Jaminan kesehatan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan oleh setiap warga negara seharusnya menjadi tanggung jawab negara ( pemerintah ). Dalam kondisi keuangan negara belum mampu menanggung seluruh biaya kesehatan rakyatnya maka pemerintah ( negara ) dibolehkan memungut dari sebagian warga yang mampu untuk membantu warga yang tidak mampu dan sangat tidakbijak kalau negara memungut biaya dari warga yang tidak mampu.
Hal ini berlandaskan dalil Al Quran:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان
Dan tolong-menlonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebajikan dan takwa,dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ( Al-Maidah : 2 ).
Juga berdasarkan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya ( HR Muslim)
Jika di Indonesia jaminan ini baru diterapkan,namun beberapa negara islam jaminan ini telah banyak di praktekkan yang dalam bahasa arab disebut Dhaman Ijtimai’ ( ضمان اجتماعي ).
Badan penyelengara jaminan Sosial ( BPJS ) merupakan lembaga yang dibentuk oleh negara untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial di Indonesia berdasarkan UU No.40 tahun 2004 dan UU No.24 tahun 2011. BPJS mulai bekerja pada januari 2014. BPJS adalah program pemerintah untuk menjamin kesehatan,menjadikannya murah dan terjangkau yang sebenar nya merupakan asuransi jiwa.Oleh karena itu hukumnya mengacu pada hukum asuransi.
Secara prinsip,BPJS sama seperti asuransi takaful dimana akadnya adalah akad hibah ,dan gharar dalam akad hibah diperbolehkan.sehingga secara prinsip kerja BPJS sesuai syariah,dimana akadnya adalah hibah sesama warga negara indonesia dengan tujuan saling tolong menolong.
Selain itu BPJS hanya sebagai pengelola yang ditunjuk Negara dengan dana operasional yang ditetapkan setiap tahunnya,sehingga jika ada kelebihan dana yang dikumpulkan dari masyarakat maka dana akan dikembalikan ke Negara, dan jika ada kekurangan dana akan ditutupi oleh negara,dan bukan pihak kedua yang diuntungkan atau dirugikan akibat klaim dari peserta sebagaimana layaknya asuransi konvensional yang diharamkan.
Namun,kondisi BPJS dalam prakteknya pada saat ini masih ditemukan hal-hal yang masih bertentangan dengan syariat,diantaranya sebagai berikut:
-
merupakan bentuk asuransi konvensional dengan memungut premi dan memberikan jasa pelayanan kesehatan berdasarkan premi tersebut.terkadang beberapa rumah sakit mempersulit pasiuen yang berobat dengan menggunakan BPJS sehingga tidak sesuai dengan tuntunan sayariah.
-
Pengumpulan dana masih menggunakan bank custudion konvensional.selama itu, dana yang terkumpul dari masyarakat akan diuputar dan dikembangkan oleh bank konvensional dengan berbagai produknya yang ribawi.Tentunya hal ini termasuk tolong-menolong dalam pengembangan riba.
-
Sistem pembayaran dari BPJS kepada rumah sakit, klinik dan praktek dokter dengan cara kapatisi yang mengandung unsur gharar tingkat tinggi. Dimana BPJS mematok nominal tertentu untuk rumah sakit. Baik pasien berobat kerumah sakit yang ditunjuk banyak jumlahnya ataupun sedikit. Andai pemegang BPJS yang berobat kerumah sakit tersebut berjumlah banyak dapat dipastikan rumah sakit tersebut akan mengalami kerugian dan sebaliknya.
-
Adanya denda keterlambatan pembayaran angsuran sebesar 2% per bulan yang dikenakan kepada peserta mandiri yang terlambat membayar premi sesuai dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan.
Hal ini,jelas termasuk unsur riba yang dipraktekkan oleh orang jahiliyyah yang dikenal dengan
( ( أنظرنيي أزدك yang berarti “ Beri aku masa tenggang niscaya akan aku tambah pembayaran utangku”.
Tanggapan:
Adanya gharar dalam pelunasan BPJS kepada penyelengara kesehatan tidak merusak akad. Karena gharar yang terdapat dalam hal ini nisbahnya sedikit dengan cara pihak BPJS mengelompokkan rumah sakit penerima dana BPJS kepada beberapa kelas. Dengan demikian unsur gharar dalam hal ini dapat diminimalkan. Dan gharar yang minimal sepakat dibolehkan oleh para ulama.
Al Qarafi berkata, “Gharar dalam ba’i ( akad jual beli ) ada 3 macam: Gharar yang nisbahnya dalam akad relatif besar maka gharar ini membatalkan keabsahan akad,seperti: menjual burung diangkasa. Gharar yang nisbahnya dalam akad relatif kecil maka tidak membatakan akad dan hukumnya mubah, seperti ketidak-jelasan pondasi rumah atau ketidak-jelasan jenis benang qamis yang dibeli.
Gharar yang nisbahnya dalam akad pertengahan,hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Apakah boleh atau tidak”. ( Al furuq,jilid.III,hal 265 )
Wallahu a’lam, sepertinya gharar yang terdapat pada pembayaran BPJS atas pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada peserta BPJS dengan sistem kapitasi termasuk ke dalam gharar yang sedikit. Akan tetapi, adanya riba denda keterlambatan premi BPJS oleh peserta menyebabkan hukum mengikuti BPJS secara syar’I dikelompokkan sebagai berikut:
– peserta bantuan Iuran ( PBI ) yang dikhususkan untuk orang miskin. Bagi orang miskin BPJS murni gratis tanpa premi sehingga untuk katagori ini diperbolehkan mengikuti BPJS. Karena tidak mungkin akan terjadi denda keterlambatan, dimana mereka tidak memberikan premi terlebih lagi denda keterlambatan.
-Non-PBI yang diperuntukkan bagi PNS/Polri/TNI,organisasi dan institusi. Dimana,sebagian iuran ditanggung kantor /institusi dan sebagian lagi ditanggung oleh peserta.
Bagi peserta yang preminya tidak dipotong dari gaji masih diperbolehkan mengikuti BPJS kesehatan ini karena tidak mungkin terjadi denda keterlambatan atau jika terjadi bukan menjadi tanggung jawab peserta melainkan menjadi resiko instansi atau perusahaan. Dan akad keikutsertaan adalah hibah dari perusahaan.
Namun, jika iuran dipotong dari gaji maka haram hukumnya mengikuti BPJS dimana denda keterlambatan akan ditanggung oleh peserta. Pada saat itu, yang terjadi adalah akad yang mengandung unsur riba.
– peserta iuran mandiri, yang tidak dibayarkan oleh negara maupun instansi,maka bagi golongan ini haram hukumnya mengikuti BPJS selama masih ada aturan denda keterlambatan, karena ini murni riba jahiliyyah.
Dalam kondisi, dimana pemerintah mewajibkan seluruh warga negara untuk mengikuti BPJS dan jika seorang warga negara tidak mengikutinya maka hak-haknya sebagai warga negara tidak akan dipenuhi oleh negara, seperti; tidak akan mendapat pelayanan publik maka pada saat itu tidak mengapa seorang warga negara menjadi peserta BPJS karena terpaksa, sekalipun dia peserta golongan III yaitu perserta iuran mandiri.
Dalam hal ini hukum menjadi perserta BPJS sama dengan membayar asuransi jiwa yang sudah termasuk kedalam harga tiket pesawat dan trasportasi massal lainnya yang tidak dapat dielakkan.
Akan tetapi, ketika terjadi resiko yang dipertanggungkan dan pihak BPJS memberikan pelayanan kesehatan
melalui rumah sakit-rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS maka tidak halal bagi anggota yang mampu menikmati fasilitas pelayanan kesehatan melebihi premi yang ia bayar karena akadnya mengandung gharar dan riba.
Maka cara bertaubat dari dosa ini selain meminta ampunan Allah juga dengan mengeluarkan selisih antara nominal premi yang dia bayar dengan pelayanan kesehatan yang dia dapatkan lalu disedekahkan kepada faqir-miskin.
Bagi peserta yang memang tidak mampu dan penyakit yang dideritanya termasuk penyakit berbahaya maka dia boleh menikmati pelayanan kesehatan melebihi premi yang dibayarnya.karena riba dihalalkan bagi faqir miskin untuk menutupi kebutuhan pokoknya. ( Dr.Sa’ad Al Khatslan,Fiqh Muamalat Maaliyyah Muashirah, hal 175-177 ).
Semoga pemerintah dapat menghapuskan persyaratan denda bagi peserta yang terlambat membayar premi dan mencari solusi lain, seperti adanya penghentian keanggotaan jika tidak membayar premi selama 3 bulan ( untuk perusahaan ) atau 6 bulan ( untuk perorangan ) sudah cukup untuk membuat masyarakat lebih disiplin. Waalahu ‘alam.
Hukum Menabung di Bank Konvensional dan membuka rekening Bank
Setelah mengetahui bahwa transaksi simpan – pinjam di bank konvensional adalah transaksi riba, bagaimana hukumnya menabung di bank konvensional?
Hukum menabung di bank konvensional diharamkan, karena transaksi ini adalah riba. Dan riba telah diharamkan Allah dan Rasulnya. Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa,
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم اكل الربا، ومؤكله،وكاتبه،وشاهديه وقال هم سواء
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutuk orang yang makan harta riba, yang memberikan riba,penulis transaksi riba dan dua orang saksi akad riba.mereka semua nya sama”. ( HR. Muslim ).
Jika seseorang sangat butuh membuka rekening di bank konvensional karena gajinya ditransfer oleh perusahaan ke rekening di bank konvensional maka hukumnya diberi keringanan dengan syarat, setelah uang masuk ke rekenig sesegera mungkin menariknya dan jika diberikan bunga oleh bank, bunga tersebut adalah riba yang ia wajib bebaskan dari hartanya dengan cara menyalurkannya untuk kepentingan sosial.
Sebagaimana difatwakan oleh lembaga fatwa kerajaan Arab Saudi, No. 16501 ketika ditanya tentang hukum penerimaan gaji para pegawai melalui rekening di bank ribawi, yang berbunyi, “Gaji yang diterima melalui rekening di bank ( riba ) boleh agar anda mendapatkan upah hasi kerja dengan syarat jangan ditinggalkan di bank setelah masuk ke rekening agar tidak digunakan oleh bank untuk investasi riba”.
Hukum Gaji Pokok + Bonus
Untuk memotivasi semangat para pegawai di sebuah perusahaan agar giat bekerja, beberapa perusahaan menerapkan sistem pembayaran gaji karyawannya dengan cara gaji pokok ditambah bonus yang merupakan hasil keuntungan perusahaan.
Jumlah bonus yang diberikan tersebut tidak tetap, terkadang besarnya sama dengan gaji pokok, terkadang lebih kecil dan terkadang lebih besar,dan bisa jadi tidak ada sama sekali.
Karena jumlah bonus yang tidak tetap,tentunya berakibat kepada tidak tetapnya besar gaji yang diterima setiap bulan. Dengan demikian, besarnya gaji yang diterima setiap bulannya tidak jelas pada saat akad kontrak kerja dibuat. Ketidak – jelasan besarnya gaji merupakan gharar dalam akad kontrak kerja.
Apakah gharar yang terdapat dalam akad kontrak kerja ini merusak keabsahan akad?
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya tentang kriteria gharar yang merusak akad,yaitu keberadaannya dalam akad mendasar dan bukan sebagai pengikut dan bila keberadaannya dalam akad hanya sebagai pengikut maka tidak merusak akad.
Dalam pembayaran gaji dengan cara gaji pokok ditambah bonus sangat jelas bahwa gharar hanya terdapat dalam bonus,dan bukan gaji pokok yang jumlahnya tetap dan jelas sejak akad dibuat.
Dengan demikian maka kaberadaan gharar hanyalah sebagai pengikut dalam akad. Dan gharar yang keberadaannya sebagai pengikut tidak merusak akad, berdasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan kriteria gharar yang merusak akad.
Jadi, hukum pemberian gaji + bonus boleh dan tidak dilarang , bahkan sangat menguntungkan kedua belah pihak, perusahaan dan karyawan.
Referensi : Diambil dari kitab berjudul “HARTA HARAM MUAMALAT KONTEMPORER” , karya Dr.Erwandi Tarmidzi, MA (pakar Fiqh Muamalat kontemporer).
Leave a Reply