Hak Sesama Muslim (bagian 1)

hak sesama muslim

“Hak muslim terhadap muslim yang lain”. Ungkapan ini bersifat umum, maka ia mencakup setiap individu muslim, baik muslim yang baik keislamannya, maupun muslim yang kurang baik keislamannya. Sekalipun muslim tersebut sering melakukan dosa-dosa besar, ia tetap termasuk dalam hadis ini, selama dosa besar tersebut bukan berupa kekufuran yang mengeluarkannya dari Islam. Selama seseorang masih masuk kategori muslim, maka hukum asalnya ia berhak mendapatkan haknya sebagai seorang muslim. Inilah hukum asal yang berlaku bagi setiap muslim.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إذا لقيته فسلم عيه، وإذا دعاك فأجبه، وإذا استنصحك فانصح له، وإذا عطس فحمد الله فشمته، وإذا مرض فعده، فإذا مات فاتبعه

Artinya: “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam: (1) Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, (2) Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, (3) Jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilahia nasihat, (4) Jika ia bersin dan mengucapkan Alhamdulillah’ (segala puji bagi Allah) maka doakanlah ia dengan mengucapkan “Yarhamukallah” (semoga Allah merahmatimu), (5) Jika ia sakit maka jenguklah dan (6) Jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya,” (HR. Bukhari dan Muslim)

Akan tetapi hak yang merupakan hukum asal tersebut dapat gugur (tidak dipenuhi) jika terdapat penghalang. Misalnya, seorang muslim mengundang muslim lainnya untuk menghadiri acara walimah pernikahannya yang sarat akan hal-hal berbau maksiat. Maka muslim yang diundang diperbolehkan untuk tidak memenuhi undangan itu, bahkan wajib baginya untuk tidak menghadiri acara-acara semacam itu. Hukum asal mendatangi undangan sesama muslim yang semula wajib, menjadi gugur karena adanya kemaksiatan dalam acara yang dilaksanakan.

“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam”. Bilangan enam yang disebutkan dalam hadis bukanlah sebagai suatu pembatasan, melainkan semata penegasan dan perhatian lebih dari Rasulullah terhadap enam hak tersebut. Artinya, masih ada hak-hak sesama muslim lainnya, selain enam hak yang disebutkan dalam hadis ini.

Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud ‘hak’ dalam hadis ini adalah perkara-perkara yang semestinya tidak ditinggalkan. Maksudnya, ada di antara enam hak di atas yang wajib dipenuhi, dan ada pula yang mustahab (sunah) nan sangat ditekankan, sehingga, karena urgensinya, dimiripkan dan disebutkan dalam satu untaian dengan perkara-perkara yang diwajibkan.

Hak yang pertama:

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

إذا لقيته فسلم عليه

Artinya: “…jika engkau bertemu sesama muslim maka berilah salam kepadanya.…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Memberi salam adalah merupakan salah satu amalan sangat mulia. Rasulullah bersabda yang artinya: “Kalian tidak akan masuk surga kecuali jika kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman dengan sempurna hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang suatu hal yang dengan melakukannya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)

Abdullah bin ‘Amr mengisahkan, suatu ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah perihal amalan terbaik dalam Islam. Rasulullah pun menjawab: “Memberi makan, dan mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal”. (HR. Al-Bukhari)

Salam merupakan amalan yang indah karena di dalamnya terdapat doa keselamatan kepada sesama muslim. Dengan membiasakan menyebarkan salam, maka akan timbul rasa cinta di antara kaum muslimin. Dengan demikian, jalinan ukhuwwah islamiyyah akan semakin erat.

Setiap muslim berhak untuk mendapatkan ucapan salam meskipun muslim tersebut merupakan ahli maksiat. Justru, kita berharap Allah & akan menjadikan salam yang kita ucapkan dengan tulus kepada muslim pelaku maksiat dapat menyadarkan jiwanya yang selama ini tersesat, serta membukakan pintu hatinya untuk segera bertaubat, berbuat kebaikan, dan meninggalkan kemaksiatan yang selama ini ia lakukan. Jika seorang yang saleh malah bermuka masam dan enggan mengucapkan salam ketika melewati saudaranya sesama muslim yang ahli maksiat, bisa jadi sikapnya tersebut malah memicu kejengkelan, amarah, dan kebencian si muslim pelaku maksiat tersebut terhadapnya dan orang-orang saleh lainnya, sehingga ia semakin tidak tergerak untuk bertaubat, dan malah semakin dekat dengan teman-teman sesama pelaku maksiat.

Abdullah bin Salam, seorang mantan pendeta Yahudi yang masuk Islam dan kemudian menjadi salah seorang sahabat Rasulullah yang paling mulia, menuturkan: yang artinya: “Setibanya Rasulullah di kota Madinah, aku pun datang (untuk melihatnya). Tatkala aku memperhatikan wajah beliau, aku yakin bahwasanya wajah beliau bukanlah wajah seorang pendusta. Ketika itu, wejangan pertama yang beliau sampaikan adalah, ‘Wahai sekalian manusia, tebarkanlah salam, berilah makan, sambunglah tali silaturahmi, dan salatlah di waktu malam tatkala orang-orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan penuh keselamatan”. (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Perhatikan bahwa menyebarkan salam bukanlah perkara sepele dan remeh. Nilainya sangat besar, bahkan ia adalah salah satu nasihat pertama yang Rasulullah sampaikan sejak awal menginjakkan kaki beliau di kota Madinah untuk berdakwah.

Ath-Thufail bin Ubay bin Ka’ab pernah menyertai Abdullah bin Umar ke pasar. Ternyata Abdullah bin Umar tidak putus-putusnya menebarkan salam kepada siapa saja yang berpapasan dengannya, baik. kaya atau pun miskin, pedagang besar atau pun kecil, kepada semuanya beliau memberikan salam. Suatu ketika Abdullah bin Umar kembali mengajak ath-Thufail untuk menyertainya ke pasar. Kali ini ath-Thufail pun memberanikan diri untuk bertanya, “Bukankah sebaiknya kita duduk berbincang-bincang saja di sini? Toh Anda tidaklah berniat membeli apa apa di pasar, dan tidak pula berniat untuk duduk-duduk di sana?”

Abdullah bin Umar pun menjawab: “Wahai ath Thufail, kita ke pasar hanyalah untuk menyebarkan salam. Kita hendak memberi salam kepada siapa saja yang kita temui”

Hak kedua:

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

وإذا دعاك فأجبه

Artinya: “…jika dia mengundangmu maka penuhilah undangannya…” (HR. Bukhari dan Muslim)

Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang wajib dipenuhi hanyalah undangan walimah pernikahan. Adapun memenuhi undangan-undangan yang lain maka hukumnya mustahab (sunah) dan tidak sampai diwajibkan.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,

شر الطعام طعام الوليمة، يمنعها من يأتيها ويدعى إليها من يأباها، ومن لم يجب الدعوة فقد عصى الله ورسوله

Artinya: “Seburuk-buruk jamuan makan adalah jamuan walimah (acara pernikahan) yang hanya mengundang orang-orang yang tidak membutuhkannya (orang orang kaya), sementara mengabaikan orang-orang yang membutuhkannya (orang-orang miskin). Barang siapa yang tidak memenuhi undangan walimah (pernikahan), maka dia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya”  (HR. Muslim dalam sunannya)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda:

إذا دعي أحدكم إلى الوليمة فليأتها

Artinya: “Apabila kalian diundang untuk menghadiri walimah (pernikahan), maka hendaklah ia mendatanginya” (HR. Al-Bukhari dalam shahihnya)

Para ulama, berdasarkan beberapa arahan umum dalam syariat serta sejumlah kejadian yang dialami para sahabat Nabi Muhammad, menyebutkan beberapa syarat yang harus terpenuhi pada sebuah walimah pernikahan, sehingga hukum menghadirinya menjadi wajib. Syarat-syarat tersebut adalah:

Pertama : Yang mengundang adalah seorang muslim.

Apabila yang mengundang adalah orang kafir, maka tidak wajib untuk menghadirinya.

Kedua: Yang mengundang adalah orang yang sedang tidak di-hajr (diboikot).

Seandainya yang mengundang adalah orang yang di-hajr oleh pemerintah lantaran kemaksiatan atau kebidahan yang dilakukannya dengan tujuan menyadarkannya untuk segera bertaubat, maka sebaiknya ia tidak memenuhi undangan tersebut, guna memberi efek jera kepada si pengundang. Demikian pula halnya jika si pengundang adalah pelaku bidah yang sangat parah kerusakannya seperti pengikut sekte Syi’ah Rafidhah-, terlebih lagi seorang tokoh besar kebidahan, bahkan terlebih lagi jika ia khawatir akan terpengaruhi oleh kebidahannya, maka sebaiknya ia tidak memenuhi undangan tersebut.

Ketiga: Undangan tersebut bersifat khusus.

Seperti undangan yang disampaikan secara lisan, melalui kartu undangan khusus, atau melalui media elektronik, baik secara langsung ataupun melalui perantara. Namun, seandainya undangan tersebut bersifat umum, seperti ketika seseorang mengundang jemaah masjid secara umum, jama’ah majelis taklim, atau anggota grup-grup media sosial, maka hukum memenuhi undangan yang seperti ini tidaklah wajib, melainkan hanya disunahkan saja.

Keempat : Undangan pada hari pertama walimah

Jika ada seseorang yang mengadakan walimah selama beberapa hari, dan kita diundang pada hari kedua atau yang seterusnya, maka tidak wajib untuk memenuhinya.

Kelima: Tidak memberatkan.

Yang dimaksud memberatkan, adalah jika untuk menghadiri undangan tersebut seseorang harus bepergian jauh, atau mengeluarkan biaya besar. Akan tetapi, jika seseorang merasa mampu untuk menghadiri undangan yang demikian, maka hendaklah ia menghadirinya, demi membuat senang hati saudaranya yang mengundang. Terlebih lagi jika yang mengundang adalah kerabat atau teman dekat kita, maka sebaiknya kita berusaha menghadirinya.

Keenam : Tidak ada kemungkaran pada acara walimah.

Seperti adanya ikhtilath (campur-baur antara laki-laki dengan wanita), sementara kita tahu, kebiasaan para wanita di tempat kita jika menghadiri acara walimah, mereka berhias dengan seindah-indahnya dan bersolek secantik-cantiknya. Belum lagi banyak di antara para wanita tersebut yang tidak memakai jilbab, terbuka auratnya, dan lain-lain. Maka dalam kondisi seperti ini, seseorang tidak lagi berkewajiban menghadiri undangan walimah.

Begitu pula halnya dengan adanya pertunjukan alat musik, baik bergenre dangdut atau pun genre-genre lainnya, terlebih lagi apabila sang biduan atau lainnya berbusana menampakkan auratnya. Walimah yang berisi hal seperti ini juga tidak wajib dihadiri.

Seorang muslim bisa bersiasat untuk menghadiri walimah yang mengandung kemungkaran semacam ini, dengan menghadirinya ketika akad, sebelum acara pestanya dimulai. Biasanya, pada momen tersebut, kemeriahan acara yang diiringi berbagai jenis kemaksiatan belum dimulai, sehingga dengannya kita tetap menunjukkan penghormatan kita kepada si pengundang, sembari menghindari maksiat dan kemungkaran pada acara walimah tersebut.

Namun, apabila kemungkaran dalam walimah tersebut berupa diedarkannya khamar, bir, wine, atau pun makanan dan minuman haram lainnya(39), atau acara tersebut dengan sengaja hanya mengundang orang-orang kaya nan terhormat dan mengabaikan orang-orang miskin, maka acara tersebut haram untuk dihadiri, kecuali bagi seorang yang merasa mampu untuk mengingkari dan menghilangkan kemungkaran tersebut dengan otoritas kekuasaan ataupun ketokohan nya yang disegani di tengah masyarakat.

 

Referensi:

Diringkas oleh: Nurul Latifah (Pengajar ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits Oku Timur)

Dari “KITABUL JAMI’”, penjelasan hadits-hadits adab dan akhlak. Karya Al-Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc. Ma. Ustdz Firanda Andirja Office.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.