Istiqamah Diatas Sunnah Rasulullah

istiqomah di atas sunnah rasulullah-2

Istiqamah di atas Sunnah Dalam Berdalil

Istiqamah di atas sunnah dalam berdalil dengan dalil-dalil syar’i adalah salah satu prinsip yang sangat vital dalam kehidupan seorang Muslim. Bahkan poin-poin berikutnya adalah cabang dari poin yang pertama ini.

Kita semua tahu bahwa dalil-dalil syar’i yang kita pakai dalam beragama berdasarkan ijma para Ulama kita, yaitu ada tiga: Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma para Ulama kita. Ketiga sumber dalil ini telah disepakati oleh para Ulama kita sebagai prinsip dalam beragama. Diantara pada Ulama yang telah sepakat tersebut adalah empat imam yang bermadzhab ahlus sunnah wal jama’ah mulai dari Imam Abu Hanifah, Imam Mâlik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal rahimahumullah.

Pada urutan pertama, berdalil dengan al- Qur’an al-azhim yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad. Urutan berikutnya, berdalil di atas Sunnah Nabi Muhammad yang suci, lalu urutan selanjutnya, berdalil dengan Ijma Ulama. Dan ljma itu berdasarkan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana dijelaskan oleh para Ulama kita bahwa setiap ljma yang shahih (benar) pasti berlandaskan pada dalil yang shahih pula. Jadi, diantara wujud keistiqamahan seseorang di atas Sunnah adalah keistiqamahannya dalam berdalil dengan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma para Ulama.

Ketika berdalil dengan al-Qur’an, Sunnah dan Ijma, ada poin penting yang harus diperhatikan, yaitu keharusan mengembalikan pemahaman kita terhadap dalil-dalil itu kepada pemahaman para as-Salafus shalih, yaitu para Sahabat Nabi Muhammad, para Tabi’in, dan Tabiut Tabi’in. Karena kemampuan nalar masing-masing orang berbeda-beda dan daya tangkapnya juga bertingkat-tingkat. Sehingga istiqamah dalam masalah ini akan kita dapatkan manakala kita menggunakan pemahaman para as-Salafush shalih dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan hadits. Maka barangsiapa yang ingin berdalil, maka hendaklah dia berdalil dengan ayat al-Qur’an atau hadits Nabi lalu dia harus mencari tahu tentang pemahaman para as-Salafus shalih terhadap ayat ataupun hadits tersebut.

Mengapa demikian? Karena ilmu para as- Salafus shalih lebih dalam daripada kita, mereka lebih tahu tentang Bahasa Arab, dan hati mereka lebih bersih dan lebih lurus dibandingkan hati-hati kita. Jika kita menilik ke pemahaman mereka, kita pasti akan mengetahui maksud nash dengan benar dan kita terselamatkan dari kekeliruan dalam berdalil dan dalam memahami dalil.

Syaikhul Islam A menjelaskan bahwa orang yang menyimpang atau yang terjatuh dalam kekeliruan itu disebabkan oleh dua hal. Pertama, dia berdalil dengan sesuatu yang bukan dalil; Dan yang kedua, dia salah dalam memahami dalil Jika seseorang sudah berdalil dengan al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’ berarti dia telah terhindar dari sebab kesalahan yang pertama. Dan supaya selamat dari sebab kesalahan yang kedua, dia harus memahami dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma dengan pemahaman Salafus shalih.

Ada satu hal penting ketika membahas wajibnya kembali ke pamahaman Salaf dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, yaitu ada sebagian para penuntut ketika melihat beberapa tafsir sebuah ayat atau syarah sebuah hadits, mereka menemukan ternyata para salaf berbeda pendapat dalam menafsirkan beberapa ayat atau menjelaskan sebagian hadits. Jika demikian faktanya, lalu bagaimanakah langkah yang benar dalam kondisi seperti ini? Para penuntut ilmu itu harus melihat jenis perbedaan pendapat para Salaf tersebut. Karena perbedaan pendapat para Ulama itu ada bermacam-macam. Ada ikhtilaf tanawwu (perbedaan pendapat yang sifatnya redaksional atau ungkapan, sehingga masih memungkinkan untuk dipadukan-red) dan ikhtilaf tadhadh, sebagaimana hal ini disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Mukaddimah Tafsir. ikhtilaf tadhadh, yaitu penjelasan tentang satu ayat atau hadits bertolak belakang dengan

 

penjelasan yang lain terhadap ayat dan hadits yang sama. Untuk perbedaan yang masuk kategori ini diperlukan tarjih (pemilihan pendapat yang terkuat-red). Adapun perbedaan pendapat dalam kategori tanawwu, maka disini tidak diperlukan tarjih. Karena meskipun redaksi berbeda-beda namun kesimpulan akhirnya sama.

 

Misalnya, perbedaan pendapat para Ulama salaf tentang salah satu ayat dalam surat al- Fâtihah:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

Artinya:

“Tunjuklah kami ke jalan yang lurus”. (QS. Al- Fâtihah/1: 6)

 

Apa yang dimaksud dengan jalan yang lurus? Diantara para Ulama salaf ada yang menjelaskan bahwa maksud dari jalan yang lurus itu adalah al-Qur’an (sehingga maksudnya, tunjukilah kami al-Qur’an); Ada juga yang mengatakan bahwa maksudnya adalah agama Islam (sehingga maksudnya menjadi, “Tunjukilah kami ke jalan agama Islam.”); Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jalan yang lurus itu adalah Nabi Muhammad (sehingga maksudnya menjadi, Tunjukilah kami ke jalan nabi Muhammad “). Penafsiran ataupun penjelasan-penjelasan ini, meski berbeda tapi kesimpulannya atau intinya satu. Karena jalan yang lurus itu adalah al-Qur’an yang membawa ajaran agama Islam, sementara Nabi Muhammad adalah seorang rasul yang ditugaskan oleh Allah untuk mendakwahkan al-Qur’an dan dien Islam. Sehingga jika dicermati, tidak ada perbedaan dalam penafsiran ayat di atas.

Contoh lainnya, perbedaan pendapat para Ulama dalam menafsirkan ayat:

وَالَّذِي جَاءَ بِالصِّدْقِ وَصَدَّقَ بِهِ أُوْلَيْكَ

Artinya:

“Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS. Az-Zumar/39: 33)

 

Disini, Allah menyebutkan dua jenis orang.yang pertama orang membawa kebenaran dan yang kedua orang yang mengikuti kebenaran.

Para Salaf berbeda pendapat tentang siapa yang membawa kebenaran dan siapa yang mengikuti kebenaran? Diantara mereka ada yang menafsirkan,

bahwa orang yang membawa kebenaran adalah para nabi sedangkan yang mengikuti kebenaran adalah kaum Mukminin Yang lain mengatakan bahwa dimaksud dengan orang yang membawa kebenaran adalah Nabi kita Muhammad sedangkan yang dimaksud dengan orang yang menerima kebenaran adalah Abu Bakar as-Shidiq

Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang membawa kebenaran adalah semua da’i yang mendakwahkan dien Islam, sedangkan maksud dari orang yang menerima kebenaran itu adalah setiap orang yang mau menerima dakwah yang benar dari para da tersebut.

Kita perhatikan penafsiran para Ulama salaf yang berbeda-beda di atas namun sebagaimana contoh yang pertama, berbeda redaksi tapi makna atau intinya sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan bahwa penafsiran-penafsiran ini hanya menyebutkan contoh bukanbermaksud membatasi².

Kesimpulannya, yang dimaksud dengan orang yang datang membawa kebenaran itu adalah semua para nabi, termasuk nabi kita Muhammad juga termasuk para da’i yang mendakwahkan Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan orang yang menerima kebenaran itu adalah semua orang yang mengikuti seruan para nabi, termasuk diantaranya Abu Bakar juga semua orang yang mau menerima dakwah para dai kebenaran

Inilah ikhtilaf tanawwu, pendapat manapun bisa diambil dan diikuti, karena semuanya benar Tidak ada pertentangan atau kontradiksi dalam perbedaan pendapat tersebut.

Jenis kedua dari perbedaan pendapat adalah ikhtilaf tadhadh (perbedaan yang kontradiktif atau yang saling bertolak belakang, tidak mungkin untuk digabungkan, tidak mungkin di jama: Untuk itu harus ditarjih, harus dipilih salah satu pendapat yang kuat.

 

Sebelum memasuki tarjih, saya akan memberikan dua contoh juga sebagaimana pada jenis perbedaan pendapat di atas. Misal yang pertama dalam masalah akidah dan yang kedua dalam masalah fiqih. Contoh yang pertama, dalam masalah akidah yaitu perbedaan pendapat para Ulama dalam menafsirkan ayat al-Qur’an yang berbunyi:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

 

Artinya:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisa’/4: 48)

 

Para Ulama ahli tafsir berbeda pendapat dalam memahami kata syirik dalam ayat di atas. Apakah yang dimaksud dengan kata syirik disini hanyalah syirik akbar saja, sehingga yang melakukan syirik ashghar tidak masuk dalam ancaman ayat di atas? Ataukah kata syirik itu umum, mencakup syirik akbar dan syirik ashghar (kecil)? Sehingga semua pelaku kesyirikan masuk dalam ancaman Allah dalam ayat di atas.

Dalam masalah ini, ada dua pendapat para Ulama. Pendapat pertama mengatakan syirik yang dimaksud dalam ayat tersebut hanya syirik akbar berarti orang yang melakukan syirik ashghar, dia akan diampuni oleh Allâh. Pendapat kedua, syirik ini mencakup syirik akbar dan ashghar sehingga pelaku syirik akbar dan ashghar tidak akan diampuni oleh Allah Ini pendapat para ulama terhadap ayat yang barusan kita dengar.

Contoh kedua, dalam masalah figh. Yaitu perbedaan pendapat yang berlangsung sejak zaman para Sahabat tentang kata loamastumun nisa’ dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:

يَأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلوةَ وَأَنتُمْ شكَرَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِى سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِن كُنتُم قَضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنكُم مِّنَ الْغَابِطِ أَوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيْبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوا غَفُورًا

Artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci): sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun”. (QS. An-Nisa’/4: 43)

 

Apakah kalimat lámastumun nisa’ (menyentuh wanita) di sini sebagai kinayah dari jima’ (hubungan suami istri) ataukah benar-benar hanya sekedar menyentuh dengan tangan?

Perbedaan pendapat para Ulama dalam dua contoh di atas sudah sangat terkenal dan diketahui masyarakat. Ini perbedaan yang tidak bisa dikompromikan, saling bertolak belakang. Dalam kondisi seperti ini, harus dilakukan tarjih (memilih pendapat yang paling kuat). Bagaimana kita memilih pendapat yang lebih kuat? Ada dua cara untuk melakukan tarjih, tergantung pada kondisi orang yang melihat permasalahan ini. Jika orang itu termasuk Ulama atau ahli ilmu, maka untuk memilih salah satu pendapat, dia bisa melihat dalil- dalil lain dalam al-Qur’an dan sunnah. Dengannya dia bisa memilih pendapat yang dia pandang lebih kuat. Ini cara yang pertama, sedangkan cara kedua yang bisa ditempuh oleh para penuntut ilmu, yang belum memiliki kemampuan untuk meneliti nash-nash syar’iyah, maka caranya adalah cukup

dengan mengikuti pendapat Ulama ahli tahqiq atau muhaqqiqin (yaitu para Ulama yang sudah melakukan penelitian mendalam dalam masalah tersebut-red). Hendaklah dia mengikuti pendapat yang dirajihkan oleh para Ulama tersebut.

REFERENSI:

Artikel Syeikh Prof.Dr. Ibrahim Bin Amir Ar-ruhaili,MAJALAH AS-SUNNAH edisi 11/Thn. XXI/Jumadil Akhir 1439  H/Maret 2018 M.  Diringkas oleh Yopa Andre.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.