Istri Yang Malang

Menjadi istri sholihah tentu merupakan dambaan setiap wanita. Betapa tidak ? Al-Qur’an dalam banyak ayat menjelaskan tentang keutamaan istri sholihah dan balasan yang akan mereka dapatkan di dunia dan di akherat. Sebaliknya, istri yang buruk, ia akan menuai balasan keburukannya di akhirat. Sebagus apapun suaminya, hal itu tidak akan bisa menjauhkannya dari adzab Alloh Subhanahu wa ta’ala.

Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda tentang wanita sholehah,

الدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah.” (HR. Muslim: no.1467 dan Abu Dawud: no.1855)

Maka seorang muslimah dituntut untuk senantiasa bersungguh-sungguh menjaga dirinya agar tidak terpuruk dalam keburukan yang menyebabkan kehinaan bagi dirinya. Semestinya ia berusaha mengambil ibrah (pelajaran) dari peristiwa atau kisah yang ada baik di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah, maupun kisah-kisah lainnya dari kisah orang-orang terdahulu maupun sekarang. Sebagaimana firman-Nya:

فَاعْتَبِرُوا يا أُولِي الْأَبْصارِ

“Maka ambillah (kejadian itu) sebagai pelajaran bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)

Alloh Shalallahu ‘alaihi wassalam berfirman tentang potret istri-istri yang buruk di dalam Al-Qur’an,

ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلاً لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كانَتا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبادِنا صالِحَيْنِ فَخانَتاهُما فَلَمْ يُغْنِيا عَنْهُما مِنَ اللَّهِ شَيْئاً وَقِيلَ ادْخُلا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ

“Alloh membuat istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah ikatan pernikahan dengan dua orang hamba yang sholih di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suami mereka[1], maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Alloh, dan dikatakan kepada keduanya: ‘Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka’.” (At-Tahrim: 10)

Disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwa istri Nabi Nuh berkata kepada orang-orang: “Nuh itu gila”. Bila ada seseorang yang beriman kepada Nabi Nuh ‘alaihis salam, ia pun mengabarkannya kepada kaumnya yang dzalim lagi melampaui batas. (Ma‘alimut Tanzil/ Tafsir Al-Baghawi 4/338, Ahkamul Qur’an, Al-Jashshash, 4/624).

Sementara istri Nabi Luth ‘alaihis salam mengabarkan kedatangan tamu Nabi Luth ‘alaihis salam kepada kaumnya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya no. 34461, 34462). Padahal Nabi Luth ‘alaihis salam merahasiakan kedatangan tamunya karena khawatir diganggu oleh kaumnya.[2]

Inilah pengkhianatan mereka kepada suami mereka. Hubungan mereka berdua dengan suami yang sholih dan kedekatan mereka tidak bermanfaat sama sekali disebabkan kekufuran mereka. Sehingga kelak di hari akhirat dikatakan kepada kedua istri tersebut: “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka.”( Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir At-Thabari, 12/160-161, Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 874, Adhwa`ul Bayan 8/381)

Ayat diatas dan yang semisalnya dari ayat-ayat Al-Qur’an terdapat pelajaran di dalamnya bahwa suami yang sholih sama sekali tidaklah memberikan manfaat kepada istrinnya kalau ia tidak beriman. Juga, ia tidak bisa memberikan manfaat kepada keluarganya yang lain. Contoh kisah Nabi Nuh dengan anaknya, kisah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan ayahnya, dan kisah Nabi Muhammad dengan pamannya, Abu Tholib, yang mana beliau tidak mampu untuk menolongnya walaupun ia telah memberikan pembelaan yang gigih kepada beliau.

Oleh karena itu Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

يَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنَ النَّارِ فَإِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكِ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا

“Wahai Fathimah binti Rosululloh, selamatkanlah dirimu dari api neraka karena sesungguhnya aku sesungguhnya tidak dapat memberikan kepadamu madhorot dan manfaat sedikitpun.”(HR. Tirmidzi: 3185)

Berkata Syaikh Asy-Syinqithi Rahimahullah, “Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain pada hari kiamat kelak, walaupun kerabat yang paling dekat, kecuali dengan perantara keimanan pada Alloh dan dengan syafaat yang diizinkan-Nya kepada hamba yang dimuliakan-Nya. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمانٍ أَلْحَقْنا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ

“Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak-anak turunan mereka dalam keimanan, maka akan Kami gabungkan mereka itu dengan anak-anak turunan mereka.” (QS. At-Thur: 21) (Tatimmah Adhwa`il Bayan, 8/382)

Al-Imam Ibnul Qoyyim Rahimahulla berkata:

“Ayat-ayat ini mengandung tiga permisalan, satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin.[3] Kandungan permisalan untuk orang-orang kafir yaitu bahwa orang kafir akan disiksa karena kekufuran dan permusuhannya terhadap Alloh Subhanahu wa ta’ala, Rosul-Nya, dan para wali-Nya. Dengan kekufurannya tersebut, hubungan nasab tidak bermanfaat baginya, juga hubungan kekerabatan karena pernikahan atau hubungan lainnya di antara sekian hubungan dengan kaum mukminin. Karena seluruh hubungan itu akan terputus pada hari kiamat, kecuali pertalian hubungan yang dilakukan karena Alloh saja melalui bimbingan para Rosul. Seandainya hubungan kekerabatan, ipar atau pernikahan itu bemanfaat walau tanpa disertai keimanan, niscaya hubungan Nuh dengan istrinya dan Luth dengan istrinya akan bermanfaat. Namun ternyata keduanya tidak dapat menolong istri mereka dari adzab Alloh Subhanahu wa ta’ala sedikit pun. Bahkan dikatakan kepada istri-istri mereka: “Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka”. Ayat ini memutus keinginan dan harapan orang yang berbuat maksiat kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala dan menyelisihi perintah-Nya untuk mendapat kemanfaatan dari kebaikan orang lain, baik dari kalangan kerabatnya atau orang asing, sekalipun ketika di dunia hubungan antara keduanya sangatlah erat. Tidak ada hubungan yang paling dekat dari pada hubungan ayah, anak dan suami istri. Namun lihatlah Nabi Nuh ‘alaihis salam tidak dapat menolong anaknya, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak dapat menolong ayahnya, Nabi Nuh dan Luth ‘alaihis salam tidak dapat menolong istrinya dari adzab Alloh sedikit pun. Alloh Subhanahu wa ta’ala berfirman:

لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحامُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ

“Karib kerabat dan anak-anak kalian sekali-kali tidak akan bermanfaat bagi kalian pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kalian.” (Al-Mumtahanah: 3)

يَوْمَ لا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئاً

“(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain.”(Al-Infithar: 19)

وَاتَّقُوا يَوْماً لا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئاً

“Dan jagalah diri kalian dari adzab hari kiamat, yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun.” (Al-Baqarah: 123)

وَاخْشَوْا يَوْماً لا يَجْزِي والِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلا مَوْلُودٌ هُوَ جازٍ عَنْ والِدِهِ شَيْئاً

“Takutlah kalian dengan suatu hari yang pada hari itu seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikitpun.” (Luqman: 33). (I’lamul Muwaqqi’in: 1/144. Maktabah Syamilah)

Dari apa yang dipaparkan diatas dapat di petik beberapa faedah:

  1. Masing-masing orang harus beramal agar selamat di akhiratnya dan tidak mengandalkan amal orang lain. Termasuk pula seorang istri, ia harus bertakwa kepada Alloh Subhanahu wa ta’ala, menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Janganlah ia tertipu dengan kedudukan suaminya, bagaimanapun kesholihannya, keilmuannya yang tinggi dan kedudukannya yang mulia dalam agama, di hadapan pengikutnya maupun masyarakatnya. Jangan ia merasa cukup dengan bersuamikan seorang ustadz atau seorang syaikh sekalipun, lalu ia merasa aman, merasa pasti masuk surga karena kedudukan suaminya. Sehingga ia pun duduk berpangku tangan enggan untuk belajar ilmu syar’i guna menghilangkan kebodohannya, dan malas pula beramal sholih. Kita katakan kepada wanita yang seperti ini: ‘Ambillah pelajaran wahai saudariku dari kisah istri dua nabi yang mulia, Nuh dan Luth ‘alaihis salam.
  2. Seorang istri tidak sepantasnya berkhianat kepada suaminya dalam kehormatan maupun dalam agamanya. Bahkan ia harus menyepakati suaminya dalam kebaikan dan ketaatan. Terlebih bila suaminya adalah seorang da‘i, dia mestinya menjadi orang pertama yang mengikuti dakwah suami dan mendukung dakwahnya, sebagaimana yang dilakukan Khadijah a dengan suaminya yang mulia, Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam.
  3. Adzab Alloh Subhanahu wa ta’ala hanya bisa dihindari dengan ketaatan bukan dengan wasilah (perantara), sehingga seorang istri yang durhaka walaupun ia memiliki suami yang sholih dan dekat dengannya hal itu tidak akan bisa menghindarkannya dari adzab Alloh Subhanahu wa ta’ala. Wallohu’alam Bis Showaab

Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 04 Tahun 03

[1] Berkhianat di sini bukan maksudnya mereka berdua selingkuh dengan lelaki lain yang bukan suami mereka dengan melakukan zina atau perbuatan keji lainnya. Karena para istri nabi terjaga dari berbuat keji disebabkan kehormatan dan kemuliaan para nabi tersebut. Dengan demikian Allah Ta’ala tidak mungkin menjodohkan para nabi-Nya dengan seorang istri yang suka melacurkan diri (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 874, Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1423). Para mufassirin sepakat, tidak ada seorang pun dari istri nabi yang berzina (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, Al-Qurthubi, 18/131, Fathul Qadir, 5/305)

[2] Kaum Nabi Luth ‘alaihissalam mempunyai kebiasaan keji, mereka senang melakukan hubungan dengan sesama jenis (homoseksual). Bila melihat seorang lelaki yang tampan, mereka sangat bernafsu untuk mengumbar syahwat mereka. Nabi Luth ‘alaihissalam pernah kedatangan tamu yang terdiri dari para malaikat dengan rupa lelaki yang tampan. Allah Ta’ala kisahkan dalam Al-Qur`an:
“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, ia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan ia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit”. Akhirnya datanglah kaumnya kepadanya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Wahai kaumku, inilah putri-putriku (nikahi mereka para wanita) mereka lebih suci bagi kalian, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan namaku di hadapan tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu, dan sungguh kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”. Luth berkata: “Seandainya aku memiliki kekuatan untuk menghadapi kalian atau jika aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat tentu akan aku lakukan”. Para utusan itu berkata: “Wahai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggumu. Karena itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam, jangan ada seorang pun di antara kalian yang tertinggal (jangan menoleh ke belakang), kecuali istrimu, sungguh dia akan ditimpa adzab seperti yang menimpa mereka…” (Hud: 77-78)

[3] Seperti disebutkan dalam kelanjutan ayat di atas (At-Tahrim: 11-12):
“Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berdoa: ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam jannah (surga), dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang dzalim.’ Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian ruh (ciptaan) Kami, dan Maryam membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya. Adalah dia termasuk orang-orang yang taat.”

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.