Makan dan Minum Dengan Bejana Emas Dan Perak

Manusia memang penuh dengan ujian. Walaupun segala yang ada di bumi ini diperuntukkan kepentingan manusia, namun tentunya tidak berarti itu semua boleh tanpa batas. Namun sebenarnya apa yang dibolehkan bagi manusia, lebih banyak daripada apa yang dilarang. Dan ini adalah rahmat dari-Nya. Dan kalaupun ada yang dilarang oleh Alloh, maka sebenarnya itu adalah untuk kemaslahatan manusia.

Larangan Makan dan Minum dengan Bejana Emas

Kali ini kita akan membahas tentang bejana yang terbuat dari emas atau perak; apakah boleh kita gunakan, ataukah ada ketentuannya. Karena kita harus berjalan di atas tuntunan Ilahi.

Memang benar bahwa bejana-bejana yang kita gunakan, atau perangkat yang kita pakai, itu semua pada asalnya adalah boleh dan halal untuk digunakan. Ini sejalan dengan firman Alloh yang artinya: “Dia-lah Alloh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqoroh: 29)

Termasuk yang dihalalkan adalah bejana yang terbuat dari bahan yang mahal sekalipun, seperti permata dan semisalnya. Karena hukum asalnya adalah boleh, kecuali yang dilarang oleh syariat. Dan ternyata syariat menyatakan adanya larangan makan dan minum dengan menggunakan bejana (wadah atau tempat) dari emas dan perak.

Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda mengenai hal ini dalam riwayat dari sahabat Hudzaifah Bin Yaman::

لاَ تَشْرَبُوا فِي انِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوا في صِحَافِهَا، فإنَّهَا لَهُمْ في الدُّنْيَا، وَلَكُمْ في الآخِرَةِ

Janganlah kalian minum di bejana emas dan perak, dan jangan kalian makan dalam wadah yang terbuat dari keduanya. Karena itu adalah untuk mereka di dunia, dan itu bagian kalian nanti di akhirat.” (Muttafaq `alaih)

Juga sabda beliau sebagai berikut dari istri beliau; Ummu Salamah:

الَّذِي يَشْرَبُ فِي إنَاءِ الْفِضَّةِ إنَّمَا يُجَرْجِرُ فِي بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

Yang minum di bejana perak, sebenarnya tiada lain ia tengah meneguk api neraka Jahanam di perutnya.” (Muttafaq `alaih)

Dua hadits ini dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marôm pada kitab thoharoh bab aniyah (bejana, wadah). Tempat dari hadits ini mestinya adalah di pembahasan mengenai makanan dan minuman. Namun Al-Hafizh menyebutkannya di kitab thoharoh karena untuk menunjukkan haramnya berwudhu dengan menggunakan bejana dari emas dan perak, sesuai dengan pendapat beliau yang juga pendapat jumhur.

Mengapa Diharamkan?

Larangan dalam hadits ini ditujukan untuk kaum muslimin secara umum, baik kaum lelaki maupun wanita. Karena bejana emas dan perak, dan juga nampan (tempat makanan) dari keduanya, itu adalah untuk kaum musyrikin di dunia. Artinya, kaum kafirlah yang menggunakan bejana-bejana emas dan perak di dunia. Karena mereka tak mempunyai aturan agama yang melarang mereka akan hal itu. Namun bukan berarti itu halal bagi mereka. Maka dari itu kaum muslimin dilarang untuk menyerupai mereka. Nanti di akhirat kaum muslimin akan diberi balasan dengan mendapatkannya, karena mereka meninggalkannya di dunia. Dan balasan pun akan datang setipe dengan amalan yang dulu pernah diperbuat. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“… dan barangsiapa yang minum di bejana emas dan perak di dunia, maka ia tidak akan minum di akhirat dengan keduanya.” (HR. Hakim) dan emas dan perak adalah bejananya penghuni surga.

Inilah alasan (illah) dari diharamkannya menggunakan bejana dari emas dan perak atas kaum muslimin yang didapat dari nash hadits. Hanya saja para ulama menambahkan beberapa alasan lain, di antaranya adalah:

-Menjadi media menuju kesombongan dan keangkuhan

-Melukai hati dan perasaan kaum miskin

Hanya saja, dua illah (alasan) ini perlu dikaji ulang. Dan sangat tepat apa yang diungkap Ibnul Qoyyim mengenai hal ini: “Yang benar, illahnya adalah –wallahu a’lam- bahwa kala memakai itu, akan menjadikan hati ini menjadi dalam keadaan yang sangat bertentangan dengan makna ubudiyyah seorang hamba (penghambaannya kepada Alloh). Karena itulah Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam memberikan alasan bahwa itu adalah diperuntukkan kaum kafir di dunia. Mengingat mereka tak mempunyai bagian dari ubudiyyah ini, di mana ubudiyyah merupakan media seseorang mendapatkan kenikmatan di akhirat. Karena itulah yang mengaku sebagai hamba Alloh tak patut menggunakannya di dunia. Yang menggunakannya adalah orang yang keluar dari penghambaan kepada Robbnya, ridho dengan dunia daripada akhirat.”

Kandungan Hadits

Hadits di atas adalah dalil larangan makan dan minum dengan menggunakan bejana emas dan perak. Ini adalah larangan yang bermakna haram. Dan larangan ini disertai ancaman besar bagi pelakunya seperti dalam hadits Ummu Salamah di atas.

Larangan ini mencakup lelaki dan wanita. Dan sama saja, apakah bejana itu murni dari emas, ataupun bercampur dengan emas. Baik itu terbuat murni dari perak, atau bercampur perak. Juga tak ada beda, bejana emas atau perak yang dipakai kecil atau besar, dan sama saja apakah makan banyak ataupun hanya sekadar satu suapan air dengan sendok emas atau perak. Sedangkan bejana yang ditambal dengan perak, itu dibolehkan. Gelas Nabi juga pernah retak, lalu disambung (ditambal) dengan perak.

Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah larangan bejana ini khusus untuk makan dan minum seperti zahir hadits tersebut; ataukah berlaku umum mencakup semua bentuk pemakaian. Menurut jumhur, penharaman ini mencakup semua bentuk pemakaian, seperti bejana untuk minyak wangi, tempat celak, dan yang sejenisnya. Mereka mengatakan bahwa penyebutan makan dan minum adalah karena biasanya itulah jenis pemanfaatannya. Sehingga larangannya tidak bermakna khusus untuk makan dan minum

Sedangkan beberapa ulama lain, di antaranya Shon’ani, Syaukani, juga Syaikh Ibnu Utsaimin, berpendapat bahwa pengharaman ini khusus untuk makan dan minum. Sehingga pemanfaatan selain itu, seperti untuk tempat minyak wangi, celak, wudhu, dan yang lainnya, itu dibolehkan. Alasannya adalah sesuai dengan makna zahir dari hadits tersebut. Di antara dalil yang menguatkannya adalah bahwa Utsman Bin Abdillah Bin Mauhib berkata: “Keluargaku mengirimku kepada Ummu Salamah dengan membawa sewadah air. Maka Ummu Salamah pun datang dengan membawa wadah kecil dari perak, di dalamnya terdapat rambut Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Biasanya apabila seseorang terkena ‘ain (pandangan yang menyebabkan sakit), atau terkena sesuatu (penyakit), maka orang tersebut akan mengirimkan kepada Ummu Salamah wadah airnya. Lalu aku melihat di dalam wadah (milik Ummu Salamah), aku lihat terdapat rambut berwarna merah.”[1] Ini adalah penggunaan bejana dari perak bukan untuk makan atau minum. Dan Ummu Salamah adalah perawi dari hadits yang disebutkan sebelum ini.

Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan berkata: “menggunakan emas dan perak untuk selain makan dan minum, tidak ada dalil yang menunjukkan adanya larangan untuk hal itu. Tak ada keterangan yang datang selain larangan makan dan minum menggunakannya (emas dan perak). Dan barangsiapa yang menyangka adanya pengharaman selain pada keduanya, maka pendapat ini tidak bisa diterima, kecuali bila ada dalilnya. Karena hukum asalnya adalah halal. Sehingga tidak bisa dialihkan hukum asalnya kecuali dengan (dalil) yang mengalihkan hukumnya. Adapun berhias dengan emas dan perak, maka tak ada keterangan yang melarang hal itu selain pada emas saja (untuk lelaki). Adapun perak, tak ada keterangan sedikitpun (yang melarangnya). Bahkan Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالْفِضَّةِ فَالْعَبُوا بِهَا

“… gunakanlah perak oleh kalian. Perbuatlah oleh kalian dengannya.” (HR. Abu Daud) Inilah ringkasan pendapat yang semestinya dipakai berkenaan dengan menggunakan dan berhias.” (Ar-Roudhotun Nadiyyah, dalam At-Ta`lîqôt Ar-Rodhiyyah juz 3 hal 106).

Hanya saja, sebagai kehati-hatian dan sikap wara’ seorang muslim, hendaknya ia menjauhi bejana emas atau perak dalam segala bentuk pemakaiannya, baik untuk makan minum, atau lainnya, seperti wudhu, wadah minyak wangi, dan yang lainnya. Terlebih lagi lebih banyak kaum yang sangat membutuhkan. Kurang pantas bila seorang muslim bergelimang kekayaan dan kenikmatan, sementara saudara lainnya begitu kekurangan, bahkan masih banyak yang kesusahan mendapatkan makanan untuk menyambung hidup.

(diambil dari Minhatul `Allâm Syarh Bulughul Marôm, Ad-Durorul Bahiyyah fî Bayânil Manâhî Asy-Syar`iyyah, dll).

Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 05 Tahun 02

[1] Ini khusus untuk apa-apa yang menjadi peninggalan Rosululloh, seperti rambut beliau, atau jubah beliau. Namun ini tidak berlaku untuk selain Rosululloh.

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.