Menegakkan Amar Makruf Dengan Akhlak Mulia

MENEGAKKAN AMAR MAKRUF DENGAN AKHLAK MULIA

Menegakkan Amar Makruf dan Nahi Mungkar dengan Akhlak Mulia

Para pembaca yang budiman, sesungguhnya dalam kehidupan seorang muslim hanya berputar pada dua perbuatan, yakni perbuatan baik dan perbuatan buruk. Salah satu prinsip dan aqidah para salaf yang shalih adalah mereka senantiasa mengajak kepada perbuatan baik dan memperbaiki (-baca: mencegah) dari perbuatan buruk. Istilah ini biasa kita dengar dengan Amar Makruf Nahi Mungkar”. Akan tetapi dalam praktik melakukan keduanya ini tidak sembarangan dilakukan oleh mereka. Keduanya membutuhkan ilmu dan dan teknik penerapan terlebih dahulu. Dalam hal ini, mereka senantiasa berlaku baik dan lembut serta memahami situasi dan kondisi ketika ber-amar makruf nahi mungkar, maka kita sebut saja dengan “Berakhlak Mulia”. InsyaaAllah pemaparan singkatnya akan kita bahas di artikel ini.

Termasuk aqidah seorang ahlus sunnah wal jamaah adalah peduli terhadap Amar Makruf Nahi Mungkar, yakni dengan menegakkan keduanya. Mereka percaya bahwa kebaikan umat ini akan tetap ada dengan adanya penjagaan ciri khas ini. Lebih dari itu, Amar Makruf Nahi Mungkar adalah syiar Islam yang mulia dan sebab terpeliharanya kehidupan yang baik umat ini. BerAmar Makruf merupakan kewajiban kondisional yang kemaslahatannya patut dipertimbangkan. Sesuai firman Allah Ta’ala:

كُنتُم خَيرَ أُمَّةٍ أُخرِجَت لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلمَعرُوفِ وَتَنهَونَ عَنِ ٱلمُنكَرِ وَتُؤمِنُونَ بِٱللَّهِۗ

Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”[1]

Ahlus Sunnah hendaknya mendahulukan dakwah dengan cara yang lembut, baik itu berupa perintah maupun larangan, serta menyeru dengan penugh hikmah dan pengajaran yang baik. Demikianlah yang difirmankan oleh Rabbul Jalalah:

ٱدعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلحِكمَةِ وَٱلمَوعِظَةِ ٱلحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحسَنُۚ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”[2]

Termasuk akhlak mulia dalam berdakwah adalah senantiasa bersabar dalam melakukan praktik Amar Makruf Nahi Mungkar dari gangguan kelompok yang tidak suka, sesuai firman Allah Azza Wa Jalla:

وَأمُر بِٱلمَعرُوفِ وَٱنهَ عَنِ ٱلمُنكَرِ وَٱصبِر عَلَىٰ مَآ أَصَابَكَۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِن عَزمِ ٱلأُمُورِ

Artinya: “…dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”[3]

Kebiasaan Ahlus Sunnah dalam menjalankan Amar Makruf Nahi Mungkar adalah konsisten dengan prinsip, bahwa hendaknya menjaga kesatuan jamaah, menarik dan mempersatukan hati, dan juga menjauhkan perselisihan ataupun perbedaan. Begitu juga mereka memandang sangat perlu saling menasihati dan tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Sehingga tetaplah mereka dalam menjaga diri dan keluarga untuk senantiasa menegakkan syiar-syiar Islam tanpa tertipu dengan kesibukan dari hanya menasihati orang lain tetapi lalai pada diri sendiri dan keluarganya. Antara lain dengan tetap mendirikan shalat Jumat, shalat jamaah, haji, jihad, dan merayakan hari ‘iedani (dua ‘ied, -baca: Idul Fithr dan Idul Adha) bersama pemimpin yang baik maupun yang buruk. Dengan begitu tampaklah perbedaan mereka dengan ahlul bid’ah dalam berAmar Makruf Nahi Mungkar.

Mereka bergegas dalam melaksanakan shalat fardhu di masjid, sangat takut ketinggalan takbiratul ihram bersama imam dan terus berusaha menjaga shalat tepat pada waktunya tanpa menunda karena kesibukan mereka, karena shalat fardhu pada awal waktu tentu lebih baik daripada yang akhir, kecuali shalat Isya’. Mereka juga senantiasa khusyu’ dan thumakninah (tenang) dalam shalat. Seperti yang Allah jelaskan dalam firman-Nya:

ٱلَّذِينَ هُم فِي صَلَاتِهِم خَٰشِعُونَ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,”[4]

Mereka juga saling menasihati agar mendirikan shalat malam dan menjaganya, karena ini merupakan petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam. Bahkan, Allah menyuruh Nabi-Nya ini agar mendirikan shalat malam serta bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada-Nya.

Ahlus Sunnah wal Jamaah pun tabah terhadap musibah yang menimpa mereka, yaitu dengan bersabar ketika tertimpa malapetaka, bersyukur ketika diberi kenikmatan, dan ridha ketika menerima takdir yang pahit. Allah Yang Maha Penyayang berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجرَهُم بِغَيرِ حِسَابٍ

Artinya: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”[5]

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mengabarkan kepada kita, beliau bersabda:

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِىَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Artinya: “Sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan menguji meraka. Barangsiapa ridha maka baginya keridhaan Allah dan barangsiapa marah maka baginya kemarahan Allah pula.”[6]

Akan tetapi mereka sama sekali tidak mengharapkan dan tidak meminta musibah kepada Allah. Pasalnya mereka tidak mengetahui akan mampu tabah atau tidak. Akan tetapi, jika mereka diuji mereka bersabar.

Selain itu mereka juga tidak berputus asa dari rahmat Allah pada waktu ditimpa bencana, karena Allah mengharamkan hal itu. Sebaliknya, mereka senantiasa berharap solusi dari permasalahan yang mereka hadapi dan pertolongan dari Allah yang pasti akan diturunkan kepada hamba-Nya yang bertakwa. Bersamaan datangnya kesulitan pasti ada kemudahan. Mereka menyandarkan musibah yang Allah timpakan kepada mereka adalah karena sebab dosa dan kesalahan mereka, ditambah pertolongan kadang terlambat datang juga karena hal yang mereka wanti-wanti tersebut.

Demikian itu sudah Allah kabarkan kepada Nabi-Nya:

وَمَآ أَصَٰبَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَت أَيدِيكُم

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri,…”[7]

Lisan mereka tidak lepas dari dzikir dan bertaubat dari dosa dan noda pribadi, yang juga bergantung kepada Allah dan bersyukur di kala gembira, sikap inilah yang akan mendatangkan pertolongan Allah dan kemudahan sesudah datangnya musibah.

Ahlus Sunnah merasa takut dan cemas atas adzab dikarenakan kufur nikmat. Oleh sebab itulah, mereka termasuk manusia yang paling suka bersyukur dan memuji Allah dalam setiap nikmat besar maupun nikmat kecil. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

Artinya:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian dan jangalah melihat kepada orang yang yang berada di atas kalian karena sesungguhnya hal itu lebih layak agar kalian tidak memandang rendah nikmat Allah kepadamu.”[8]

 

Beberapa Akhlak Salafush Shalih, Ahlus Sunnah wal-Jamaah

  • Ikhlas dalam berilmu dan beramal serta takut terjerumus dalam riya’. Allah Ta’ala berfirman:

أَلَا لِلَّهِ ٱلدِّينُ ٱلخَالِصُۚ

Artinya: Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…”[9]

  • Mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah Ta’ala, ghirah (cemburu) ketika larangan-larangan-Nya dilanggar, membela agama dan syariat-Nya lagi banyak memuliakan hak kaum muslimin, serta menyukai kebaikan atas mereka. Allah Azza Wa Jalla berfirman:

وَمَن يُعَظِّم شَعَائِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقوَى ٱلقُلُوبِ

Artinya: “…Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.”[10]

 

  • Berupaya meninggalkan nifaq, yakni penampilan lahir serta bathinya haruslah sama dalam melakukan kebaikan, menganggap sediit amalan yang pernah dibuatnya, serta mendahulukan perkara akhirat dari perkara duniawi.
  • Lunak hatinya dan banyak menangis oleh sebab-sebab atas apa yang mereka lalaikan dalam hak-hak Allah Ta’ala. Maka dengan begitu, mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadanya. Selain itu, banyak menagambil pelajaran lagi memperhatikan urusan kematian. Kerap menangis jika melihat jenazah atau ketika mengingat mati dan kondisi sakaratul maut. Belum lagi su’ul khatimah (yakni akhir kehidupan yang buruk), ia meruntuhkan hatinya yang begitu peka terhadap dosa.
  • Bertambah tawadhu’ (rendah hati) setiap kali meningkat derajat kedekatannya kepada Allah Ta’ala.
  • Suka bertaubat, istighfar siang sampai malam karena persaksian bahwa mereka tidak mungkin selamat dari dosa dan noda meski dalam ketaatan. Mereka suka memohon ampunan dari kekurangan diri, senantiasa merasa diawasi oleh Allah dalam segala hal, dan tidak ujub pada amal perbuatannya serta membenci ketenaran. Bahka selalu melihat dirinya lalai dalam ketaatan kepada-Nya, apalagi keburukannya.
  • Merealisasikan takwa kepada Allah dengan sangat cermat, tidak menganggap dirinya sebagai orang yang bertakwa. Mereka justru lebih terlihat takut kepada Allah Ta’ala.
  • Sangat takut terhadap su’ul khatimah sehingga tidak lalai berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dunia di mata mereka sesuatu hal yang rendah dan dihinakan. Tidak banyak menaruh harapan akan pembangunan rumah kecuali jika memang diperlakukan, namun tidak akan menghiasinya berlebihan.
  • Tidak ridha kalau kesalahan terjadi pada agama maupun orang yang memeluknya, bahkan membantahnya beserta mencari alasan (argumen) bagi orang yang mengatakannya selama masih sesuai koridor syariat. Banyak menutupi aib saudaranya sesama muslim, serta sering mengintropeksi diri dalam hal wara’. Juga tidak senang menampakkan aib seseorang, lebih menyibukkan diri dengan aibnya sendiri daripada aib orang lain. Bersungguh-sungguh menutupi aib orang lain, dan amanah memegang rahasia. Pun tidak menyampaikan apa yang didengar mengenai kehormatan seseorang, meninggalkan permusuhan kepada orang lain, banyak bersikap lembut, dan tidak menghadapi seseoragn dengan perilaku yang buruk. Jadi, mereka tidak memusuhi seorang pun.
  • Menutup pintu ghibah (penggunjingan) dalam majelis dan menjaga lisan dari hal tersebut sehingga majelisnya tidak menjadi majelis dosa.
  • Sangat pemalu, berbudi pukerti, berkasih sayang, tenang, berwibawa, sedikit bicara, sedikit tertawa, banyak diam, berbicara dengan hikmah guna mempermudah orang lain yang meminta petunjuk, dan tidak gembira terhadap suatu urusan duniawi.
  • Memaafkan setiap orang yang mengganggunya, baik yang memukul, mengambil harta, melecehkan kehormatan diri, atau yang semisalnya.
  • Tidak lalai memerangi Iblis dengan bersungguh-sungguh mengetahui tipu dayanya. Tidak was-was saat berwudhu, shalat, dan ibadah lain karena tahu ia datang dari syaithan.
  • Suka bersedekah siang sampai malam dari segala yang lebih dari keperluan keluarga secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
  • Mencela kekikiran, banyak bermurah hati dan dermawan, mengeluarkan sebagian harta demi membantu saudaranya di saat berpergian maupun mukim.
  • Menghormati tamu dan melayaninya sendiri kecuali jika ada halangan. Tidak berprinsip melakukan balas budi dan menjamunya dengan meminta tinggal di rumahnya serta selalu berbaik sangka terhadap sesamanya.
  • Sopan santun terhadap anak kecil apalagi kepada orang dewasa.
  • Mendamaikan perselisihan karena tahu hal itu sebaik-baik pintu kebaikan bahkan merupakan puncaknya.
  • Melarang dengki dan iri hati.
  • Menyuruh berbakti dan berlaku baik kepada orang tua.
  • Menyuruh berbuat baik kepada tetangga, belas kasihan atas sesame hamba Allah, menghubungkan tali persaudaraan, menyebarkan salam, mengasihi fakir miskin, mengayomi anak yatim, dan menolong orang yang sedang bepergian.
  • Melarang sikap sombong, congkak, ujub, dan zhalim atas orang lain.
  • Tidak menyepelekan suatu kebaikan yan ditetapkan oleh syariat.
  • Melarang dari berburuk sangka, memata-matai, dan mencari-cari kekurangan ataupun aib kaum muslimin.

 

Masih banyak lagi akhlak-akhlak yang menakjubkan dari para Salafush Shalih yang rasanya cerita-cerita itu seperti dongeng saja di telinga kita mengingat zaman ini sudah sangat jarang yang seperti mereka. Oleh karena itu, sebagai seorang yang mengaku mengikuti manhaj mereka sudah sepatutnya meniru mereka dalam segi kehidupan kita dan memulai dari hal-hal kecil yang dianggap remeh oleh sebagian dari kaum muslimin sampai kepada hal-hal yang besar lagi penting, termasuk aqidah dalam berAmar Makruf Nahi Mungkar yang sudah dibahas di atas.

Alhamdulillah, yang mana ucapan ini harusnya tidak terlepas dari lisan kita, pun karena tulisan ini hanya bisa kami ringkas sampai di sini. Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, qudwah hasanah para salaf seluruhnya.

REFERENSI:

Diringkas oleh: Tamim Abu Zubair (Staff Ponpes Darul Quran wal Hadits OKU Timur)

Diringkas dari: Buku Intisari Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Abdullah bin Abdul Hamid al-Atsari, Pustaka Imam Syafi’I, Cetakan Kesembilan: Agustus 2019 M, Hal: 213-225.

[1] QS. Ali Imran: 110.

[2] QS. An-Nahl: 125.

[3] QS. Luqman: 17.

[4] QS. Al-Mukminun: 2.

[5] QS. Az-Zumar: 10.

[6] HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah.

[7] QS. Asy-Syura: 30.

[8] HR. Al-Bukhari dan Muslim.

[9] QS. Az-Zumar: 3.

[10] QS. Al-Hajj: 3.

Baca juga artikel:

Menjadi Ibu yang Baik

Pelajaran Dari Kisah Perang Khondak

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.