Hukum Amar Makruf Nahi Mungkar dan Macam-Macam Kemungkaran

HUKUM AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR DAN MACAM-MACAM KEMUNGKARAN

HUKUM AMAR MAKRUF NAHI MUNGKAR

DAN MACAM-MACAM KEMUNGKARAN

Terdapat khilaf dari kalangan ulama dalam masalah ini. sebagian ulama mengatakan hukumnya adalah fardhu ‘ain. Mereka berdalil dengan hadits ini, من رأى منكم منكرا فليغيره بيده pada lafal من “siapa saja” memberikan faedah umum. Artinya, amar makruf nahi mungkar wajib bagi siapa saja.

Sebagian ulama yang lain mengatakan hukumnya adalah fardhu kifayah. Yaitu jika sebagian kaum muslimin telah melakukannya maka gugur kewajiban bernahi mungkar dari kaum muslimin yang lainya. Mereka berdalil dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala,

وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

Artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali ‘Imran, 104).

Mereka juga mengatakan bahwa kewajiban setiap person untuk amar makruf nahi mungkar dapat menimbulkan kekacauan. Sebab tidak semua orang berkompeten dalam hal tersebut. Demikian juga jika kemungkaran telah diingkari oleh sebagian orang maka sudah cukup, karena yang penting pengingkaran telah terjadi. Tidak harus semua orang ikut berbicara mengingkari kemungkaran yang sama. Wallahu a’lam, inilah pendapat yang benar.

Kemungkaran

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من رأى منكم منكرا

“Barang siapa melihat kemungkaran.” (H.R. Muslim)

Secara eksplisit hadits ini hanya untuk mereka yang melihat kemungkaran di depan matanya, yang diketahui secara langsung, maka dia hendaknya melakukan pengingkaran. Adapun jika hanya mendengar dari berita atau sangkaan orang lain maka tidak termasuk dalam hadits ini.

Karena islam melarang untuk Tajassus,  yaitu mencari-cari kesalahan atau keburukan orang lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Q. Al-Hujurat: 12)

Ayat ini merupakan hukum asal, seorang tidak boleh mencari-cari tahu informasi kesalahan dan keburukan orang lain tanpa sepengetahuanya. Jika ada seorang yang melakukan kemungkaran secara sembunyi-sembunyi dan tidak memberikan mudaharat kepada orang lain, maka tidak boleh mencari-cari keburuukan yang dilakukannya. Lain halnya jika kemungkaran yang dilakukan berkaitan dengan urusan orang banyak dan memebrikan mudhorat untuk masayrakat atau negara, maka berhak untuk dicari tahu berdasarkan informasi yang benar.

Macam-Macam Kemungkaran

Kemungkaran ada dua macam

Pertama: kemungkaran yang wajib diingkari

  • Perkara yang disepakati sebagai kemungkaran.

Contohnya adalah, kesyirikan, zina, musik minuman keras/khamr

  • Perkara yang diperselisihkan sebagai kemungkaran, tetapi khilafnya lemah.

Contoh: Riba Fadhl atau sesuatu yang memabukkan selain anggur. Khilaf dalam hal ini yang membolehkan lemah sehingga tidak dianggap, sehingga hukum dari riba Fadhl dan sesuatu yang memabukkan adalh haram.

kedua: kemungkaran yang tidak boleh diingkari.

  • Perkara yang khilafnya kuat.

Contohnya adalah kunut subuh

Perkara Ijtihadiyyah, yaitu perkara yang tidak ada nash atau dalilnya.

Contohnya adalah masalah-masalah kontemporer yang terjadi pada saat ini.

Macam kemungkaran yang kedua ini tidak boleh untuk diingkari. Boleh bagi kita untuk menyelahkan dan  menjelaskan yang benar, dan itulah kebiasaan para ulama terdahulu. Namun tidak diiringi pengingkaran yang menjatuhkan, merendahkan atau sampai memvonis kemaksiatan.

Pengingkaran

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان

“Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Tingkatan terendah dalam mengingkari kemungkaran adalah mengingkari dengan hati. Setelah tingkatan ini, maka tidak ada iman lagi. Artinya adalah jika seorang telah sampai keadaan tidak lagi emg ingkari dengan hatinya maka imannya telah hilang pada cabang kebaikan tersebut. Bukan hilang semuanya atau kafir.

Pada zaman ini banyak orang yang ketika melihat kemungkaran mereka tidak mengingkarinya, justru mereka merasa senang ketika melihatnya. Ini menunjukkan bahwa ia telah kehilangan iman yang berkaitan dari cabang kebaikan ini. Karena sejatinya rida terhadap terjadinya kemungkaran atau kemaksiatan adalah seburuk-buruk hal yang diharamkan.

Macam-macam pengingkaran ada tiga jika ditinjau dari dampaknya, diantaranya:

  1. Kemungkarannya hilang atau berkurang, jika demikian maka hukum amar ma’ruf fan nahi mungkar adalah wajib.
  2. Kemungkinan tersebut berganti dengan kemungkaran yang semisalnya. Jika demikian maka hal ini menjadi perkara ijtihadiyyah
  3. Kemungkarannya bertambah parah atau kemungkaran tersebut hilang namun berganti dengan kemungkaran yang lebih besar, besar atau luas, jika demikian maka hukumnya amar makruf dan nahi mungkar adalah haram haram

Berdasarkan pembagian ini, maka hukum memberontak kepada penguasa muslim yang zalim adalah haram. Dan banyak hadits yang melarang hal tersebut.

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah, pengalaman menunjukkan bahwa tidaklah suatu kelompok memberontak kepada pemimpin muslim yang sah kecuali yang terjadi adalah kemudharatan yang lebih besar, kemudaratan tersebut dapat berupa pertumpahan darah, kehancuran, atau akan datang pemimpin yang lebih zalim. Dan ini lah yang terjadi sejak zaman salaf hingga saat ini.

Orang Yang Mengingkari

Diantara kriteria pelaku amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah:

  1. Ia harus berilmu dan bisa menimbang masalah dan mudharat.
  2. Orang yang diingkari adalah orang yang berada di bawah kekuasaanya.

Contohnya adalah seorang ayah dengan anaknya, jika seorang anak melakukan suatu kemungkaran, maka ayahnya bisa menegurnya dan menghalanginya dari melakukan kemungkaran, begitu juga dengan majikan terhadapnya bawahan. Tentunya pengingkaran dilakukan dengan hikmah dan menimbang maslahat dan mudarat.

Diluar dari dua kriteria ini, maka perkaranya diserahkan kepada pihak yang berwenang.

Orang Yang Diingkari 

Hal ini tentunya tidak sama dalam melakukan amar makruf nahi mugkar, perlu memperhatikan keadaan dan orang yang diingkari, apakah naka kecil, orang dewasa penguasa dan seterusnya. Karena seorang yang melakukan amar makruf dan nahi mungkar adalah menghilangkan kemungkaran dan bukan sekedar melampiaskan amarah, maka perlu banginya memperhatikan siapa yang dia ingkari.

Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa menyikapi kemungkaran bagaikan penanganan seorang dokter terhadap pasiennya. Dokter akan melakukan yang terbaik dan menimbang maslahat dan mudarat dari setiap tindakanya.

Jika ingin menasehati pemimpin hendaknya tidak melakukan dengan terang-terangan dan dengan hikmah. Sebagaimana perintah Allah Ta’ala kepada Nabi Musa Alaihissalam kepada Firaun.

Allah berfirman:

فَقُوْلَا لَه قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّه يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

“Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Q.S. Thaha: 44)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ ‌لِذِي ‌سُلْطَانٍ فِي أَمْرٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ، فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ لَه

“Barangsiapa yang hendak menasehati pemimpin, maka jangan menasehatinya dengan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangannya dan berbicara berduaan, jika ia menerima maka itulah yang diharapkan, jika tidak menerima, maka sungguh ia telah menunaikan kewajiban atasnya.” (HR. Ahmad)

Diringkas oleh: Birru Ninda Hamidi (Pengajar Rumah Tahfidz Umar Bin Al-khaththab Prabumulih)

Referensi Dari Kitab: Syarah Arba’in An-Nawawiyah, Dr. Ustadz Firanda Andirja Lc. MA. Penerbit Ustadz Firanda Andirja Office. Cetakan Pertama 2022.

Baca juga artikel:

Perkara yang Kita Dapatkan Dalam Dunia Dakwah

Idul Fitri 1443 H

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.