Manusia memang makhluk pilihan. Alloh telah membekalinya dengan berbagai potensi dan kekuatan yang bisa mendatangkan hal-hal yang mencengangkan, bila ia bisa memaksimalkan potensi dan kekuatannya. Dan ini sudah pernah diwujudkan oleh generasi kaum muslimin terdahulu. Mereka memenuhi antero bumi yang mereka pijak dengan kekuatan, ilmu, dan juga cahaya petunjuk Ilahi. Satu kekuatan yang sangat ideal dan sempurna, di mana komposisinya begitu lengkap dan paripurna, yaitu kekuatan yang didukung hikmah dan ilmu, yang berbasiskan cahaya dan petunjuk Ilahi. Dan rahasia kejayaan yang berhasil diraih kaum muslimin ada pada dua komponen: ilmu dan kemauan (tekad dan kemauan keras).[1] Dua unsur inilah yang menjadi mesin pembangkit kemuliaan dan hidupnya umat.
Namun seribu sayang, banyak potensi kaum muslimin yang kemudian seolah menjadi mandul. Bukan karena umat ini tidak lagi melahirkan sosok yang mempunyai potensi dan kekuatan yang istimewa. Bahkan, dari rahim umat ini banyak terlahir generasi-generasi yang mempunyai banyak keistimewaan. Namun yang menjadi masalah adalah, apakah potensi ini sudah diberdayagunakan dengan sebaik mungkin? Atau, apakah potensi ni justru dihamburkan dalam hal yang sia-sia, yang justru membuat rangka umat ini menjadi rapuh?!
Dan di sinilah letak pentingnya kaum muslimin memupuk kembali tekad mereka. Mengasah kemampuan dan membangkitkan semangat, dalam rangka menggapai kembali kejayaan mereka. Nah, itu semua tak bisa digapai kecuali dengan ilmu. Jadi, dua komponen ini; ilmu dan tekad; bagaikan dua sisi mata uang untuk bangkitnya umat ini.
Dalam ayat dan hadits, kita bisa menemukan arahan yang memotivasi umat untuk berkemauan keras dalam menggapai perkara-perkara yang luhur dan tinggi. Di antaranya bahwa Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الأُمُورِ وأَشْرَافَهَا ، وَيَكْرَهُ سَفَاسِفَهَا
“Sesungguhnya Alloh mencintai perkara-perkara yang tinggi dan mulia, dan membenci hal-hal yang rendah.” (HR. Thobroni)
Dan itu tak bisa digapai tanpa ada tekad yang kuat. Karena kemuliaan dan keluhuran, dalam segala lini kehidupan, tak bisa digapai dengan hanya berpangku tangan. Tak bisa digenggam dengan hanya sekadar mengerahkan kemampuan sebatas menggugurkan kewajiban. Tapi harus diupayakan dengan sebaik mungkin, sepenuh kemampuan, dengan mengharap pertolongan dari-Nya. Sehingga sangat tepat apabila Rosululloh menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلا أَنْ يُتْقِنَهُ
“Sesungguhnya Alloh suka apabila salah seorang dari kalian berkarya, kalau dia melakukannya dengan sebaik-baiknya.” (HR. Thobroni, Abu Ya’la)
Bertekad Kuat Dalam Menekuni Agama
Seperti kita ketahui, bahwa ilmu menjadi pintu utama untuk menuju kemenangan. Dan yang menjadi kunci dari itu semua adalah ilmu yang digali dari syariat ini. Karena dengan ilmu inilah umat ini bisa mengawal langkahnya. Kemajuan semua lini ilmu, tanpa dikontrol oleh ilmu syariat, hanya akan menjurus pada kerusakan.
Karena itulah perlu upaya maksimal untuk mendorong umat ini dalam menekuni ilmu syariat. Untuk semua individu muslim, haruslah mempelajari hal-hal dasar dalam agama ini sebaik mungkin. Untuk selanjutnya mereka berbuat sebaik mungkin juga dalam bidang yang mereka tekuni. Dan untuk kelompok lain, hendaknya ada yang tekun dan berkemauan keras untuk menggali agama ini dengan semaksimal mungkin. Sehingga mereka bisa mengawal umat ini dalam membangun kekuatannya. Merekalah yang menjadi pengontrol dan pengendali semua elemen dari umat ini.
Contoh Dari Tekad Kuat Ulama
Kita lihat misalnya bagaimana etos dan kemauan keras dari seorang ulama besar, allamah dari negeri Syam pada masanya; Muhammad Jamaluddin Al-Qosimi. Beliau memang senantiasa memupuk kemauan kerasnya semenjak umur beliau masih kecil. Beliau senantiasa menjaga waktu dan mengimplementasikannya dalam amal nyata. Beliau sendiri bertutur: “Alloh telah membuat diriku -semenjak masih muda- cinta membaca, menelaah, dan menyalin buku dan mengarang berbagai risalah.” Beliau diberi anugerah besar dari Alloh sehingga beliau dijauhkan dari sikap gemar menganggur dan menghabiskan waktu sia-sia. Sehingga beliau banyak menelaah berbagai kitab dalam adab (sastra Arab) dan sejarah dalam jumlah yang tak bisa dihitung. Bila demikian kondisi dan kepribadian beliau, maka tak heran bila beliau bisa menggunakan waktu sebaik mungkin, sehingga bisa menjadikan diri beliau sebagai ulama besar. Simaklah bagaimana keuletan beliau dalam memanfaatkan penggal-penggal waktunya. Beliau membaca Shohih Muslim secara sempurna dalam waktu 40 hari, baik secara riwayat maupun dirayatnya.[2] Beliau membaca Sunan Ibnu Majah dengan cara seperti itu juga dalam waktu 21 hari. Muwattha’ Imam Malik beliau baca dalam 19 hari dengan cara seperti itu juga. Beliau membaca Taqrîbut Tahdzîb dengan memberikan koreksi terhadap kesalahan tulis dan sekaligus memberi catatan kaki dalam waktu 10 hari. Setelah menceritakan perihal bacaan beliau, beliau berkata: “Karena itu tinggalkanlah rasa malas, dan jaga baik-baik waktumu yang begitu berharga dengan mengkaji ilmu dan memperbagus amal.”
Ini contoh dari tingginya tekad para ulama kita. Belum lagi potret dari para ulama lainnya. Sebagai satu contoh lagi, Fairuzabadi; penyusun Al-Qômûsul Muhîth; beliau membaca Shohih Muslim dalam waktu tiga hari di Damascus. Dan tentunya para ulama yang mempunyai etos dan tekad tinggi ini, mereka akan bisa meniupkan ruh kebangkitan untuk umat ini. Karena mereka benar-benar paham akan ruh Islam yang terpancarkan dari sunnah-sunnah Rosululloh.
Jika generasi ini mau belajar dari perjalanan hidup ulama kita, maka akan banyak lahir ulama-ulama yang handal, yang dengan ikhlas berbakti untuk agama ini, dengan memberikan pencerahan dan pengawasan kepada semua elemen umat ini. Sehingga pembangunan umat ini dari berbagai lininya, akan bisa berjalan di bawah bimbingan dari ulama-ulama handal yang benar-benar ikhlas. Semoga akan muncul kesadaran dari semua komponen umat ini, untuk kembali memompa tekad meraih kemuliaan dan keluhuran.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 05 Tahun 02
[1] `Uluwwul Himmah, Syaikh Muhammad Ismail Muqaddam hal 6.
[2] Ilmu hadits riwayat adalah ilmuyang mencakup penukilan apa-apa yang disandarkan pada Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (penetapan), ataupun sifat, demikian pula yang disandarkan pada sahabat dan tabi’in. Sedangkan ilmu hadits dirayat adalah ilmu mengenai kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui keadaan sanad dan matan hadits. (Al-Wasîth fî `Ulûmil Hadîts hal 25).
Leave a Reply