Berbicara mengenai wali, dan berbagai karomah adalah sebuah pembicaraan yang menarik. Yang demikian itu disebabkan karena adanya perkara-perkara yang diluar kelaziman dan kebiasaan yang muncul pada sebagian orang. Namun demikian kita perlu mengetahui makna wali dan karomah.
Makna wali:
Ibnu As-Sakkit berkata: Wilayah artinya kekuasaan. Wilayah dan walayah bisa bermakna pertolongan. Demikian yang dikatakan Al-Jauhari.[1]
Wilayah (kalimat yang darinya kata wali diambil) merupakan sebuah kedudukan yang agung dalam agama yang hanya diperoleh orang yang melaksanakan agama secara zhohir dan batin.
Perwaliaan bisa dilihat dari dua sisi:
Pertama: Sisi yang berkaitan dengan seorang hamba, yaitu berupa pelaksanaan perintah dan sikap meninggalkan berbagai larangan kemudian meningkat kepada penghambaan dengan berbagai ibadah yang bersifat sunnah.
Yang kedua: Sisi yang berkaitan dengan Alloh: Hal itu berupa kecintaan kepada seorang hamba, pertolongan baginya serta keteguhan yang diberikan kepadanya untuk tetap istiqomah. Adapun keajaiban yang yang muncul pada mereka bukan syarat seseorang menjadi wali Alloh.
Alloh berfirman:
“Ingatlah,sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yûnus: 62-63)
Artinya, seorang hamba yang beriman kepada Alloh dengan membenarkan-Nya serta membenarkan apa yang datang dari-Nya dalam Al-Qur’an maupun yang melalui Rosul-Nya Muhammad n , menetapi syariat-Nya secara zhohir dan batin, senantiasa melaksanakannya dengan merasa terus diawasi Alloh, tetap bertakwa serta berhati-hati agar tidak terjatuh dalam perkara yang dimurkai Alloh. Orang yang demikian itu adalah wali Alloh yang akan mendapatkan kecintaan, pertolongan dan kabar gembira dari-Nya dengan didapatkannya keridhoan Alloh serta surga-Nya. Tatkala ia meninggal dunia, maka rasa takut serta kesedihan akan hilang darinya karena ia melihat rahmat dan kabar gembira dari Alloh.
Hal itu diperkuat oleh hadits qudsi yang diriwayatkan Bukhori, bahwa Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
إنَّ الله تَعَالَى قَالَ : مَنْ عَادَى ليَ وَلِيّاً ، فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيهِ ، وَمَا يَزالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أحْبَبْتُهُ ، كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ ، ويَدَهُ الَّتي يَبْطِشُ بِهَا ، وَرجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإنْ سَألَنِي أعْطَيْتُهُ ، وَلَئِن اسْتَعَاذَنِي لأعِيذَنَّهُ
“Sesungguhnya Alloh berfirman: “Barang siapa yang memusuhi waliku, maka sungguh telah Aku kumandangkan peperangan terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Dan senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan melakukan perkara-perkara yang sunnah hingga Aku mencintainya. Jika aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, pandangan yang ia gunakan untuk melihat, tangan yang ia gunakan untuk menangkap dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku niscaya akan Ku beri, dan jika ia meminta perlindungan maka Aku akan melindunginya.”
Hadits tersebut mengandung beberapa perkara dari dua sisi:
Dilihat dari sisi seorang hamba, hadits tersebut mengandung kewajiban-kewajiban yang ditunaikan seorang hamba, kemudian pendekatan seorang hamba dengan berbagai amalan sunnah.
Dilihat dari sisi Alloh, hadits tersebut mengandung kecintaan Alloh kepada hamba tersebut, pertolongan dan perhatian Alloh baginya pada setiap kondisi, serta penjagaan Alloh bagi anggota anggota badan hamba sehingga semua anggota badannya ia gunakan dalam perkara yang Alloh ridhoi. Yang demikian itu merupakan makna sabda Nabi n :
يَا غُلَامُ اِحْفَظِ اَللَّهَ يَحْفَظْكَ, اِحْفَظِ اَللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
“Wahai anak, jagalah Alloh maka Alloh akan menjagamu. Jagalah Alloh maka engkau akan menjumpai-Nya dihadapanmu.”
Demikianlah, jika seorang hamba menjaga Alloh dengan menjaga hak-hak-Nya, melaksanakan perintah-perintah-Nya serta meninggalkan larangan-larangan-Nya dan terus meningkat dalam beribadah kepada Alloh penciptanya maka Alloh akan menjaga anggota badannya dan memeliharanya serta memberikan taufik kepadanya.
Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya mengatakan: “Alloh memberitahukan bahwa para walinya adalah orang-orang yang beriman lagi bertakwa, sebagaimana yang Alloh jelaskan, maka semua orang yang bertakwa adalah wali Alloh.”
Ibnu Rojab Al-Hanbali mengatakan: “Wali Alloh adalah orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan melakukan amalan yang bisa mendekatkan mereka kepada-Nya. Dan musuh Alloh adalah orang-orang yang Alloh jauhkan dari-Nya karena melakukan amalan-amalan yang menyebabkan mereka terusir dan terjauhkan dari Alloh. Alloh membagi para wali yang dekat dengan-Nya menjadi dua jenis:
Yang pertama: Orang yang mendekatkan diri kepada Alloh dengan melaksanakan berbagai kewajiban yang mencakup perbuatan yang wajib dan meninggalkan perkara yang haram karena semua itu adalah perkara-perkara yang Alloh wajibkan kepada para hamba.
Yang kedua: Orang yang mendekatkan diri kepada Alloh dengan berbagai perkara sunnah setelah melakukan amalan wajib.”[2]
Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksudkan dengan wali Alloh adalah orang yang mengenal Alloh dan senantiasa mentaati-Nya serta ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”[3]
Sehingga kesimpulannya adalah bahwa kedudukan sebagai wali Alloh tidak akan diperoleh kecuali dengan keimanan dan ketakwaan.
Dalam surat Yûnus: 64 Alloh nyatakan adanya kabar gembira bagi para wali-wali Alloh. Alloh berfirman:
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Alloh. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yûnus: 64).
Kabar yang disebutkan dalam ayat mencakup kabar gembira di dunia dan kabar gembira di akhirat. Adapun kabar gembira di dunia mencakup beberapa perkara:
- Pemberitahuan kepada wali Alloh bahwa Alloh bersamanya dengan pertolongan-Nya. Sebagaimana Alloh berfirman:
“Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128).
“Sesungguhnya Kami menolong rosul-rosul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Al-Mukmin: 51).
- Pemberitahuan kepada wali Alloh mengenai apa yang telah Alloh persiapkan baginya di akhirat berupa kenikmatan dan keridhoan Alloh. Alloh berfirman: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rejeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqoroh: 25).
- Alloh menjaga wali-Nya dengan memberikan taufiq kepadanya, serta menjaga anggota badannya dari perkara kemaksiatan.
- Malaikat menyampaikan berita gembira ketika dicabutnya nyawa. Alloh berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Alloh” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fushshilat: 30-31).
- Mimpi seorang baik seorang mukmin dalam tidurnya. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
لَمْ يَبْقَ بَعْدِي إِلاَّ المُبَشِّرَاتُ ، قَالُوا : وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ ؟ قَالَ : الرَّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Tiada sepeninggalku selain kabar-kabar gembira.” Para sahabat bertanya: “Apakah kabar-kabar gembira itu?” Beliau menjawab: “Mimipi yang baik.” [4]
- Terkabulkannya doa
- Keajaiban-keajaiban yang terjadi padanya dengan izin Alloh di luar kemampuan manusia. Hal itu seperti yang terjadi pada Maryam dan para penghuni gua (ash-habul kahfi), seorang pemuda yang berhadapan dengan tukang sihir pada masa dahulu, serta anak bayi yang berbicara dengan ibunya dalam kisah ash-habul ukhdud.
Makna karomah:
Karomah adalah perkara yang diluar kebiasaan, Alloh nampakkan melalui para wali-Nya. Imam As-Safarini mengatakan: “Karomah adalah perkara diluar kebiasaan yang tidak diiringi pengakuan sebagai nabi dan juga bukan sebagai pendahulaan kenabian. Hal itu nampak pada hamba yang nampak jelas kesholihannya, baik hamba tersebut mengetahui keberadaan karomahnya ataupun tidak.”[5]
Keberadaan karomah benar adanya, namun bukan berarti kita membenarkan semua keanehan-keanehan yang diceritakan, karena memungkinkan terkandung di dalamnya berbagai kedustaan dan usaha untuk membuat-buat dari orang-orang sesat serta orang yang padanya terdapat kemunafikan. Oleh karena itu seorang muslim harus menjaga diri dan agamanya dengan tidak meriwayatkan selain apa yang benar-benar shohih dan benar, berdasar riwayat yang shohih atau ia melihatnya sendiri secara langsung.
Orang-orang yang memiliki karomah:
Keberadaan karomah tidak berarti segala keanehan yang nampak secara zhohir pada seseorang menunjukkan bahwa ia adalah seorang wali Alloh.
Kita bisa membagi orang-orang yang memiliki keanehan menjadi beberapa kelompok:
- Orang-orang sholih yang menetapi syariat Islam secara zhohir dan batin. Mereka beriman kepada Alloh dan apa yang diperintahkan untuk diimani serta melaksanakan apa yang yang wajib dilakukan serta beribadah kepada Alloh disertai rasa takut jika amalannya tidak Alloh terima. Merekapun menjadi Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai tauladan mereka dan tidak mengaku lebih baik daripada orang lain.
- Orang fasik yang menggunakan bantuan syetan dan setanpun menggunakan bantuan mereka. Hal tersebut bisa berupa sihir, atau yang semisalnya. Mereka inilah yang menjadikan syetan sebagai wali dan menjual agama mereka dengan apa yang dipersembahkan syetan untuk mereka berupa berbagai keanehan.
- Yang lain adalah orang kafir yang menggunakan berbagai sarana yang bermacam seperti yang digunakan orang fasik. Hanya saja orang-orang ini melakukan itu semua untuk merusak aqidah kaum muslimin.
- Para ahli ibadah yang tidak berilmu dan terkena tipu daya syetan tanpa mereka mereka menyadari. Apabila dalam keadaan sadar mereka melihat perkara aneh atau mendengar suara dan yang semisalnya maka mereka menyangka bahwa suara tersebut adalah malaikat yang mengajak mereka bicara. Bahkan bisa jadi syetan menyerupai anjing, keledai dan lain sebagainya dan membawa mereka ke tempat yang asing, atau membawa mereka melakukan haji dan lain sebagainya. Maka merekapun menyangka bahwa hal tersebut adalah kemuliaan yang Alloh berikan kepadanya.
Tidak lain itu semua adalah tipudaya syetan terhadap orang-orang yang menggemari karomah dan yang tidak memiliki ilmu agama yang bisa membedakan kebenaran dan kebatilan.
Contoh tipu daya syetan kepada manusia:
- Muhyiyuddin bin Arobi menyebutkan bahwa Abu As-Su’ud bin Asy-Syibl pada suatu hari berada di sekolah Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani sedang menyapu. Kemudian Khidhir berdiri di sampingnya dan berkata: “As-Salamu ‘alaikum.” Maka Abu As-Su’ud mengangkat kepala seraya berkata: “Wa ‘alaikumussalam,” kemudian kembali kepada pekerjaannya.
Khidhir berkata kepadanya: “Kenapa engkau tidak menggunakan kesempatan dengan kedatanganku seolah-olah engkau tidak mengetahuiku?”
Maka Abu As-Su’ud berkata: “Ya, aku mengenalmu. Engkau adalah Khidhir.?
Khidhir bertanya: “Kenapa engkau tidak menggunakan kesempatan dengan kedatanganku?
Maka Abu As-Su’ud sambil menoleh kepada Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani ia berkata: “Pada diri syaikh ini tidak tertinggal keutamaan bagi selainnya.”[6]
- Ibnul Haj berkata [7]: Telah dikisahkan dari sebagian murid bahwa ia dahulu menghadiri majelis syaikhnya kemudian tidak lagi ia menghadirinya. Maka syaikh bertanya mengenai dirinya. Orang-orang menjawab: “Ia dalam keadaan sehat.” Syaikh pun mengirimkan surat kepadanya, hingga hadirlah murid tersebut. Kemudian syaikh menanyakan sebab ketidakhadirannya.
Murid tersebut berkata: “Wahai tuanku, dahulu aku hadir agar aku sampai (kepada tingkatan tinggi), dan sekarang aku telah sampai. Maka aku tidak perlu untuk hadir.
Syaikhnya bertanya mengenai cara ia sampai (ke tingkat yang tinggi).
Murid tersebut memberitahunya bahwa setiap malam ia melaksanakan sholat di surga.
Syaikhnya berkata: “Wahai anakku, aku belum pernah memasuki surga. Mungkin engkau berkenan membawaku hingga aku bisa memasukinya sebagaimana engkau memasukinya.”
Sang murid berkata: “Ya.”
Maka Syaikh tersebut bermalam di rumah sang murid. Kemudian setelah waktu isya’ datanglah seekor burung dan turun di depan pintu rumah. Murid pun berkata kepada sang syaikh: “Burung inilah yang membawaku setiap malam di atas punggungnya ke surga.”
Maka syaikh dan murid tersebut menaiki burung hingga terbang sesaat kemudian menurunkan mereka di sebuah tempat yang banyak pepohonannya. Maka sang murid bangkit hendak melaksanakan sholat sementara sang syaikh duduk.
Muridpun bertanya kepada syaikh: “Wahai tuanku, tidakkah engkau melaksanakan sholat malam ini?”
Maka syaikh berkata: “Wahai anakku, tidak ada sholat di surga.”
Maka sang murid tetap melaksanakan sholat sementara syaikh duduk.
Kemudian tatkala terbit fajar datanglah burung tersebut, lalu sang murid berkata kepada syaikh: “Mari kita kembali ke tempat kita.”
Maka syaikh tersebut berkata: “Duduklah, tidaklah aku melihat seseorang yang telah memasuki surga kemudian kembali keluar darinya.”
Maka mulailah burung itu mengepakkan sayapnya dan berteriak hingga memperlihatkan kepada mereka bahwa bumi bergerak bersama mereka.
Sang murid tetap berkata kepada syaikh: “Mari bangkitlah, agar tidak ada sesuatu yang menimpa kita dari burung tersebut.”
Maka syaikh tersebut berkata: “Burung ini menertawakanmu, ia ingin agar engkau keluar dari surga.”
Mulailah syaikh membaca Al-Qur’an hingga burung tersebut pergi sementara mereka berdua tetap dalam keadaan seperti itu hingga sinar terlihat terang, dan ternyata mereka berada di tempat sampah dalam berada dalam kotoran sementara najis berada di sekitar mereka. Maka syaikh menampar murid tersebut dan berkata kepadanya: “Inilah surga yang kepadanya syetan menyampaikanmu kepadanya. Bangkit dan hadirlah ke majelis bersama para sahabatmu atau akan terjadi seperti yang engkau lihat.”[8]
Inilah sebagian keanehan yang diklaim sebagai karomah yang merupakan permainan syetan hingga dia menyesatkan mereka. Pengakuan yang bermacam-macam ini tidak terjadi selain pada orang yang tidak paham agamanya dan tidak mengetahui apa yang dibawa oleh Rosululloh. Oleh karena itu kita tidak mengetahui pengakuan-pengakuan seperti ini ada pada generasi sahabat yang merupakan orang yang paling sempurna keimanannya dan paling tinggi derajatnya diantara umat ini di sisi Alloh. Dan tidak pula kita lihat ada pada generasi para tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka yang merupakan diantara generasi terbaik.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata mengenai para sahabat: “Tidak ada diantara sahabat yang mengatakan bahwa ia kedatangan Khidhir, karena Khidhirnya Nabi Musa telah meninggal sebagaimana telah dijelaskan di tempat yang lain. Khidhir yang mendatangi kebanyakan manusia sesungguhnya adalah jin yang menyerupai manusia, atau ia adalah manusia pendusta dan tidak mungkin ia adalah malaikat yang mengatakan: “Aku adalah Khidhir,” karena malaikat tidak berdusta namun yang berdusta hanyalah jin dan manusia. Aku tahu, diantara orang-orang yang didatangi Khidhir yang merupakan jin yang terlalu panjang untuk disebutkan di sini. Dan para sahabat lebih mengetahui siapakah yang terjadi padanya pemalsuan syetan ini. Demikian juga tidak ada diantara mereka yang dibawa jin menuju Mekkah menuju Arofah untuk melakukan wuquf di sana sebagaimana yang dilakukan jin terhadap kebanyakan orang yang tidak berilmu, para ahli ibadah serta yang lainnya. Tidak ada pula diantara mereka yang untuknya jin mencuri harta dan makanan orang lain kemudian membawanya kepadanya hingga ia menyangka bahwa hal ini adalah karomah.”[9]
Ibnul Haj setelah menyebutkan berbagai kisah karomah dusta mengatakan: “Kisah-kisah mereka yang semakna dengan ini sangat banyak, intinya syetan tidak membiarkan seseorang dan tidak berputus asa untuk menyesatkannya kecuali jika nyawanya telah keluar (meninggal). Adapun sebelum meninggal maka ia akan berusaha keras dan menggunakan semua tipu dayanya untuk menyesatkannya.”[10]
Karomah perkara yang diyakini:
Ahlus Sunnah wal Jama`ah mengimani terjadinya berbagai karomah pada orang-orang sholih. Apabila ada orang tsiqoh (yang bisa dipercaya) menceritakan adanya karomah maka hal tersebut cukup untuk menunjukkan adanya karomah.
Tidak semua perkara yang nampak pada orang sholih dan yang lainnya merupakan karomah, melainkan bisa jadi merupakan usaha penyesatan yang dilakukan syetan. Oleh karenanya perlu adanya patokan ataupun syarat terjadinya karomah.
Syarat keajaiban sebagai karomah:
Tidak semua perkara yang di luar kebiasaan ataupun keanehan serta keajaiban merupakan karomah, namun bisa jadi tipudaya syetan untuk menyesatkan manusia sebagaimana yang telah kami singgung di atas. Oleh karenanya perlu ada batasan-batasan serta syarat diyakininya suatu keajaiban sebagai sebuah karomah. Berikut ini sebagian syarat-syarat tersebut:
- Orang yang memiliki keajaiban adalah orang sholih dan bertakwa. Hal itu merupakan sifat yang telah Alloh sebutkan dalam firman-Nya: “Ingatlah,sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (QS. Yûnus: 62-63)
- Orang yang memilikinya tidak mengaku sebagai wali. Karena kewalian itu merupakan tingkatan yang berkaitan dengan perbuatan Alloh dan perbuatan manusia. Di mana Alloh memberikan berbagai pertolongan dan yang semisalnya sementara hamba memberikan ketaatan dan ketundukan. Seorang hamba tidak mengetahui apakah Alloh menerima amalannya sehingga terangkat derajatnya ataukah tidak. Alloh berfirman: “Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm: 32).
Al-Imam As-Safarini menyebutkan bahwa seorang wali memiliki empat syarat, yaitu:
- Mengetahui pokok-pokok agama hingga bisa membedakan antara makhluk dengan Alloh, dan antara nabi serta orang yang mengaku-ngaku sebagai nabi.
- Mengetahui hukum-hukum agama baik secara periwayatan maupun pemahaman.
- Berakhlak mulia yang ditunjukkan oleh syari’at dan diakui oleh akal, seperti menjaga diri dari berbagai perkara haram bahkan perkara yang makruh serta melaksanakan perintah dengan ikhlas dan dengan mengikuti contoh Nabi.
- Senantiasa takut serta merendahkan diri dan melihat orang lain dengan pandangan rahmat serta memberikan nasihat, berusaha memperhatikan keindahan-keindahan syari’at dan melihat kekurangan diri dan perkara yang merusaknya serta merasa takut dengan memperhatikan amalan yang lampau serta akhir kehidupannya. [11]
- Keajaiban tersebut tidak menjadi sebab meninggalkan sebagian kewajiban: Karomah terjadi pada seorang wali karena ketaatannya kepada Alloh dengan keimanan dan ketakwaannya. Hal tersebut konsekwensinya adalah bahwa karomah itu tidak boleh menyelisihi sesuatu yang menjadi sebab diperolehnya keajaiban tersebut.
- Tidak bertentangan dengan perintah agama: Jika seseorang dalam tidur maupun dalam kesadaraan melihat seseorang dalam wujud nabi atau malaikat atau orang sholih mengatakan kepadanya: “Aku perbolehkan bagimu perkara yang haram, dan aku haramkan yang halal,” atau “aku gugurkan kewajiban darimu” dan yang semisalnya maka tidak boleh ia mempercayainya.
Diantara manusia ada yang mengetahui bahwa yang datang kepadanya adalah jin, lalu mengatakan: “Ini adalah karomah yang diberikan kepada kami dengan ditundukkannya jin untuk kami.”
Ada pula yang mengklaim penampakan dihadapannya adalah penampakan Syaikh Abdul Qodir, penampakan Khidhir, penampakan syaikh fulan dan fulan. Akalnya telah kacau, karena penampakan tersebut hanyalah syetan yang menampakkan diri dengan wujud mereka.
Dalam kitab Al-Muwâfaqôt Imam Syathibi menyebutkan beberapa tipu daya syetan kepada beberapa hamba Alloh yang sholih [12]: `Iyadh telah meriwayatkan mengenai seorang yang faqih bernama Abu Maisaroh Al-Maliki, bahwa pada suatu malam beliau dalam mihrobnya melaksanakan sholat, berdoa dan memohon. Ia merasakan sesuatu yang ringan, ternyata mihrobnya terbelah dan keluarlah darinya cahaya besar kemudian nampaklah sebuah wajah seperti rembulan seraya berkata: “Engkau telah memenuhi wajahku wahai Abu Maisaroh, aku adalah tuhanmu yang maha tinggi.” Maka Abu Maisaroh meludahinya seraya berkata: “Pergilah wahai makhluk yang terlaknat, semoga laknat Alloh kepadamu.”
Demikian pula yang dikisahkan mengenai Abdul Qodir Al-Kailani bahwa ia pernah merasa sangat haus, tiba-tiba datang sebuah awan dan menurunkan hujan seperti gerimis hingga ia bisa minum. Kemudian terdengarlah seruan dari awan: “Wahai Fulan, aku adalah tuhanmu. Telah aku halalkan bagimu perkara-perkara yang haram.” Maka Abdul Qodir berkata: “Pergilah wahai makhluk yang terlaknat.” Maka hilanglah awan tersebut. Kemudian Abdul Qodir ditanya: “Bagaimana engkau mengetahui ia adalah iblis?” Maka ia menjawab: “Karena ucapannya: “Telah aku halalkan bagimu perkara-perkara yang haram.”
Hal seperti itu, jika syariat bukan sebagai timbangan maka tidak akan seseorang mengetahui bahwa hal itu adalah tipu daya syetan.
Semoga Alloh melindungi kita dari berbagai tipudaya syetan hingga tidak tersesat dari jalan-Nya yang lurus. Sungguh jiwa ini sangat lemah, sementara kebanyakan manusia tidak memiliki senjata iman dan ilmu yang memadai untuk melindungi diri. Hanya kepada Alloh kita memohon pertolongan dan hanya kepada-Nya kita berlindung.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 04 Tahun 03
[1] Lisânul `Arob (15/ 407), dan Ash-Shihâh (2530), lihatlah Karômâtu Auliyâillâh; karya Imam Abul Qosim Hibatulloh bin Al-Hasan Ath-Thobari Al-Lalikai, hal. 7
[2] Jâmi’ul `Ulûm wal Hikam (262).
[3] Fathul Bari (11/ 342).
[4] Diriwayatkan oleh Imam Malik (956), Bukhori (6990), Abu Daud (5017).
[5] Lawâmi`ul Anwâr Al-Bahiyyah (2/ 392).
[6] Lathôiful Minan (152).
[7] Muhammad bin Muhammad Al-Maliki Al-Fashi, orang yang pernah singgah di Mesir, ia adalah orang yang memiliki keutamaan, asalnya dari Maghrib. Ia menunaikan haji kemudian kembali ke Mesir dan menetap padanya hingga meninggal di sana pada tahun 737 H. Ad-Duror Al-Kâminah (4/ 237).
[8] Al-Madkhol, karya Ibnul Haj (3/ 215-216).
[9] Al-Fatâwâ (1/ 249).
[10] Al-Madkhol (3/ 216).
[11] Lawâmi`ul Anwâr Al-Bahiyyah (2/ 397).
[12] Al-Muwâfaqôt (3/ 275).
Leave a Reply