MALAIKAT PEGAWAS & PENCATAT AMALAN MANUSIA
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ (17) مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ (18)
“(17) (Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. (18) Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS Qaaf: 17-18)
TAFSIR RINGKAS
Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi rahimahullah mengatakan:
“…Itu adalah di saat dua malaikat bersiap-siap (untuk mencatat). Mereka mengawasi seluruh perkataan dan perbuatan manusia. Mereka juga menetapkan dan menjaganya. Perkataan “(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri,” maksudnya adalah salah satu dari dua malaikat tersebut yang saling bertemu dengan yang lain berada di sebelah kanan dengan keadaan duduk dan yang lain duduk di sebelah kiri, salah satunya mencatat amalan kebaikan dan yang lain mencatat amalan keburukan. Arti lafaz ‘qa’iid’ adalah ‘qaa’id’ (orang yang duduk) seperti lafaz ‘jaliis’ artinya adalah ‘mujaalis’ (teman duduk) atau ‘jaalis’ (orang yang duduk).
Perkataan Allah: “Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya” maksudnya apapun yang dikatakan oleh manusia, “melainkan ada di dekatnya ‘raqiib ‘atiid,’ maksudnya di sisinya ada seorang malaikat yang raqiib (mengawasi atau menjaga) dan yang ‘atiid (selalu hadir). Keduanya tidak pernah berpisah dengannya sepanjang hidupnya. Hanya saja mereka selalu bergantian antara dua malaikat di waktu siang dengan dua malaikat di waktu malam. Mereka bertemu di waktu shalat Subuh dan shalat Asar.”[1]
PENJABARAN AYAT
Firman Allah ta’ala:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
“(Yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.”
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memberi tugas kepada dua orang malaikat untuk mencatat amal perbuatan manusia. Jika ada yang dilakukan oleh manusia, maka kedua malaikat tersebut diperintahkan untuk mencatatnya.
Apakah malaikat pencatat amalan manusia hanya dua malaikat atau banyak malaikat?
Malaikat yang mencatat amalan manusia sangatlah banyak dan setiap manusia Allah jadikan dua malaikat yang mencatat di sebelah kanan dan disebelah kirinya.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala:
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (10) كِرَامًا كَاتِبِينَ (11) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (12)
“(10) Padahal sesungguhnya bagi kalian ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaan kalian), (11) yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaan kalian itu), (12) mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS Al-Infithar: 10-12)
Allah menyebutkan pada ayat ini bahwa penyebutan malaikat yang menulis amalan-amalan dengan bentuk banyak (jamak), sehingga kita bisa memahami bahwa jumlah mereka tidak hanya dua malaikat. Dan ini akan lebih jelas setelah membaca penjelasan-penjelasan dan dalil-dalil dalam tulisan ini.
Adakah malaikat lain yang menemani manusia?
Ya, ada malaikat lain yang menemani manusia selain dua malaikat yang mencatat amalan manusia. Malaikat tersebut juga berjumlah dua, satu malaikat menjaga di depan dan satu malaikat menjaga di belakang manusia. Dengan demikian malaikat yang menemani manusia ada empat malaikat.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat:
{ لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ }
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. (Ar-Ra’d: 11),” beliau mengatakan, “Setiap hamba memiliki malaikat-malaikat yang selalu bergantian di sisinya. Ada yang menjaga di waktu malam dan ada yang menjaga di waktu siang. Mereka menjaganya dari keburukan-keburukan dan kecelakaan-kecelakaan, sebagaimana malaikat-malaikat yang lain pun mencatat amalan-amalan yang baik dan yang buruk. Ada malaikat-malaikat di malam hari dan ada malaikat-malaikat di siang hari. Dua malaikat di sebelah kanan dan kirinya mencatat amalan. Yang di kanan mencatat amalan kebaikan dan yang di kiri mencatat amalan keburukan. Dan dua malaikat lainnya menjaga dan melindunginya, satu berada di belakang dan satunya lagi berada di depannya. Manusia berada di antara empat malaikat di waktu siang dan empat malaikat lain di waktu malam silih berganti, yaitu dua penjaga dan dua pencatat (amalan).”[2]
Apakah malaikat pencatat amalan tersebut selalu bergantian?
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Perselisihan terjadi karena suatu permasalahan, apakah malaikat yang mencatat amalan, mereka juga termasuk para penjaga (hafadzah) yang disebutkan di dalam dalil ataukah para penjaga (hafadzhah) berbeda dengan para pencatat amalan?
Bagi yang mengatakan bahwa para pencatat amalan adalah termasuk para penjaga manusia, maka mereka mengatakan bahwa malaikat pencatat amalan pun bergantian-bergantian ketika shalat Asar dan shalat Subuh. Inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Katsir dan Syaikh Abu Bakr Al-Jazairi sebagaimana telah dinukil perkataan mereka berdua di atas.
Di dalam riwayat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَضْلُ صَلاَةِ الْجَمِيعِ عَلَى صَلاَةِ الْوَاحِدِ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ دَرَجَةً وَتَجْتَمِعُ مَلاَئِكَةُ اللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةُ النَّهَارِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ. يَقُولُ أَبُو هُرَيْرَةَ: اقْرَؤُوا إِنْ شِئْتُمْ {وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا}.
“Keutamaan shalat berjamaah daripada shalat sendiri adalah dua puluh lima derajat. Malaikat malam dan malaikat siang berkumpul pada saat shalat Subuh.” Abu Hurairah mengatakan, “Bacalah jika kalian mau:
{وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا}.
“… (Dirikanlah pula shalat) Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh malaikat). (QS Al-Isra’: 78).”[3]
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( يَتَعَاقَبُونَ فِيكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِاللَّيْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ وَيَجْتَمِعُونَ فِى صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِينَ بَاتُوا فِيكُمْ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِى فَيَقُولُونَ تَرَكْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّونَ )).
“Malaikat-malaikat malam dan malaikat-malaikat siang saling bergantian pada diri kalian. Mereka berkumpul di shalat Fajar (Subuh) dan shalat Asar. Kemudian (malaikat) yang tadinya bersama kalian naik ke atas dan Rabb mereka bertanya -walaupun Allah Maha Mengetahui keadaan mereka-, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?’ Mereka pun menjawab, ‘Kami meninggalkan mereka dalam keadaan mereka sedang shalat dan kami mendatangi mereka dalam keadaan mereka sedang shalat.”[4]
Bagi yang mengatakan bahwa para pencatat amalan bukan termasuk para penjaga manusia dan tugasnya hanya mencatat, maka mereka mengatakan bahwa kedua malaikat tersebut tidak berpisah dengan manusia dalam keadaan apapun, kecuali dalam keadaan junub, buang air atau mandi.
Dalil yang digunakan oleh yang berpendapat demikian adalah keumuman arti dua ayat yang sedang kita bahas ini dan tidak ada dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa kedua malaikat tersebut juga bergantian seperti malaikat-malaikat penjaga di siang hari dan di malam hari.
Ada beberapa hadits atau atsar yang berbicara tentang hal ini dan dinukil di dalam kitab-kitab tafsir seperti Ath-Thabari, Al-Qurthubi, Ibnu Katsir dan lain-lain, akan tetapi dalam semua riwayat tersebut terdapat kelemahan di dalamnya. Seperti perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
إِنَّ اللهَ يَنْهَاكُمْ عَنِ التَّعَرِّيْ فَاسْتَحْيُوْا مِنْ مَلَائِكَةِ اللهِ الذِّيْنَ مَعَكُم الكِرَامِ الكَاتِبِيْنَ الذِّيْنَ لَا يُفَارِقُوْنَكُمْ إلاَّ عِنْدَ إِحْدَى ثَلَاثِ حَالَاتٍ: الغَائِطِ وَالْجَنَابَةِ وَاْلغُسْلِ، فَإذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ بِالْعَرَاءِ فَلْيَسْتَتِرْ بِثَوْبِهِ، أَوْ بِخَذْمَةِ حَائِطٍ، أَوْ بِبَعِيْرِه.ِ
“Sesungguhnya Allah melarang kalian untuk telanjang. Oleh karena itu, malulah kalian kepada para malaikat Allah yang bersama kalian, yaitu para malaikat mulia yang mencatat amalan, mereka tidak berpisah dengan kalian kecuali pada tiga keadaan, yaitu: ketika buang air, junub dan mandi. Apabila seorang dari kalian mandi di tanah terbuka maka tutupilah dirinya dengan pakaian atau sebagian tanaman atau dengan ontanya.”[5]
Oleh karena Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab Al-‘Aqil hafidzhahullah mengatakan, “…Dan mereka (malaikat-malaikat penjaga) sebagaimana ditunjukkan oleh dalil-dalil mereka berbeda dengan para pencatat. Malaikat-malaikat pencatat memiliki tugas khusus yaitu mencatat (amalan) dan malaikat-malaikat penjaga (hafadzhah) juga memiliki tugas khusus yaitu menjaga (manusia).”[6]
Makna dari “qa’iid” pada ayat ini
Para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “qa’iid”. Di antara mereka ada yang mengatakan:
- “Qa’iid” berarti “qaa’id”, artinya: orang yang duduk. Menurut pendapat ini, kedua malaikat tersebut duduk di sebelah kiri dan kanan. Ini adalah pendapat Ahlul-Bashrah dan Al-Baghawi dll.[7]
- “Qa’iid” berarti “mutarashshid/rashiid”, artinya orang yang mengawasi. Menurut pendapat ini, kedua malaikat itu selalu mengawasi amal perbuatan manusia. Ini adalah pendapat Mujahid, Ath-Thabari, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi dll.[8]
Sebagian ulama menyebutkan tempat keberadaan kedua malaikat tersebut, akan tetapi tidak ada dalil yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyebutkan akan hal ini.
Firman Allah ta’ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.”
Apakah kedua malaikat pencatat nama tersebut bernama Raqiib dan ‘Atiid?
Bukan. Kedua malaikat tersebut tidak disebutkan namanya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, begitu pula di dalam buku-buku tafsir yang diakui. Raqiib dan ‘Atiid adalah dua sifat yang Allah sifatkan untuk malaikat yang mencatat amalan manusia. Dengan demikian, apa yang diyakini sebagian kaum muslimin yang menyatakan bahwa Raqiib adalah malaikat yang mencatat amal kebaikan dan ‘Atiid adalah malaikat yang mencatat amal keburukan adalah tidak benar, karena Raqiib dan ‘Atiid adalah dua sifat untuk malaikat-malaikat tersebut.
Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab Al-‘Aqil mengatakan, “Adapun raqiib dan ‘atiid, keduanya adalah dua sifat untuk kedua malaikat. Adapun yang disebutkan oleh sebagian ulama yang menyatakan bahwa raqiib dan ‘atiid adalah nama-nama malaikat yang menjaga manusia, maka itu tidaklah benar. Hal tersebut tidak terdapat di dalam buku-buku tafsir yang diakui.”[9]
Makna raqiib dan ‘atiid
Ada beberapa pendapat para ulama dalam menafsirkan sifat raqiib dan ‘atiid, di antara pendapat yang disebutkan adalah sebagai berikut[10]:
Raqiib berarti:
- Mutatabbi’ lil-umuur, artinya mengikuti segala urusan manusia.
- Haafidzh, artinya yang mengawasi manusia. Ini dikatakan oleh As-Suddi, Ath-Thabari dan Al-Baghawi.
- Syaahid, artinya yang menyaksikan. Ini adalah pendapat Adh-Dhahhaak.
‘Atiid berarti:
- Haadhir, artinya selalu ada atau hadir dan tidak pernah gaib atau hilang. Ini adalah pendapat Al-Baghawi.
- Haafidzh Mu’add, artinya selalu mengawasi dan telah dipersiapkan untuk itu atau selalu bersiap-siap untuk mengawasi atau menyaksikan. Ini adalah pendapat Ibnu Jarir At-Thabari.
Apa saja yang dicatat oleh malaikat pencatat amal manusia?
Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini ke dalam dua pendapat, yaitu:
- Yang dicatat adalah seluruh perkataan dan perbuatan manusia, baik yang bernilai pahala dan dosa, dan juga yang tidak bernilai apa-apa seperti: tersenyum, tertawa, berjalan dll.
- Yang dicatat hanyalah amalan-amalan yang bernilai pahala dan dosa saja.
Sebenarnya perbedaan tersebut hanyalah perbedaan sudut pandang saja, karena pada asalnya semua yang dilakukan manusia dicatat oleh malaikat tersebut, kemudian ketika hari Kamis catatan-catatan tersebut diangkat, kemudian ditetapkan mana yang merupakan amalan kebaikan dan mana yang merupakan amalan keburukan, adapun yang tidak berisi kebaikan dan keburukan maka akan dibuang atau dihapus.
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, dia berkata:
يُكْتَبُ كُلُّ مَا تَكَلَّمَ بِهِ مِنْ خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ، حَتَّى إِنَّهُ لَيُكْتَبُ قَوْلُهُ: أَكَلْتُ، شَرِبْتُ، ذَهَبْتُ، جِئْتُ، رَأَيْتُ، حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ عُرِضَ قَوْلُهُ وَعَمَلُهُ فَأُقِرَّ مِنْهُ مَا كَانَ فِيْهِ مِنْ خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ وَأُلْقِيَ سَائِرُهُ، فَذلِكَ قَوْلُهُ: يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ.
“Ditulis segala apa yang dikatakan (oleh manusia), baik itu berupa kebaikan atau keburukan, sampai-sampai ditulis juga perkataannya: ‘saya telah makan, saya telah minum, saya telah pergi, saya telah datang, saya telah melihat. Ketika hari Kamis maka ditampakkan perkataan dan perbuatannya, kemudian ditetapkan darinya apa-apa yang berisi kebaikan dan berisi keburukan, serta dibuanglah atau dihapuslah seluruhnya (selain catatan kebaikan dan keburukan). Itulah perkataan Allah ta’ala:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
‘Allah menghapus apa-apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkannya, dan di sisi-Nya ada Kitab Induk.’ (QS Ar-Ra’d: 39).”
Di dalam atsar yang lain, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan:
إنَّماَ يُكْتَبُ الْخَيْرُ وَالشَّرُّ، لَا يُكْتَبُ: يَا غُلَامُ، اُسْرُجِ الفَرَسَ ، وَيَا غُلَامُ، اِسْقِنِي الْمَاءَ
“Yang ditulis hanyalah kebaikan dan keburukan, dan tidak ditulis (perkataan), ‘Wahai anak kecil! Ikatlah kuda,’ ‘Wahai anak kecil! Tuangkan untukku air minum!’.”[11]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa diceritakan dari Imam Ahmad bahwasanya beliau dulu merintih ketika sakit, kemudian sampai kepadanya suatu kabar dari Thawus bahwasanya dia berkata:
يَكْتُبُ الْمَلَكُ كُلَّ شَيْءٍ حَتَى الْأَنِيْنِ.
“Malaikat mencatat segala sesuatu bahkan suara rintihan.” Kemudian (Imam) Ahmad tidak pernah merintih lagi sampai beliau wafat.”[12]
Inilah salah satu hikmah mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kata ‘yalfidzhu’ yang berarti melafazkan/mengucapkan, sehingga tidak hanya ucapan yang bermakna saja yang dicatat, tetapi semua yang diucapkan manusia dicatat oleh malaikat.
Hal ini juga didukung oleh firman Allah ta’ala ketika menyebutkan penyesalan orang-orang yang berdosa ketika melihat catatan amalan mereka. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan:
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: ‘Aduhai celaka kami! Kitab apakah ini, dia tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan dia mencatat semuanya. Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak berbuat zalim kepada seorang pun.” (QS Al-Kahf: 49)
Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dengan seluruh perbuatan dan perkataan kita, bahkan dengan satu perkataan saja, seorang manusia yang tadinya beriman bisa saja menjadi penghuni neraka dan sangat dimurkai oleh Allah ta’ala.
Di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ.
“Sesungguhnya seorang hamba bisa saja mengatakan suatu perkataan yang itu diridai oleh Allah, padahal dia tidak menganggap itu suatu yang berarti, ternyata karena perkataan itu Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba bisa saja mengatakan suatu perkataan yang itu dimurkai oleh Allah, padahal dia tidak menganggap itu suatu yang berarti, ternyata karena perkataan itu, dia masuk ke dalam Jahannam.”[13]
Apakah malaikat juga mencatat amalan-amalan hati manusia?
Ya. Malaikat juga mencatat amalan-amalan hati, karena keumuman firman Allah ta’ala:
يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
“Mereka mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS Al-Infithar: 12)
Yang dikerjakan manusia termasuk amalan-amalan hati mereka.
Di dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berkata:
إِذَا هَمَّ عَبْدِى بِسَيِّئَةٍ فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا سَيِّئَةً وَإِذَا هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا عَشْرًا.
“Jika hamba-Ku bertekad melakukan keburukan maka janganlah kalian mencatatnya darinya. Jika dia mengerjakannya, maka catatlah untuknya satu keburukan. Jika dia bertekad melakukan kebaikan dan dia tidak jadi mengerjakannya, maka tulislah untuknya satu kebaikan. Dan jika dia mengerjakannya maka tulislah sepuluh (kebaikan).”[14]
Dan di dalam riwayat lain dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ رَبِّ ذَاكَ عَبْدُكَ يُرِيدُ أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً – وَهُوَ أَبْصَرُ بِهِ – فَقَالَ ارْقُبُوهُ فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِمِثْلِهَا. وَإِنْ تَرَكَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً – إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنْ جَرَّاىَ.
“Malaikat-malaikat pun berkata, ‘Ya Rabb-ku! Hamba-Mu itu ingin mengerjakan keburukan.” Dan Allah lebih tahu akan hal itu, “Allah berkata, ‘Awasilah dia! Jika dia mengerjakannya, maka tulislah untuknya keburukan semisalnya. Apabila dia meninggalkannya, maka tulislah untuknya satu kebaikan! Sesungguhnya dia meninggalkannya adalah karena-Ku.’.”[15]
Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa Allah memberikan kemampuan kepada malaikat-malaikat pencatat amalan-amalan manusia untuk bisa mengetahui amalan-amalan yang dilakukan oleh hati manusia.
Setelah dicatat di buku catatan dimanakah diletakkan buku catatan tersebut?
Terdapat sebuah atsar dari Al-Hasan Al-Bashri tentang hal ini, beliau mengatakan:
فَاعْمَلْ بِمَا شِئْتَ أَقْلِلْ أَوْ أَكْثِرْ ، حَتَّى إِذَا مُتَّ طُوِيَتْ صَحِيفَتُكَ ، فَجُعِلَتْ فِي عُنُقِكَ مَعَكَ فِي قَبْرِكَ ، حَتَّى تَخْرُجَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَعِنْدَ ذَلِكَ يَقُولُ : {وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ} حَتَّى بَلَغَ {حَسِيبًا}.
“… Beramallah sesuka hatimu, sedikitkanlah atau banyakkanlah! Sampai ketika engkau mati, lembaranmu akan dilipat dan dijadikan di lehermu bersamamu di dalam kuburmu. Sampai ketika engkau keluar pada hari kiamat, maka ketika itu, Dia berkata: ‘Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya.’ Sampai perkataan-Nya ‘sebagai penghisab terhadapmu.’.”[16]
Ayat yang dimaksud beliau adalah ayat berikut, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا (13) اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا (14)
“(13) Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. (14) Bacalah kitabmu! Cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (QS Al-Isra’: 13-14)
Apakah masih ada yang dicatat dari manusia setelah dia mati?
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa para malaikat tetap mencatat amalan manusia meskipun dia sudah meninggal, yaitu amalan-amalan yang dia lakukan di masa hidupnya dan kebaikan atau keburukan tersebut terus berlanjut setelah dia wafat. Manusia mengerjakan sebabnya di saat dia hidup, akibatnya pun di dapatkan ketika dia hidup dan setelah dia wafat, jika akibat tersebut terus berlanjut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS Yasin: 12)
Di antara contoh amalan kebaikan yang terus mengalir pahalanya terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سَبْعَةٌ يَجْرِي لِلْعَبْدِ أَجْرُهُنَّ وَهُوَ فِي قَبْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ: مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا، أَوْ كَرَى نَهَرًا، أَوْ حَفَرَ بِئْرًا، أَوْ غَرَسَ نَخْلًا، أَوْ بَنَى مَسْجِدًا، أَوْ وَرَّثَ مُصْحَفًا، أَوْ تَرَكَ وَلَدًا يَسْتَغْفِرُ لَهُ بَعْدَ مَوْتِهِ.
“Ada tujuh amalan yang pahalanya terus mengalir untuk seorang hamba sedangkan dia berada di dalam kuburnya setelah wafatnya, (yaitu): orang yang mengajarkan ilmu, mengalirkan sungai, menggali sumur, menanam kurma, membangun masjid, mewariskan mushaf (Al-Qur’an) atau meninggalkan seorang anak yang selalu beristighfar untuknya setelah dia mati.”[17]
Di antara contoh amalan keburukan yang terus mengalir dosanya terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ.
“Tidaklah seorang jiwa dibunuh dengan zalim kecuali bagi anak Adam yang pertama menanggung dosa akibat darah (yang tertumpah) tersebut, karena dia adalah yang pertama kali mencontohkan pembunuhan.”[18]
Keadaan manusia ketika menerima catatan amalan mereka
Karena pembahasan ini berkaitan dengan pencatatan amal, penulis merasakan sangat perlu menyebutkan secara ringkas, kondisi orang-orang yang menerima catatan amalan. Secara umum hal tersebut dijelaskan pada ayat-ayat berikut:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَوْمَ نَدْعُو كُلَّ أُنَاسٍ بِإِمَامِهِمْ فَمَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَأُولَئِكَ يَقْرَءُونَ كِتَابَهُمْ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya. Barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikit pun.” (QS Al-Isra’: 71)
Begitu pula firman-Nya:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ فَيَقُولُ هَاؤُمُ اقْرَءُوا كِتَابِيَهْ (19) إِنِّي ظَنَنْتُ أَنِّي مُلَاقٍ حِسَابِيَهْ (20) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (21) فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ (22) قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ (23) كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ (24) وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِشِمَالِهِ فَيَقُولُ يَا لَيْتَنِي لَمْ أُوتَ كِتَابِيَهْ (25) وَلَمْ أَدْرِ مَا حِسَابِيَهْ (26) يَا لَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَ (27) مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (28) هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ (29) الحاقة
“(19) Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: “Ambillah, bacalah kitabku (ini)!” (20) Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku, (21) maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridai, (22) dalam surga yang tinggi, (23) buah-buahannya dekat, (24) (kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (25) Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata: “Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini), (26) dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. (27) Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. (28) Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. (29) Telah hilang kekuasaannya dariku.” (QS Al-Haaqqah: 19-29)
Begitu pula firman-Nya:
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ (7) فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا (8) وَيَنْقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُورًا (9) وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاءَ ظَهْرِهِ (10) فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُورًا (11) وَيَصْلَى سَعِيرًا (12) إِنَّهُ كَانَ فِي أَهْلِهِ مَسْرُورًا (13) إِنَّهُ ظَنَّ أَنْ لَنْ يَحُورَ (14)
“(7) Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, (8) maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, (9) dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. (10) Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, (11) maka dia akan berteriak: “Celakalah aku.” (12) Dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (13) Sesungguhnya dia dahulu (di dunia) bergembira di kalangan kaumnya (yang sama-sama kafir). (14) Sesungguhnya dia menyangka bahwa dia sekali-kali tidak akan kembali (kepada Tuhannya).” (QS Al-Insyiqaq: 7-14)
Faidah mengimani keberadaan dua malaikat yang mencatat kebaikan dan keburukan
Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan:
“Ini termasuk hal-hal yang bisa mengajak manusia untuk merasa selalu diawasi oleh Pencipta-nya Yang Melihat apa-apa yang tersembunyi dan batinnya, Yang Maha Dekat dari manusia di seluruh keadaan-keadaannya. Dengan demikian, manusia akan malu dari-Nya karena dilihat oleh-Nya ketika melakukan apa-apa yang Dia larang dan manusia merasa kehilangan jika dia (belum melaksanakan apa yang ) diperintahkan. Begitu pula sudah sepantasnya manusia menjadikan para malaikat mulia yang mencatat (amalan) sebagai sebuah perhatian besarnya, sehingga dia memuliakan dan menghormati mereka dan berhati-hati dari melakukan atau mengatakan sesuatu yang nantinya ditulis yang berasal darinya, yang mana hal tersebut termasuk ke dalam hal-hal yang tidak diridai oleh Rabb semesta alam.”[19]
Dengan melihat tugas-tugas malaikat pencatat amalan-amalan di atas, maka kita dituntut untuk selalu menghadirkan rasa keberadaan mereka dalam kehidupan kita. Dengan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu apapun kecuali dicatat oleh malaikat, maka kita akan senantiasa berhati-hati dalam melakukan dan mengatakan sesuatu. Kita tidak akan berani untuk melakukan perbuatan maksiat atau dengan sengaja meninggalkan suatu kewajiban.
KESIMPULAN
Dari apa yang dipaparkan pada tulisan di atas, maka bisa ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Malaikat yang mencatat amalan manusia sangatlah banyak dan setiap manusia Allah jadikan dua malaikat yang mencatat di sebelah kanan dan di sebelah kirinya.
- Ada malaikat lain yang menemani manusia selain dua malaikat yang mencatat amalan manusia. Malaikat tersebut juga berjumlah dua, satu malaikat menjaga di depan dan satu malaikat menjaga di belakang manusia. Dengan demikian malaikat yang menemani manusia ada empat malaikat.
- Sebagian ulama memandang bahwa malaikat pencatat amalan selalu bergantian di waktu siang dan di waktu malam sebagaimana malaikat penjaga manusia, sebagian lagi mengatakan bahwa mereka tidak bergantian.
- Malaikat pencatat amalan manusia selalu mengawasi seluruh perkataan dan perbuatan manusia, bahkan niat-niat dan amalan-amalan hati mereka juga dicatat oleh malaikat tersebut. Kemudian dipisahkan antara catatan yang berisi pahala dan dosa dengan catatan yang tidak bernilai pahala atau dosa.
- Raqiib dan ‘Atiid bukanlah nama malaikat, tetapi keduanya adalah sifat-sifat yang Allah sebutkan untuk kedua malaikat yang mencatat amalan manusia.
- Buku catatan malaikat diletakkan di leher manusia dan terus dibawa olehnya sampai pada saat penyerahan buku tersebut di hari kiamat.
- Malaikat bisa saja terus mencatat amalan seorang hamba meskipun dia telah meninggal, jika ternyata seorang hamba mengamalkan suatu amalan ketika dia hidup, tetapi dampaknya terus terjadi setelah dia wafat, baik dampaknya baik ataupun buruk.
- Orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan menerima catatan amalannya di hari kismet dengan tangan kanannya, sedangkan orang-orang lainnya akan menerima catatan amalannya dengan tangan kiri dan dari arah belakang.
- Wajibnya merasa selalu diawasi oleh malaikat dan meyakini bahwa mereka terus mencatat apapun yang kita lakukan.
Demikian tulisan ini. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala selalu memberi taufik kepada kita untuk bisa selalu beramal saleh dan meninggalkan kemaksiatan, serta memberikan kepada kita rasa takut dan rasa selalu diawasi oleh-Nya dan juga kedua malaikat-Nya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
- Aisarut-Tafaasiir Li Kalaam ‘Aliyil-Kabiir Wa Bihaamisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulum Wal-Hikam.
- ‘Aalam Al-Malaa-ikah Al-Abraar. ‘Umar Sulaiman ‘Abdullah Al-Asyqar. 1425 H/2005. Yordania: Dar An-Nafaais.
- Al-Jaami’ Li Ahkaamil-Qur’aan. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
- Jaami’ Al-Bayaan Fii Ta’wiilil-Qur’aan. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
- Ma’aalimut-Tanziil. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’uud Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
- Maa’arijul-Qabul Bisyarhi Sullamil-Wushuul Ila ‘Ilmil-Ushuul. Hafidzh bin Ahmad Al-Hakami. 1425 H/2004. Libanon: Dar Ibni Hazm.
- Mu’taqad Firaq Al-Muslimiin Wal-Yahuudi Wan-Nashaara Wal-Falaasifah Wal-Watsaniyiin Fil-Malaai-kah Al-Muqarrabiin. Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab Al-‘Aqil. 1422 H/2002. Ar-Riyadh: Adhwaa-ussalaf.
- Shahiih Muslim. Abul-Husian Muslin bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi. 1419 H/1998. Ar-Riyadh: Darussalam.
- Tafsiir Al-Kariim Ar-Rahmaan Fi Tafsiir Kalaam Al-Mannaan. ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. 1426 H/2005. Kairo: Darul-Hadits.
- Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
- Tafsiir Ibni Abi Haatim. Abu Muhammad Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Raazi. Shida: Al-Maktabah Al-‘Ashriyah.
- Dan lain-lain, sebagian besar sudah dicantumkan di footnotes.
[1] Aisar At-Tafaasiir hal. 1513-1514.
[2] Tafsiir Ibni Katsiir IV/437.
[3] HR Al-Bukhari no. 4717 dan Muslim no. 649/1473.
[4] HR Al-Bukhari no. 555 dan Muslim no. 632/1432.
[5] HR Al-Bazzar dalam Musnad-nya no. 4799, di dalamnya terdapat Hafsh bin Sulaiman, dia Layyinul-hadits (hadits-nya lemah).
[6] Mu’taqad Firaq Al-Muslimiin Wal-Yahuudi Wan-Nashaara Wal-Falaasifah Wal-Watsaniyiin Fil-Malaaikah Al-Muqarrabiin, hal. 180.
[7] Lihat Tafsiir Al-Baghawi VII/358.
[8] Lihat Tafsiir Ath-Thabari XXII/343, Tafsir Al-Qurthubi XVII/11, Tafsir Ibni Katsir VII/398.
[9] Mu’taqad Firaq Al-Muslimiin Wal-Yahuudi Wan-Nashaara Wal-Falaasifah Wal-Watsaniyiin Fil-Malaaikah Al-Muqarrabiin, hal. 170.
[10] Lihat Tafsiir Ath-Thabari XXII/344, Tafsiir Al-Qurthubi XVII/11, Tafsiir Al-Baghawi VII/359.
[11] Lihat kedua atsar dari Ibnu ‘Abbas ini di Tafsiir Ibni Abi Haatim X/3308.
[12] Tafsiir Ibni Katsiir VII/399. Pen-tahqiiq tafsir ini mengatakan bahwa atsar ini disebutkan oleh Shalih bin Ahmad bin Hanbal dalam buku Sirah Ayahnya.
[13] HR Al-Bukhari no. 6478 dan ini lafaz beliau, dan Muslim no. 2988/7481.
[14] HR Muslim no. 128/334.
[15] HR Muslim no. 129/336.
[16] Tafsiir Ath-Thabari XXII/345.
[17] HR Al-Bazzar dalam Musnad-Nya no. 7289 dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3175. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini hasan lighairi dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5915. Saya katakan bahwa di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin ‘Ubaidillah Al-‘Arzami, banyak ulama menyatakan bahwa dia lemah. Akan tetapi, makna yang ditunjukkan hadits ini shahih.
[18] HR Al-Bukhari no. 3355 dan Muslim no. 1677/4379.
[19] Tafsir As-Sa’di hal. 896.
penulis : Sa’id Yai Ardiansyah, M.A.
baca artikel sebelumnya: MENENTANG & MEMBANGKANG PENGUASA
juga artikel selanjutnya: TUJUAN HIDUP
Leave a Reply