Mengkritisi Sejarah Perayaan Maulid Nabi
Sesungguhnya kelahiran Nabi ke dunia ini merupakan nikmat yang sangat agung. Bagaimana tidak, dengan kelahiran beliau berarti lahirlah seorang Nabi yang penuh kasih dan berjasa besar dalam mengeluarkan manusia dari kegelapan ke- bodohan masa jahiliah menuju Islam yang keindah- an cahayanya dapat kita rasakan hingga detik ini.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
Artinya: “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang- orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rosul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mem- bersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada me- reka al-Kitab dan al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebe- lum (kedatangan nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imron [3]: 164)
Oleh karena itu, umat ini hendaknya banyak bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas kelahiran nabi yang mulia tersebut. Namun demikian bukan berarti kita berlebihan dalam memperlakukan hari kelahirannya tersebut, atau membuat dongeng- dongeng serta keyakinan-keyakinan yang tidak berdasar, dan juga membuat ritual-ritual ibadah yang tidak ada bimbingan agama, karena hal itu bukanlah termasuk ungkapan syukur yang dimaksud dalam agama.
“Berbagai keyakinan yang berlebihan mewarnai hari kelahiran Nabi sebagian berkeyakinan bahwa malam kelahiran Nabi adalah malam yang paling utama, bahkan lebih utama dari malam lailatul qodr.”[1]
Sebagian mereka berkeyakinan pula bahwa hari itu sangat penuh berkah, sampai bila suatu makanan dibacakan padanya maulid nabi maka Allah akan mengampuni orang yang memakannya, dan air yang dibacakan maulid akan mendatangkan seribu cahaya dan rahmat serta mengeluarkan seribu kegelapan !! Sebagian lagi berkeyakinan bahwa rumah yang dibacakan maulid di dalamnya maka akan tercegah dari marabahaya, bila meninggal dunia maka Allah akan memudahkannya untuk menjawab pertanyaan Munkar Nakir !!”[2]
Lebih parahnya, mereka menyebarkan beberapa hadits palsu tentang anjuran dan keutamaan perayaan maulid Nabi Muhammad. Berikut ini pembahasan hadits yang tersohor tersebut ditinjau dari segi sanad dan matannya.
TEKS HADITS
مَنْ أَقَامَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِي مَوْلِدِيْ فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جَبَلاً مِنَ الدَّ هَبِ فِي سَبِيلِ اللهِ
Artinya: “Barangsiapa yang merayakan hari kelahiranku, maka aku akan menjadi pemberi syafaatnya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang menginfakkan satu dirham untuk maulidku maka seakan-akan dia telah menginfakkan satu gunung emas di jalan Allah.”
Perkataan serupa juga dinisbatkan kepada sahabat Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Tholib rhadhiallahu’anhum sebagaimana dalam kitab Madarij ash-Shu’udh hlm. 15 karya Syaikh Nawawi Al-Bantany[3]. Bahkan juga dinisbatkan kepada Hasan al-Bashri, Ma’ruf al- Karkhi, al-Junaid, dan lainnya sebagaimana dalam Hasyiyah I’anah Tholibin: 3/571-572 karya Abu Bakr Syatho.
TIDAK ADA ASALNYA. Sejak awal kali mendengar ucapan yang dianggap hadits ini, hati penulis langsung mengingkarinya karena bagaimana mungkin hadits ini shohih, sedangkan maulid tidak pernah dicontohkan oleh Rasululloh dan para sahabatnya ?!!
Akan tetapi penulis ingin memperkuat pendapatnya dengan perkataan ulama, maka penulis pun membolak-balik kitab-kitab hadits, namun tidak menjumpainya barang satu pun, baik dalam kitab- kitab hadits yang sholih, dho’if, maupun maudhu’ (palsu). Alhamdulillah, penulis sempat menanyakan kepada Syaikhuna Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman rahimahullah[4] Jawaban beliau:
هَذاَ كَذِبٌ عَلَى رسُولِ اللهِ اِخْتَلَقَهُ الْمُبْتَدِعَة
“Ini merupakan kedustaan kepada Rosululloh yang hanya dibuat-buat oleh para ahlu bid’ah.”
Kepada saudara-saudara kami yang berhujjah dengan hadits ini, kami katakan: “Dengan tidak mengurangi penghormatan kami, datangkan ke- pada kami sanad hadits ini agar kami mengetahuinya !!” Singkat kata, hadits tersebut di atas adalah dusta, tidak berekor dan berkepala (yakni: tanpa sanad). Aneh dan lucunya, setelah itu ada seseorang yang melariskan hadits tersebut dengan berkata: “Walaupun hadits ini lemah, tetapi bisa dipakai dalam Fadhoilul A’mal.” Hanya kepada Allah kita mengadu dari kejahilan manusia di akhir zaman !![5]
SEJARAH PERAYAAN MAULID NABI
Adapun dari segi matan hadits, bagaimana hadits ini shohih padahal perayaan maulid nabi tidak lah dikenal pada zaman Nabi , para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Bahkan hal tersebut juga tidak dikenal di kalangan Imam-imam mazhab: Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan Syafi’i sekalipun, karena memang perayaan ini adalah perkara baru dalam agama. Adapun orang yang pertama kali mengadakannya adalah Bani Ubaid al-Qoddakh yang menamai diri mereka dengan “Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 H. Berakar dari sinilah kemudian mulai tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk perayaan maulid secara umum dan maulid nabi secara khusus.
Al-Imam Ahmad bin Ali al-Maqrizi rahimahullah, seorang ulama ahli sejarah mengatakan: “Para kholifah Fathimiyyun[6] mempunyai perayaan yang bermacam-macam setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan Asyura’, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib, maulid Hasan, maulid Husain, maulid Fathimah az-Zahro dan maulid kholifah, perayaan awal bulan Rojab, awal Sya’ban, Nisfu Sya’ban, awal Romadhon, pertengahan Romadhon dan penutupan Romadhon.”[7]
Mereka adalah orang-orang dari daulah Ubaidiyyah yang berakidah Bathiniyyah, merekalah yang dikatakan oleh imam al-Ghozali: “Mereka menampakkan sebagai orang Rofidhoh Syi’ah, padahal sebenarnya mereka adalah murni orang kafir.”[8]
Pendapat yang mengatakan bahwa Banu Ubaid tersebut adalah pencetus pertama perayaan maulid ditegaskan oleh al-Maqrizi rahimahullah dalam al-Khuthoth: 1/280, al-Qolqosynadi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as-Sandubi dalam Tarikh Ihtifal bil Maulid hlm. 69, Muhammad Bukhait al-Muthi’i dalam Ahsanul Kalam hlm. 44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hlm. 84 serta Ali Mahfudz dalam al-Ibda’ hlm. 126.[9]
Dan orang yang pertama merayakan maulid ini di Iraq ialah Syaikh al-Mushil Umar Muhammad al- Mula pada abad keenam dan kemudian diikuti oleh Raja Mudhafir Abu Sa’id Kaukaburi (raja Irbil) pada abad ketujuh dengan penuh kemegahan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, dalam biografi Abu Sa’id berkata: “Dia merayakan peringatan maulid nabi di bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As-Sibt berkata, “Sebagian orang yang hadir di sana menceritakan bahwa dalam hidangan raja Mudhofir disiapkan lima ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu dan tiga puluh ribu piring makanan ringan”. Hingga beliau (Ibnu Katsir) rahimahullah berkata: “Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan orang-orang sufi (betapa serupanya perbuatan orang-orang dahulu dengan sekarang -pent). Sang raja pun menjamu mereka. Bahkan bagi orang-orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi mulai waktu Dzuhur hingga Fajar, dan raja pun juga turut berjoget bersama mereka.”[10]
Ibnu Khollikan juga berkata: “Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan para penyanyi, ahli penunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang di kubah-kubah tersebut bersama para penyanyi, dan bila maulid kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba di lapangan”. Hingga beliau (Ibnu Khollikan) berkata, “Pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian setelah sholat Maghrib di benteng.”[11]
Demikianlah sejarah awal mula perayaan maulid nabi yang penuh dengan hura-hura, pemborosan, dan kemaksiatan. Na’udzubillahi.
Setelah keterangan di atas, maka terdapat perkara aneh bin ajaib di negeri kita yaitu tersebarnya keyakinan di sebagian kaum muslimin, bahwa yang pertama kali mengadakan acara maulid nabi adalah Sholahuddin al-Ayyubi ketika perang Salib yang hal tersebut dilakukan untuk menyemangati kaum muslimin tatkala melawan pasukan kafir. Ini adalah sebuah kebohongan, karena yang pertama kali membuat bid’ah ini adalah orang- orang Bathiniyyah dari kerajaan Ubaidiyyah yang mereka menamakan atau mengistilahkannya dengan Daulah Fathimiyyah.[12]
Bahkan kami katakan hal ini merupakan pe- mutarbalikan fakta sejarah, sebab Sholahuddin al-Ayyubi dikenal berupaya untuk menghancurkan Ubaidiyyah, dan Ubaidiyyah juga sangat tidak suka kepada Sholahuddin al-Ayyubi. Bahkan mereka berusaha untuk membunuh beliau beberapa kali.[13]
Barangsiapa yang mempelajari sejarah, niscaya dia akan dapat memastikan bahwa Sholahuddin al-Ayyubi adalah seorang raja dan panglima Islam yang telah melenyapkan perayaan maulidan dari permukaan negeri kaum muslimin. Sedangkan mereka yang mengatakan sebaliknya bahwa Sholahuddin rahimahullah adalah seorang yang telah memarakkan maulidan, maka pernyataan tersebut tidak memiliki bukti sama sekali.[14]
Semoga hakikat sejarah ini menyadarkan kita akan kelalaian dan ketertipuan kita selama ini sehingga kembali pada jalan yang lurus. Wallahu A’lam.
Sumber :
Majalah Al-Furqon Edisi. 7 Tahun ke 9
Shofar 1431 H (Januari/Februari 2010)
Oleh Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar-Sidawi hafidzohullah
Ditulis ulang/diringkas oleh : Abu Ghifar Supriadi (Staff TU Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur Sumatera Selatan)
[1] Al-Allamah Ali al-Qori (1014 H) telah membantah keyakinan ini dalam kitabnya al-Maurid ar-Rowi hlm. 97: “Keutamaan itu tidak lain karena ibadah pada saat itu lebih utama. Dan dengan ketegasan al-Qur’an malam Lailatul Qodr lebih baik. daripada seribu bulan, sedangkan keutamaan seperti itu ti- dak ditemukan pada malam kelahiran Nabi Muhammad baik dari al-Qur’an, hadits atau keterangan salah seorang ulama umat ini.” (Dari al-Hukmul Haq fil Ihtifal bi Maulia Sayyidil Kholq hlm.15 oleh Syaikhuna Ali bin Hasan al-Hal abi)
[2] Lihat Mafahim Yazibu ‘an Tushohhah, al-Maliki hlm. 120, Faid hul Wahhah, al-Qolyubi: 5/114-116, dari at-Tabarruk Amwa uha uw Ahkamuhu, Dr. Nashir al-Judai’ hlm. 359-360
[3] Lihat Hadits-hadits Bermasalah, Prof. Ali Musthofa Ya’qul hlm. 102
[4] Beliau adalah salah seorang murid Imam ahli hadits besan al-Albani, yang sudah beberapa kali pernah berkunjung k Indonesia dalam rangka dakwah. Pertanyaan ini saya tar yakan kepada beliau pada hari Rabu 6 Muharrom 1423 H sebelum sholat Dhuhur di masjid al-Irsyad, Surabaya
[5] Kemudian saya mendapati dalam kitab Tahdzirul Muslima Minal Ahadits al-Maudhu’ah ‘ala Sayyidil Mursalin hlm. 8 oleh Muhammad al-Basyir al-Azhari, beliau mengataka “Di antara hadits-hadits yang banyak berbau dusta adala kisah-kisah tentang maulid nabi.”
[6] Penamaan Banu Ubaid al-Qoddah dengan Fathimiyyun terlalu toleransi, karena sebagaimana kata al-Hafizh as-Su- yuthi bahwa mereka bukan Quraisy, yang menamai mereka Fathimiyyun hanyalah orang awam yang jahil, kakek mereka adalah Majusi. Adz-Dzahabi berkata: “Para ulama pakar bersepakat bahwa Ubaidulloh al-Mahdi bukanlah Alawi.” Kebanyakan mereka adalah kaum zindiq yang keluar dari Islam, di antara mereka ada yang terang-terangan mencela para Nabi, membolehkan khomr, memerintah untuk sujud kepadanya, yang paling bagus di antara mereka adalah Rofidhoh yang hina” (Lihat Tarikhud Khulafa hlm. 4)
[7] Al-Mawaida wal I’tibar bi Dzikril Khuthothi wal Atsar: 1/490
[8] Fadhoih al Bathiniyyah hlm 37
[9] Lihat al Qoulul Fashl fi Hukmi al Ihtifal bi Maulid Khoirir Rusul, Syaikh Ismail al-Anshori hlos 451-462
[10] Al-Bidayah wa Nihayah: 13/137
[11] Wafayatul A’yan: 4/117-118
[12] Al Furqon edisi 8/Th. 7 Robi’ul Awwal 1429 H, hlm 58
[13] Lihat buku “Sholah Daulah Fathimiyyall din Ayyubi dan L Daulah Fathimiyya Dr. Ali Muham hammad ar-Rohil Sunni fi Mesir wa S dalam Menghidu yang dimuat dala H. him. 297-324
[14] Benarkah Shalahuddin al-Ayyubi Merayakan Maulid Nabi? hlm 58-59 oleh akhuna al-Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad
Baca juga artikel:
Leave a Reply