Hukum Memanfaatkan Jasa Dan Produk Orang Kafir
ان الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور انفسنا ومن سيئات اعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له وان محمدا عبده ورسوله. اما بعد.
Sesungguhnya Islam memberikan ruang toleransi dalam soal seorang Muslim mengambil manfaat dari orang non Muslim dalam bidang ilmu Kimia, Fisika, Ilmu Falak, Kedokteran, Industri, pertanian dan ilmu-ilmu manejemen serta ilmu-ilmu lain yang serupa. Toleransi ini dibuka ketika belum ada sumber-sumber penguasaan ilmu-ilmu tersebut dari seorang Muslim yang bertakwa.
Begitu pula, boleh saja memanfaatkan orang-orang kafir sebagai penunjuk jalan dan memanfaatkan produk senjata, kain dan lain-lain yang dibutuhkan oleh masyarakat dan dalam hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan orang Muslim dan kafir saling mengambil manfaat dari pihak lainnya.
Akan tetapi, Islam benar-benar tidak memperbolehkan seorang Muslim mengambil sesuatu yang berhubungan dengan aqidah atau pembentuk pandangannya, penafsiran al-Qur’an atau penjelasan sunnah Rasulullah, metode penulisan sejarah, hukum politik atau sumber-sumber adabnya dari orang-orang yang tidak beriman dengan islam.
Orang-orang telah berbuat benar ketika mereka mengalihbahasakan buku-buku tentang kedokteran dan kimia. Karena telah mendorong umat Islam untuk menemukan ilmu-ilmu baru seperti aljabar. Kecerdasan umat Islam yang bercahaya dengan cahaya dari wahyu Allah mampu menciptakan hal-hal baru dan menghasikan penemuan baru dalam bidang keilmuan dengan seluruh jenisnya dan dalam bidang sastra dan peradaban.
Keberhasilan menemukan hal-hal baru dalam bidang keilmuan ini dikarenakan umat Islam mempunyai prinsip-prinsip dalam aqidah dan konsekuensinya yang memotivasi mereka untuk terus berusaha dengan penuh keseriusan dan kesabaran. Dan mereka menyadari jerih-payah itu termasuk ibadah kepada Allah subhanahu wataala. Pasalnya, manfaat yang mereka raih tidak hanya dinikmati oleh mereka sendiri saja, akan tetapi menyebar kepada umat manusia secara keseluruhan, sampai-sampai bangsa Eropa kafir dalam beberapa kurun waktu yang lama berpijak pada teori-teori dalam ajaran islam dan hasil-hasil riset yang ditemukan oleh kaum Muslimin. Dan penemuan-penemuan ilmiah yang baru tersebut berpengaruh pada kemajuan ilmuan yang dicapai oleh bangsa Eropa pada masa kini, setelah kaum Muslimin terbuai dalam tidurnya dan meninggalkan peran kepemimpinan dan kekuasaan dalam segala hal, hingga datanglah generasi yang kita saksikan hari ini. Generasi yang berpangku tangan kepada murid-murid kakek moyang mereka dahulu..
Oleh sebab itu, kami katakan, “kita bergembira dengan tersebarnya kebaikan, dikarenakan penyebaran Islam hari ini ada di setiap tempat. Sungguh sepatutnya kaum Muslimin mengetahui apa yang seharusnya mereka ambil dari non-Muslim untuk mereka manfaatkan dan apa yang harus mereka tinggalkan dari orang-orang non-Muslim supaya tidak terjerumus dalam kesalahan sebagaimana dialami oleh generasi sebelumnya.
Maka, sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menjadikan aqidah Islam sebagai pedoman utama untuk membangun kembali bangunan Islam yang baik, lalu mengimpor dari non Muslim apa-apa yang tidak mereka miliki dalam ilmu alam, dan impor ilmu-ilmu tetap dilakukan dengan cerdas dan penuh kehati-hatian, dengan mengemas ilmu-ilmu tersebut dengan kemasan ilmiah lagi Islami yang bebas dari pengaruh orang-orang atheis.”
Mungkin saja ada yang berkomentar, “Apakah pengaruh metodologi ilmu alam dalam ajaran agama Islam?”. Jawabannya, “Bahwa dalam Islam tidak ada dikotomi antara ajaran agama dan pengetahuan ilmiah. Bahkan ajaran Islam adalah agama ilmu, dan pengemasan metodologi ilmiah melalui pijakan Islam yang shahih akan menanamkan keimanan mendalam dalam jiwa erhadap kekuasaan Allah azza wajalla al-Khaliq, keagungan dan kehebatan ciptaan-Nya di alam semesta ini dengan segala makhluk ciptaan yang ada di dalamnya.”
Kemudian sanggahan seperti itu salah besar, sebab meskipun orang-orang mengaku-aku obyektif dalam menggunakan metodologi teori Marx atau Freud pada teori apapun, kemasan yang mereka suguhkan tidak bisa serupa dengan orang-orang Islam dengan kemampuan yang sama,namun berpeganglah dengan la ilaha illallah dari risalah kenabian Muhammad bin Abdillah.
Ini realita yang tampak jelas, tidak mungkin diingkari kecuali orang-orang yang sombong atau orang-orang bodoh yang tidak tahu kebodohan dirinya.
Dalil-dalil tentang bolehnya memanfaatkan orang kafir, bisa kita jumpai dalam hadits Rasulullah. Disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dan imam-imam lainnya dalam Kitabu al-Ijarah bab Menyewa kaum Musyrikin Saat Kondisi Darurat Atau Tidak Ada Ditemukan Orang Islam (yang mampu melakukannya).
Dari ‘Aisyah Radiyallahu anha, “Nabi dan Abu Bakar radiyallahu anhu menyewa seseorang menjadi petunjuk jalan yang menguasai arah dari suku Bani an-Dayyil, kemudian dari suku Bani Abd bin ‘Adi. Ia seorang yang masih mengikuti ajaran kafir Quraisy. Lalu mereka berdua menyodorkan tunggangan mereka kepadanya, dan memintanya menemui mereka di Goa Tsaur tiga malam kemudian. Lelaki itu pun datang menemui mereka pada pagi harinya. Kemudian mereka berdua berangkat (ke madinah).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nama lelaki itu Abdullah bin Uraiqith ad-Duali. Dan saat disewa sebagai penunjuk jalan ia masih seorang kafir. Di sini terdapat dalil bolehnya bersandar kepada orang kafir dalam masalah kedokteran, obat-obatan, hisab dan penyakit-penyakit dan lain sebagainya, selama tidak menyerahkan kepemimpinan (atas kaum Muslimin) kepada mereka, (karena seorang pemimpin) harus memiliki sifat adalah (maksudnya Muslim) dan tidak mesti orang yang kafir itu tidak bisa dipercaya sama sekali. Sebab tidak ada sesuatu yang lebih beresiko daripada menjadikannya penunjuk jalan, apalagi jalan menuju hijrah.”
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “kebanyakan ahli fiqih memperbolehkan menyewa mereka (kaum musyrikin) saat keadaan terpaksa dan keadaan lainnya, sebab hal itu akan menjadikan mereka merasa terhina. Yang terlarang ialah seorang muslim menyewakan dirinya kepada orang musyrik, karena disitu ada unsur penghinaan terhadap seorang muslim. Akan tetapi apa hukum seorang muslim menyewakan dirinya kepada kepada orang kafir? Jawabanya, riwayat dari al-Bukhari juga dari Khabbab radiyallahu anhu, “Aku seorang tukang besi…, lalu aku bekerja kepada al-Ash bin Wail (membuatkan pedang untuknya). Maka, terkumpullah upahku padanya. lalu aku datangi dia untuk aku minta memenuhinya. Ia justru berkata, “Tidak, demi Allah. Aku tidak akan membayarmu sampai kamu mau mengkufuri Muhammad.” Maka aku menjawab, “Demi Allah, sampai kamu mati dan nanti dibangkitkan , aku tetap tidak mau (kufur kepadanya)”. Ia malah bertanya, “apakah aku benar akan mati dan lalu dibangkitkan?”. Aku menjawab, “Benar”. Ia berkata, “nanti kalau aku punya kekayaan dan anak, aku akan bayar kamu”. Maka Allah azza wajalla menurunkan firman-Nya:
افرءيت الذى كفر بئايتنا وقال لاوتين مالا وولدا
Artinya: “Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan ia mengatakan: “pasti aku akan diberi harta dan anak.” (QS. Maryam/19: 77)
Al- Muhallab berkata, “Ulama memandang hal itu makhruh, yaitu seorang muslim menyewakan dirinya kepada orang musyrik di medan perang, kecuali dalam kondisi darurat, dengan dua syarat: pekerjaannya halal dilakukan seorang muslim. Dan syarat lainnya, ia tidak membantu orang musyrik dalam hal-hal yang mendatangkan mudharat bagi kaum muslimin.
Adapun menyewa mereka dalam peperangan, sudah ada larangan dari Nabi. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah radiyallahu anha, ia berkata,
Rasulullah keluar menuju Badr. Ketika sampai di harrah al-Wabarah, ada seorang lelaki menyusul beliau. Lelaki itu dikenal dengan keberanian dan pertolongannya. Maka bergembiralah para sahabat Rasulullah, tatkala melihatnya. Ketika berhasil menyusul beliau,ia berkata kepada beliau, “aku datang untuk mengikutimu dan memperoleh sesuatu bersamamu”. Beliau bertanya, “apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?”. Ia menjawab, “Tidak”. Maka beliau berkata, “kembalilah. Aku tidak akan meminta tolong kepada orang musyrik”. Kemudian beliau meneruskan perjalanan. Dan sesampainya di satu pohon, lelaki itu menemui beliau (kembali), lalu ia mengatakan seperti yang ia katakan sebelumnya. Maka Nabi berkata kepadanya seperti sabda beliau sebelumnya, “kembalilah. Aku tidak akan meminta tolong kepada orang musyrik. kemudian ia datang lagi dan menjumpai beliau di Baida, lalu beliau berkata kepadanya seperti sabda beliau pertama kali, “Apakah engkau beriman kepada Allah dan Rasulnya?”. Ia menjawab, “ya” Lalu Rasulullah bersabda kepadanya, “Ayo, berjalanlah engkau”.
Namun, al-Hazimi rahimahullah mengatakan, “para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama memandang bahwa meminta pertolongan kepada kaum musyrikin secara mutlak terlarang. Mereka berargumentasi dengan teks hadits. Mereka berkata, “ini adalah hadits yang benar dari Nabi. Tidak ada hadits lain yang sekuat dan sevalid ini, sehingga tidak dibenarkan adanya naskh untuk hukum ini.
Sejumlah ulama lainnya berpendapat bahwa penguasa berhak mengizinkan orang-orang musyrikin untuk berperang membantu kaum muslimin, dengan dua syarat:
- Kaum muslimin berjumlah sedikit dan ada kebutuhan mendesak untuk meminta bantuan dari orang musyrik.
- Orang-orang musyrik tersebut dapat dipercaya.
Apabila dua syarat ini tidak terpenuhi, maka penguasa tidak boleh meminta bantuan dari mereka. Namun bila dua syarat terpenuhi , maka boleh meminta bantuan kepada mereka. Mereka berargumentasi dengan riwayat dari Ibnu Abbas radiyallahu anhu bahwa Rasulullah meminta bantuan orang-orang yahudi dari Bani Qainuqa’ dan meminta bantuan Shafwan bin Umayyah dalam memerangi suku Hawazin pada perang Hunain. Para ulama itu mengatakan, “Ada keharusan untuk merujuk hukum ini karena hadits Aisyah radiyallahu anha terjadi pada perang Badar, yang terjadi sebelumnya, sehingga hukumnya mansukh (diganti). Kemudian mengatakan, “Tidak masalah meminta bantuan kaum Musyrikin lainnya, bila mereka mau membantu dengan sukarela tanpa menuntut bagian (rampasan perang)’.
Ibnul Qayyim rahimahullah mendukung pandangan ini, tatkala membicarakan tentang beberapa dampak positif dari perdamaian hudaibiyah dengan mengatakan, “meminta bantuan kepada orang-orang musyrikin yang dapat dipercaya dalam jihad (Peperangan) boleh saat dibutuhkan. Sebab, mata-mata beliau yang berasal dari orang Khuza’ah, adalah orang kafir pada waktu itu. Dan ada maslahat dari situ karena ia lebih mudah untuk berinteraksi dengan musuh dan mengambil berita-berita dari mereka.
Ringkasanya, memanfaatkan orang-orang kafir dan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan karena usaha gigih, hukumnya boleh dalam islam. Dalil-dalilnya banyak, sebagian telah berlalu. Dan juga hadits tentang bagi hasil pertanian yang dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang yahudi di Khaibar. Mereka mengolah tanah itu dan menamainya, dan akan mendapatkan setengah bagian dari hasilnya.
Sepatutnya dibedakan antara memanfaatkan orang kafir dalam salah satu urusan pribadi dan memperkerjaan mereka sebagai pemegang kebijakan dalam sebuah negeri Islam.
Kebaikan sesungguhnya adalah kaum Muslimin bergantung kepada diri mereka sendiri sehingga umat Islam menjelma bangsa yang mandiri lagi berada, terwarnai oleh karakter rabbani yang dikehendaki Allah azza wajalla.
Semoga Allah azza wajalla mendatangkan hari dimana kaum Muslimin kembali kepada agama mereka yang benar dan tidak membutuhkan orang-orang kafir dan seluruh musuh Islam dalam satu pun urusan mereka.
Referensi:
Majalah As-sunnah EDISI 10/THN XX/ JUMADIL AWWAL 1438H/FEBRUARI 2017M
Diringkas : Atina Hasanah (khidmah ponpes Darussalam tanjung telang)
BACA JUGA :
Leave a Reply