Termasuk kekurangan yang menimpa kaum muslimin sekarang ini mereka mengerti perkataan-perkataan orang-orang sekarang atau orang-orang yang sezaman dengan mereka dan mereka lalai memperhatikan dan mengenal serta menelaah perkataan-perkataan salafus shaleh. Padahal perkataan para salaf sedikit namun faedahnya banyak adapun perkataan kholaf (orang-orang zaman belakangan) banyak namun faedahnya sedikit, sebagaimana hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu rojab abdurrahman al hambali dalam kitabnya yang agung “keutamaan ilmu salaf diatas ilmu khalaf”. Dan landasan hal ini adalah bahwasannya para salaf jika mereka berbicara dalam pembicaraan-pembicaraan mereka, mereka meneladani hadits-hadits nabi. Dan nabi perkataannya ringkas dan beliau telah dianugrahi jawami’ul kalim yaitu perkataan-perkataan yang ringkas namun mengandung makna yang sangat luas. Maka engkau dapati para sahabat perkataan-perkataan mereka yang mereka ungkapkan tatkala saling menasehati diantara mereka kita dapati ungkapan tersebut sedikit kata-katanya dan sedikit hurufnya namun barangsiapa yang mentadabburinya maka ia akan mendapati keajaiban pada setiap kalimat berupa makna yang luas, banyak dan kokoh.
Bahaya Bicara Tanpa Ilmu
Abdullah Ibnu Mas’ud pernah berkata:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ عَلِمَ شَيْئًا فَلْيَقُلْ بِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلِ اللَّهُ أَعْلَمُ فَإِنَّ مِنَ الْعِلْمِ أَنْ يَقُولَ لِمَا لاَ يَعْلَمُ اللَّهُ أَعْلَمُ
“Wahai manusia barangsiapa yang berilmu tentang sesuatu maka hendaklah ia berkata dengan ilmunya tersebut dan barangsiapa yang tidak berilmu (tidak mengetahui) maka hendaklah ia berkata “Allahu A’lam” (Allahlah yang lebih mengetahi) karena sesungguhnya merupakan ilmu seseorang berkata “Allahu A’lam” tentang perkara yang ia tidak mengetahuinya.
Beliau juga berkata,
“Sesungguhnya orang yang berfatwa kepada manusia pada setiap perkara yang mereka tanyakan maka ia adalah gila.”
Kenyataan Pahit Yang Menyedihkan
Suatu hal yag sangat patut untuk disedihkan yang merajalela saat ini adalah banyak sekali para pemuda di negeri-negeri islam yang semangat dalam berdakwah dan menjadi para aktivis dakwah, begitu besar ghirah mereka terhadap agama mereka, namun mereka sangat jauh dari ilmu syar’i, mereka tidak memilki semangat untuk menuntut ilmu. Mereka sangat jauh dari para ulama. Yang lebih menyedihkan lagi adalah sikap mereka yang sangat berani dalam berfatwa tanpa ilmu *bervicara tentang agama Aallah tanpa landasan ilmu). Kita dapati ada diantara mereka yagn telah terjun di medan dakwah lebih dari saepuluh tahun namun jika ditanya tentang beberapa permasaalahan yang berkaitan dengan sholat atau puasa atau ibadah-ibadah lainnya maka mereka tidak menguasai jawabannya dan merekapun membabi buta dalam memberikan jawaban. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi mereka berfatwa pada perkara-perkara yang berkaitan dengan darah dan kehormatan kaum muslimin serta berkaitan dengan kepentingan banyak orang.
Sungguh mengherankanm jika seluruh manusia di atas muka bumi ini baik yang shaleh maupun yang fajir bersepakat bahwasannya tidaklah mungkin seseorang bisa membangun bangunan kecuali jika ia memiliki keahlian tentang bangunan, namun anehnya kenapa mereka meremehkan perkara yang sangat urgen yaitu dakwah, yang jauh lebih urgen dari segala urusan dunia. Kenapa mereka yang tidak menguasai ilmu syar’i, nekat memimpin gerakan-gerakan dakwah, apakah mungkin dakwah bisa dibangun oleh orang-orang yang tidak menguasi ilmu syar’i?.
Kita dapati juga sebagian orang berani masuk ke dalam area orang lain, banyak oorang yang memiliki gelar doktor dalam bidang keduniaan nekat untuk masuk dalam area para ulama. Mereka pun ikut nimbrung dalam permasalahan-permasalahan agama, mereka berani berfatwa tentang permaslahan agama, bahkan mereka berani untuk memprotes ulama. Memang benar mereka ahli dalam ilmu dunia namun pada hakekatnya mereka jahil dalam perkara agama. Mereka tidak menguasai al qur’an dengan baik, tidak menguasai cabang-cabang ilmu yang berkaitan dengan hadits-hadits nabi dan ilmu agama yang lain. Bahkan diantara mereka belum bisa membaca al quran dengan baik apalagi mengerti bahasa arab, namun nekat untuk nimbrung dalam berfatwa.
Renungkanlah!, kalau ada seorang ulama yang benar-benar ‘alim dalam agama namun tiidak menguasai ilmu kedokteran lantas nekat untuk nimbrung di ruang operasi untuk melaksanakan operasi. Apakah kita membenarkannya?. Orang-orang pasti mengatakan bahwa ulama ini sudah tidak waras, apalagi jika sang ulama tersebut ingin menjadi pemimpin dalam jalannya operasi tersebut. Meskipun ulama ini berniat baik untuk menoling sang pasien namun jelas pasti yang terjadi malah akan mengakibatkan hal yang fatal bagi sang pasien, dan bisa jadi membinasakan sang pasien.
Demikian juga kita katakan sebaliknya, jika ada seorang dokter yang tidak menguasai ilmu agama ikut niommvrung dalam area para ulama yang sedang mengobati umat yang kritis agama mereka, krisis aqidah mereka, akhlak mereka, dan seterusnya, amka kita katakan dokter ini adalah seorang dokter yang tidak waras. Apalagi dokter ini ingin memegang kepemimpinan dalam berkdakwah. Apa yang akan terjadi dengan umat ini?, kebinasaan dan kehancuran yang akan dirasakannya. Inilah yang terjadi saat ini, betapa banyak aktivis dakwah yang menjadi unjung tombak gerakan-gerakan dakwah namun sangat minim pengetahuan agama mereka..
Rasulullah ﷺ bersabda,
إذا وسد الأمر إلى غير أهله؛ فانتظر الساعة
“Jika diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah tibanya hari kiamat.” (HR. Al Bukhari)
فسئلوا، فأفتوا بغير علم، فضلوا وأضلوا
“…Mereka pun ditanya lalu mereka berfatwa tanpa ilmu maka merekapun sesat dan menyesatkan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Yang lebih menyedihkan lagi banyak diantara para pemuda tersebut yang tidak menyadari bahwa diri mereka adalah orang-orang yang jahil tentang ilmu agama. Bahkan yang lebih parah lagi mereka merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang alim sehingga terkumpullah pada mereka dua kebodohan (bodoh kuadrat). Pertama mereka adalah bodoh, dan yang kedua adalah mereka bodoh (tidak tahu) bahwa mereka adalah bodoh.
Al Khalil bin Ahmad berkata, “Orang-orang itu ada empat macam, pertama seorang yang mengetahui dan tidak mengetahi bahwasannya ia mengetahi, itulah orang yang lalai maka ingatkanlah ia, kedua adalah orang yang tidak tahu dan ia mengetahi bahwasanya ia tidak tahu, itulah orang yang jahil (bodoh) maka ajarilah ia, ketiga adalah orang yang mengetahui dan ia tahu bahwasannya ia mengetahui, itulah orang yang pandai maka ikutilah ia. Dan yang keempat adalah orang yang bodoh dan ia tidak mengetahui bahwa ia itu bodoh, itulah orang yang tolol maka jauhilah ia.”
Ia juga berkata, “Manusia ada tiga macam, dua macam diajari dan yang satu tidak diajari. Orang yang alim dan mengetahi bahwa ia adalah alim, orang ini diajari. Dan seorang yang alim namun ia tidak mengetahui bahwa ia itu alim maka kedua orang ini diajari. Dan orang yang bodoh dan ia memandang bahwa dirinya mengetahui, orang ini tidak diajari.”
Bahaya Berfatwa Tanpa Ilmu
Allah ﷻ berfirman,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”(Al Isra: 36)
“Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Al-A’raf: 33)
Syaikh Utsaimin berkata, “sesungguhnya pembicaraan tentang permasalahan-permasalahan agama (tanpa ilmu) adalah sangat berbahaya karena hal ini merupakan pembicaraan tentang Allah tanpa ilmu.
Al Munawi berkata, “…Karena sesungguhnya orang yang berfatwa pada hakikatnya adalah wakil Allah dalam menjelaskan hukum-hukum Allah, maka jika ia berfatwa di atas kebodohan atau tanpa ilmu atau menggampangkan dalam berfatwa atau dalam mengambil hukum maka ia telah menyebabkan dirinya untuk masuk ke dalam neraka karena keberaniannya yang ngawur tentang hukum Allah.” Allah berfirman;
Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah ?”
Az Zamakhsyari berkata, “Cukuplah Ayat ini sebagai peringatan yang sangat keras terhadap sikap nekat dalam hukum perkara-perkara yang ditanyakan dan merupakan pendorong untuk wajib berhati-hati dalam hal ini dan agar tidak seorangpun berkata tentang hukum sesuatu bahwasannya hukumnya boleh atau tidak boleh kecuali setelah mantap (menguasai dengan baik hukumnya) dan dalam keadaan yakin. Barang siapa yang tidak dalam keadaan yakin -tatkala berfatwa- maka hendaknya ia takut kepada Allah dan hendaknya ia diam karena jika tidak maka ia telah berdusta atas nama Allah.
Oleh karena itu fatwa merupakan hak para ulama, karena merekalah pewaris para nabi. Rasulullah bersabda;
إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم ، فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
“Dan para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham namun mereka mewariskan ilmu, maka barang siapa yang mengambil ilmu maka ia telah mendapatkan bagian yang banyak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At Tarmidzi, dan disahihkan syaikh Al Albani)
Ibnu sholah mengomentari hadits ini, “Maka rasulullah menetapkan keistimewaan bagi para ulama yang dengan keistimewaan tersebut mereka mengungguli seluruh manusia, dan pekerjaan mereka yaitu berfatwa dan menjelaskan bahwa mereka memang berhak untuk mendapatkan keistimewan tersebut dihadapan orang yang meminta fatwa.
Diringkas Oleh: Sahl Suyono dengan sedikit perubahan.
Dari Tulisan Dr. Abu Abdil Muhsin Firanda, MA, dalam majalah Al-Bashirah Edisi 15. Dengan judul “Wasiat-wasiat Abdullah ibnu Mas’ud”
Leave a Reply