Kesabaran Itu Adalah Sebuah Sinar – Kesabaran adalah sebuah pilar kebahagian seorang hamba. Dengan kesabaran hamaba akan terjaga dari kemaksiatan, konsisten menjalankan keta’atan kepada Allah Ta’ala dan tabah dalam menghadapi segala macam cobaan dan ujian sebagaimana Ibnul qayyim rahimahullah mengatakan, ‘’ kedudukkan sabar dalam iman laksana kepala bagi seluruh tubuh. Apabila kepala sudah terpotong maka tidak ada lagi kehidupan di dalam tubuh.’’ (Al-Fawa’id , hal. 95)
Kemudian juga di sini kami akan menjelaskan maksud dari kesabaran itu adalah sinar. Sebagaimana di dala hadist ini yang berbunyi:
عَنْ أبِيْ مَالكٍ الْحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرٍيِّ رضي الله عنهما قَالَ: …..و الصَّبْرُ ضِيَاءٌ……..
Artinya: Dari Abu Malik al-Haritsy bin ‘Ashim AL-‘Asy’ary rodiyyallahu ‘anhum, ia berkata RasulullahShallallahu Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: ……kesabaran adalah sinar…. (HR. Muslim)[1]
SYARAH HADIST:
Sabda beliau: الصَّبْرُ ضِيَاءٌ , Sabar adalah: menahan diri terhadap sesuatu yang harus ia bersabar terhadapnya. Para ulama mengatakan yaitu bahwa:
Kesabaran itu ada 3 macam:
Pertama : sabar dari maksiat kepada Allah Ta’ala , artinya: engkau menahan dirimu dari melakukan perbuatan yang diharamkan meskipun sebab-sebab ada (di hadapan). Misal: seseorang diajak dirinya berzina –na’uudzubillaah– kemudian ia menolaknya. Kita katakan bersabar dari maksiat kepada Allah Ta’ala.
Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf عليه السّلام dengan istri al-‘Aziz (pembesar mesir saat itu), di mana si wanita mengajaknya untuk berzina –na’uudzubillaah– pada saat keadaanya sangat mendukung untuk diikuti, ia telah menutup pintu, dan berkata: “Marilah kesini’’, mengajak kepadanya. Yusuf عليه السّلام berkata:’’sesungguhnya tuanku telah memperlakukan aku dengan baik, sungguh orang yang zhalim tidak akan beruntung.’’ Artinya: bila aku mengkhianati tuanku pada istrinya (berzina dengannya) berarti aku akan berbuat dzalim. Karena begitu kuatnya desakkan, ia pun condong padanya sebagaimana yang Allah Ta’ala kisahkan di dalam al-qur’an:
وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِها لَوْلاَ أَنْ رَأَرى بُرْهَانَ رَبِّهِ
Artinya: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Rabbnya.’’ (QS.Yusuf: 24)
Akhirnya Yusuf عليه السّلام bersabar dan tidak melakukan hal itu meskipun kuatnya dorongan dan tidak ada halangan yang menghalanginya. Inilah contoh bersabar dari maksiat kepada Allah Ta’ala.
Demikian pula seperti yang dikisahkan Nabi tentang tujuh golongan yang akan dinaungi Allah Ta’ala pada hari ketika tidak ada naungan kecuali naungannya, beliau menyebutkan salah satunya:
وَرَجُلاً دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ و جَمالٍ فَقال أَنا أَخَافُ اللهَ
Artinya: ‘’Seorang laki-laki yang diajak oleh wanita yang memiliki kedudukan serta kecantikkan, ia berkata: sesungguhnya aku takut kepada Allah Ta’ala.’’[2]
Kedua: bersabar dalam rangka ta’at kepada-Nya. Hal itu dengan cara seseorang menahan dirinya dalam rangka ta’at kepada Allah Ta’ala. Seperti seseorang ingin shalat, tetapi dirinya mengajak kepada kemalasan, atau tetap berada di atas kasur, atau kepada makanan yang sebenarnya ia sedang tidak butuh, atu berbincang-bincang dengan teman, walaupun demikian ia tetap memaksakan dirinya untuk shalat, inilah gambaran dari bersabar dalam rangka ta’at kepada Allah Ta’ala.
Ketiga: bersabar terhadap takdir (ketentuan Allah Ta’ala). Allah telah mentakdirkan atas hamba-Nya apa yang sesuai dengan keinginannya dan juga ada yang tidak sesuai dengan keinginannya. Apabila ditakdirkan pada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan jiwanya membutuhkan kesabaran yaitu dengan cara menahan dirinya dari kekesalan atau kemarahan hati atau ucapan atau perbuatan, apabila musibah tersebut menimpanya.
Jika musibah menimpa seorang hamba maka ia harus menahan dirinya dari mengungkapkan kemarahan hati, dan hendaknya ia menyatakan keridhaan atas putusan Rabb-nya. Dan menahan diri dari kemarahan lisan, hal itu dengan tidak menyebut kata-kata celaka dan kebinasaan.
Serta menahan diri dari kemarahan yang berbentuk perbuatan, hal itu dengan cara tidak merobek-robek baju, menampar-nampar pipi atau semisalnya. Inilah yang disebut sabar atas takdir Allah Ta’ala, meskipun dirinya tidak suka kejadian buruk tersebut menimpanya.
Ada derajat yang lebih tinggi dari sabar, yaitu ridha dengan takdir Allah Ta’ala. Sikap ridha dengan takdir allah adalah keadaan yang lebih utama dari bersabar kepada takdir Allah Ta’ala.
Perbedaanya: orang yang bersabar terkadang hatinya merasakan sakit, sedih atau terluka, tetapi ia menjaga dirinya dari perbuatan haram. Adapun orang yang ridha hatinya akan selalu mengikuti qhada dan qadar Allah Ta’ala, lalu ia merasa ridha terhadap apa yang telah dipilihkan Allah Ta’ala untuknya dengan tidak memperdulikannya, ia selalu berjalan dengan qhada dan qadar Allah, baik yang dirasakannya baik maupun buruk.
Karena itu para ulama mengatakan perasaan ridha lebih tinggi dari sikap sabra, dan mereka berkata: sikap sabar wajib dimiliki manusia sedangkan perasaan ridha hanya ditekankan untuk dimiliki (tidak berdosa orang yang tidak memilikinya).
Mana yang lebih utama dari ketiga macam sabar di atas?
Kita katakan: bila ditinjau dari sisi perbuatan (sikap) sabar, maka yang lebih utama adalah bersabar dengan ketaatan, sebab di dalamnya terdapat upaya menahan diri, dan melelahkan badan. Kemudian setelahnya sabar dari maksiat. Kemudian yang berikutnya bersabar kepada takdir, sebab di dalam ini Anda tidak akan mampu mengelaknya, dan hanya ada dua kemungkinan padanya: engkau bersabar seperti sabarnya orang mulia atau engkau melupakan musibah tersebut sebagaimana binatang melupakan masalahnya. Ini dari bentuk perbuatan sabar.
Adapun dari sisi orang yang sabar, terkadang kesusahan bersabar dari kemaksiatan lebih berat daripada bersabar di atas keta’atan. Sebagai contoh: apabila seseorang dipersiapkan untuk minum khamar dan diajak kepadanya sementara ia menginginkannya, maka kita dapatkan ia kesulitan untuk mencegah dirinya dari meminum, hal itu lebih berat ia rasakan dari sekedar shalat sunnah dua raka’at, dan kenyataan ini tidak diragukan kebenarannya.
Demikian pula seorang pemuda jika dirinya diajak seorang wanita yang cantik, dalam suasana yang sepi, tidak ada orang yang melihatnya, keadaan serba mendukung untuk melakukan zina dengannya, akan tetapi tetapi dia menolaknya. Kesulitan dalam hal ini akan lebih berat dirasakan dari sekedar shalat sebanyak dua puluh raka’at.
Dalam hal ini bisa kita katakan: pahala kesabaran dari maksiat seperti ini lebih besar dari pahala keta’atan, disebabkan oleh kelelahan yang ia dapatkan padanya. Sehingga ia pun diganjar sesuai kadar kesulitan.
Sabda beliau: الصَّبْرُ ضِيَاءٌ “Kesabaran adalah sinar’’ beliau tidak mengatakan kesabaran adalah cahaya. Adapun dalam shalat beliau katakan ‘’cahaya (Nuur)’’, hal itu karena sinar terdapat padanya hawa panas, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءٌ
Artinya: ‘’Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar”. (QS.Yunus: 5)
Pada matahari (jelas sekali) didapatkan darinya hawa panas. Adapun kesabaran di dalamnya ada perasaan panas dan pahit, artinya menyulitkan manusia. Oleh karenanya: beliau mengatakan shalat adalah cahaya dan dalam kesabaran adalah sinar (Dhiyaa), yang mana didapatkan kesusahan dan keletihan.
Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘’di dalam al-Qur’an kata sabar di sebutkan dalam 90 tempat lebih. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan kepala bagi jasad. Sebab orang yang tidak mempunyai kesabaran dalam menjalankan keta’atan, tidak mempunyai kesabaran untuk menjauhi maksiat serta tidak sabar tatkala tertimpa takdir yang menyakitkan maka dia kehilangan banyak sekali bagian keimanan’’
Saudaraku, ketahulah sesungguhnya cobaan yang menimpa kita pada hari ini, baik sabar dari berbuat maksiat, sabar dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala dan sabar dalam menerima takdir di dalam urusan dunia maupun akhirat, itu semua masih ringan daripada cobaan yang di alami oleh salafush shalih dan para ulama pembela dakwah tauhid di masa silam.
Selalu ingat janji Allah Ta’ala yang artinya, ‘’Dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadan sebagai seorang muslim.’’ (QS.Ali ‘Imran:102)
Barokallahufikum…
Referensi: Syarah Hadist Arba’in. Karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
Peringkas: NENSI LESTARI (UMMU SALMA ATIKAH HASNA) pengajar di Ponpes Darul Qur’an wal Hadist OKU Timur sumsel.
[1] HR. Muslim, kitab ath- Thaharaarah, bab Fadhlul Wudhuu(no.223),(1)
[2] HR. Al-Bukhari dan Muslim.
BACA JUGA :
Leave a Reply