KEWAJIBAN SUAMI MEMBERI NAFKAH KEPADA ANAK DAN ISTRINYA- Sifat kikir lebih buruk dari pada bakhil,dan larangannya lebih keras. Ada yang berpendapat bahwa bakhil bersifat khusus,sedangkan kikir bersifat umum. Ada juga yang berpendapat bahwa bahwa bakhil itu identik dengan harta,sedangkan kikir identik dengan harta dan kebaikan.[1]
Dalam hadits nabi Shallallahu Alaihi Wasallam:
عن عائشة أن هند بنت عتبة قالت: يا رسول الله ان أبا سفيان رجل شحيح، وليس ما يكفينى وولدي، إلا
ما أخذت منه وهو لا يعلم. فقال: خذى ما يكفيك وولدك بالمعروف.
Artinya:
Aisyah meriwayatkan bahwa hindun binti utbah berkata, “wahai Rasulullah, sungguh Abu sufyan (suami hindun) adalah seorang lelaki yang sangat pelit. Ia tidak pernah memberi nafkah yang dapat mencukupi kebutuhan anak-anakku. Kecuali, bila aku mengambil harta suamiku tanpa sepengetahuannya. “Maka Rasulullah bersabda, “Ambillah (dari hartanya) untuk mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Antara kikir dan bakhil
Menurut ibnu hajar sifat kikir lebih umum dari pada sifat bakhil. Sifat bakhil hanya enggan memberikan harta,sedangkan sifat kikir enggan memberikan segala sesuatu yang ia miliki. Ada yang berpendapat yang mengatakan bahwa sifat kikir adalah watak sifat bawaan,sedangkan sifat bakhil tidak selalu pada diri seseorang. Sifat kikir juga termasuk sesuatu yang sudah menjadi kewajiban dan senang mengambil sesuatu yang tidak boleh di ambil. Sementara itu, sifat bakhil juga di tunjukkan dengan enggannya memberi sisa dari sesuatu.
∎ Penjelasan hadist
Seorang suami mempunyai hak atas istrinya,istripun memiliki hak atas suami. Salah satu hak suami adalah memberi nafkah. Hal ini dijelaskan dalam hadist.
Abu sufyan telah menafkahi istri dan anak-anaknya,tetapi nafkah yang di berikannya belum mencukupi. Hal tersebut mendorong Hindun(istri abu sufyan) untuk mengambil harta sang suami tanpa sepengetahuannya.
Karena khawatir tindakannya termasuk melanggar syari’at islam mencuri atau berkhianat, hindun menanyakan hal ini kepada Rasulullah. Hindun menjelaskan mengapa ia sampai melakukan perbuatan ini. Sebab, syari’at islam telah menegaskan bahwa seorang suami berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membolehkan hal tersebut selagi suaminyabelum memberi nafkah yang mencukupi dan istri juga dapat mencukupi kebutuhan keluarganya selain dengan cara ini.
Meskipun demikian, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tetap menjaga hak suami dalam kepemilikan harta. Beliau tidak membiarkan istri mengambil harta suami secara berlebihan. Nabi memberi syarat agar tindakan dilakukan dengan cara yang baik, yakni sudah mencukupi kebutuhan diri dan anaknya.
Sebab Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika melakukan haji wada’ (perpisahan) pada hari arafah. Saat itu,beliau menerangkan hak istri atas suaminya, “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam (memenuhi) hak istri. Sesungguhnya, kalian mengambil mereka dengan jaminan Allah dan menghalalkan kenaluan mereka dengan kalimat Allah.” Hingga sabda beliau,”Dan kalian wajib memberi rezeki (nafkah) dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.”[2]
Imam nawawi berkata, “rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, ‘Dan kalian wajib memberi rezeki (nafkah) dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik.’ Hadist ini menunjukkan bahwa seorang suami berkewajiban memeberi nafkah dan pakaian kepada istri. Hal ini di tetapkan ijma’.”[3]
Dalil lain juga menunjukkan hal itu adalah sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kepada seorang lelaki (mu’awiyyah Al-qusayri-penerj). Ia bertanya kepada beliau ,”wahai Rasulullah,apa hak istri atas suaminya?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, “Hendaklah suami memberinya makan jika ia makan dan memberinya pakaian jia ia berpakaian. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan tidak boleh menjelek-jelekkannya. Dan hendaknya ia tidak mengahajr[4] nya kecuali di dalam rumah.[5]
Dalil ini juga menunjukkan hal serupa adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “sebaik-baik sedekah ialahmembuahkan kecukupan.[6] Dan tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggungan mu.”[7]
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memerintahkan kita agar memulai dari orang-orang yang menjadi tanggungan. Istri pastri masuk dalam kategori ini, meskipun cukup janggal jika menamakan “nafkah” sebagai “sedekah”. Dalam hadist yang lain “nafkah” memang di sebut “sedekah”. Seperti dalam sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “……Sesungguhnya, sebesar apapun yang engkau nafkahkan, ia merupakan sedekah. Hingga sesuap makan yang engkau suapkan ke istri mu….”[8]
Ibnu hajar mengatakan, “Ath-thabari berkata, ringkasannya seperti berikut, ‘ Menafkahi keluarga hukumnya wajib. Orang yang berbuat demikian akan diberi pahala sesuai niatannya. Selain itu, nafkah tidak ada pertentangan di antara kedudukannya sebagai sebuah kewajiban dengan penamaannya sebagai sedekah. Sedekah disini bahkan lebih utama dibandingkan dengan sedekah sunnah.’
Banyak nya dalil yang menjelaskan tentang keutamaan bersedekah dan pahala yang akan diberi Allah kepada orang-orang yang bersedekah. Efeknya, hal tersebut membuat banyak orang lebih mengutamakan sedekah, meski hal itu akan membahayakan kelangsungan hidup orang-orang yang akan menjadi tanggungannnya. Bahayanya lagi, ia menjadi tidak peduli dengan nafkah merek. Oleh karena itu, islam menjelaskan bahwa menafkahi keluarga di atas merupakan sebuah kewajiban, ia juga termasuk sedekah. Keutamaan yang ada pada sedekah juga berlaku pada nafkah.
MACAM-MACAM NAFKAH
Nafkah yang wajib atas suami mencakup:
- Makanan dan minuman, termasuk pula peralatan makannya.
- Pakaian, meliputi: pakaian dalam,pakaian luar, dan pakaian lainnya.
- Tempat tinggal. Termasuk menyediakan kamar berikut kasur dan perabotan rumah yang layak.
Beberapa hal tersebut diatas wajib dipenuhi seorang suami menurut kesepakan ulama. Selain itu, ada beberapa nafkah lainnya yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan utama. Berikut rinciannya:
- Nafkah pembantu
Hukum mengenai nafkah pembantu berkaitan dengan hukum istri memebrikan pelayanan dirumah suaminya. Dalam pembahasan sebelumnya telah dinyatakan bahwa pendapat para ulama yang paling rajih (unggul) ialah wajibnya istri melayani suami. Jika demikian upah atau nafkah pembantu tidak menjadi tanggungan suami. Jika demikian, upah atau nafkah pembantu tidak menjadi tanggungan suami. Jika si pembantu hanya melakukan tugas istri di rumah. Sebaliknya, itu menjadi tanggungan istri. Kecuali jika istri atau wali nya mensyaratkan pada saat akad nikah untuk tidak diwajibkan memberikan pelayanan.
Dalam kondisi seperti ini, salah satu syarat memilih pembantu adalah seseorang yang di perbolehkan melihat istrinya. Bisa wanita atau seseorang yang masih memiliki hubungan kerabat dan mahram dengannya. Sebab, pembantu biasanya selalu menyertai tuannya dalam segala kondisi. Jadi, mau tidak mau ia juga harus memandang tuannya. “[9]
- Biaya berobat
Penyakit merupakan perkara yang kerap kali menimpa manusia. Istri terkadang menderita sakit sehingga memerlukan jasa dokter dan obat-obatan. Terkadang menelan biaya sedikit, tetapi terkadang juga menelan biaya yang tak sedikit. Selanjutnya siapakah yang berkewajiban menanggung biaya tersebut ? mayoritas ulama berpendapat bahwa biaya berobat kedokter dan obat-obatan bukan menjadi kewajiban suami.
Asy-syirazi ulama mazhab syafi’i mengatakan, obat-obatan biaya berobat, harga obat, dan bekam bukan tanggungan suami.”[10] Ibnu qudamah ulama mazhab hanbali mengatakan, “suami tidak wajib menanggung biaya obat-obatan dan periksa ke dokter.”[11] Mazhab hanafi berpendapat, “Biaya obat dan periksa ke dokter tidak menjadi kewajiban suami.”[12] Sementara itu, mazhab maliki menyatakan, “ada dua pendapat mengenai kewajiban yang wajib menanggung biaya obat dan periksa ke dokter. Namun, pendapat dalam kitab fiqih adalah keduanya tidak wajib bagi suami.”[13]
Beberapa peneliti konteporer menyatakan bahwa pendpat yang rajih dalam hal ini ialah memasukkan biaya obat-obatan dan dokter sebagai bagian dari nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya.[14] Namun pendapat yang menyatakan bahwa biaya obat-obatan dan dokter menjadi kewajiban ini harus disertai dengan dalil. Sebab, hukum asalnya adalah suami terbebas dari tanggungan tersebut. Hukum asal ini tidak bisa di ubah, kecuali ada dalil shahih yang menjelaskannya. Sebab, seseorang tidak boleh dibebani tanggungan harta yang wajib di tuanikan tanpa dalil yang mewajibkan itu.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa suami tidak berkewajiban menanggung biaya obat-obatan dan upah dokter adalah pendapat yang paling benar. Wallahu a’lam. Akan tetapi wajib di sini tidak menghalangi suami untuk menanggung biaya tersebuat secara sukarela.
- Kosmetik dan alat kecantikan
Berhias tentunya memerlukan alat, diantaranya ialah gincu,celak, kutek, parfum, bedak, dan lainnya yang membuat istri lebih menarik dan cantik. Mayoritas ahli fiqih dari kalangan mazhab hanafi, syafi’i, dan hambali berpendapat bahwa nafkah dan biaya seperti ini tidak menjadi kewajiban suami. Maliki juga sependapat dengan hal tersebut. Namun, mereka menambahkan bahwa alat-alat berhias biasa digunakan istri, yang kalau di tinggalkan akan berakibat buruk (seperti celak)[15] maka biayanya wajib dipenuhi oleh suami.[16] Jika seseorang suami meminta istrinya berdandan untuknya dengan menggunakan perangkat dandan tertentu maka semua biayanya wajib ditanggung suami dan bukan menjadi tanggungan istri. Ada dua perkara penting yang harus diperhatikan mengenai alat-alat kecantikan dan berdandan :
- Seorang istri hendaknya tidak berdandan dengan hal-hal yang melanggar aturan agama atau yang dapat mengancam kesehatannya. Meski, hal itu akan membuatnya cantik dan menawan.
- Semua kosmetik yang lumrah di masyrakat untuk menghilangkan bau tidak sedap yang timbul karena keringat istri dan semisalnya juga termasuk alat kebersihan.
UKURAN NAFKAH
Hadist pada bab ini menunjukkan bahwa nafkah makan di tentukan dengan ukuran yang mencukupi mnurut standar kecukupan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Ambillah dari hartanya yang dapat mencukupi dan anak-anakmu dengan cara yang baik.”Pendapat ini dinyatakan oleh jumhur ulama.[17] Namun, imam syafi’i mengukurnya dengan mud.[18]
Dalam hal ini,pendapat yang benar adalah pendapat jumhur ulama. Sampai-sampai Imam Nawawi[19] sendiri (yang notabenepembuka ulama syafi’iyyah) mengatakan,” Hadist ini mengandung beberapa kesimpulan,diantaranya ialah wajibnya menafkahi istri. Ketentuan nafkah diukur dengan kecukupan, bukan dengan mud. Padahal, mazhab syafi’i menyatakan bahwa nafkah istri di ukur dengan mud, suami yang kaya wajib memberikan dua mud (kepada istrinya) setiap hari, suami berekonomi sedang wajib memberiakn nafkah satu setengah mud, tapi ternyata, hadist ini membantah pendapat ulama mazhab kami[20] sungguh terpuji Imam Nawawi yang lebih mendahulukan sunnah dari pada pendapat mazhab nya.
Pengertian ‘cukup’ dipahami berbeda menurut pendapat seseorang, tempat, dan masa. Perbedaan ini dipahami berdasarkan kebiasaan suatu masyarakat menurut jenis makanan yang mereka konsumsi dan kondisi ekonominya.
Tatkala seorang istri bersedia dan ridha memakan makanan apa saja yang dibawakan suami untuknya itulah kadar nafkah makanannya. Tetapi, jika ia tidak tulus menerima pemberian nafkah suaminya itu (barangkali karena suaminya terlalu pelit) maka ia boleh mengadukan hal itu kepada seorang hakim untuk memberikan jalan keluar sesuai syari’at. Hakim hendaknya berijtihad untuk menentukan kadar kecukupan yang semestinya diberikan kepada istri tersebut. Dalam hal ini, istri juga boleh melakukan tindakan seperti yang dilakukan Hindun (istri abu sufyan), sebagaimana disebutkan dalam hadist bab ini.
Seorang istri berhak mendapatkan nafkah makanan, pakaian, dan tempat yang mencukupi. Ibnu qudamah mengatakan,”Pada ulama sepakat bahwa seorang suami wajib memberi nafkah pakaian kepada istrinya sesuai dengan dalil dan nash yang telah kami sebutkan. Sebab, istri istri senan tiasa memerlukanpakaian tersebut. Maka dari itu, suami wajib memenuhi sebagai nafkah. Palaian dinyatakan telah terpenuhi apabila kecukupan telah memadai dan tidak ada batasan yang konkrit dalam agama (seperti yang dinyatakan mengenai nafkah). Para ulama mazhab syafi’i pun sepakat dengan pendapat ini.[21]
Ibnu hajar berkata, “ Ibnu baththal bertutur, ‘Para ulama bersepakat bahwa selain memberi nafkah kepada istri, suami juga wajib membelikannya pakaian. Mereka bahkan menyebut suami harus memberi pakaian tertentu kepada istri. Tapi pendapat yang benar dalam hal ini ialah hendaknya seluruh penduduk negri (yang memiliki banyak musim) tidak hanya difokuskan satu jenis pakaian tertentu.
Selain pakaian, istri juga berhak mendapatkan tempat tinggal yang layak. Tempat tinggal tersebut bisa berwujud rumah miliki sendiri atau sewaan. Jika istri tidak ridha untuk tinggal bersama ibu dan bapak mertuanya atau dengan istrinya yang lain maka sang suami jangan memaksanya. Suami harus mencarikan tempat tinggal khusus untuknya yang dapat dihuni bersama anak-anaknya, jika ia sudah memiliki anak-anak. Tempat tinggal tersebut hendaknya berada di tempat yang sudah ada penduduknya, bukan tempat yang terisolasi dan menyeramkan. Selain itu, suami juga harus bisa memilih tetangga yang baik dan juga rajin shalat. Tempat tinggal yang di maksud ialah rumah berikut semua perabotan yang layak huni.
Siapakah yang menentukan kadar nafkah?
Kondisi suami dan istri bisa kaya dan juga miskin, bisa juga yang salah satunya demikian. Dengan semua kondisi tersebut, kadar nafkah di tentukan berdasarkan :
لينفق ذو سعةٍ من سعة, ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما ءاته الله, لا يكلف الله نفسا إلا ماءتها….{7}
Artinya:
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan orang yang disampaikan rezekinya hendaklah memebri nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikul beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang allah berikan kepadanya….”(QS. Ath-thalaq :7)
Dari ayat di atas jelas bahwa barang siapa yang memiliki keluasan rezeki (kaya), hendaknya memberikan nafkah sesuai dengan keluasan rezekinya. Dan barang siapa yang rezekinya sedikit (miskin), hendaknya ia memberikan nafkah menurut kemampuannya. Ia tidak harus membebani dirinya dengan sesuatu yang berada di luar jangkauannya. Sebab, allah tidak membebani manusia dengan sesuatu yang belum dikaruniakan kepada mereka.
Mengenai tempat tinggal, Allah berfirman :
أسكنو هن من هيث سكنتم من وجدكم….{6}
Artinya:
“Tempatkan lah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu….” (QS. Ath-thalaq :6)
Maksud firmannya, “….menurut kemampuan mu….” ialah sesuai dengan kelapangan rezeki dan harta yang kamu miliki. Semua seruan yang terdapat di dalam ayat ini adalah untuk suami.
Salah satu perjalanan berharga yang dapat di petik bahwa setiap hal yang diperintahkan di dalam agama selalu di kaitkan dengan kelapangan, potensi, dan kemampuan yang di miliki. Hal ini juga di kuatkan oleh perkataan mu’awiyah Al-Qusyairi ketika bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “ Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami atas suaminya?” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab, “Hendaklah ia memberinya makan jika ia makan dan memberinya pakaian jika ia berpakaian…”[22]
Asy-syaukani berkata, “ Hadist ini sebagai dalil yang menunjukkan bahwa standar yang dijadikan pertimbangan yang di beri nafkah adalah suami. Dalil ini di kuatkan lagi dalam firman Allah, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang di sempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang di berikan Allah kepadanya….” (Ath-Thalaq).[23]
Jika hadist ini di sandingkan dengan firman Allah, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemapuannya…”(Ath-thalaq :7) maka hal ini yang di tunjukkan menjadi standar kadar nafkah adalah kondisi kedua pasangan (suami istri). Pendapat ini dikemukakan oleh mazhab Hanafi[24]
Jika hadist dalam bab ini di amati seksama maka pendapat yang menyatakan bahwa nafkah di ukur menurut kondisi suami adalah lebih ‘rajih’. Penjelasannya, hadist di sini menunjukkan bahwa abu sufyan termasuk orang yang berkecukupan. Maksud sabda rasulullah kepada hindun, ‘Ambillah dari hartanya (orang kaya) yang dapat mencukupimu… “Tidak berarti ia mengambil jatahnya dari suami yang miskin. Seolah-olah Rasulullah bersabda kepada HIndun, “Janganlah terlalu berlebihan mengambi hartanya,meski ia orang kaya. Tetapi, ammbillah sekadar yang dapat mencukupi diri dan anak-anakmu.
Hadist ini juga berisi realita, bukan sekedar keterangan dari sabda beliau yang bersifat umum. Dengan demikian, dalil yang menjadi rujukan dalam kondisi seperti ini tetaplah firman Allah, “Hendaklah orang yang mampu member nafkah menurut kemampuannya…”(QS. Ath-thalaq:7).
Suami boleh menyimpan makanan pokok untuk keluarganya
Seorang suami boleh menyimpan makanan pokok untuk pesediaan selama setahun untuk keluarganya. Hal itu tidak bertentangan dengan prinsip tawakal dalam syari’at islam. Hal itu juga dinyatakan dalam hadist Umar bin khattab bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pernah menjual krma Bani Nadhir. Beliau kemudian menyimpan makanan pokok untuk persediaan bagi keluarganya selama setahun.[25]
Ibnu hajar berkata, “Ibnu daqiq Al-‘id bertutur, ‘Hadist Umar di atas menunjukkan diperbolehkannya menyimpan persediaan makanan pokok selama setahun untuk keluarga. Konteks hadist tersebut sering disandingkan dengan hadist yang berbunyi, “Beiau tidak pernah menyimpan sesuatu untuk hari esok.”[26] Padahal, pengertia menyimpan dalam hadist adalah untuk diri sendiri. Adapun dalam hadist Umar, kata ‘menyimpan’ mengandung pengertian menyimpan untuk orang lain meski, beliau sendiri juga termasuk di dalamnya. Alasan beiau untuk menyimpan makanan adalah untuk keuarga. Jadi, apabila mereka tidak ada, beiau tidak akan menyimpannya. “ Ibnu hajar menambahkan, “ Para ahli kalam memaknai hadist itu, apabila simpanan tersebut lebih dari setahun, berarti teah keluar dari batas tawakal.” Pernyataan in sekaligus terdapat isyarat yyang menentang pendapat Ath-thabari yang menjadi kan hadist ini sebagai dalil diblehkannya menyimpan makanan ttanpa batas waktu. Ibnu Daqiq juga senada dengan ibnu hajar, “…Dengan batasan waktu setahun. Ini karena telah mengikuti hadist yang ada.”
Selanjutnya meski Rasululullah menyimpan persediaan makanan selama setahun untuk keluarga beliau, namun di sepanjang tahun itu beliau bias mengambil sedikit darai nafkah keluara untuk diberikan kepada orang miskin. Setelah ada rezeki, beliau kemudian mengganti baju besi Rasulullah telah tergadai sebagai jaminan atas gandum yang di pinjam untuk makan keluarga beliau.[27]
Nafkah anak-anak
Hadist dalam bab ini menunjukkan bahwa nafkah anak-anak adalah wajib ditanggung oleh ayah mereka. Hal ini berdasarkan penggalan sabda Rasulullah, “Dan anak-anakmu…” Kata anak disini meliputi anak kecil dan besar, lelaki dan perempuan. Meskipun demikian, pemberian nafkah kepada anak di batasi dalam beberapa batasan, di antaranya :
- kondisi anak-anaknya miskin tidak memiliki harta. Jika mereka memiliki harta maka sang ayah tidak berkewajiban member nafkah kepada mereka
- Mereka masih kecil (belum dewasa). Jika sang anak telah dewasa dan tidak menderita sakit keras yang menghalanginya untuk berusaha maka ia harus bekerja dan berusaha untuk menafkahi dirinnya sendiri. Sang ayah tidak lagi berkewajiban untuk menafkahinya. Hal ini tidak dinyatakan oleh mazhab Hambali.
- Status anak sebagai orang yang merrdeka (bukan budak). Jika ia seorang budak maka nafkahnya wajib di tanggung oleh orang tuanya.
- Ayahnya adalah orang yang kaya yang memiliki banyak harta untuk menafkahinya. Jika sang ayah miskin maka tidak berkewajiban mwenafkahi anaknya.
Khusus untuk anak perempuan nafkah nya wajib di tanggung oelh sng ayah, saat ia masi kecil hingga belum dewasa dengan beberapa syarat :
- Anak perempuannya itu miskin. Namun, jika ia memiliki harta maka nafkahnya harus di ambil dari hartanya.
- Ia bukan budak. Namun, jika ia seorang budak maka nafkahnya wajib ditanggung oleh orang tuanya.
- Selama ia belum menikah. Namun,jika ia telah menikah maka suami wajib menafkahi istrinya, baik telah disetubuhi atau belum.[28],
Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Mudzir bertutur, ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai nafkah anak yang telah dewasa serta tidak mempunyai harta dan pekerjaan. Sebagian ulama mewajibkan nafkah diberikan kepada semua anak, baik yang masih kecil atau yang sudah dewasa, laki-laki dan perempuan. Itu dilakukan jika mereka tidak memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Sementara itu, jumhur ulama mengatakan bahwa seorang ayahhanya wajib menfakahi mereka hingga menginjak dewasa bagi laki-laki atau menikah bagi anak perempuan. Selanjutnya, seorang ayah tidak berkewajiiban lagi menafkahi mereka, kecuali kondisi mereka miskin. Selain hal tersebut maka gugurlah kewajban sang ayah terhadapnya. Sementara itu Imam Syafi’i mengategorikan cucu sama dengan anak.
REFERENSI:
Aqwam jembatan ilmu. Karya Syaikh Muhammad Asy-syarif. 2009.
Di ringkas oleh: Diana Rosella
[1] Lisanul arab:II/495
[2] HR.muslim,kitabul hajj (1218)
[3] Lihat minhaj syarh shahih muslim,imam an-nawawi :VII/253
[4] Jumhur ulama menjelaskan bahwa makna hajr disini adalah tidak mau menemui dan tinggal bersamanya;menjahui dan tidak mau berhubungan intim dengannya. Pendapat lain menyatakan, suami mau menidurinya kemudian memunggunginya. Ada juga pendapat yang menyatakan, suami tidak mau berhubungan intim dengannya. Selain itu, pendapat lain menyatakan bahwa suami mau menidurinya,tetapi tidak mau berbicara denganya. Lihat fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Ibnu hajar al-asqalani: XIV/497)
[5] HR Hakim dalam mustadrak. II/204 ia berkata, “sanad hadist ini shahih,tetapi Bukhari dan msulim tidak meriwayatkannya.” Ibnu Hibban dalam shahihnya : IX/482. Abu dawud dalam kitabun Nikah (2142). Abu dawud berkata, “Dan tidak menganggap jelek, yaitu dengan mengatakan,semoga Allah membuat mu jelek.” Ibnu majah dalam kitabun nikah (1850). Ahmad (19511). Dalam shahilul jami’ : I/602. Al-bani mengatakan “Hadist ini shahih”.
[6] Al-khattabi berkata, “hadist ini mengandung dua makna: (1) sebaik-baik sedekah adalah membuahkan kecukupan (bagi orang yang disedekahi) dan (2) sebaik-baik sedekah ialah yang di berikan oleh orang yang berkecukupan.” Lihat aunul ma’bud :IV/83
[7] HR bukhari, kitab An-nafaqat (5355)
[9]Al-mughni, ibnu qadamah, VII/569. Hal serupa juga dinyatakan dalam Al-majmu’ syarh Al-muhadzdzab, XVIII/260 dan ‘alal madzahib Al-arba’ah, IV/556 (fiqih hanafi), IV/558 (fiqih maliki).
[10] Al-majmu’ syarh Al-muhadzdzab : XVIII/253
[11] Al-mughni, ibnu qudamah : VII/568
[12] Al-fiqih ‘ala Al-madzahib Al-arba’ah :IV?557
[13] Al-fiqih, A’la al-madzahib Al’arba’ah IV/558
[14] Al-mufashsha fii ahkam Al-mar’ah, Dr. Abdul karim zaidan : VII/185.
Penapatnya ini hanya di temukan dalam fiqih syi’ah
[15] Menurut tradisi orang raab, celak merupakan yang sudah lazim digunakan
[16] Al-fikih, ‘ala Al-madzahib Al-arba’ah :IV/558
[17] Al-mughni, ibnu qudamah : VII/564
[18] Ukuran isi sama dengan 2 atau 3 liter
[19] Imam nawawi adalah salah seorang ulama terkemuka dari kalangan pengikut mazhab syafi’i
[20][20] Al-minhaj syarh shahih muslim karya An-nawawi: XI/11
[21] Al-mughni, ibnu qudamah : VII/568
[22] Sydah di takhrij sebelumnya
[23] Nailul Authar. V/449
[24] Al-fikih ‘Ala Al-madzahib Al-Arba’ah : IV/564. Pendapat lain dalam mazhab Hanafi menyatakan bahwa nafkah di ukur menurut kondisi suami.
[25][25] HR Bukhari, kitabun nafaqat (5357) dan muslim, kitabul jihad (1757)
[26] HR Tirmidzi, Kitabun Zuhd (2362). Ia berkata, “Hadist ini gharib (asing).” Ibnu hibban dalam shahihnya : XIV/270. Al-Albani menshahihka hadist ini dalam shahihul jami’ : II/876
[27] Fathul bari : IX/414
[28] Syra-syarat di atas dapat di lihat pada buku al-fiqih ‘Ala Al-madzahib Al-Arba’ah : IV/585-587
Baca Juga Artikel:
Leave a Reply