Mengurai Syubhat Bunga Pinjaman

mengurai syubhat bunga pinjaman

Mengurai Syubhat Bunga Pinjaman – Segala puji kita panjatkan kepada Allah, yang hanya kepada-Nya kita menyembah dan hanya kepada-Nya kita meminta pertolongan. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad, keluarga dan segenap sahabatnya, aamiin.

Keharaman riba termasuk ma’lum minad din bid dharurah (sesuatu dari agama ini yang diketahui secara mendasar). Hal itu dikarenakan jelas dan gamblangnya dalil-dalil yang berbicara tentang keharamannya. Riba diharamkan bukan hanya dalam syariat nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melainkan juga syariat nabi-nabi terdahulu. Bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak pernah menghalalkan dalam satu syariat pun dari syariat nabi-nabi terdahulu.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ

Artinya: “Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka memakan makanan yang baik-baik yang dahulunya dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah dari disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya.” (QS. an-Nisa’ [4] : 160-161)

Bahkan riba adalah kemaksiatan yang diancam dengan ancaman sangat keras, yaitu “peperangan dari Allah dan rasulnya.” Dan tidak ada satupun kemaksiatan yang diancam oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Al-Quran dengan peperangan kecuali riba.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهۚ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut, jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu mengerjakan atau meninggalkan sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu.” (QS. Al-Baqarah [2] : 278-279)

Pada zaman ini, praktik pemungutan riba yang paling besar dan paling terorganisir adalah yang dilakukan oleh bank-bank konvensional melalui bunga pinjaman. Tidak diragukan bahwa bunga pinjaman diterapkan oleh bank adalah bentuk perwujudan dari riba sebagaimana hal ini telah difatwakan oleh lembaga-lembaga fatwa baik yang bertaraf internasional maupun nasional. Sebab bunga bank adalah sebuah tambahan yang muncul dari akad pinjaman, sedangkan kaidah fiqih mengatakan:

كلّ قرضٍ جرّ نفعا حرام

 “Setiap peminjaman yang mendatangkan kemanfaatan maka hukumnya haram.”

Namun walau sudah jelas seperti itu tetap saja ada orang-orang yang berupaya untuk melegalkannya dengan dalil-dalil agama. Berikut ini adalah sejumlah argumen yang biasanya digunakan oleh orang-orang atau pihak-pihak yang ingin berusaha melegalkan riba.

Syubhat pertama:

Riba yang diharamkan adalah riba yang berat yaitu pinjaman dengan bunga tinggi, adapun bunga yang ringan maka tidaklah haram karena Allah menyebutkan pengharaman riba dalam Al-Quran dengan syarat dan ketentuan berlipat ganda, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً ۖ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.” (QS. Ali-Imran [3] : 130)

Jawaban : Kiranya syubhat di atas bisa dijawab dengan beberapa jawaban berikut ini :

Riba yang diharamkan adalah semua riba baik ringan atau berat, bersifat ganda atau  tidak. Dan firman Allah: أضعاف مضاعفة (berlipat ganda) bukanlah syarat dan ketentuan bagi keharaman riba. Disebutkannya kalimat berlipat ganda adalah untuk menggambarkan betapa buruknya pemungutan riba yang mereka terapkan, dan juga untuk menggambarkan kondisi kebanyakan manusia yang ada pada waktu turunnya ayat ini. Pada saat turunnya ayat ini, manusia memungut riba dengan berlipat ganda. Ini mirip dengan ucapan seseorang : “Anak kecil dilarang makan pasir”; ucapan tersebut tentunya tidak berarti bahwa orang dewasa boleh makan pasir, sebab ucapan tersebut adalah ucapan yang berisi penggambaran kondisi yang ada, yaitu kebanyakan yang makan pasir adalah anak kecil. Atau mirip dengan ucapan seseorang: “Saya minum es yang dingin”, ucapan tersebut tentunya sama sekali tidak menunjukkan bahwa ada es yang panas, tetapi untuk menegaskan kenyataan yang ada yaitu es yang diminum benar-benar dingin. Dan gaya bahasa semacam ini banyak terdapat dalam Al-Quran. Contohnya firman firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut ini :

وَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا

Artinya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, jika mereka menginginkan kesucian.” (QS. an-Nur [24] : 33)

Ayat ini tidak menunjukkan bahwa kita boleh memaksa budak untuk melacur jika mereka tidak menginginkan kesucian diri. Akan tetapi, ayat di atas ingin menggambarkan kondisi yang ada pada saat turunnya ayat itu dan untuk menegaskan buruknya perbuatan itu.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman :

يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewariskan wanita yang jalan paksa.” (QS. an-Nisa[4]: 19)

  1. Allah subhanallahu wa ta’ala berfirman :

وَاِن تُبتُم فَلَـكُم رُءُوسُ اَموَالِكُمۡۚ لَا تَظلِمُونَ وَلَا تُظلَمُونَ

Artinya: “Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba maka bagimu pokok hartamu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 279)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan bagi orang yang bertaubat dari riba agar mengambil harta pokoknya saja tidak lebih dari itu sepeser pun. Ini menunjukkan secara jelas bahwa setiap yang melebihi harta pokok dari bunga pinjaman hukumnya haram baik sedikit maupun banyak.

  1. Tatkala Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menghapus riba pamannya, yaitu Abbas bin Abdul Muththalib Radhiyallahu ‘Anhu, beliau menghapus secara keseluruhan tanpa mengecualikan satu dirham pun. Beliau bersabda dan riba jahiliyah musnah dan riba yang pertama kali aku musnahkan dari riba kita adalah riba Abbas bin Abdul Muththalib sesungguhnya riba tersebut musnah secara keseluruhan.
  2. Para ulama sejak zaman dahulu telah berijma atau sepakat tentang haramnya riba sedikit ataupun banyak. Maka pendapat bahwa riba yang haram hanyalah riba yang banyak atau berlipat ganda adalah ucapan yang menyelisi ijma ulama umat.

Syubhat kedua:

Riba yang diharamkan adalah riba yang diberlakukan pada peminjam dana untuk keperluan konsumsi. Adapun bunga yang ditetapkan bagi pelaku usaha maka tidak haram sebab orang yang meminjam dana untuk tujuan usaha produksi umumnya akan memperoleh laba dari kegiatan produksinya sehingga tidak berat baginya untuk membayar bunga.

Jawaban:

Syubhat ini dibangun di atas anggapan bahwa riba itu diharamkan karena ada unsur memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan orang lain dan unsur tersebut hanya terdapat pada kasus peminjaman dana untuk keperluan konsumsi. Adapun peminjaman untuk keperluan produksi maka tidak ada unsur yang dimaksud dan ini adalah anggapan yang keliru yang benar adalah bahwa alasan diharamkannya riba adalah semata-mata adanya tambahan.

Syubhat ketiga:

Riba diperbolehkan karena bunga yang dibayar oleh pihak peminjam hanya sebagai imbalan atau ganti rugi akibat penyusutnya nilai mata uang inflasi. Ketika seorang berhutang sepuluh juta dan dia akan melunasinya satu tahun kemudian dengan sepuluh juta juga maka nilai sepuluh juta. Pada saat pelunasan sudah menyusut maka perlu ada bunga untuk ganti rugi penyusutan nilai mata uang ini.

Jawaban:

Kiranya syubhat di atas bisa dijawab dengan beberapa jawaban berikut ini:

  1. Anggapan bahwa bunga yang dibayar oleh pihak peminjam hanya sebagai imbalan atau ganti rugi atas penyusunnya nilai mata uang atau inflasi adalah klaim yang tidak benar. Yang benar adalah bunga itu ditetapkan sebagai upaya untuk meraup laba atau keuntungan. Buktinya, besarnya suku bunga yang ditetapkan bank tidak berubah-ubah sesuai dengan persentase naik turunnya nilai mata uang. Disamping itu, kalau seandainya tujuan bank menetapkan bunga sekedar sebagai ganti rugi atas merosotnya nilai mata uang maka tidak akan ada bank yang berdiri sama sekali sebab merupakan suatu yang dimaklumi bersama bahwa bank adalah sebuah lembaga yang didirikan untuk mencari laba. Kalau tujuan bank menarik bunga hanya sebagai ganti rugi atau merosotnya nilai mata uang, berarti dia tidak akan mendapatkan laba apa-apa.
  2. Sesungguhnya sebab utama merosotnya nilai mata uang adalah riba itu sendiri. Sebab, para produsen yang mendapat modal dari pinjaman berbunga pasti akan menambahkan bunga yang akan ia bayarkan kepada bank ke dalam harga barang produksinya semakin besar suku bunga semakin mahal pula harga-harga barang di pasar sehingga merosotlah nilai mata uang. Bagaimana jika mau mengobati penyakit dengan suatu yang justru menjadi penyebab utama penyakit tersebut ??
  3. Kalau seandainya terjadi hal yang sebaliknya yaitu menguatkan nilai mata uang, maka maukah bank yang memberi pinjaman sepuluh juta menerima pelunasan sembilan juta ? Karena sembilan juta pada waktu pelunasan nilainya sama dengan sepuluh juta pada waktu peminjaman ? Tentu tidak akan mau.

Syubhat keempat:

Pinjaman berbunga dilakukan oleh kedua belah pihak dengan keridhaan atau kerelaan dan suka sama suka.

Jawaban: Keridhaan dua belah pihak yang dilakukan transaksi haram tidak akan mengubah keharaman transaksi tersebut. Sebagai contoh, apabila dua pihak sama-sama ridha dan sepakat untuk melakukan perbuatan zina maka zina tetap tidak bergeser dari hukum aslinya yaitu haram.

Syubhat kelima:

Sesungguhnya bermuamalah dengan riba adalah darurat akan mendesak pada zaman ini karena seandainya riba dicegah maka akan tutuplah bank-bank yang ada. Padahal perekonomian negara berdiri di atas bank-bank tersebut. Dan dalam kondisi darurat semacam ini maka perkara yang haram bisa berubah menjadi hal-hal.

Jawaban: Dalam kajian fikih, kondisi darurat yang menyebabkan perkara haram bisa menjadi halal adalah sebuah kondisi melesat atau genting yang dengannya seorang khawatir akan muncul bahaya menimpa jiwanya, atau anggota tubuhnya, atau kehormatannya, atau akalnya, atau hartanya. Itulah darurat yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan darurat atau terpaksa karena kelaparan tanpa menyengaja berbuat dosa Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. al-Maidah [5]: 3)

Demikianlah syubhat-syubhat dan jawabannya yang bisa saya ringkas. Semoga bermanfaat dan menambah kemantapan kita dalam memegangi syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aamiin.

Referensi:

Majalah Al-Furqan 168 Edisi 9 tahun ke 15, Ditulis oleh   : Ustadz Hafidz Mustofa Abu Najah Hafidhahullahu

Diringkas oleh: Dinda Oktarinna (Pengabdian/Guru tahfidz Masjid Ustman bin Affan Terukis)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.