Kedudukan Shalat Berjamaah

kedudukan shalat berjamaah

Kedudukan Shalat Berjamaah – Setiap muslim memahami betapa agungnya dan istimewanya kedudukan shalat dalam Islam. Shalat termasuk pondasi agama Islam yang mulia. Shalat merupakan amalan yang pertama kali dihisab oleh Allah Azza Wajalla  kelak pada hari kiamat. Shalat merupakan penyejuk mata Nabi Muhammad dan orang-orang shalih.

Shalat merupakan satu-satunya ibadah yang tidak pernah gugur dari seorang hamba, selama nyawanya masih ada. Shalat adalah satu satunya ibadah yang diwajibkan oleh Allah  secara langsung kepada nabi tanpa perantara. Shalat termasuk ibadah yang paling sering disebut dalam al-Qur’an yaitu sebanyak 100 kali. Tak mengherankan jika Nabi  sangat perhatian dengan shalat walau saat detik-detik kematiannya, bahkan Nabi mengancam keras bagi orang yang meninggalkan shalat sehingga diperselisihkan ulama setatus orang yang meninggalkannya apakah masih muslim atau kah tidak.

Bila demikian perkaranya, maka sudah semestinya bagi kita untuk mencurahkan perhatian kita terhadap masalah shalat dan bersemangat mempelajarinya sehingga shalat kita diterima di sisi Allah.

Sebuah fakta yang ada di depan mata kita, banyaknya kaum muslimin sekarang yang meremehkan shalat terlebih shalat berjama’ah di masjid. Tidak ragu lagi bahwa fakta di atas merupakan kemungkaran yang tidak boleh didiamkan dan diremehkan.

Sebagai seorang muslim kita pasti mengerti tentang kedudukan shalat yang begitu tinggi dalam Islam. Betapa sering Allah dan Rasul Nya menyebut kata shalat, memerintah melaksanakannya secara tepat waktu dan berjama’ah, bahkan bermalas-malasan darinya merupakan salah satu tanda kemunafikan.

Tanyakan pada hati kita masing-masing: “Pantaskah bagi seorang muslim meremehkan suatu perkara yang sangat diagungkan oleh Rabbnya, Nabinya dan agamanya? Apa yang kita harapkan

di dunia ini? Bukankah surga yang penuh kenikmatan dan kelezatan yang kita harapkan? Dan siapakah diantara kita yang mau meniru gaya hidup orang-orang munafiq?

Syariat Shalat Berjamaah

Shalat berjama’ah bagi muslim laki-laki adalah disyariatkan, tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama. Imam Nawawi  berkata: “Shalat berjama’ah diperintahkan berdasarkan hadits hadits yang shahih dan masyhur serta ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin”.( Al Majmu’ 4/84).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  juga berkata: “Para ulama bersepakat bahwa shalat berjama’ah termasuk amal ibadah dan syi’ar Islam yang sangat agung.

Barangsiapa yang beranggapan shalatnya sendirian lebih utama daripada berjama’ah, maka diatelah keliru dan tersesat. Lebih tersesat lagi jika beranggapan tidak ada shalat berjama’ah kecuali di belakang imam yang ma’shum sehingga mereka menjadikan masjid sepi dari shalat berjama’ah yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya mereka meramaikan masjid dengan kebid’ahan dan kesesatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya”.( Majmu’ Fatawa 23/222, Al Fatawa Al Kubro 2/267).

Hukum Shalat Berjamaah

Para ulama berselisih pendapat tentang hukum shalat berjama’ah sehingga terpolar menjadi empat pendapat (sunnah mu’akkad, fardhu kifayah, fardhu ‘ain dan syarat sah). Namun pendapat yang kuat -Wallahu a’lam- pendapat ulama yang mengatakan fardhu ‘ain dikarenakan dalil-dalil yang mereka paparkan begitu banyak , diantaranya:

Allah  Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُوٓا۟ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا۟ فَلْيَكُونُوا۟ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا۟ فَلْيُصَلُّوا۟ مَعَكَ

Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat  lalu shalatlah  mereka denganmu]” (QS. Annisa: 102)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain bukan hanya sunnah atau fardhu kifayah, sebab seandainya hukumnya sunnah tentu keadaan takut dari musuh adalah udzur yang utama. Juga bukan fardhu kifayahkarena Allah  tidak menggugurkan kewajiban berjama’ah atas rombongan kedua dengan telah berjama’ahnya rombongan pertama. (Kitab Shalat hal. 138, Ibnu Qoyyim)

Al Alamah As-Syinqithi  berkata dalam Adwaul Bayan 1/216: “Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjama’ah.”

Allah  Subhanahu Wata’ala berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah: 43)

Imam Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya 1/162: “Mayoritas ulama  berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya shalat berjama’ah. Namun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah, diantaranya Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Tafsir-nya 1/157. Ajaibnya beliau menyelisihi kedua gurunya As-Sa’di dalam Tafsirnya I/59 dan Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawanya 12/15.

وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ هَـمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ لِيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَـهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَـىٰ رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَـهُمْ..

Artinya: “Dari Abu Hurairah  bahwasannya Rasulullah  bersabda:“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. sungguh aku berkeinginan untuk memerintahkan dengan kayu bakar lalu dibakar, kemudian aku memerintahkan agar adzan dikumandangkan.Lalu aku juga memerintah seorang untuk mengimami manusia,lalu aku berangkat kepada kaum laki-laki (yang tidak shalat) dan membakar rumah-rumah mereka.”( HR. Bukhari 644 dan Muslim 651)

Imam Bukhari  membuat bab hadits ini “Bab WajibnyaShalat Berjama’ah”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa shalat berjama’ah fardhu ‘ain, sebab jika hukumnya sunnah maka tidak mungkin Rasulullah   mengancam orang yang meninggalkannya dengan ancaman bakar seperti itu.” (Fathul Bari 2/125.)

Ibnu Mudzir  juga mengatakan serupa, “Dalam hadits ini terdapat keterangan yang sangat jelas tentang wajibnya shalat berjama’ah, sebab tidak mungkin Rasulullah  mengancam seorang yang meninggalkan suatu perkara sunnah yang bukan wajib.” (Dinukil Ibnu Qoyyim dalam Kitab Shalat hal. 136)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, “Ada seorang buta datang kepada Rasulullah (Imam Nawawi berkata, “Maksud orang buta di sini adalah Ibnu Ummi Maktum, sebagaimana ditafsirkan dalam riwayat Abu Dawud dan selainnya.” (Syarah Muslim 5/157)) seraya berkata, “Ya Rasulullah, tidak ada seorang yang menuntunku ke masjid, adakah keringanan bagiku?” Jawab Nabi , “Ya.” Ketika orang itu berpaling, Rasulullah bertanya,“Apakah kamu mendengar adzan?” Jawab orang itu, “Ya.” Kata Nabi  selanjutnya, “kalau begitu penuhilah.” (HR . Muslim, 653)

Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata dalam Al-Mughni 2/130: “Kalau Nabi saja tidak memberi keringanan kepada orang buta yang tidak ada penuntun baginya  maka selainnya tentu lebih utama.”

Al-Khoththobi Rahimahullah berkata dalam Ma’alim Sunnah I/160-161: “Dalam hadits ini tekandung dalil bahwa menghadiri shalat berjama’ah adalah wajib. Seandainya hukumnya sunnah niscaya orang yang paling berhak mendapatkan udzur adalah kaum lemah seperi Ibnu Ummi Maktum.”

Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu mengatakan :

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَىٰ هٰؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَىٰ بِهِنَّ ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى ، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَىٰ ، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِـيْ بُيُوْتِكُمْ كَمَا يُصَلِّـيْ هٰذَا الْمُتَخَلِّفُ فِـيْ بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّـةَ نَبِيِّكُمْ ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ … وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُوْمُ النِّفَاقِ.

Artinya: “Barangsiapa ingin bertemu dengan Allâh di hari kiamat kelak dalam keadaan Muslim, hendaklah ia menjaga shalat lima waktu dimanapun ia diseru kepadanya. Sungguh, Allâh telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian  , sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk. Shalat lima waktu termasuk sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah kalian sebagaimana orang yang tertinggal ini shalat di rumahnya (dia tidak shalat berjama’ah di masjid) niscaya kalian akan meninggalkan sunnah Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah-sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat… Dan saya melihat (pada zaman) kami (para Shahabat), tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah kecuali seorang munafik, yang telah diketahui kemunafikannya”. (Muttafaq ‘alaih: HR. Al-Bukhâri, no. 644; Muslim, no. 651; Abu Dawud, no. 548; An-Nasa-I, II/107; dan Ibnu Majah, no. 79)

Ibnu Qoyyim Rahimahullah menjelaskan, “Segi pendalilannya, Ibnu Mas’ud menggolongkan orang yang meninggalkan jama’ah dalam koridor orang-orang munafiq yang nyata sedang tanda munafiq bukanlah dengan meninggalkan perkara sunnah atau melakukan yang  makruh.”( Kitab Shalat hal. 146)

Beliau juga menukil atsar-atsar serupa dari sahabat lainya seperti Abu Musa Al-Asy’ari, Ali bin Abi Tholib, Abu Hurairah, Aisyah,Ibnu Abbas, lalu berkata: “Inilah ucapan para sahabat -sebagaimana kamu lihat- shahih, masyhur dan menyebar. Tak ada seorang pund ari sahabat yang menyelisinya. Sungguh satu atsar saja sudah cukup sebagai dalil masalah ini (wajibnya shalat berjama’ah), lantas bagaimana kiranya apabila dalil tersebut saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya? (Kitab Shalat hal. 146)

Maka setelah jelas dalil-dalil tersebut di atas, sungguh tidak pantas seseorang untuk menyelisihi

dalil-dalil ini. Yang perlu diketahui bahwasannya sekalipun para ulama berselisih tentang hukum shalat berjama’ah, tetapi mereka sepakat bahwa, “Tidak ada rukhsah (keringanan) dalam meninggalkan jama’ah, baik kita katakan sunnah atau wajib/fardhu kifayah kecuali karena udzur umum atau khusus.”

Wallahu A’lam Bis showab.

 

REFERENSI:

Bersambung Insya Allah

Diambil dari kitab “Masalah Penting Seputar Shalat”

Ustadz Husein Abu Khaitsamah

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.