Oleh Ust. Brilly El-Rasheed bin Yulianto
Buaian nikmat kerap membawa hati terdampar di galaksi tipuan syaithoni. Terjebak di gemerlap “surga” duniawi selalu saja membuat lalai diri ini. Hujan karunia Alloh, kerap dinilai sebagai wujud ridho dan rahmat. Tak pelak selanjutnya adalah saat untuk mengklaim diri sebagai orang pilihan, wali Alloh yang terselamatkan, dari adzab pedih yang menghinakan, dan pasti masuk surga yang penuh kenikmatan. Tak jauh berbeda dengan gaya hidup sebagian besar generasi Jahiliyyah. Ketika beroleh banyak kenikmatan duniawi, hati pun menjadi lupa dan abai akan titah Alloh Rabbul ‘Izzati, akan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan nasehat ulama robbani, akan peringatan dari kanan dan kiri.
Tatkala semua orang menyapa dan menaruh percaya, sanjungan dan kekaguman seolah tak terhentikan, jabatan dan kekayaan meruah laksana hujan, yang terjadi adalah tensi ujub kian meningkat, kelamnya masa lalu sudah tak teringat, dinasehati tidak mau mengikuti, serasa semua keputusan sudah berada di atas kebenaran, ibadah sedikit demi sedikit terlupakan, kualitas Sholat terabaikan, rendahnya intensitas dzikir tidak jadi persoalan, inginnya hanya menikmati kesuksesan dengan membuang-buang harta di jalan yang sia-sia.
Bila musibah bagai air bah, cobaan bak ombak berkejaran, suasana carut-marut, atau beberapa saat hendak dijemput sang malaikat maut, barulah teringat dengan Alloh Yang Mahakuat, barulah sadar Alloh Mahabesar, barulah percaya Alloh Mahakuasa, tiada daya dan upaya kecuali dengan izin-Nya.
Masih bagus kondisinya seperti itu. Generasi Jahiliyyah dulu juga begitu. Ibaratnya, seperti disampaikan Alloh, ketika diburu badai dan ombak di atas perahu, “Alloh, tolonglah aku, yang bisa menolongku hanya diri-Mu.” Namun kala sampai di daratan keselamatan, jauh dari buruan ancaman penuh kesedihan, mereka pun menjauhi tauhid hak Alloh Al-Wahid, mereka sekutukan Dia dengan selain-Nya. Entah berhala, entah orang mati yang dianggap mulia, entah batu bata atau pohon yang jadi tempat gantungan senjata, entah Latta, Manat, dan ‘Uzza.
Alloh memperingatkan,
فَلَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهِ مُشْرِكِيْنَ. فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيْمَانُهُمْ لَمَّا رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُوْنَ.
“Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata, “Kami beriman hanya kepada Alloh saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Alloh.” Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunnah Alloh yang telah berlaku atas hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu, binasalah orang-orang kafir.” (QS. Ghafir: 84-85)
MESTINYA SELALU INGAT
Kepribadian yang pecah selalu menimbulkan masalah. Ingat saat sekarat, lupa saat berada, itulah ciri khasnya. Sementara Alloh menginginkan hamba-hamba-Nya senantiasa dalam naungan sayap malaikat-malaikat-Nya, Alloh ingin kita senantiasa dalam guyuran rahmah-Nya, Alloh berharap kita senantiasa dibanggakan-Nya di hadapan makhluk-makhluk yang disisi-Nya, karenanya Alloh memerintahkan kita untuk berupaya setiap waktu dihiasi dzikir kepada Alloh. Berkali-kali dalam kitab suci, Alloh hasung kita untuk mengingat-Nya di setiap detik yang diberikan-Nya.
Bukan karena Alloh pelit akan karunia-Nya, sehingga Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan umatnya untuk mengingat Alloh saat lapang maupun saat kondisi genting menghadang, akan tetapi hal itu lebih kepada betapa butuhnya jiwa terhadap nutrisi dzikrullah yang mampu menghidupkan cahayanya dan mencerahkan sinarnya. Juga merupakan wujud totalitas penghambaan kepada Alloh Pemilik Segala Kerajaan, agar tidak tergolong munafiq si penipu kemurnian qalbu.
Wahai penipu, Alloh tidak bisa engkau tipu. Tipu dayamu hanya sekuat seutas jaring laba-laba. Apakah Robbmu hanya engkau hadirkan saat terjepit lalu engkau singkirkan saat berbalut kebahagiaan? Doa itu ibadah. Penulisan taqdir sudah berakhir. Kita lahir lengkap dengan catatan taqdir yang tidak akan bisa afkir. Perubahan taqdir itu sendiri adalah taqdir. Taqdir adalah kuasa Alloh Yang maha awal dan maha akhir. Kalau kita ingat hanya saat sekarat, sama saja dengan mempermainkan Alloh penguasa langit dan bumi di hari kiamat.
Jangan seperti Fir’aun. Sepanjang hidup, ia sangat keras pengingkarannya terhadap dakwah Musa dan Harun. Fir’aun diajak untuk beriman kepada Alloh, malah menertawakannya dengan membuat bangunan tinggi seraya berteriak pongah, “Buatlah untukku bangunan yang tinggi agar aku dapat melihat tuhannya Musa!”
Di saat terjerat belasan bukti-bukti mukjizat, salah satunya tenggelam dalam pusaran laut yang terbelah oleh tongkat, di saat itulah baru Fir’aun mengucapkan kata iman kepada Alloh. Sayang seribu sayang, persaksian Fir’aun yang sebetulnya menyeruak dari nurani terdalam, tiada berguna apa-apa baginya di hadapan Sang Mahamulia. Iman ketika perjalanan usia harus dihentikan adalah iman yang sia-sia, Alloh tidak menerimanya. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْد مَا لَمْ يُغَرغِرْ
“Sesungguhnya Alloh menerima taubat hamba-Nya selama nyawanya berada di kerongkongan.” (Sunan At-Tirmidzi; Sunan Ibnu Majah; Musnad Ahmad. Shahih Al-Jami’ no. 1899)
Tak heran, Alloh berikan keistimewaan naungan, di hari hisab, kepada mereka yang mau menggunakan hidupnya untuk selalu mengingat Alloh saat senang maupun susah. Dari Abu Huroiroh radhiallahu anhu , Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ … وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ…
“Tujuh golongan yang Alloh naungi mereka pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya, … (diantaranya) pemuda yang tumbuh berkembang dalam ibadah kepada Rabbnya dan orang yang qalbunya selalu terkait di dalam masjid…” (Shahih Al-Bukhari no. 660)
Dengan demikian, masihkah bisa dibenarkan jika berjanji, “Ah, saya rajin ibadah kalau sudah tua sajalah.”? Tapi sebetulnya masih bagus berazzam untuk banyak ibadah ketika masa muda telah musnah. Ada yang lebih buruk lagi, yaitu mereka yang menunda-nunda taubat hingga tanda-tanda hari akhir muncul bergilir. Alloh mengungkapkannya,
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لاَ يَنفَعُ نَفْسًا إِيْمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيْمَانِهَا خَيْرًا قُلِ انتَظِرُواْ إِنَّا مُنتَظِرُوْنَ
“Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb-mu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: ‘Tunggulah oleh kalian sesungguhnya kamipun menunggu (pula)’.” (QS. Al-An’am: 158)
AGAR SELALU INGAT
Lupa adalah kodrat manusia. Kadang lupa, kadang ingat. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengakui hal itu, seperti keluhan salah seorang shohabat beliau, yang hanya karena menikmati kesenangan bersama keluarga kemudian mencurigai dirinya sendiri sebagai munafiq. Tapi yang namanya kodrat, tidak bisa melegitimasi kebiasaan buruk sehingga tidak bisa digugat. Maka sudah menjadi tuntunan iman, kita berusaha untuk selalu ingat kepada Alloh, maut, dan kehidupan akhirat.
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أَفْضَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَ أَكْيَسُهُمْ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَ أَحْسَنُهُمْ لَهُ اِسْتِعْدَادًا
أُوْلَئِكَ اْلأَكْيَاسُ
“Mu`min yang paling utama adalah yang paling bagus akhlaqnya. Dan mu`min yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat mati dan yang paling bagus persiapannya (untuk menghadapi kematian). Itulah orang-orang yang paling cerdas.” (Sunan Ibnu Majah. Ash-Shahihah no. 1384)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan,
زُورُوا الْقُبُورَ ، عُوْدُوْا الْمَرْضَى ، وَ اتَّبَعُوْا الْجَنَائِزَ ، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ.
“Berziarahlah kalian ke kubur, {jenguklah orang sakit, dan iringilah jenazah}, karena sesungguhnya hal itu akan mengingatkan kepada kehidupan akhirat.” (Sunan Ibnu Majah no. 1569. Ash-Shahihah no. 1981)
Dengan mengingat kematian, maka musibah seberat apapun, sedahsyat bagaimanapun, akan terasa ringan dan bahkan nikmat. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثِرُوْا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ فَمَا ذَكَرَهُ عَبْدٌ قَطٌّ وَهُوَ فِيْ ضِيْقٍ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ وَلاَ ذَكَرَهُ وَهُوَ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهُ عَلَيْهِ
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus seluruh kenikmatan, yakni kematian. Karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya ketika ditimpa kesempitan, melainkan akan membuatnya merasa lapang, dan tidaklah ia mengingatnya di saat lapang, melainkan hal itu akan membuatnya merasa sempit.” (Shahih Ibnu Hibban no. 2993. Shahih Al-Jami’ no. 1211)
Ikutilah majelis iman. Hiduplah bersama penghafal Al-Qur`an, dan penjaga sunnah Nabi yang mulia. Dan masih banyak cara yang lainnya. Yang pasti, ingat Alloh setiap saat memang berat, tapi tugas kita adalah mengupayakannya, sementara hidayah dan taufiq ada di tangan-Nya.
Sumber Majalah lentera Qolbu Tahun ke- 3 Edisi ke 8
Leave a Reply