ORANG YANG TERPERDAYA
Manusia yang paling tertipu adalah yang terperdaya oleh kehidupan dunia yang tampak di hadapan mereka. Mereka lebih merdhai dan mengutamakan dunia daripada akhirat. Sebagian dari mereka menyatakan, “Dunia adalah seesuatu yang kontan, sedangkan akhirat adalah kredit. Kontan lebih bermanfaat dibandingkan kredit. Ada juga yang mengatakan, “kelezatan dunia merupakan perkara yang pasti. Sebaliknya, kelezatan akhirat merupakan perkara yang masih diragukan. Saya tidak akan mengganti perkara yang pasti dengan perkara yang meragukan”. Sebagian menegaskan, “Sebutir atom yang diberikan lebih baik daripada mutiara yang dijanjikan”.
Asumsi seperti ini adalah tipuan dan makar syaitan. Bahkan, hewan ternak yang tidak bisa berbicara pun lebih berakal dibandingkan mereka.hal ini disebabkan karena binatang apabila takut dengan hal yang mudhrat, maka ia tidak akan mendekatinya meskipun dipaksa.ironisnya, salah seorang dari mereka justu mendatangi perkara yang membinasakannya, entah orang yang mendustakannya maupun orang yang membenarkannya. Orang semacam ini akan tetap tergolong orang yang merugi karena mendatangi perkara yang membinasakannya, padahal ia mengetahuinya. Mendahulukan dunia yang kontan atas akhirat yang kredit merupakan tipuan terbesar dan kebodohan terburuk.
Adapun pernyataan bahwa: “Kontan lebih baik daripada kredit”, maka jawabannya: jika sesuatu yang kontan dan kredit itu sama nilainya, maka kontan lebih baik dibandingkan kredit. Namun apabila berbeda, yaitu ketika perkara kredit jauh lebih banyak dan lebih baik, maka tentulah ia yang lebih baik. Lantas, bagaimaa seandainya dunia seluruhnya, dari awal hingga akhirnya hanyalah merupakan satu nafas dari sekian banyak nafas di akhirat?!
Tidaklah dunia dibandingkan akhirat,, melainkan seperti salah satu dari kalian mencelupkan jarinyake dalam lautan. Hendaklah ia memperhatikan apa yang ia dapatkan (dari air yang menempel di jarinya). Mendahulukan dunia yag kontan atas akhirat yang kredit merupakan tipuan terbesar dan kebodohan terburuk. Jika hal tadi menjelaskan tentang perbandingan antara dunia secara keseluruhan dengan akhirat, maka bagaimana pula dengan perbandingan antara usia manusia dengan akhirat?!
Manakah yang lebih utama bagi orang yang berakal, mengedapankan yang segera untuk jangka waktu yang singkat dan terhalang dari kebaikan abadi di akhirat; ataukah meninggalkan sesuatu yang kecl, hina, dan akan sirna dalam waktu dekat untuk mengambil sesuatu yang tidak terkira nilainya, tidak ada bahayanya, tidak terbatas bilangannya, dan tidak ada limit waktunya? Mengenai perkataan lainnya: “Aku tidak akan mengganti perkara yang pasti dengan sesuatu yang meragukan”. Bisa jadi, Anda ragu terhadap janji baik dan ancaman Allh serta kebaikan Rasul-Nya atau Anda ingin meyakini kebenaran hal tersebut. Kalau meyakininya, berarti Anda meninnggalkan sebutir atom yang kontan, sirna, dan fana dalam waktu dekat dengan suatu perkara yang pasti dan sama sekali tdak diragukan lagi. Namun, jika Anda memang meragukannya, maka lihatlah kembali tanda-tanda kekuasaan Allah? Yang menunjukkan keberadaan, kekuasaan, kehendak, keesaan Dzat-Nya, serta kebenaran para Rasul-Nya terhadap apa yang mereka kabarkan tentang diri Allah.
Barang siapa yang menisbatkan Allah kepada selain dari hal-hal yang sudah disebutkan sebelumnya berarti ia telah mencela serta mendustakan-Nya, serta mengingkari rububiyyah dan kerajaan-Nya. Hal yang mustahil bagi orang yang mempuyai fitrah yang bersih untuk menyatakan bahwa Maha Raja hakiki itu lemah, bodoh, tidak mengetahui apapun, tidak melihat, tidak berbicara, tidak memberikan perintah, tidak melarang, tidak memberikan ganjaran, tidak menghukum, tidak memuliakan atau tidak merendahkan siapun yang dikehendaki-Nya, tidak mengutus para Rasul-Nya ke berbagai wilayah dari kerajaan-nya, serta tidak memperhatikan kondisi rakyat-Nya, bahkan membiarkan dan mengabaikan mereka begitu saja.
Allah subhanallahu ta’ala Berfirman,
لَّا يَأْكُلُه اِلَّا الْخٰطِـُٔوْنَ37 فَلَآ اُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَۙ 38 وَمَا لَا تُبْصِرُوْنَۙ 39 اِنَّه لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍۙ 40
Artinya: “Tidak ada yang memakannya kecuali orang-orang yang berdosa. Maka aku bersumpah demi apa yang kamu lihat, dan demi apa yang tdak kamu lihat. Sesungguhnya ia (Al-Quran) itu benar-benar wahyu (yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.”
Seandainya manusia memperhatikan proses kejadian awal, mulai dari setetes mani hingga menjadi manusia sempurna, maka jelaslah bahwa Dzat yang mengawasinya, mengubahnya dalam berbagai tahap kejadian, serta membentuknya dalam berbagai wujud tidaklah layak bagi-Nya untuk mengabaikan dan membiarkan manusia bwgitu saja. Tiada memberi perintah, melarang, mengenalkan hak-hakNya, memberi ganjaran, dan tidak menghukumnya. Sekiranya seorang hamba benar-benar memperhatikan secara seksama, tentu segala sesuatu yang dilihat maupun yang tidak dilihatnya akan menjadi dalil baginya tentang tauhid, kenabian, dan hari kebangkitan, serta bahwasanya Al-Quran merupakan firman Allah?.
Allah subhanallahu ta’ala juga berfirman,
وَفِي أَنْفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Artinya: “Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikannya?”
Ayat ini menunjukkan bahwa adanya manusia merupakan dalil (bukti) bagi diri sendiri akan keberadaan penciptaan-Nya, keesaan-Nya, kebenaran para Rasul-Nya, serta penetapan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Orang yang mengabaikan masalah ini telah tertipu dalam dua kemungkinan yang berbed. Bisa jadi ia membenarkan dan meyakininya atau dia mendustakan dan meragukannya.
Jika kelemahan ilmu ini berkumpul dengan ketidakhadirannya dalam hati pada sebagian besar waktu yang disebabkan oleh kesibukan pelakunya dengan hal yang berlawanan dengan ilmu tersebut, ditambah lagi dengan tuntutan karakter, jeratan hawa nafsu, kekuatan syahwat, terkecohnya jiwa, terperangkap tipu daya syaitan, kegundahan tentang lambatnya janji, panjangnya angan-angan, kealpaan, kecintaan terhadap dunia, mudah mewakilkan segala sesuatu dengan keinginan, dan kebiasaan buruk, maka tidak ada yang mampu menahan iman selain Dzat yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap. Hal inilah yang menjadikan manusia berbeda dalam tingkata amal dan iman, sementara tingkat terakhirnya adalah bagian terkecil dari sebutir atom iman yang asih tersisa di hati. Penyebab ini kembali kepada kelemahan bashirah (ilmu dan keyakinan) serta kesabaran. Oleh karena itu, Allah memuji orang-orang yang memiliki keyakinan dan kesabaran,, serta menjadikan mereka sebagai para imam dalam agama.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُون
Artinya: “Dan Kami jadikan di anatara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
Jika suatu hal terbukti bisa memotivasi, menganjurkan, dan menggiring seseorang untuk berbuat amal kebaikan atau amal shalih, maka inilah baik sangka yang benar. Sebaliknya, apabila hal tersebut menyeru seseorang untuk bersikap berani menjerumuskan diri ke dalam kemaksiatan, maka berarti itu adalah tipu daya. Baik sangka adalah harapan. Siap yang harapannya memberikan petunjuk untuk taat dan mencegahnya dari berbuat maksiat, maka inilah harapan yang benar. Sebaliknya, siapa saja yang keberaniannya bermaksiat merupakan harapan, hingga harapannya adalah sebuah kelalaian dan menjadi keberanian untuk bermaksiat, maka ia adalah orang yang terperdaya.
Padahal, Allah subhanallahu ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَٰئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Atinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yag mengharapkan rahmat Allah….”
Adapun orang-rang yang tertipu, mereka berkata: “Sungguh, orang-orang yang lalai, yang mengabaikan hak-hak Allah, dan yang bersikap durhaka kepada hamba-Nya, serta yang berani melakukan perkara yang diharamkan-Nya itulah yang sebenarnya lebih layak mengharapkan rahmat-Nya! Harapan dan dan baik sangka yang benar itu hanyalah terjadi dengan pelaksanaan sejumlah sebab yang dituntut oleh hikmah Allah dalam syariat, ketetapan, ganjaran, dan kemuliaan-Nya. Seorang hamba haruslah melaksanakan sebab-sebab itu terlebih dahulu, kemudian dia berusaha membaguskan persangkaan dirinya kepada Rabbnya.
Hamba itu berharap kepada-Nya agar tidak menjadikan dirinya bergantung pada sebab-sebab tadi, alih-alih memohon agar Dia menjadikan sebab-sebab itu sebagai sarana yang dapat memberikan manfaat kepadanya, serta sesuatu yang dapat menghindarkan dari dirinya segala perkara yang bertentangan dengannya dan yang dapat membatalkan dampak negatif yang mungkin timbul dari sebab-sebab tersebut.
Termasuk perkara yang seharusnya diketahui, yaitu jika seseorang mengharapkan sesuatu, maka ia harus memenuhi tiga syarat berikut:
- Rasa cinta terhadap apa yang diharapkan.
- Kekhawatiran tidak mendapat apa yang diharapkan.
- Usaha untuk memperoleh apa yang diharapkan sesuai dengan kemampuan.
Harapan yang tidak disertai dengan salah satu dari ketiga syarat ini hanyalah akan menjadi angan-angan. Harapan dan angan-angan adalah dua hal yang berbeda. Setiap orang yang berharap adalah orang yang khawatir. Andai kekhawatiran tersebut menimpa orang yang sedang berjalan, tntu ia akan mempercepat jalannya karena takut kehilangan sesuatu. Sebagaimana Allah? Memberikan harapan untuk orang-orang yang melakukan amal shalih, maka Dia juga menyertakan rasa takut bagi mereka. Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa rasa harap dan takut yang bermanfaat adalah rasa harap dan takut yang diiringi oleh amal shalih.
Allah subhanallahu ta’ala Berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ (57) وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ (58) وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ (59) وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (60) أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ (61)
Artinya: “Sungguh, orng-orang yang karena takut (azab) Rabbnya, mereka sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan) Rabbnya, dan mereka yang tidak mempersekutukan Rabbnya, dan mereka yang mmemberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu)bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabbnya, mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.”
Allah subhanallahu ta’ala Menyifati orang yang bahagia dengan perbuatan baik yang disertai dengan rasa takut, sedangkan Dia menyifati orang yang sengsara dengan perbuatan buruk yang disertai rasa aman. Siapa saja yang memperhatikan kondisi para Sahabat, niscaya ia akan mendapati mereka berada pada puncak amal disertai dengan puncak rasa takut. Adapun kita menggabungkan antara kurangnya amal, bahkan kelalaian dengan rasa aman.
Referensi:
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. 2018. Ad-Daa’ wa ad-Dawaa’ (Macam-macam Penyakit Hati yang Membahayakan dan Resep Pengobatannya. Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i.
Ditulis ulang oleh: Siska (Pengajar Ponpes Darul Quran Wal Hadits OKU Timur)
Baca juga artikel:
Leave a Reply