Kehidupan seseorang ketika mulai beranjak dewasa dan akalnya semakin sempurna, ia pun mulai berfikir tentang hakikat kehidupan yang sedang di jalaninya, sebagaimana juga di jalani oleh orang lain. Sementara itu, bumi yang kita huni ini kian sesak oleh manusia. ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang lahir dan ada yang mati, silih berganti.
Jika hari ini berkuasa seorang raja, maka besok raja lain menggantikannya. Sekiranya hari ini berlangsung pengangkatan seorang menteri atau jenderal, sebelumnya kita pun mendengar adanya pengangkatan seorang menteri atau panglima. Yang tetap hanyalah peran manusia dalam kehidupan ini, sedangkan yang silih berganti adalah para pelaku dan orang orang yang memerankannya.
Peran kehidupan itu ada yang baik dan ada yang buruk, dan manusia hanya di perintahkan untuk memilih peran yang baik, bukan yang buruk Allah berfirman:
تْلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مّا كَسَبْتُمْ وَلاَ تُسْلَوْن َاااان
“itulah umat yang telah lalu. Baginya adalah apa yang telah mereka usahakan, dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al baqarah 141 ).
Di masa nabi musa ‘alahissalam, perhatian semua orang tertuju pada kekuasaan Fir’aun; bahwa cerita masyarakat ketika itu hanya terfokus pada kekayaan Qarun; decak kagum masa hanya terpaku pada arsitektur bangunan rancangan hamam. Akan tetapi, kemana kini semua cerita kehidupan tersebut? Semuanya sirna dan punah. Yang kita temukan hanya cerita di lembaran kitab-kitab suci apa yang tersisa dari sejarah kepongahan tersebut? Yang tersisa hanya bekas-bekasnya.
Dari rentang perjalanan hidup manusia yang beragam ini, baik pada masa kekuasaan orang-orang yang shalih maupun dalam cengkeraman orang-orang yang thalih, Allah tetap memelihara bumi dan alam raya ini dengan keseimbangan yang berkesinambungan, keindahan yang menakjubkan dan ciptaan yang berpasang-pasangan. Adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, langit dan bumi semua itu merupakan pertanda adanya sang pencipta.
Dalam hal ini, keriuhan bodoh mengatakan “laut yang membintangi langit, dan bumi yuang mengalir, tidak semuanya menunjukkan pencipta?”
Betapa agung penciptaan langit, bumi beserta isinya, dan semua itu menunjukkan bahwa Allah menciptakannya tidak dengan main-main. Allah berfirman:
أَفَحَسِبْتُمْ أَنّمَا خلقْناكم عبثًا و أنّكمْ إلينا لا ترجَعُونَ
“ maka apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu main-main tanpa ada maksud dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Qs. Al-mu’minun 115)
sekiranya kehidupan yang penuh keseimbangan ini diciptakan bukan untuk bersenda gurau, lalu untuk tujuan apa Allah menciptakan kehidupan dunia?
Apa sebenarnya tugas utama manusia? Apakah mereka hanya sekedar makan, minum, menikah dan memiliki keluarga serta mempererat suku saja? Ataukah manusia hidup tidak bertujuan, sebagaimana mati tidak bertujuan? Tanah terakhir yang di letakkan orang lain pada kuburannya, itu pula akhir cerita kehidupannya.
Bagaimana orang-orang kaya dengan kezhalimannya, dan bagaimana para penguasa dengan kediktatorannya? apakah mereka di biarkan begitu saja?
Bagaimana perasaan Anda ketika sampai pada tujuan Anda atau orang-orang biasa dengan penderitaan mereka, kapan mereka merasakan kebahagiaan? Bagaimana dengan para nabi dan rasul, pendeta dan penyembah yang telah meninggalkan dunia tidak bahagia?
Jika dunia diciptakan dengan keadilan Sang Pencipta, maka pasti pahala perbuatan baik atau perbuatan buruk tergantung pada keadilan-Nya. Jika dunia ini dapat diciptakan dari ketiadaan, maka ia akan dapat membalas kebaikan untuk kebaikan dan kejahatan dengan kejahatan.
Allah berfirman yang artinya:
“dan setiap umat semuanya akan dihadapkan kepada kami, dan suatu tanda kebesaran Allah bagi mereka adalah bumi yang mati( tandus) kami hidupkan bumi itu dan kami keluarkan darinya biji-bijian, maka dari biji-bijian itu mereka makan, dan kami jadikan padanya di bumi itu kebun-kebun kurma dan anggur, dan kami pancarkan darinya beberapa air, agar mereka dapat makan dari buahnya, dan dari hasil usaha tangan mereka, maka mengapa mereka tidak bersyukur?”(QS. Yasin32-35).
TUJUAN KEHIDUPAN
Semua manusia ingin hidup bahagia, inilah tujuan hidup semua orang. Dan semuanya tahu untuk menggapai kebahagiaan di perlukan pengorbanan. Hanya saja, manusia sering keliru dalam mencari jalan kebahagiaan.
Banyak orang yang menempuh jalan hidup yang menurutnya mengantarkan kepantai kebahagiaan, padahal justru membawanya kejurang kebinasaan. Celakanya, semakin jauh mereka menempuh jalan tersebut semakin jauh pula mereka dari jalan yang mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki.
Banyak orang yang menyangka bahwa kebahagiaan ada pada harta, karenanya, mereka berbondong-bondong mencari berbagai sumber harta dengan bersusah payah dan menguras tenaga. Setelah memperoleh harta, toh hati mereka tetap gundah gulana, tidak tentram, ada saja yang membuat hati mereka gelisah, dan pemicunya kadang dari anak, istri, dan terkadang dari usaha tempat penimba harta.
Banyak orang menyangka bahwa pangkat dan kekuasaan adalah sumber kebahagiaan. Itu karena orang-orang yang memiliki pangkat dan kekuasaan terlihat begitu bahagia. Mereka pergi di jemput, pulang diantar. Ketika menghendaki sesuatu, mereka tinggal memesan. Dan ketika mereka memerintah, perintahnya tidak pernah di tentang! Padahal setelah diselidiki, setelah kita menembus dinding istana mereka , terdengarlah keluh kesah mereka, dan ternyata mereka belum menemukan kebahagiaan hakiki.
Jadi, apa yang dimaksud dengan kebahagiaan hakiki? Kebahagiaan seperti apa sebenarnya yang dicari manusia? Siapakah sebenarnya orang-orang yang bahagia itu? Dan sarana apa sajakah yang digunakan untuk mencapai kebahagiaan tersebut?
Sebelum menjawab semua pertanyaan tersebut, perlu disadari bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah. Maka dialah yang paling mengetahui seluk beluk manusia, termasuk tentang sebab bahagia atau sengsara. Sama halnya dengan sebuah produk. Sekiranya kita hendak mengtahui hakikat produk tersebut, tentu kita menanyakannya kepada sang pembuat, bukan kepada produk itu sendiri. Dalam hal ini Allah berfirman:
ألاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللّطِيْفُ الخَبِيْرُ
“ Apakah pantas Allah menciptakan itu tidak mengetahui? Dan dia maha halus dan maha mengetahui. QS. Al Mulk:14
Ketika kita mempelajari Al-Quran dan mempelajari hukum Islam, kita dapat menyimpulkan bahwa kebahagiaan sejati dapat dicapai dengan menerapkan perbudakan kepada Allah, orang yang bahagia adalah hamba Tuhan yang sukses dan dalam hal ini sarana kebahagiaan adalah segala cara telah disediakan oleh Allah di jalan perbudakan kepada Allah.
Untuk tujuan perbudakan ini, ia diciptakan oleh manusia dan jin, karena ubudiyah kepada Allah diberikan kepada surga dan bumi disajikan. Karena perbudakan ini ia menurunkan Kitab Suci dan para rasul.
Allah berfirman:
وَمَا خَلقْتُ الجنَّ وَالإنْسَ َلا لَّيَعْبُدُوْنِ
“Aku menciptakan bukan roh dan manusia tetapi untuk menyembah mereka. (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Orang yang berpaling dari perbudakan kepada Tuhan adalah orang yang sengsara. Allah berfirman:
ومَن يُعْرِضْ عضنْ ركرِ ربّه يَسْلُكْهُ عذاباً صَعضدًا……
“…… Dan siapa pun yang berpaling dari peringatan rabi, dia akan dihukum berat. (QS. Al-Jin: 17)
Allah yang menentukan takdir semua makhluk, tidak ada yang dapat mengubahnya selain dia, Allah yang menentukan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, manusia tidak dapat melawannya.
Jika Allah menentukan kemiskinan kepada seseorang maka tidak seorangpun yang dapat membuaatnya kaya. Ketika Allah menentukan kesengsaraan bagi seseorang, maka tidak ada satupun yang dapat membuatnyaa bahagia.
Bila demikian, kemana manusia hendak lari? Kemanaa manusia hendak berteduh dan bernaung dari takdir yang tak dapat di ubah kecuali atas seizinnya? Kemana mata manusia hendak bersandar dari sesuatu urusan yang tidak berada di tangannya?
Orang-orang yang berpikir mereka harus bergantung pada Tuhan yang telah menentukan segalanya. Karena hanya di bawah naungannya ia akan merasa damai. Hanya dengan mengandalkannya dia akan menemukan kebahagiaan. Hanya kesenangan diri dalam dirinya, akan lenyap dari semua kecemasan dan kesedihan.
Bagaimana mungkin seorang hamba Tuhan tidak bahagia, bukankah jejak kasih Tuhan begitu dalam di takdirnya? Bagaimana mungkin dia tidak tenang, bahwa semua takdir yang dia cintai atau yang dia benci adalah cara untuk mencapai kebahagiaan dan cintanya?
Bagaimana mungkin seorang hambanya akan merasakan sedih dan takut, karena sebelumnya ia telah diajarkan cara menghadapinya: bersabar ketika sengsara bersyukur saat bahagia. Sehingga kesulitan dan kesusahan hidup yang di rasakannya tidak akan menyebabkannya berputus asa; kebahagiaanya tidak akan membawanya kepada kesombongan.
BEBAN AMANAH
Allah menciptakan kehidupan manusia untuk mengemban sebuah tugas yang sangat mulia. Dan agar manusia mampu melaksanakan tugas tersebut, Allah menundukkan alam semesta ini, bumi dan langit, gunung dan lembah, daratan dan lautan, binatang dan tumbuhan, semua itu merupakan bkal bagi manusia.
Pembekalan yang besar itu menunjukkan betapa besar tugas yang harus di emban, betapa sulit tujuan yang ingin di capai, dan amat berat amanah yang di pikul manusia.
Adalah baik jika tidak ada yang mengambil kepercayaan sebelumnya, apakah itu langit yang tinggi, gunung yang menjulang tinggi, atau bumi yang membentang. Semua orang menolak untuk menanggungnya, kecuali manusia begitu bodoh dan kejam.
Terkait hal ini Allah berfirman yang artinya:
” Kami telah menawarkan kepercayaan dari surga, bumi dan gunung-gunung, tetapi mereka enggan untuk mengambil kepercayaan dan mereka takut bahwa mereka tidak akan melaksanakannya. Sungguh, pria itu sangat kejam dan sangat bodoh. “ (QS. Al-Ahzab: 72)
Amanah apakah yang telah di ikrarkan itu? Mengapa manusia begitu bodoh dan kejam sehingga mereka berani mempercayai kepercayaan seperti itu?
Amanah itu tidak lain adalah islam dan peraturan-Nya. Amanah itu adalah jangi untuk mematuhi Allah.
Semua sarjana sepakat bahwa yang dimaksud dengan kepercayaan adalah pajak (persyaratan untuk memenuhi kewajiban mereka) dan kesediaan untuk menerima perintah dan larangan Allah dengan konsekuensi. Konsekuensinya adalah bahwa jika kepercayaan dieksekusi maka itu akan dihargai, tetapi jika itu tidak terpenuhi maka itu akan dihukum. Maka itu diterima oleh manusia karena kelemahannya, ketidaktahuannya, dan ketidakadilannya, kecuali mereka yang mencarinya dari Allah. Hanya Tuhan yang membutuhkan bantuan.
Artikel ini diringkas dari buku Untukmu yang berjiwa Hanif
penulis: Armen Halim Naro, Lc
di ringkas oleh: NURMIMI HARIA PUTRI (Pengajar Ponpes Darul-Qur’an Wal-hadits OKU Timur)
Baca Artikel Sebelumnya: Kiat-Kiat Menghafal Al-Qur’an dan As-Sunnah
Baca Artikel Bermanfaat Lainnya: Bagaimana Kedudukan Ilmu Umum Bila Dibandingkan Dengan Ilmu Syar’i?
Leave a Reply