NASIHAT KHUSUS UNTUK SUAMI ISTRI DAN KETIKA SI BUAH HATI LAHIR
Segala puji hanyalah bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kami memuji Dia, meminta pertolonganNya dan memhon ampunan kepadaNya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal kami.Siapa yang Allah beri petunjuk maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah, tidak ada sekutu bagiNya dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba serta RasulNya.
- mendoakannnya
kemudian doakanlah si buah hati dengan kebaikan dan keberkahan. Misalnya doa”
بارك الله فيك
‘Semoga Allah memberikan keberkahan kepadanya.’
- memberikannya nama
yang berhak memberikan nama si bayi adalah ayahnya, sedangkan ibu tidak berhak menentangnya. Namun yang lebih afdal keduanya bermusyawarah dan sepakat terhadap sebuah nama. Jika keduanya berselisih, maka hak pemberian nama diserahkan kepada ayah.
Seorang ayah boleh memberi nama si buah hati pada saat baru dilahirkan atau boleh juga hari ke tujuh setelah kelahirannya.
Dari Abu Musa al-Asy’ari rhadiyallahuanha, ia menuturkan ; “Seorang anak terlahir untuk ku, lalu aku membawanya kepada nabi, maka beliau memberinya nama Ibrahim, kemudian beliau mentahniknya dengan sebutir kurma dan mendoakan keberkahab, lantas menyerahkannya kemabli kepadaku.
Sangat dianjurkan memberikan nama yang baik, indah dan dicintai oleh Allah bagi si buah hati. Demikianlah sebagaimana sabda Rasulullah:
“Sungguh nama kalian yang paling dicintai adalah Abdullah dan Abdurahman.” (Muttafaqun Alaih)
Termasuk nama yang dicintai Allah adalah nama para Nabi dan Rasul. Ini berdasarkan jawaban Nabi kepada sahabat tentang nama Harun sudara Maryam, padahal Maryam tidak sezaman dengan Nabi Harun dan Harun sudara Maryam itu bukanlah Nabi Harun.
- Beraqiqah Untuknya
pada hari ketujuh setelah kelahiran si buah hati, kedua orang tua dianjurkan untuk mengaqiqahi, mencukur rambut, dan memberikan nama kepadanya.
Dari Samurah bin Jundub, bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
Artinya: “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dishahihkan al-Albani).
Ulama berbeda pendapat tentang makna kalimat ‘Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya’.
Berikut rincian perbedaan keterangan ulama tentang makna hadis,
Pendapat Pertama, syafaat yang diberikan anak kepada orang tua tergadaikan dengan aqiqahnya. Artinya, jika anak tersebut meninggal sebelum baligh dan belum diaqiqahi maka orang tua tidak mendapatkan syafaat anaknya di hari kiamat.
Pendapat ini diriwayatkan dari Atha al-Khurasani – ulama tabi’in – dan Imam Ahmad. Al-Khithabi menyebutkan keterangan Imam Ahmad:
قال أحمد : هذا في الشفاعة يريد أنه إن لم يعق عنه فمات طفلاً لم يُشفع في والديه
Terjemahannya: “Menurut Imam Ahmad, hadis ini berbicara mengenai syafaat. Yang beliau maksudkan, bahwa ketika anak tidak diaqiqahi, kemudian dia meninggal masih bayi, tidak bisa memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya. (Ma’alim as-Sunan, 4/285)
Semetara keterangan dari Atha’ al-Khurasani diriwayatkan al-Baihaqi dari jalur Yahya bin Hamzah, bahwa beliau pernah bertanya kepada Atha’, tentang makna ‘Anak tergadaikan dengan aqiqahnya.’ Jawab Atha’,
يحرم شفاعة ولده
Artinya:
“Dia (ortu) tidak bisa mendapatkan syafaat anaknya.” (Sunan al-Kubro, al-Baihaqi, 9/299)
Pendapat Kedua, keselamatan anak dari setiap bahaya itu tergadaikan dengan aqiqahnya. Jika diberi aqiqah maka diharapkan anak akan mendapatkan keselamatan dari mara bahaya kehidupan. Atau orang tua tidak bisa secara sempurna mendapatkan kenikmatan dari keberadaan anaknya.
Ini merupakan keterangan Mula Ali Qori (ulama madzhab hanafi), beliau mengatakan:
مرهون بعقيقته يعني أنه محبوس سلامته عن الآفات بها أو أنه كالشيء المرهون لا يتم الاستمتاع به دون أن يقابل بها لأنه نعمة من الله على والديه فلا بد لهما من الشكر عليه
Terjemahannya:
“Tergadaikan dengan aqiqahnya, artinya jaminan keselamatan untuknya dari segala bahaya, tertahan dengan aqiqahnya. Atau si anak seperti sesuatu yang tergadai, tidak bisa dinikmati secara sempurna, tanpa ditebus dengan aqiqah. Karena anak merupakan nikmat dari Allah bagi orang tuanya, sehingga keduanya harus bersyukur. (Mirqah al-Mafatih, 12/412)
Pendapat Ketiga, Allah jadikan aqiqah bagi bayi sebagai sarana untuk membebaskan bayi dari kekangan setan. Karena setiap bayi yang lahir akan diikuti setan dan dihalangi untuk melakukan usaha kebaikan bagi akhiratnya. Dengannya, aqiqah menjadi sebab yang membebaskan bayi dari kekangan setan dan bala tentaranya. Ini merupakan pendapat Ibnul Qoyim. Beliau juga membantah pendapat yang mengatakan bahwa aqiqah menjadi syarat adanya syafaat anak bagi orang tuanya. Beliau mengatakan, Status seseorang sebagai orang tua bagi si anak, bukan sebab dia mendapatkan syafaat. Demikian pula hubungan kerabat dan keluarga (tidak bisa saling memberi syafaat).
Allah Ta’ala telah menegaskan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا
Artinya:
“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” (QS. Luqman: 33)
Diwajibkan membaca Bismillah ketika menyembelih kambing aqiqah. Berdasarkan Firman Allah Subhanahu Wata’ala:
وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّه لَفِسْقٌۗ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰى اَوْلِيَاۤئِهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْ ۚوَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ
Artinya: “Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik. (QS. al-An’am:121)
Tidak boleh mlelumuri kepala bayi dengan darah yang keluar fari kambing aqiqah. Perbuatan ini termasuk amalan bid’ah serta perbuatan kaum Jahiliyah.
Boleh memotong atau mematahkan tulang kambing sembelihan aqiqah, sebagaimana yang lainnya. Orang tua yamh beraqiqah noleh memakan dagingnya, bersedekah, memberi makan orang lain, atau menghadiahkan sembelihan itu kepada kaum muslimin.
Boleh membagikan daging yang belum dimasak, tetapi yang lebih afdal adalah yang dimasak terlebih dahulu.
Bagi orang dewasa yang belum diaqiqahi pada waktu bayinya, maka tidak ada tuntunan dari syara’ (syariat) untuk mengaqiqahi diri sendiri. Pertanyaan ini karena hadits yang berkenaan dengan hal tersebut dha’if. Wallahu a’alam.
- mencukur rambut pada hari ketujuh dan bersedekah
disunnahkan mencukur rambut secara merata, yaitu gundul (diotak), lantas bersedekah senilai dengan perak seberat rambutnya.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الحسن بشاة، وقال: يا فاطمة احلقي رأسه وتصدقي بزنة شعره فضة
Artinya: ‘Cukur rambutnya, dan bersedekahlah dengan perak seberat rambut itu.’ Fatimah pun menimbang rambut itu, dan ternyata beratnya sekitar satu dirham atau kurang dari satu dirham. (HR. Turmudzi 1519, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanaf 24234, dishahihkan al-Hakim dalam Mustadrak 7589 dan didiamkan azd-Dzahabi).
- mengkhitaninya
khitan adalah memotong kulit yang menutupi kepala dzakar laki-laki dan memotong kulit yang menyerupai jegger ayam di atas farji (klistoris) perempuan.
Selain sepuluh kategori fitrah, Abu Hurairah juga meriwayatkan hadis dari Rasulullah yang menyatakan: “Fitrah itu ada lima: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukkan bahwa fitrah kemanusiaan sejatinya merupakan kecenderungan alami yang bermaslahat dan penting dijadikan sebagai kebiasaan positif. Selain bermanfaat bagi manusia itu sendiri, mengamalkan kebiasaan positif tersebut termasuk meneladani Nabi, sehingga bernilai pahala, apabila dilakukan dengan ikhlas dan dengan spirit mencintai beliau.
REFERENSI:
Diringkas dari buku : Panduan Keluarga Sakinah, Agustus 2017. Yazid bin Qadir Jawas.dkk.
Ditulis oleh: M. Furqon (PegawaiPondok Pesantren Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).
Baca juga artikel:
Leave a Reply