Larangan Bicara Takdir Terlalu Detail

larangan bicara takdir terlalu detil

Larangan Bicara Takdir Terlalu DetailBeriman kepada takdir, yang baik maupun yang buruk, termasuk rukun iman. Takdir adalah aturan tauhid. Sedangkan iman kepada kepada sebab-sebab yang menghantar pada takdir baik dan buruk adalah aturan syariat. Perkara dunia dan agama tidak akan lurus dan benar tanpa iman kepada tauhid dan syariat.

Demikianlah yang Rasulullah tegaskan kepada seorang shahabat yang bertanya kepada beliau. “Kenapa kita tidak pasrah saja kepada ketentuan yang telah ditetapkan bagi kita dan tidak usah beramal?” Beliau menjawab, “Beramalah kalian! Sebab, semua pasti akan dimudahkan. Orang-orang yang berbahagia (ahli surga) akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan mereka yang akan mendapat kebahagian. Dan orang-orang yang sengsara (ahli neraka) akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan mereka yang akan mendapat kesengsaraan.” Kemudian beliau membaca:

فأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَآتَّقَى،  وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُ هُو لِلْيُسْرَى، وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَآسْتَغْنَى، وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى، فَسَنُيَسِّرُهُ و لِلْعُسْرىَ،

Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga). Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup. Serta mendustakan pahala terbaik. Maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” . (QS. Al-Lail: 5-10)

Sabda Rasulullah ini memerintahkan kita untuk beramal dan melarang kita pasrah. Amalan yang dilakukan manusia menunjukkan bahwa hal itu sebelumnya telah dikehendaki dan ditakdirkan Allah baginya. Dia-lah pencipta sebab dan akibat juga pencipta segala sesuatu. Zat yang tidak akan ditanyai tentang apa yang Dia perbuat.

Takdir adalah rahasia Allah. Dia tidak memberitahukannya kepada malaikat yang terdekat atau seorang Nabi yang diutus. Ada banyak nash yang menerangkan masalah takdir. Sebagian telah disebutkan dalam pembahasan tingkatan takdir. Sebagian dari dalil-dalil itu ada yang menafikan kezaliman Allah. Seperti firman-Nya:

وَمَا ظَلَمْنَهُمْ وَلَكِنْ كاَ نُوا هُمُا الظَّلِمِيْنَ

Artinya: “Dan kami tidaklah menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Az-Zukhruf: 76).

إِنَّ اللَّهَ لاَ يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْءًا وَلَكِنَّ النَّاسَ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, tetai manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” (QS. Yunus: 44).

Diantara dalil-dalil itu ada pula yang menetapkan kemampuan dan kehendak serta menyandarkan perbuatan kepada hamba. Hal ini akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai mazhab salaf dalam Qadha dan Qadhar. Dari keterangan tersebut, pembaca dengan beragam tingkatan dapat mengerti tentunya sesuai dengan kemampuan masing-masing sedikit banyak mengenai takdir.

Hal itu akan membimbing mereka untuk mengimani dan menerima semua yang Allah sembunyikan dari mereka. Suatu perkara gaib yang diimani oleh orang-orang bertakwa yang menerima ilmu Allah yang sempurna, kekuasaan-Nya atas segala sesuatu, dan ciptaan-Nya. Bila Dia berkehendak, pasti akan terjadi. Bila tidak, pasti juga tidak akan terjadi.

Rasul yang bijak dan perhatian terhadap umatnya telah mengingatkan hal itu kepada mereka. Karena hal tersebut dapat menghantarkan mereka pada jalan yang licin dan berbahaya. Beliau  melarang mereka berbicara terlalu detail dalam masalah takdir. Karena hal itu dapat memicu mereka mengkiaskan (menyamakan) Allah dengan makhluk-Nya yang dapat diindera dan dilihat, yang sebagiannya menyebabkan timbulnya paham materialistik. Ini adalah jalan yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan manusia untuk menentang Allah, sang penguasa dan pengatur, serta menjerumuskan ke dalam kebingungan dan kesesatan.

Manusia akan mendapatkan ketenangan bila hati patuh, tidak terlalu mendalam ketika membicarakan takdir, dan menjadikan perintah syariat yang diperolehnya sebagai petunjuk yang membimbingnya untuk berserah diri dan ridha terhadap sesuatu yang tidak diperolehnya. Al-Qur’an juga memerhatikan masalah seperti ini, yakni masalah ruh. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَيَسْءَلُو نَكَ عَنِ الرُّو حِ قُلِ الرُّحُ مِنْ أَمْرِ رَبٍِى وَمآ أُوتِيْتُم مٍِنً الْعِلْمِ إٌلاقَلِيْلآ

Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, Katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS. Al-Isra’: 85).

Artinya, kalian hanya diberi sedikit pengetahuan mengenai ruh. Dengan ilmu yang sedikit itu kalian tidak mungkin dapat mengetahui hakikat ruh. Kalian hanya mungkin mengetahui pengaruhnya saat ia berada dalam jasad.

• Mazhab Salaf dalam Qadha’ dan Qadar

Kaum salaf tidak menyelisihi kebenaran dalam hal qadha’ da qadar. Mereka mengatakan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu, Rabb dan pemiliknya. Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari hal itu. Segala sesuatu yang Allah kehendaki pasti terjadi, dan yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi.

Semua yang ada di alam raya ini atas kehendak dan kekuasaan-Nya. Kehendak-Nya tidak akan mampu dihalangi oleh sesuatupun. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Maha mengetahui yang sudah terjadi dan yang belum terjadi, dan yang tidak terjadi bagaimana bila itu terjadi. Dia telah menulis seluruh yang ada sebelum Dia menciptakan; semua perbuatan, rezeki, ajal, bahagia dan sengsara, serta yang lainnya. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-An’am: 17).

قُل لَّن يُصِيبَنآ إِلا مَا كَتَبَ الله لَنَا

Artinya: “Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami.” (QS. At-Taubah: 51).

“Dan Rabbmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al-Qashash: 68).

Dalil-dalil tersebut menunjukkan bahwa seluruh peristiwa yang terjadi di dalam raya ini telah ditakdirkan oleh Allah dan tertulis di sisi-Nya. Konsekuensi rububiyah-Nya adalah mutlak. Dia  tidak ditanyai mengenai apa yang Dia perbuat, sedangkan manusia akan ditanyai. Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Mahatau.

Dia mengatur segala sesuatu dengan ilmu dan hikmah-Nya sehingga Dia menjadikan seluruh perbuatan yang terjadi. Kekuasaan dan kehendak selain-Nya tidak berlaku padanya, seperti kehidupan, kematian, sifat-sifat makhluk; bentuk, panjang, pendek, dan lainnya. Begitu pula musibah dan bala’ yang terjadi. Allah berfirman:

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22).

Semua perbuatan, sifat, peristiwa yang terjadi di luar kehendak dan kemampuan manusia bukan termasuk taklif dari Allah dan tidak akan disandarkan padanya sedikit pun. Akan tetapi, banyak juga perbuatan yang ditakdirkan untuk manusia dan bisa dia lakukan dengan karunia dan ujian dari Allah yang di dalamnya mengandung hikmah ilahi, yaitu pahala, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

….لِيَبْلُوَ كُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا …….

“Agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalny.” (Hud: 7).

Manusia mendapati dirinya mampu melakukan dan meninggalkan perbuatan-perbuatan itu. Perbuatan itu pun benar-benar menjadi perbuatannya sendiri sebagaimana yang dikehendaki dan diinginkannya. Allah  berfirman:

وَقُلِ آلْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ فَمَن شآ ءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شآ ءَ فَلْيَكْفُرْ

Artinya: “Dan katakanlah, ‘Kebenaran itu datangnya dari Rabbnya, maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” (QS. Al-kahfi: 29).

كُلُّ آمْرِئِبِماَ كَسَبَ رَهِينٌ……

Artinya: “Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur: 21).

لِمَن شآءَمِنكُم أَنْ يَسْتَقِيْمَ

Artinya: “(Yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus.”(QS. At-Takwir: 28).

Karena manusia dapat memilih perbuatannya sendiri iman dan istiqamah, atau sebaliknya maka pertanyaan (malaikat), hisab, pahala, dan siksa itu ada. Tetapi, ini semua bukan berarti bahwa seluruh perbuatan manusia tersebut keluar dari kuasa Allah. Manusia tidak akan mampu, kecuali bila Allah  memberinya kemampuan. Ia tidak akan mempunyai keinginan untuk berbuat kecuali jika Allah menghendaki perbuatannya. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalil-dalil terdahulu. Jadi, Allah adalah pencipta segala sesuatu. Pencipta manusia berikut amalannya, dan Dia mengaitkan antara sebab dan akibat.

Dia Mahasuci. Di tangan-Nya seluruh kebaikan. Keburukan tidak disandarkan pada-Nya. Keburukan yang disandarkan kepada-Nya bukanlah keburukan. Dan penyandaran kepada-Nya dari sisi penciptaan dan kehendak bukanlah keburukan. Dia  zat Yang Maha bijak dan Maha-adil. Meletakkan segala sesuatu pada tempatnya secara patut. Perbuatan buruk itu bila disandarkan kepada hamba karena ia akan mengalami kebinasaan bila mengerjakannya. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh-Nya:

وَمآأَصَبَكُم مِّن مُّصٍيبَةٍ فَبِماَ كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُواْعَنْ كَثِيْرٍ

Artinya: “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30).

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

والخير كله فى يديك والشر ليس إليك

“Artinya: Seluruh kebaikan ada di tangan-Mu, dan keburukan tidak di sandarkan kepada-Mu.”[1]

Artinya, seluruh keburukan yang ada di alam semesta ini tidak disandarkan kepada Allah, sebab semua terpulang pada dosa yang bersumber dari hamba. Karenanya, keburukan tidak dikembalikan pada Asma’ dan sifat Allah, tetapi dikembalikan kepada makhluk-makhluk-Nya. Wallahu A’lam

Referensi:

“Kitab Tauhid.  Karya, DR. Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Pustaka: Ummul Qura’.

Bab VII, pembahasan Iman Qodha’ dan Qadar (Larangan Bicara Takdir Terlalu Detail)


Disusun oleh: Lailatul fadilah (Staf Ponpes Darul-Qur’an wal-Hadits OKU Timur)


[1]  Shahih Muslim,1/535.

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.