Kewajiban berusaha untuk meraih kebaikan dunia
Bertawakkal kepada Alloh bukan berarti menyerahkan segala sesuatunya kepada Alloh tanpa di dahului dengan usaha. Dalam kehidupan di dunia ini seseorang tertuntut untuk mengerahkan daya dan upayanya dalam rangka meraih apa yang ia inginkan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup di dunia ia harus bekerja keras hingga Alloh mencurahkan rejeki kepadanya. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda yang diriwayatkan dari Umar bin Khoththob :
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ ، تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya kalian bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Alloh akan memberikan rejeki kepada kalian sebagaimana Alloh memberikan rejeki kepada burung yang terbang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” [1]
Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam mengumpamakan dengan burung yang terbang pergi mencari makan dan rejeki. Beliau tidak mengumpamakan dengan orang yang tinggal di rumahnya bersantai ria, dan menggantungkan tangan tanpa ada usaha dan kerja. Bertawakal adalah menyerahkan perkara kepada Alloh tanpa melihat sebab-sebabnya. Bertawakal bukan berarti meninggalkan untuk melakukan sebab (diperolehnya sesuatu) dan bukan bersandar kepada apa yang datang dari makhluk, karena hal tersebut ada kalanya menyeret kepada lawan tujuan orang bertawakal.[2]
Imam Ahmad pernah ditanya mengenai seseorang yang berdiam diri di rumahnya atau di masjid (tidak bekerja) dan berkata: “Aku tidak akan bekerja hingga datang kepadaku rejekiku.” Maka beliau mengatakan: “Orang ini tidak faham ilmu. Nabi n pernah bersabda: “Sesungguhnya Alloh menjadikan rejekiku di bawah naungan tombak.”[3] Dan beliau bersabda: “Seandainya bertawakal kepada Alloh dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Alloh memberikan rejeki kepada kalian sebagaimana Alloh memberikan rejeki kepada burung yang terbang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang.” [4]’ [5]
Bagaimana seseorang berpangku tangan sementara Alloh telah memerintahkan agar kita melakukan perjalanan mencari rejeki dan melakukan usaha. Alloh berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rejeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS.Al-Mulk: 15)
Artinya: Pergilah ke segala penjuru yang kalian inginkan dan lakukan perjalanan pulang-pergi di berbagai daerah di bumi dan penjuru-penjurunya dalam rangka mencari nafkah serta berniaga. [6]
Alloh tidak melarang untuk melakukan aktivitas mencari sebagian harta dunia, namun yang demikian ini disyaratkan agar tidak menyibukkan dan melalaikan dari berdzikir kepada Alloh serta menunaikan kewajiban beribadah kepada-Nya. Sebuah contoh yang sederhana, ketika terdengar adzan pada Hari Jum’at maka kewajiban kaum muslimin agar memenuhi seruan adzan tersebut.
Alloh memerintahkan para hamba-Nya yang beriman agar menghadiri Sholat Jum’at dan bersegera menuju kepadanya tatkala dikumandangkan adzan. Yang dimaksudkan dengan bersegera di sini adalah bersegera menuju sholat dan perhatian dengannya serta menjadikan sholat tersebut kesibukan yang paling penting, bukan dengan terburu-buru yang dilarang ketika menuju sholat. Dan Alloh memerintahkan agar meninggalkan jual-beli apabila telah dikumandangkan seruan melaksanakan sholat.
Kemudian setelah selesai melaksanakan Sholat Jum`at, kaum muslimin diperintahkan agar bertebaran di muka bumi dalam rangka mencari nafkah serta berniaga dengan tetap selalu ingat dan berdzikir kepada Alloh. Alloh berfirman:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu`ah: 10).
Keindahan dunia adalah harapan manusia
Tidak diragukan, bahwa kemewahan dan keindahan dunia adalah perkara yang disukai oleh manusia. Kekayaan adalah perkara yang didambakan oleh setiap ingsan. Alloh telah menegaskan kecintaan manusia kepada harta benda dunia, sebagaimana firman-Nya:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imron: 14)
Syaikh Abdurrohman bin Nashir As-Sa`di mengatakan: “Alloh ta`ala mengabarkan bahwasanya telah dijadikan bagi manusia kecintaan kepada syahwat duniawi, dan Alloh mengkhususkan penyebutan perkara-perkara tersebut karena semua itu adalah syahwat dunia yang paling besar, sementara perkara-perkara yang lain mengikutinya. Alloh berfirman:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi: 7).
Tatkala perkara-perkara tersebut (yang disebutkan di dalam ayat) dengan segala yang ada padanya dari berbagai pendorong (untuk meraihnya) dijadikan indah di pandangan mata manusia, maka jiwa dan hati mereka bergantung dan cenderung kepadanya sehingga mereka terbagi menjadi dua kelompok:
Kelompok pertama: menjadikan perkara-perkara (dunia) tersebut sebagai tujuan, sehingga pikiran serta amal perbuatan mereka yang zhohir serta batin adalah demi mendapatkan perkara-perkara tersebut. Sehingga semua itu menyibukkan dan melalaikan mereka dari (memikirkan) tujuan mereka diciptakan, dan mereka pun senantiasa bersama perkara dunia itu sepertihalnya binatang ternak. Mereka menikmati kelezatan-kelezatannya dan merasakan berbagai syahwatnya, tidak mereka pedulikan dari mana mereka memperolehnya dan di mana mereka membelanjakannya. Maka perkara-perkara (dunia) tersebut menjadi bekal mereka menuju kampung penuh kesengsaraan, kesusahan serta adzab.
Kelompok yang kedua: Mereka mengetahui tujuan perkara-perkara (dunia) tersebut dan mengetahui bahwa Alloh menciptakannya sebagai ujian bagi para hamba-Nya agar diketahui siapakah yang mendahulukan ketaatan kepada-Nya serta keridhoan-Nya atas segala kelezatan serta hawa nafsunya. Maka mereka menjadikan perkara-perkara duniawi tersebut sebagai sarana dan jalan membekali diri untuk akhirat, dan mereka pun menikmatinya dalam rangka untuk membantunya memperoleh keridhoan-Nya. Mereka tidak meninggalkan perkara-perkara tersebut dengan badan-badan mereka namun meninggalkannya dengan hati mereka.” [7]
Memohon kebaikan dunia adalah perkara yang tidak terlarang
Bukan perkara yang tercela ketika seseorang mengharapkan agar diberikan kenikmatan dunia dan kemudahan dalam segala urusan. Akan tetapi yang tercela adalah ketika seseorang menjadikan dunia adalah satu-satunya tujuan, satu-satunya harapan dan perkara terpenting dalam hidup. Jikalau ia berdoa, maka yang ia minta adalah kenyamanan hidup di dunia semata. Alloh berfirman:
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Maka di antara manusia ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat, Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.“ (QS. Al-Baqoroh: 200-201).
Syaikh Abdurrohman bin Nashir As-Sa`di ketika membicarakan ayat di atas mengatakan: “(Diantara manusia tersebut) ada yang memohon kepada Alloh berbagai tuntutan dunia yang ia inginkan, sementara ia tidak mendapatkan bagian di akhirat nanti. Karena ia tidak menginginkan akhirat, dan kepentingannya hanya terbatas pada dunia. Diantara mereka ada orang yang berdoa kepada Alloh demi kemaslahatan kampung dunia dan akhirat dan ia merasa butuh kepada berbagai kepentingan agama (akhirat) dan dunia. Masing-masing (dari kedua jenis manusia tersebut) akan mendapatkan bagiannya sesuai dengan usaha dan amalnya.” [8]
Lebih lanjut beliau mengatakan: “Dan kebaikan yang diminta di dunia termasuk padanya segala apa yang baik bagi hamba yang bisa berupa rejeki yang baik lagi luas dan halal, isteri sholihah, anak yang menjadi penyejuk mata, kenyamanan hidup, ilmu yang bermanfaat, amal sholih dan lain sebagainya dari perkara-perkara yang disukai lagi halal. Sementara kebaikan akhirat adalah keselamatan dari berbagai siksaan di kubur, mahsyar, dan di neraka. Serta memperoleh keridhoan Alloh, kemenangan meraih kenikmatan yang abadi, dan dekat dengan Alloh Tuhan yang Maha Pengasih. Sehingga doa ini merupakan doa yang paling menyeluruh dan paling sempurna serta paling layak untuk didahulukan. Oleh karenanya Nabi n memperbanyak membaca doa ini serta menganjurkan untuk membacanya.”
Dunia adalah ujian bagi manusia
Diantara ujian yang Alloh berikan kepada para hamba-Nya adalah dijadikannya dunia ini indah menawan, dan dikuasakannya bumi itu bagi mereka. Abu Sa`id Al-Khudri telah meriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bahwa beliau bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا، وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بْنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguhnya dunia itu manis (nikmat) dan hijau (indah). Dan sesungguhnya Alloh akan menjadikan kalian kholifah padanya. Lalu Alloh akan melihat apa yang hendak kalian lakukan. Maka berhati-hatilah terhadap dunia dan berhati-hatilah terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah pertama yang terjadi pada Bani Israil adalah dalam perkara wanita.” [9]
Tidak dibenarkan seseorang mementingkan dunia dan mengabaikan akhirat, sebagai tidak dibenarkan pula seseorang melupakan dunia sama sekali dan tidak mengambil perbekalan darinya demi menggapai kebahagiaan di akhirat. Alloh berfirman:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qoshosh: 77)
Alloh memerintahkan agar kita berlaku baik sebagaimana Alloh telah menganugerahkan berbagai kenikmatan kepada kita. Kebaikan yang diperintahkan bersifat umum, kebaikan dengan menunaikan hak-hak Alloh ataupun kebaikan yang berhubungan dengan sesama manusia, dengan menyumbangkan sebagian harta kita, dan menginfakkan serta mensedekahkan kepada orang-orang yang membutuhkan pertolongan ataupun dalam berbagai kebaikan di jalan Alloh.
Harta tidak berkurang lantaran disedekahkan karena Alloh
Sesungguhnya harta yang dikeluarkan seseorang di jalan Alloh tidaklah akan mengurangi sedikitpun harta tersebut melainkan Alloh akan menggantinya dengan keberkahan serta pahala. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ, وَمَا زَادَ اَللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا, وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ
“Tidaklah sedekah mengurangi harta, dan tidaklah Alloh menambahkan bagi seorang hamba karena memberikan maaf melainkan kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendah diri karena Alloh melainkan Alloh akan mengangkat derajatnya.” [10]
Seorang yang memiliki kelebihan harta tidak selayaknya untuk menyimpan hartanya untuk diri sendiri, melainkan hendaknya ia perhatian kepada orang yang membutuhkan uluran tangan. Karena yang demikian itulah yang akan mendatangkan keberkahan dalam hartanya. Sebaliknya menahan diri dari bersedekah tidak lain adalah sebab hilangnya berkah dalam diri dan hartanya. Alloh memiliki Malaikat yang senantiasa mendoakan bagi orang-orang yang bersedekah mauapun orang yang menahan hartanya. Dalam hadits riwayat Abu Huroiroh , Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَاد فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانَ يَنْزِلاَنِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا؛ وَيَقُولُ الآخَرُ: اللَّهُمَّ أعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Tiada suatu hari melainkan melainkan pagi harinya terdapat dua malaikat yang turun dan salah satunya berkata: “Ya Alloh berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Sementara yang lain berkata: “Ya Alloh, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan (hartanya).” (HR. Bukhori)
Marilah kita melakukan usaha untuk meraih dunia ini namun tidak melupakan akhirat hingga kita bisa menggapai surga. Betapa kondisi yang demikian itu adalah harapan setiap manusia. Namun yang perlu kita ketahui bahwa kita hendaknya senantiasa dalam keadaan waspada dan berhati-hati, jangan sampai kenikmatan yang kita peroleh di dunia ini menenggelamkan kita dalam mengejar dunia dan berlomba-lomba untuk meraihnya tanpa terbetik sedikitpun keinginan untuk melakukan usaha menggapai surga.
Sungguh, tidaklah Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam mengkhawatirkan kefakiran bagi umat ini, melainkan yang beliau khawatirkan adalah tenggelamnya manusia di dalam dunia tatkala dunia tersebut telah berada dalam genggamannya. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
فَوَ اللهِ مَا الْفقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ، وَلَكِنِّي أَخْشَي أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا وتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ
“Bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan atas kalian, akan tetapi aku khawatirkan dibentangkannya dunia bagi kalian sebagaimana dibentangkannya dunia bagi orang-orang sebelum kalian, lalu kalian berlomba-lomba untuk meraihnya sebagaimana mereka berlomba-lomba untuk meraihnya sehingga dunia menghancurkan kalian sebagaimana dunia telah menghancurkan mereka.” (HR. Bukhori, Muslim dan Tirmidzi).
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 03 Tahun 02
[1] (HR. Ibnu Majah (4164), Ahmad dalam Musnadnya (438), Tirmidzi (2344) dan dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohih Al-Jâmi` no. 5254.
[2] Badruddin Al`aini Al-Hanafi, `Umdatul Qôri Syarh Shohihul Bukhori, juz: 33; hal 248.
[3]Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al-Mughiroh Al-Bukhori; Al-Jâmi`ul Musnad Ash-Shohîh Al-Mukhtar bin Umûri Rosûlillâhil n wa Sunanihi wa Ayyâmihi,juz: 4; hal. 40.
[4] (HR. Ibnu Majah (4164), Ahmad dalam Musnadnya (438), Tirmidzi (2344) dan dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohih Al-Jâmi` no. 5254.
[5] `Umdatul Qôri Syarh Shohihul Bukhori, juz: 33; hal 248.
[6] Tafsir Ibnu Katsir (8/ 179).
[7] Taisîr Karîmirrohmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (1/ 123).
[8] Taisîr Karîmirrohmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân (1/92)
[9] HR. Muslim, (8/ 89) no. 2742.
[10] Al-Muwaththo’ no. 1817, Muslim no. 2588, Shohih Ibnu Khuzaimah no. 2438 .
Leave a Reply