HADIAH KOMERSIAL

hadiah KOMERSIAL

HADIAH KOMERSIAL-Diantara maqashid (tujuan pokok) syariát Islam adalah menciptakan rasa saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling mencintai sesame hamba Allah pengikut Nabi akhir zaman ( Shallallahu álaihi wassallam ). Salah satu faktor yang dapat menimbulkan saling mengasihi dan mencintai yaitu berbagi rezeki dalam bentuk sedekah atau hadiah kepada saudara seiman.

Sedekah yaitu sesuatu yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan (fakir miskin) tanpa mengharap imbalan. Adapun hadiah yaitu sesuatu yang diberikan kepada orang lain tanpa imbalan dengan tujuan mempererat hubungan atau sebagai penghormatan, dan orang yang diberi hadiah bukanlah orang dalam ekonomi sulit. Tindakan saling berbagi hadiah dianjurkan oleh Rasulullah. Dalam hadits, dari Abu Hurairah rodhiallahuánhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu álaihi wasallam beliau bersabda,

 (( تَهَادُوا تَحَابُّوا))

Artinya:

“salinglah memberikan hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR al-Bukhari dalam kitan Adabul Mufrad. Derajat hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albani.)

 

Dan untuk menjaga perasaan pemberi hadiah, Nabi Shallallahu álaihi wasallam menganjurkan agar orang yang diberi tidak menolaknya. Beliau Shallallahu álaihi wasallam bersabda:

أَجِيْبُوْا الدَّا عِيَ، وَلَا تَرُدُّوْ الْهَدِ يَّةَ)).

Artinya:

“Hadirilah undangan dan jangan tolak hadiah!” (HR. Ahmad. Al-Arnauth menyatakan sanad hadits ini jayyid.)

 

Ummulmukminin Aisyah rodhiallahuánha juga meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu álaihi wassallam menerima hadiah dan membalasnya. (HR al-Bukhari).

Terkadang hadiah yang diberikan tidak terlalu berharga, namun tetap dianjurkan untuk menerimanya. Sebab, Nabi Shallallahu álaihi wasallam menerima hadiah sekalipun kikil kambing. Beliau Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

(( لَوْ دُعِيْتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَا عٍ لَأَ جَبْتُ، وَلَوْ أَهْدِيَإِلَيَّ ذِرَاعٌ لَقَبِلْتُ)).

Artinya:

“Aku akan menghadiri undangan, sekalipun untuk makan kikil kambing kaki depan atau kaki belakang dan aku menerima hadiah, sekalipun kikil kambing kaki depan atau kaki belakang.” (HR. al-Bukhari)

 

Di Era modern, para pedagang (dan produsen, Red.) memanfaatkan pemberian hadiah untuk menarik konsumen sebanyak mungkin agar keuntungan yang diperoleh semakin besar. Cara pembagian hadiah pun beraneka ragam: beli satu dapat dua, diskon harga disetiap musim tertentu, doorprize, undian berhadiah, puzzle potongan gambar yang dikumpulkan dari barang yang dibeli, ataupun mengumpulkan huruf-huruf sehingga membentuk kata yang diinginkan, hadiah tunai dalam setiap kemasan, dan sebagainya.

Seorang muslim tentu ingin mengetahui hukum hadiah komersial ini, karena dalam bebrapa bentuknya mirip dengan judi dan mengandung gharar.

 

CENDERA MATA (SUVENIR)

Banyak para pedagang dan pengusaha membuat cendera mata dalam bentuk kalender, gantungan kunci, cangkir, buku catatan harian, pena, dan alat tulis lainnya untuk dibagikan Cuma-Cuma kepada setiap pembeli dan pelanggan sebagai kenang-kenangan dan untuk mempromosikan usaha/barang mereka. Pada saat penerima hadiah membutuhkan barang/jasa yang dipromosikan, mereka langsung ingat dan akan menghubungi pemberi hadiah, karena alamat lengkap perusahaan pemberi hadiah tertera pada cendera mata yang dibagikan.

Hadiah jenis ini termasuk hibah. Sebab itu, hadiah jenis ini boleh diterima; kecuali hadiah digunakan untuk kepentingan haram, seperti asbak rokok dan kalender yang bergambar wanita yang tidak menutup aurat atau hadiah tersebut berasal dari perusahaan yang bergerak dibidang haram, seperti kalender dari bang riba karena hadiah tersebut bagian dari promosi untuk menggunakan barang/jasa pemberi hadiah.

 

HADIAH PROMOSI

Hadiah promosi terkadang diberikan oleh sebuah perusahaan sebelum pembelian barang dalam bentuk contoh barang (sampel) dengan tujuan memperkenalkan barang dagangannya kepada calon konsumen. Andai kata konsumen menginginkan barang dalam jumlah besar, dia telah melihat contohnya. Hukum hadiah ini boleh karena termasuk hadiah (hibah) yang dibolehkan.

Apabila calon pembeli berpedoman kepada contoh dan tidak menyaksikan barang yang akan dibelinya, apakah jual beli ini dibolehkan?

Para ulama berbeda pendapat tentang jual beli barang berdasarkan contoh :

Pendapat pertama : jual beli ini tidak sah, karena termasuk jual-beli yang mengandung unsur gharar, dimana barang yang dibeli tidak disaksikan dalam akad dan cintoh yang diperlihatkan belum tentu sama seperti barnag yang dibeli. Ini merupakan pendapat yang terkuat di dalam madzhab Hanbali.

Pendapat kedua : jual beli ini hukumnya boleh, ini merupakan pendapat mayoritas para ulama madzhab. Sebab, unsur ketidakjelasan (gharar) dalam barang yang merupakan objek akad telah tiada dengan cara melihat barang contohnya; syaratnya, barang yang hendak dijual harus sama persis spesifikasinya dengan contoh yang diperlihatkan.

Wallahu A’lam, pendapat yang membolehkan jual-beli barang berdasarkan contoh adalah pendapat yang kuat. Sebab, untuk dewasa ini, kesamaan barang dengan contoh telah menjadi ukuran mutu sebuah barang. Dengan demikian, unsur gharar dalam barang objek akad dapat diminimalkan.[1]

Dan terkadang hadiah promosi diberikan oleh Sebagian supermarket dan toko besar dengan menjanjikan bagi pembeli jika berbelanja di toko mereka di atas nominal tertentu akan diberi hadiah menarik yang tidak dijelaskan ciri-ciri fisiknya. Hal ini bertujuan untuk menarik pembeli sebanyak mungkin. Setelah konsumen berbelanja di atas nominal yang disyaratkan, pembeli menunjukkan lembaran tanda pembayaran ke bagian yang bersangkutan dan menukarnya denga hadiah. Hadiah yang diberikan terkadang berupa piring, cangkir, dan peralatan rumah tangga lainnya.

Para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang hukum hadiah ini.

Pendapat pertama: Sebagian ulama kontemporer, seperti asy-Syaikh Dr. Abdullah al-Jibrin rohimahullah dan asy-Syaikh Dr. Shalih al-Fauzan mengharamkan pemberian hadiah dengan cara ini.

Dalil Pendapat ini: bahwa harga dari hadiah yang dijanjikan telah dihitung pada saat pembayaran barang yang dibeli. Andai kata nominal yang disyaratkan Rp. 500.000,00 maka hakikatnya dia membeli barang seharga Rp. 480.000,00 dan Rp. 20.000,00 lagi disisihkan untuk harga hadiah yang dijanjikan.

Dengan demikian, sesungguhnya hadiah adalah bagian dari barang yang dibeli dan bukan murni hadiah. Dan ini termasuk jual beli gharar karena hadiah (barang yang dibeli) tidak jelas; bisa jadi berbentuk piring, gelas, sendok baju kaos, dan sebagainya. Karena hadiah bentuk ini termasuk jual beli gharar, hukumnya pun haram.

Selain mengandung gharar, cara ini juga dapat merugikan pedagang lain yang tidak memberikan hadiah promosi, terutama pedagang kecil.

Rasulullah Shallallahu álaihi wasallam bersabda:

((لَا ضَرَ رَ وَ لَا ضِرَا رَ))

Artinya:

“Tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat mudharat bagi orang lain baik permulaan ataupun balasan.” (HR. Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh al-Albani.)

 

Tanggapan: hadiah yang diberikan tidak diambil dari pembayaran barang karena nilai barang pada saat pembagian hadiah dan pada saaat tidak ada hadiah tetap, tidak berubah. Ini berarti bahwa hadiah tidak ditarik harganya dari barang yang dibeli.

Adapun car ini dapat merugikan pedagang lain yang tidak memberikan hadiah maka tidak dapat dibenarkan. Sebab, setiap pedagang memiliki cara tersendiri untuk menarik para pelanggan; mungkin dengan cara mengantar barang ke alamat tanpa ditarik imbalan, atau fasilitas barang yang dibeli dapat dikembalikan dalam tenggang waktu tertentu yang dinamakan khiyyar syarat, dan lain-lain. Jadi, hadiah bukanlah satu-satunya cara untuk menarik pembeli. Sebagaimana khiyyar syarat tidak dapat diharamkan karena merugikan pedagang lain yang tidak menggunakannya, hadiah juga tidak dapat diharamkan karena pada dasarnya hadiah hukumnya mubah.

Pendapat kedua : Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rohimahullah membolehkan pemberian hadiah dengan

cara ini. Beliau berkata, “apabila harga barang yang dijual oleh pedagang yang menjanjikan hadiah untuk pembeli yang nominal belanjanya di atas sekian sama dengan harga yang dijual oleh pedagang lain yang tidak memberikan hadiah maka hukumnya boleh.”

Pendapat ini didasarkan pada hukum mu’amalat bahwa pada prinsipnya halal, kecuali terdapat hal-hal yang diharamkan. Di dalam pemberian hadiah car aini tidak terdapat larangan karena hadiah yang diberikan murni hadiah dan tidak mengapa terdapat gharar dalam akad hadiah.[2]

Wallahu A’lam, dari tinjauan dalil, pendapat yang membolehkan memberi dan menerima hadiah dengan cara ini lebih kuat.

 

HADIAH PROMOSI LANGSUNG

Terkadang hadiah yang diberikan oleh pedagang kepada pembeli diikat dengan barang, lalu dijual seharga satu barang dan satunya lagi hadiah, atau diikat tiga barang dan dijual seharga dua barang. Biasanya hadiah seperti ini diiklankan dengan “beli atu dapat dua” atau “beli dua dapat tiga”.

Cara pemberian hadiah seperti ini, selain untuk menarik pembeli, juga bertujuan mempertahankan harga barang. Terkadang ia juga bertujuan untuk menghabiskan barng yang tersimpan lama digudang dan telah mendekati masa kadaluwarsa.

Pemberian hadiah dengan car aini hukumnya boleh. Sebab sekalipun harga hadiah telah dihitung dan dimasukkna ke dalam harga barang yang lain, barang dan harganya jelas tidak terdapat untuk gharar. Dengan demikian, hukum hadiah bentuk ini Kembali kepada hukum asal mu’amalat yaitu boleh.

 

HADIAH EMAS ATAU UANG TUNAI PADA SEBAGIAN BARANG

                jika hadiah uang tunai atau emas dengan cara emas atau uang tunai diselipkan pada Sebagian kemasan dan diberitahukan bahwa jika beruntung pembeli akan mendapat uang tunai atau emas, maka orang – orang akan membeli barang sebanyak mungkin. Mereka berharab akan mendapatkan emas didalam kemasan, selain juga mendapat barang yang dibeli.

Hukum pemberian dan menerima hadiah dengan cara ini diharamkan, berdasarkan dalil – dalil berikut:

 

  1. Hal ini termasuk qimar dan gharar, karena saat membeli kemasan barang selain bertujuan mendapatkan barang juga bertujuan mendapatkan emas.

 

Dan pada saat teransaksi pembelian dilakukan ia tidak tahu apakah emas yang diinginkannya ada pada kemasan yang dibeli atau tidak? Ini dinamakan ba’I gharar ( barang tidak jelas keberadaannya ). Jika ternyata tidak ada emas didalam kemasan makai a rugi dan jika ada maka ia beruntung. Spekulasi ini dinamakan qimar ( judi ). Qimar dan gharar hukumnya haram.

 

  1. Hadiah dengan cara ini juga mengajari masyarakat hidup boros. Mereka akan membeli barang melebihi kebutuhan dengan tujuan mendapatkan emas yang ada pada kemasan.

 

PENUTUP

Demikianlah paparan singkat ini kami sampaikan, semoga hadiah yang kita peroleh dan yang kita berikan berbuah pahala, bukan malah menuai murka. Dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

               

 

Sumber :

Majalah Al-Furqon Edisi 160 Vol. 1 Tahun ke-15

Sya’ban 1436 H

Oleh UStadz Dr. Erwandi Tarmizi hafidzohullah

Diringkas oleh : Abu Ghifar Supriadi (Pegawai Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits)

 

[1] Dr. Khalid al-Mushlih, al-Hawafizh at-Tijariyyah, hlm. 102-103

[2] Dr. Khalid al-Mushlih, al-Hawafizh at-Tijariyyah, hlm. 75-92

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.