
Hakikat taubat nasuha seperti yang di tegaskan Imam al-Kalbi, “Taubat Nasuha adalah menyesali dosa dengan hati, beristighfar dengan lisan, melepaskan diri dari dosa dan bertekad kuat tidak mengulanginya. Taubat nasuha menuntut pelakunya bertaubat secara lahir maupun batin, menyesal dan bertekad untuk tidak kembali kepada dosa dosa. Taubat yang dilakukan secara lahir saja diibaratkan kotoran yang dibungkus dengan kain sutera, orang yang melihatnya akan terpesona oleh bungkusnya, tapi begitu mengetahui isinya, ia akan berpaling. Pada Hari Kiamat Kelak, akan tersingkaplah semua rahasia orang yang menampakkan ketaatan lahir saja, sehingga para malaikat akan berpaling meninggalkannya. Maka taubat nasuha wajib dilakukan oleh setiap Muslim berdasarkan firman Allah,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا تُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ تَوْبَةً نَّصُوْحًاۗ عَسٰى رَبُّكُمْ اَنْ يُّكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۙ يَوْمَ لَا يُخْزِى اللّٰهُ النَّبِيَّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗۚ نُوْرُهُمْ يَسْعٰى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَاۚ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrim: 8).
Ibnu Katsir berkata bahwa para ulama berkata, “Taubat nasuha adalah melepaa dosa pada saat sekarang, menyesali dosa-dosa masa lalu, lalu bertekad bulat untuk tidak mengulangi pada masa yang akan datang. Kemudian, bila terkaid dengan hak-hak anak Adam maka harus dikembalikan sesuai dengan kondisinya.
Dan para ulama ahli tafsir dalam menafsirkan taubat nasuha beraneka ragam.
Pertama: Menurut Umar hendaknya seorang berbuat dosa kemudian bertaubat lalu tidak mengulanginya.
Kedua: Menurut Hasan Bashri hendaknya seorang hamba membenci dosanya dan senantiasa beristigfar tatkala mengingatnya.
Ketiga: Menurut Qatadah taubat nasuha adalah taubat yang jujur dan tulus.
Keempat: Hendaknya bersikap ikhlas dalam bertaubat.
Kelima: Hendaknya merasa malu karena taubatnya belum tentu diterima.
Keenam: Hendaknya tidak perlu taubat berulang kali.
Ketujuh: Hendaknya penuh harap dan cemas, senantiasa ketagihan amal saleh.
Kedelapan: Hendaknya meninggalkan orang-orang yang selama ini membantu maksiat.
Kesembilan: Hendaknya mengingat dosa-dosa senantiasa teringat di pelupuk matanya.
Kesepuluh: Hendaknya menatap ke depan tampa bebalik arah sebagaimana saat maksiat berbalik arah tidak menghadap ke depan.
Seorang hamba yang telah menjalani taubat nasuha pasti akan merasakan manisnya iman, tenaga dan bersihnya jiwa serta kebahagiaan hati. Karena, taubat nasuha merupakan sumber segala kebaikan, pemancar segala kebahagiaan, ketenangan juga kebersihan dan sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai hamba yang bertaubat dan senang dengan taubatnya.
Allah berfirman,
لَقَدْ تَّابَ اللّٰهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ فِيْ سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْۢ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيْغُ قُلُوْبُ فَرِيْقٍ مِّنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْۗ اِنَّهٗ بِهِمْ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ۙ
Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. “(At-Taubah: 117).
Ibnu Qayyim berkata, ‘Hendaknya maksud taubat adalah bertakwa kepada Allah, yaitu merasa takut dan khusyuk kepadaNya, menunaikan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan menjalankan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dengan berharap pahala dari Allah, dan meninggalkan maksiat di atas cahaya dari Allah karena merasa takut terhadap siksaan Allah.
Mengalir sebagai karakter utama manusia adalah sifat lalai, lupa, dan condong berbuat salah dan melampaui batas. Karena karakter inilah, kita perlu beristighfar setiap saat, kembali kepada Allah, tidak menunda-nunda taubat, dan meningkatkan amal shalih serta segera sadar kembali menuju jalan kebenaran, karena Allah berfirman,
وَيَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالسَّيِّئَةِ قَبْلَ الْحَسَنَةِ وَقَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِمُ الْمَثُلٰتُۗ وَاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ لِّلنَّاسِ عَلٰى ظُلْمِهِمْۚ وَاِنَّ رَبَّكَ لَشَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan mereka meminta kepadamu agar dipercepat (datangnya) siksaan, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksaan sebelum mereka. Sungguh, Tuhanmu benar-benar memiliki ampunan bagi manusia atas kezaliman mereka, dan sungguh, Tuhanmu sangat keras siksaan-Nya.(Ar-Ra’ad: 6).
Taubat menghapus dosa dan tindakan tercela melalui empat langkah sebagaimana yang telah di tegaskan al-Quradhi bahwa taubat nasuha harus menghimpun empat perkara; beristighfar secara lisan, melepaskan dari tindakan anggota badan, bertekad kuat dalam hati untuk tidak mengulanginya, dan menjauhi teman-teman yang buruk.
Taubat nasuha merupakan tempat peristirahatan pertama bagi orang-orang yang menempuh di jalan menuju kebenaran di sisi Rabb yang Mahakuasa, sekaligus sebagai permulaan orang-orang yang berjalan menuju akhirat.
Taubat nasuha bukan saja sebagai permulaan, tapi juga menjadi pertengahan sekaligus akhir perjalanan spiritual menuju Allah, sehingga seorang hamba yang menempuh perjalanan tidak layak untuk memisahkan diri darinya. Ia harus tetap menjalankannya sampai akhir hayat. Kalaulah ia harus berpindah dari satu tempat ketempat lain, tetap saja ia harus menjalankannya dan bersamanya.
Dan kebutuhan manusia pada taubat di akhir hayatnya sangat mendesak seperti kebutuhannya pada awal kehidupan, sehingga Allah berfirman
۞ وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. “(Ali Imran: 133).
Abu Hanyyan al-Andalusi berkata, ” Ketika mereka di perintahkan memelihara dari api neraka, maka mereka di perintahkan untuk bergegas menuju sebab-sebab yang mendatangkan pengampunan dan jalan menuju surga. “
Taubat nasuha di mulai dengan penyesalan kemudian penyesalan melahirkan keinginan keras untuk kembali kepada Allah dan bertekad bulat meninggalkan maksiat. Dan telah dimaklumi bahwa kemaksiatan adalah penghalang dan penyekat hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya, sehingga ia pun segera memilih keselamatan. Sementara tidak ada cara paling bagus untuk menyelamatkan dari siksa Allah kecuali hanya berlindung, berharap dan takut kepadaNya, yang menjadi sifat menonjol para Rasul dan para pengikutnya sebagaimana firman Allah,
فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖوَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا يُسٰرِعُوْنَ فِى الْخَيْرٰتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَّرَهَبًاۗ وَكَانُوْا لَنَا خٰشِعِيْنَ
Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Al-anbiya: 90).
Dari perasaan harap dan cemas inilah akan lahir taubat Nasuha. Inilah jalan yang di tempuh oleh kaum yang kembali dan bertaubat. Taubat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi dari perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dulu, baik karena sengaja maupun karena kejahilan. Ia kembali kepada Allah dengan penuh keikhlasan, kemantapan dan keyakinan yang disertai dengan ketaatan yang mengangkatnya sampai ke derajat para wali Allah yang benar-benar bertakwa.
Kata taubat yang hanya di lisan tidak bisa menjadi bukti jujurnya bertaubat. Selama dia belum membuktikan secara jujur dalam perubahan membuktikan secara jujur dalam perubahan perilaku, maupun tindakan, taubatnya tidak bisa di sebut dengan taubat nasuha. Siapa yang berkata, “Aku bertaubat”, tidak boleh merasa telah bertaubat hingga kata taubat tersebut memancarkan sinar hidayah dan bukti penyesalan penuh kejujuran dalam perilaku dan tindakan.
Allah berfirman,
وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Dan barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”(An-Nisa:110).
Untuk mengenali adanya kejujuran seorang hamba dalam bertaubat, perhatikan hal-hal berikut:
Pertama: Ia segera meninggalkan seluruh maksiat dan segera mengerjakan berbagai macam ibadah untuk menutupi kekurangan masa lalu. Hal itu merupakan salah satu bukti bahwa hatinya merasakan pahitnya dosa dan memiliki keinginan untuk bertaubat.
Kedua: Ia bertekad bulat menutupi kekurangannya dan memperbaiki keadaan pada masa yang akan datang. Jika dia melalaikan suatu ibadah, ia mengqadhanya. Jika dia mengambil hak orang lain, ia mengembalikan kepada pemiliknya. Jika dia melakukan kesalahan yang tidak mengharukan membayar denda, cukup dengan menyesalinya. Ini merupakan bukti bahwa dalam hatinya dia mengagungkan Allah, sangat takut dan berharap kepadaNya dan berambisi untuk meraih rahmat dan ampunanNya.
Ketiga: Dunia akan terasa sempit baginya sebagaimana yang dirasakan Ka’ab bin Malik beserta kedua temannya. Hidupnya diliputi dengan kesedihan dan tangisan akibat dosa-dosa yang telah diperbuatnya dengan banyak beribadah dan beramal shalih.
Keempat: Kondisi hidupnya lebih baik daripada sebelum ia bertaubat.
Kelima: Tidak merasa aman dari makar Allah walau hanya sekejap mata, sehingga ia merasa selalu dalam pengawasan Allah dan merasa takut sampai dia mendengar ucapan para malaikat utusan yang hendak mencabut nyawanya.
Keenam: Hatinya teriris mengingat dosa- dosanya. Ia merasa rugi atas semua kebaikan yang selama ini ia lewatkan dan takut akan akibat buruk maksiat yang ia lakukan.
Ketujuh: Senantiasa menyadari bahwa pertemuan dengan Allah akan segera terjadi, setiap saat ia merasa kematian akan menjemputnya. Bahkan ia menyadari bahwa kematian lebih dekat dari tali sendalnya.
Ditulis oleh: Zainal Abidin bin Syamsuddin.
Diringkas oleh Usman.
Diambil dari Buku: Ya Allah Ampuni Aku, Bertaubat Sebelum Terlambat.
BACA JUGA :
Leave a Reply