HIDAYAH HANYA MILIK ALLAH-Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan dan petunjuk-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal kita. Barang siapa mendapat petunjuk dari Allah maka tika nada yang menyesatkannya, dan barang siapa yang sesat maka tidak ada pemberi petunjuknya baginya. Aku bersaksi bahwa tiada Illah yang berhak di ibadahi dengan benar melainak Allah dan bahwa Muhammad adalah Hamba dan Rasulnya. Ammaa ba’du
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman :
إِنَّكَ لَا تَهدِي مَن أَحبَبتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعلَمُ بِٱلمُهتَدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya engkau (muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qashas : 56).
Sebab turunnya ayat ini berkaitan meninggalnya Abu Tholib dalam keadaan tetap memeluk agama Abdul Mutholib (musyrik). Hal ini sebagaimana ditunjukkan hadits yang diriwayatkan dalam shahih bukhari dan shahih muslim, dari Ibnu Al Musayyab, bahwa bapaknya (Al Musayyab), berkata: ‘Tatkala Abu Tholib akan meninggal, ‘Abdullah bin Abu Umayyah serta Abu Jahal berada disisinya. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam berkata kepadanya: “wahai’ pamanku. ucapkanlah La ilaaha illallah; suatu kalimat yang dapat aku jadikan pembelaan untukmu dihadapan Allah,’. Akan tetapi, ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahal menimpali dengan ucapan: ‘Apakah engkau membenci agama Abdul Muththolib?’. Lalu Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengulangi sabdanya lagi. Namun mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa di masih tetap diatas agama Abdul Muththolib dan enggan mengucapkan La ilaaha illallah. Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu, selama aku tidak dilarang”. Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَن يَستَغفِرُواْ لِلمُشرِكِينَ وَلَو كَانُوٓاْ أُوْلِي قُرۡبَىٰ مِنۢ بَعدِ مَا تَبيَّنَ لَهُم أَنَّهُم أَصحَٰبُ ٱلجَحِيمِ
Artinya: “Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah: 113)
Adapun mengenai Abu Tholib, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
إِنَّكَ لَا تَهدِي مَن أَحبَبتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعلَمُ بِٱلمُهۡتَدِينَ
Artinya: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya…” (QS. Al-Qashash: 56)
Dari firman Allah Subhanahu Wata’ala dan hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di atas, dapat dipetik beberapa manfaat dan pelajaran, sebagaimana akan kami sebutkan berikut ini.
Pertama. Dalam kitab Fathul Majid, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy Syaikh menukil perkataan Ibnu Katsir rahimahullah tentang tafsir ayat ini: “Allah Shallallahu Alaihi Wasallam berfirman kepada RasulNya, ‘sesungguhnya engkau, wahai Muhammad, tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi,’ artinya, (memberi hidayah atau petunjuk) itu bukan urusanmu. Akan tetapi, kewajibanmu hanyalah menyampaikan, dan Allah akan memberi hidayah kepada siapa yang Dia Kehendaki. Dia-lah yang memiliki hikmah yang mendalam dan hujjah yang tak terkalahkan. Hal ini sesuai dengan kandungan firman Allah Shallallahu Alaihi Wasallam yang artinya:’Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat hidayayah, akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufiq) kepada siapa yang Dia Kehendaki. (QS Al Baqarah : 272). Begitu juga firmanNya: Dab sebahagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (QS Yusuf: 103).
Dalam kitab At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh berkata:’Hidayah yang dinyatakan oleh Allah bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak memilikinya ialah hidayah taufik, ilham dan bantuan yang khusus. Hidayah inilah yang disebut oleh ulama sebagai hidayah at taufiq wa ilham. Yaitu, Allah Subhanahu Wata’ala menjadikan seorang hati seorang hamba kemudahan secara khusus untuk menerima petunjuk; sebuah bantuan kemudahan yang tidak diberikan kepada orang selainnya. Jadi, hidayah taufik ini, secara khusus diberikan Allah kepada orang yang Dia Kehendaki, dan pengaruhnya orang tersebut akan menerima petunjuk dan berusaha meraihnya. Oleh karena itu, memasukkan hidayah ini kedalam hati seseorang bukanlah tugas Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sebab hati hamba berada di tangan Allah, Dia yang membolak-balikkannya sesuai dengan kehendakNya. Sehingga orang yang paking Beliau cintai sekalipun, tidak mampu beliau jadikan menjadi seorang muslim, yang mau menerima petunjuk”.
Meskipun Abu Thalib merupakan kerabat Nabi yang banyak berjasa kepadanya, namun Beliau tidak mampu memberinya hidayah taufik.
Adapun jenis hidayah yang kedua, berkaitan dengan hamba yang mukallaf, yaitu hidayah ad dilalah wal irsyad (memberi penjelasan dan bimbingan). Allah menetapkan jenis hidayah ini ditetapkan pada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam secara khusus, seluruh nabi dan rasul, dan setiap dai yang menyeru manusia kepada Allah. AllahSubhanahu Wata’ala berfirman:
إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرۖ وَلِكُلِّ قَومٍ هَادٍ
Artinya: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk.” (QS. Ar-Ra’d: 7)
.
Dan Allah berfirman tentang diri Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam:
وَإِنَّكَ لَتَهدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰط مُّستَقِيم ٥٢ صِرَٰطِ ٱللَّهِ
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan Allah…” (QS. Asy-Syura: 52-53)
Makna, “engkau memberi hidayah” disini ialah, engkau memberi prtunjuk dan bimbingan, dengan didukung dengan sejumlah mukjizat dan bukti yang menunjukkan kejujuran dan kebenaran Beliau sebagai seorang pemberi petunjuk dan bimbingan.
Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqih berkata dalam catatan kakinya terhadap kitab Fathul Majid: “Kata ihidayah,i dipakai untuk makna memasukkanpetunjuk kedalam hati, dengan mengubah haluannya dari kesesatan, kekufuran dan kefasikan, menuju petunjuk, keimanan dan ketaatan, dan membuatnya tetap lurus, teguh diatas jalan Allah. Hidayah seperti ini, khusus hanya dimiliki Allah Subhanahu Wata’ala, karena Dia-lah yang berkuasa membolak balikkan hati dan mengubahnya, seta memberi hidayah atau menjadikan tersesat jalan bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa yang diberi Allah petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Berdasarkan ayat ini diketahui, bahwa petunjuk semacam ini tidak terdapat pada diri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam , apalagi orang selain Beliau. Orang-orang yang mengaku memiliki petunjuk ini, misalnya para tokoh sufi dan semacamnya yang mengaku dapat memasuki hati murid-muridnya, dapat mengetahui isinya, serta dapat mengendalikan sesuai keinginannya, maka semua itu merupakan kedustaan dan penyesatan. Orang yang mempercayai klaim seperti ini, berarti ia sesat dan menganggap Allah dan Rasul-Nya dusta.
Adapun petunjuk menurut ilmu, dalil, Al Qur’an dan lainnya untuk menempuh jalan keselamatan dan kebahagiaan, maka para hamba mampu melakukan petunjuk ini, sebagaimana telah ditetapkan pada diri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala, yang artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy-Syura: 52).
Allah telah mewajibkan para ahli ilmu untuk melaksanakan tugas ini, yaitu memberikan petunjuk dengan cara amar makruf dan nahi munkar ke jalan Allah yang lurus. Namun kebanyakan orang tidak bisa membedakan antara kedua jenis petunjuk ini. Sebagian melewati batas dan sebagian lainnya meninggalkan amar makruf nahi munkar, berdalih dengan ayat “sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi”. Yang demikian ini merupakan kebodohan dan kesesatan”.
Kedua, berkenaan dengan tafsir surat At Taubah ayat 113, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh berkata: ‘Artinya,memintakan ampunan unuk orang musyrik, tidaklah pantas dilakukan para nabi. Ini adalah kalimat yang bentuknya khabar (berita), yang mengandung pengertian larangan. Ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Abu Thalib, sebagaimana disinyalir dari lahfaz hadits yang menyebutkan kalimat fa anzala (lalu Allah menurunkan) setelah kalimat ucapan Rasulullah la astagfianna laka ma lam unha ‘anhu’ (sungguh, akan aku mintakan ampunan untukmu selama hal itu tidak dilarang) yang mengisyaratkan sebagai kelanjutannya.
Di dalam Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: Kalimat ma kana atau la yanbaghi dan semisalnya, jika datang dalam Al-Qur’an, maksudnya, perkara yang disebutkan tersebut terlarang (tertolak) dengan larangan yang keras. Misalnya, firman Allah Subhanahu Wata’ala “ Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Mahasuci Dia.”(Qs. Maryam: 35). Demekian juga firmanNya “Dan tidak layak lagi Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak”(Qs. Maryam:92), dan firmanNya” Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya”(Qs. Yasin: 40). Serta sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, “Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak layak bagiNya untuk tidur.”(HR. Muslim).
Kemudian firman-Nya “Mereka memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik” maksudnya, mereka (dilarang) memohon pengampunan untuk orang-orang musyrik.
Sedangkan firman-Nya “walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabatnya”, maksudnya, sekalipun orang-orang musyrik itu adalah karib kerabat mereka sendiri. Karena itulah, tatkala Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melakukan umrah lalu melewati kuburan ibunya, Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam meminta izin kepada Allah untuk memintakan ampunan kepadaNya untuk ibunya, namun Allah tidak mengizinkan. Lalu beliau Shallallahu Alaihi Wasallam meminta izin menziarahi kuburan ibunya, dan Allah pun mengizinkannya. Maka Beliau pun menziarahinya untuk mengambil pelajaran.
Allah melarang Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam memintakan ampunan untuk orang-orang musyrik, karena orang-orang musyrik tersebut tidak berhak dimintakan ampunan. Jika engjau berdoa kepada Allah agar melakukan sesuatu yang tidak layak bagiNya, maka itu merupakan pelanggaran dalam berdoa.
Di bagian lain Syaikh ‘Utsaimin berkata: ‘Dan termasuk perkara yang keliru dari sebagian ucapan manusia, yaitu menyebut tokoh-tokoh kafir yang meninggal dengan almarhum (yang pasti dirahmati Allah). Penyebutan seperti ini haram, karena bertentangan dengan Allah Shallallahu Alaihi Wasallam. Demikian pula, haram menampakkan kesedihan atas kematian mereka dengan cara berkabung atau selainnya; karena orang-orang yang beriman sepatutnya merasa senang dengan kematian mereka. Bahkan seandainya orang-orang beriman itu memiliki kemampuan dan kekuatan, niscaya akan memerangi orang-orang kafir itu agar agama seluruhnya milik Allah.
Syaikh Shalih bin Abdulaziz Alu Asy Syaikh berkata,”Jika kita telah mengetahui kalimat ‘ma kana’ (tidak selayaknya) datang dengan Al Qur’an dengan kedua makna ini (makna larangan dan penafian), maka yang dimaksud disini (ayat 113 surat At Taubah) adalah larangan. Yaitu larangan meminta pengampunan untuk siapapun dari orang-orang musyrik. Maka apabila Allah telah melarang para Rasul, para nabi dan para wali, serta dari mereka dari kalangan orang-orang shalih; melarang mereka saat masih hidup saat meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang musyrik tersebut, maka ini menunjukkan, kalaulah dianggap mereka mampu memintakan pengampunan dalam kehidupan mereka di alam barzakh, pastilah mereka tidak memintakan ampun untuk orang-orang musyrik, dan tidak akan mau meminta ampun kepada Allah untuk orang-orang yang datang kepada mereka –saat mereka telah mati itu- untuk meminta syafaat, memohon ighatsah , atau ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a’lam.”
Ketiga, sebuah masalah sangat penting lainnya, yaitu tentang penafsiran sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam “Ucapkanlah la ilaaha illallah”, berbeda yang dipahami dengan orang-orang yang mengaku berilmu.
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi berkata: Banyak orang mengaku berilmu, tetapi tidak mengerti makna “la ilaaha illallah”, sehingga setiap orang mengucapkan kalimat itu, dianggapnya telah Islam, meskipun nyata-nyata melakukan krkufuran. Misalnya dengan beribadah kepada kuburan, kepada orang-orang yang sudah mati, kepada berhala-berhala, mengahalalkan yang jelas-jelas diharamkan agama, memutuskan suatu perkara dengan landasan selain yang telah diturunkan oleh Allah, dan menjadikan para rahib dan atau pendetanya sebagai tuhan selain Allah, dan memenuhi perjanjian dengan memenuhi hak Allah dalam peribadatan. Ini ditunjukkan oleh firman Allah “Barang siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka ia telah berpegang teguh dengan tali yang amat kuat 9QS Al Baqarah : 256)”.
Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri menyatakan, golongan khawarij banyak yang melakukan shalat, puasa, membaca Al Qur’an dan dilandasi dengan la ilaha illallah, namun demikian beliau mengatakan, bahwa mereka kafir, jauh dari agama sebagaimana lepasnyaanak panah dari busurnya. Beliau bersabda,”seandainya aku bertemu dengan mereka, tentulah aku akan memerangi dengan peperangan yang dahsyat”. Demikianlah disebutkan dalam Ash Shahihan.
Jika sekedar mengucapkan la ilaha illallah sudah cukup, tentu tidak akan terjadi peperangan antara Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan kaum musyrikin. Bukankah kaum musyrikin pada saat itu juga memahami kalimat ila ilaha illallah, bahkan pemahamannya melebihi orang-orang yang mengaku berilmu pada zaman sekarang ini? Namun Allah telah menutup hati mereka, sehingga mereka tidak memahami.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, bahwa perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (yaitu, berbeda dengan yang dipahami oleh orang yang mengaku berilmu) pada point ketiga ini, seolah-olah beliau menunjuk kepada penafsiran para ahli ilmu kalam terhadap makna kalimat ila ilaha illallah, yakni mereka (ahli ilmu kalam) mengatakan, bahwa al ilah (dalam kalimat tersebut) adalah Dzat yang maha kuasa untuk melakukan ikhtira’ (mencipta sesuatu tanpa contoh sebelumnya), dan tidak ada yang mampu untuk melakukan ikhtira’, kecuali hanya Allah semata. Ini adalah tafsir yang batil.
Memang benar, bahwa tidak ada yang mampu melakukan ikhtira’ kecuali Allah, namun itu bukan makna yang sesungguhnya dari kalimat la ilaha illallah. Makna yang sebenarnya ialah, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahikecuali Allah, karena, kalau mengatakan la ilaha illallah bermakna tidak ada yang mampu melakukan ikhtira’ kecuali Allah, maka orang-orang musyrik yang dahulu diperangi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, juga para wanita, anak-anak, dan harta mereka beliau bolehkan untuk ditawan dan diambil, telah menjadi muslim.
Jadi, secara zhahir perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah ini menunjukkan bahwa (merka yang mengaku berilmu tersebut) adalah para ahli ilmu kalam yang menafsirkan kalimat la ilaha illallah dengan Tauhid Rububiyah, dan begitu pula orang-orang yang menyembah Rasulullah dan para wali tetapi berani berkata, ‘kami mengucapkan la ilaha illallah.”’
Sumber:
Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M
Diringkas oleh: Sherly Marsella (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)
Baca juga artikel:
Dokumenter Santri Classmeeting
Leave a Reply