Iman kepada qadar, qadar secara bahasa adalah takdir, firman Allah ta’ala :
اِنَّا کُلَّ شَیۡءٍ خَلَقۡنٰہُ بِقَدَرٍ
Artinya:
“ sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (QS. al-qomar : 49)
Firman Allah ta’ala :
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ
Artinya:
“ lalu kami tentukan (bentuknya), maka kamilah sebaik-baik yang menentukan”. (QS. al mursalat: 23).
Adapun qadha’ secara bahasa adalah hukum. Kalau dikatakan ini adalah qadar Allah ta’ala maka iya mencakup qadha’. Kalau keduanya disebutkan secara bersama, maka masing-masing mempunyai makna sendiri. Hal ini sesuai dengan ucapan ulama, jika berkumpul (disebutkan secara bersamaan) maka terpisah makna, dan jika disebutkan secara terpisah, maka berkumpul (memiliki arti sama).
Takdir adalah perkara yang Allah ta’alatakdirkan di azal untuk terjadi pada makhluk-Nya, sedangkan qodha’ adalah perkara yang Allah ta’ala tetapkan pada makhluk-Nya dalam bentuk penciptaan, peniadaan, atau perubahan. Iman kepada qodar adalah perkara wajib, kedudukanya adalah bahwa ia merupakan salah satu rukun iman yang enam sebagaimana sabda nabi صلى الله عليه وسلمkepada jibril ‘alaihisslam yang bertanya, “ apa itu iman?” Nabi صلى الله عليه وسلمmenjawab:
أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Artinya:
“ kamu beriman kepada Allah ta’ala, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir serta kamu beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim )
Iman kepada qadar memiliki beberapa faidah, yaitu :
Pertama, bahwa ia termasuk kesempurnaan iman, dan iman tidak sempurna kecuali denganya.
Kedua,bahwa ia termasuk kesempurnaan iman kepada rubuiyah-NYa. Karena takdir Allah ta’ala termasuk perbuata-Nya.
Ketiga, mengembalikan segala urusan manusia kepada Allah ta’ala, karena jika seorang mengetahui bahwa segala sesautu terjadi dengan qadha’ dan takdir Allah ta’ala, maka dia akan kembali kepada Allah ta’ala dalam menolak dan menepis mudharat serta menisbatkan kebahagiaan kepada-Nya dan dia mengetahui bahwa itu adalah karuania Allah ta’ala kepada-Nya.
Keempat,ringanya musibah atas hamba, karena jika seseorang mengetahui bahwa itu dari Allah ta’ala, niscaya ringanlah bagi-nya musibah tersebut, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
ومن يؤمن بالله يهد قلبه والله بكل شيء عليم
Artinya:
“dan barang siapa yang beriman kepada Allah ta’ala , niscaya Dia akan memberikan pentunjuk kepada hatinya.” (At-taghabun: 11)
Alqomah berkata,” dia adalah orang yang tertimpa musibah lalu dia mengetahui bahwa musibah itu dari Allah ta’ala, maka dia ridha dan menerima.
Kelima,menisbatkan nikmat kepada pemberinya, karena jika kamu tidak beriman kepada qadar, niscaya kamu akan menisbatkan kepada pera perantara nikmat. Ini banyak terjadi pada orang-orang yang menjilat kepada raja-raja, umara, dan para menteri, jika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka menisbatkannya kepada meraka dan melupakan karunia Allah ta’ala.
Keenam, mengtahui hikmah Allah ta’ala, karena jika seseorang melihat kepada alam ini dan perubahan-perubahan yang mencengankan yang terjadi padanya, niscaya dia mengetahui hikmah Allah ta’ala, lain halnya dengan orang yang melalaikan qadar dan qadha’ dia tidak mengambil faidah ini.
Takdir Allah ta’ala ada duatakdir kauni dan takdir syar’i
Takdir kauni, takdir yang pasti terjadi, baik kita senangi ataupun tidak kita senangi, rela atau tidak rela pasti terjadi. Adapaun takdir syar’i, bisa terjadi dan mungkin tidak terjadi.
TINGKATAN IMAN
Iman kepada takdir terdiri dari dua tingkatan, masing-masing tingkatan mengandung dua perkara, tingkatan pertama bahwa Allah ta’ala mengetahui apa yang dilakukan oleh makhluk, dengan ilmu-Nya yang qodim, dimana Dia disifati denganya secara azazil dan abadi, dan Dia juga mengetahui seluruh keadaan mereka berupa ketaatan, kemaksiatan, rizki, dan ajal. Kemudian Allah ta’ala menuliskan takdir-takdir makhlukdi lauhul mahfudz.
Tingkatan pertama: Beriman bahwa Allah ta’ala mengetahui apa yang dilakukan oleh makhluk. Qodim menurut istilah mereka adalah yang tidak ada awal permulaanya yakni Dia senantiasa ada sejak dahulu, yang tidak berawal mengetahui apa yang dilakukan oleh makhluk. Allah ta’ala disifati bahwa Dia mengetahui apa yang dilakukan oleh makhluk dengan ilmu-Nya yang qodim azali yang tidak memiliki permulaan, Allah ta’ala mengetahui bahwa orang ini akan melakukan ini di tempat ini dengan ilmu-Nya yang yang qodim azali, kita wajib mengimani hal ini. Banyak dalil dari alqur’an, as-Sunnah dan akal.
Dalil dari alqur’an, firman Allah ta’ala ta’ala:
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
“ Dan Allah ta’ala Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. al baqarah: 282)
firman Allah ta’ala ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya:
“ Sesungguhnya Allah ta’ala Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa : 32)
Adapun dalil dari sunnah, maka sesungguhnya Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah membritakan bahwa Allah ta’ala telah menulis takdir makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakaan langit dan bumi, bahwa apa yang telah di takdirkan untuk menimpa seseorang tidak akan meleset, dan apa yang tidak ditakdirkan atasnya tidak akan menimpanya, bahwa pena telah kering dan suhuf telah digulung.
Sedangkan dalil dari akal sudah kita ketahui dengan akal bahwa Allah ta’ala adalah pencipta dan bahwa selain Allah ta’ala adalah makhluk, secara akal, khalik pasti mengetahui makhluk. Dan Allah ta’ala telah menetapkan hal ini dalam firmanNya,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Artinya:
“Apakah Allah ta’ala yang menciptakan itu tidak mengetahui (apa yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-mulk: 14).
Dan allah disifati dengannya secara azali, berarti menafikan ketidak tahuan dari-Nya dan allah disifati abadi berarti menafikan kelupaan, oleh karena itu ilmu Allah ta’ala tidak didahului dengan ketidak tahuan dan tidak tersusupi oleh kelupaan, sebagaimana Musa Alaihissalam berkata kepada fir’aun:
لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى
Artinya:
“Rabb kami tidak akan salah dan tidak pula lupa”. (QS. Thaha: 52)
Lain halnya dengan ilmu makluk yang didahului dengan ketidaktahuan dan disusupi kelupaan.
Perkara kedua dari tingkatan pertama : yaitu Allah ta’ala menulis takdir makhluk di lauhul mahfudz.
Lauhul mahfudz: kita tidak mengtahui hakekatnya, dari apa, apakah dari kayu, atau besi, atau emas atau jamrud? Allah lebih mengetahui tentang itu, yang penting kita mengimani bahwa ada Lauh yang padanya Allah menulis segala sesuatu. Lauh ini dikatakan Mahfudz,karena ia terjaga dari tangan-tangan makhluk, tidak seorangpun merubah, menambah seusatupun didalamnya, atau Allah menjaga dari perubahan, Allah tidak merubah sesautupun didalamnya karena Dia menulis dengan ilmu-Nya, dan yang berubah adalah yanag ada pada catatan malaikat. Wajib bagi kita beriman bahwa takdir makhluk telah ditulis dalam Lauhul mahfudz.
Firman Allah ta’ala:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya:
“ tiada bencana pun yang menimpa dimuka bumi, dan tidak pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfudz) sebelum kami menciptakanya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah perkara mudah bagi Allah ta’ala” (QS. al-hadid: 22)
Tingkatan kedua adalah Ma’isyah (kehendak): Ma’isyah (kehendak) Allah ta’ala yang pasti terjadi dan kuasaNya yang menyeluruh, yaitu iman bahwa apa yang Allah ta’ala kehendaki pasti terjadi, dan apa yang tidak Allah ta’ala kehendaki tidak akan terjadi, dan tidak ada gerakan dan diam di langit dan di bumi, kecuali dengan Ma’isyah Allah ta’ala .
Kita wajib beriman bahwa Ma’isyah (kehendak) pasti terlaksana pada segala sesuatu, dan bahwa kuasa-Nya meliputi segala segala sesuatu, baik berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan makhluk.
Firman Allah ta’ala:
فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya:
“ Maka jika dia menghendaki, pasti Dia memberikan petunjuk kepada kamu semuanya.” (QS. Al-An’am: 149)
Allah ta’ala juga berfirman :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلُوا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ
Artinya:
“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih. Diantara mereka ada yang beriman ada pula diantara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.” (QS. Al-Baqarah: 253)
Perkara kedua dari bagian kedua: segala sesuatu selain Allah ta’ala adalah makhluk, kecuali al qur’an, kerena sesungguhnya al-quran adalah kalam (ucapan) Allah.
SUMBER : :Syarah Aqidah Al-Washithiyah Li Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, Edisi Indonesia Buku Induk Akidah Islam, Syarah Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Darul Haq, Cetakan VI, Sya’ban 1433 H. / Juli 2012 M.
Di susun Oleh : BIRRU NINDA HAMIDI
Baca juga artikel berikut:
Leave a Reply