Jauhilah Perbuatan Bid’ah

JAUHI PERBUATAN BID'AH

JAUHILAH PERBUATAN BID’AH

Bismillah
Alhamdulillah wasshalatu wassalamu ‘ala rasulillah, amma ba’du:

Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Artinya: “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam urusan agama), sebab setiap perkara yang baru adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat”. (Muttafaqun Alaih)

Yang dimaksud di sini adalah perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan agama, bukan dalam urusan dunia. Sebab, perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam urusan dunia ada yang bermanfaat dan itu merupakan kebaikan dan ada pula yang berbahaya dan itu merupakan keburukan. Sedangkan perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah buruk.

Demikian Nabi mengingatkan dalam hadits yang sedang kita bahas ini. Allah Ta’ala menyatakan di dalamn Al-Qur’an bahwa Islam ini sudah sempurna, tidak boleh ditambah dan dikurangi lagi.

Allah Ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ يَئسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ دِيْنِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِۗ اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ

Artinya: “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”[1]

Begitu pula Nabi mengingatkan bahwa agama islam ini sudah sempurna dan lengkap. Jalan yang membawa manusia ke Surga dan jalan yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan semuanya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ، ويُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ، إِلَّا وَقَدْ بُيِّنَ لَكُمْ

Artinya: “Tidak ada sesuatu yang mendekatkan kepada Surga dan menjauhkan dari Neraka, kecuali sudah diterangkan kepada kalian.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ath Thabrāni di dalam Al Mu’jamil Kabīr).”[2]

Rasulullah telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satu pun yang ditinggalkan. Beliau telah menunaikan amanah dan menasehati ummatnya. Kewajiban seluruh ummat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad, karena sebaik-baik petunjuk adalah Nabi Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau dan tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang bary dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.

Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah dengan benar supaya ibadah kita diterima, mendapatkan ganjaran pahala, dan memudahkan kita masuk Surga.

Dalam hadits di atas disebukan: “setiap perkara yang baru adalah bid’ah” maka apakah yang dimaksud dengan bid’ah?

Definisi Bid’ah

Imam as-Syathibi Rahimahullah (wafat th. 790 H) berkata: [3]

فالبدعة إذن عبارة عن : طريقة في الدين مخترعة، تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

Artinya: “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.” 

Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab, bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.

Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan “Untuk berlebih-lebihan dalam beribaah kepada Allah”, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab, demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah, yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan dalam firmanNya:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”[4]

Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut. Dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta mengulang-ulanginya.[5]

Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah (wafat th. 795 H) mengatakan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah apa yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang menunjukkan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikatakan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun bathin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah Bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.

Contohnya adalah ucapan ‘Umar bin al-Kkhathtab ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (shalat Tarawih) dengan mengikuti satu imam di masjid ketika beliau keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka, beliau berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah yang semacam ini.”[6]

Seseorang tidak boleh membuat cara-cara baru dalam agama untuk sampai kepada Allah dengan membuat thariqat-thariqat. Thariqat artinya jalan. Yang paling marak adalah thariqat-thariqat Shufiyyah. Tiap-tiap thariqat mempunyai cara dzikir dan cara beribadah tersendiri, yang berbeda dengan yang lainnya. Adanya thariqat ini diawali dengan perbuatan bid’ah dan terus dengan bid’ah yang pada akhirnya akan menghilangkan syari’at secara total. Sebab, dalam thariqat Shufiyyah ada keyakinan bahwa apabila seseorang dari pengikut thariqat itu sudah sampai kepada derajat hakikat ma’rifat maka tidak perlu lagi shalat dan puasa??!! Para ulama mengatakan tentang thariqat-thariqat Shufiyyah bahwa awalnya adalah bid’ah dan akhoirnya adalah zindiq (munafik).

Di antara mereka ada yang disebut sebagai wali Allah!! Jika ditanyakan kepada mereka, “Kenapa engkau tidak shalat? “Dia menjawab “Saya shalat di Makkah’??!! Dan ketika ditanya, “Kenapa tidak shalat Jum’at? Ia menjawab, “Maqam (kedudukan) saya berbeda.”??!! Nabi sendiri shalat sampai akhir hayatnya. Padahal beliau sudah diampuni semua dosanya yang lalu dan yang akan datang. Beliau shalat sampai kakinya bengkak. Di antara mereka yang mengaku wali itu ada pula yang minum pada siamg hari di bulan Ramadhan, ada yang minum khamr, bahkan di antara mereka ada yang mengawini wanita lebih dari empat orang, semua perbuatan ini menyalahi syari’at Islam, dan perbuatan mereka yang melanggar syari’at Islam mendapatkan hukuman yang berat di dunia dan akhirat. Jadi, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan mereka, pada awalnya adalah bid’ah dan akhirnya adalah zindiq.

Islam sudah sempurna, tidak ada istilah thariqat dalam Islam, dan Islam tidak pernah mengajarkan thariqat. Rasulullah tidak pernah mengajarkannya, begitu pula para Sahabat dan Tabi’in. Munculnya thariqat-thariqat ini jauh dari setelah zaman mereka. Kita hanya diwajibkan untuk mengikuti cara beragamanya para Sahabat dalam mengamalkan Islam.

Kita adalah pengikut Nabi, dan beliau sudah meninggalkan warisan, berupa ilmu yang bermanfaat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan jelas dan lengkap. Kita bisa baca dalam kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah, dan kita berusaha untuk mengamalkannya. Tetapi di antara mereka pendiri dan pengikut thariqat tertentu ada yang sampai mengatakan, “Kami tidak memakai Al-Qur’an dan As-Sunnah?!” Atau ucapan mereka, “Telah menceritakan hatiku, langsung dari Allah.” Ini jelas sudah sesat dan menyimpang jauh dari agaman Islam ini, menyimpang dari shiraathal mustaqim. Dan ketika mereka diingatkan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah mereka tidak mau menerima.

Allaahul Musta’aan…!

Kita ingatkan mereka dengan cara yang baik bila mereka mentimpang. Karena bila mereka menyimpang, ibadah mereka tidak akan diterima oleh Allah, dan bila tidak diterima oleh Allah maka mereka hendak masuk ke mana? Bila mereka mau masuk Surga, mereka wajib mengikuti Rasulullah dan para Sahabatnya dan meninggalkan semua syirik dan bid’ah. Karena untuk bisa masuk Surga adalah dengan cara mengikuti Sunnah Nabi.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ, فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.

Artinya: “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru. Karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[7]

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Artinya: “Siapa yang membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[8] 

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun, tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو ردّ

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak didasari atas perintah kami maka amalannya tertolak.”[9] 

Rasulullah sendiri yang mengatakan amalan bid’ah tertolak karena tidak terpenuhinya salah satu syarat dari dua syarat diterimanya ibadah, yaitu mutaaba’ah (mengikuti contoh/teladan Rasulullah).

Syarat diterimanya ibadah ada dua: (1) niat ikhlas karena Allah dan (2) sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan Kitab-Nya atau yang dijelaskan Rasul-Nya dan SunnahNya, jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, hal ini ditunjukkkan dalam firman-Nya:

فَمَن كَانَ يَرجُوا لِقَآءَ رَبِّه فَليَـعمَل عَمَلًا صَالِحًـا وَّلَا يُشرِك بِعِبَادَةِ رَبِّه اَحَدًا

Artinya: Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Rabb-nya.”[10]

Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selain-Nya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab Tafsiirnya[11], “Inilah dua landasan amalan yang diterima: (1) ikhlas karena Allah dan (2) sesuai dengan Sunnah Rasulullah.”

REFERENSI:

Diringkas oleh                  : Dewi Sartika (pengajar di ponpes darul Qur’an wal Hadits Ogan Komering Ulu timur sumsel)

Judul                                : Jauhilah Perbuatan Bid’ah !

Judul Buku                      : Wasiat perpisahan, wasiat Rasulullah dalam memberikan solusi dari perpecahan dan perselisihan ummat

Cetakan ke-1                  : Syawwal 1428 H / November 2007

Cetakan ke-2                   : Rabi’uts Tsani 1429 H / April 2008

Cetakan ke-3                   : Jumadil Ula 1429 H / Mei 2008

Cetakan ke-4                   : Rajab 1429 H / Juli 2008

Cetakan ke-5                   : Syawwal 1430 H /September 2009

Cetakan ke-6                   : Jumadats Tsaniyah 1431 H / Mei 2010

Cetakan ke-7                   : Rajab 1433 H / Juni 2012

Cetakan ke-8                   : Jumadats Tsaniyah 1434 H / April 2013

Cetakan ke-9                   : Jumadil Awwal 1438 H / Januari 2017

Penerbit                          : Pustaka At-Taqwa

Penulis                             : Yazid bin Abdul Qadir Jawas

 

[1] QS. Al-Maidah: 3.

[2] Shahih: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul kabiir (II/155-156, no. 1647) dari Shahabat Abu Dzarr al-ghifari. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1803).

[3] Al-I’tisham (I/43), karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Gharnathi asy-Syathibi, tahqiq Syaikh Masyhur Hasan Salman, cet. II, Daar al-Atsariyah, 1428 H.

[4] QS. Adz-Dzariyat: 56.

[5] Lihat ‘Ilmu Ushuulil Bida’ (hlm. 24-25) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid.

[6] Shahiihul Bukhari (no. 2010). Lihat Jaami’ul ‘Uluum wal hikam (II/128)

[7] Hasan shahih: HR. Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ahmad (IV/126-127) dan Ibnu Majah (no. 42, 43, 44), dari Sahabat Irbadh bin sariyah.

[8] Shahih: HR, Al-Bukhari (no. 2697) dan Muslim (no. 1718), dari ‘Aisyah, lafazh ini milik Muslim.

[9] Shahih: HR. Muslim (no. 1718(18)).

[10] QS. Al-Kahfi: 110.

[11] Tafsir Ibnu Katsir (V/205), tahqiq Sami Salamah, cet. Daar Thaybah

Baca juga artikel:

Etika Berumah Tangga

Pentingnya Belajar Agama

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.