dua telapak kaki. Seorang wanita, berdasarkan pendapat yang paling shahih di antara dua pendapat yang ada, tidak diperbolehkan untuk memperlihatkan bagian-bagian tubuh tersebut kepada kaum pria ajnabi, bahkan ia tidak diperbolehkan memperlihatkan apapun selain pakaian, tidak sebagaimana hukum sebelum adanya naskh.
Ringkasnya, berdasarkan nash dan ijma’, di dalam shalat ia tidak berkewajiban mengenakan jilbab yang biasa menutupi seluruh tubuhnya, bila shalat tersebut dilakukannya di dalam rumah. Itu hanya wajib dikenakannya apabila ia keluar dari rumahnya. Jadi shalatnya di rumahnya sah sekalipun wajah, kedua tangan, dan telapak kakinya terlihat. Ini keadaan mereka ketika berjalan pada masa sebelum diperintahkan menurunkan jilbab mereka. Jadi, aurat di dalam shalat tidaklah berkaitan dengan aurat yang tidak boleh dilihat. Ketika Ibnu Mas’ud Radhiyahullahu ‘Anhu menyatakan bahwa perhiasan lahir adalah pakaian, ia tidak mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita, hingga kukunya sekalipun, merupakan aurat. Ini adalah perkataan Imam Ahmad, maksudnya bahwa seorang wanita harus menutupinya di dalam shalat. Memang para fuqaha menamakan bab yang membahas pakaian shalat dengan, “Bab Menutup Aurat”, tetapi lafazh yang demikian ini bukan dari Rasulullah, tidak berasal dari Al-Qur’an maupun As-Sunah. Apa yang harus ditutup orang yang melaksanakan shalat tidak identik dengan aurat. Bahkan, Allah Ta’ala berfirman:
يٰبَنِيْۤ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid.” (QS. Al-A’raf 7 : Ayat 31)
Demikianlah sebagian pembahasan tentang “hijab dan pakaian wanita muslimah dalam shalat”. Semoga para muslimah dapat mengambil pelajaran dari isi pembahasan artikel ini dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Referensi : Syaikh Nashruddin al-Albani/cetakan ke-IV/HIJAB DAN PAKAIAN WANITA MUSLIMAH DALAM SHALAT/At-Tibyan.
Artikel : Bulan Agustus 2023
Diringkas oleh : Hanun Siti Mulyani
BACA JUGA :
Leave a Reply