Menyucikan Jiwa dan Raganya
Part 1 : Bohong Bikin Error
Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan, dan meminta ampunan kepada-Nya. Kami juga berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan kejelekan amal kami. Barang siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang penyucian jiwa dan raga. Dan salah satu pembahasan utama kali ini adalah tentang perbuatan “bohong”. Semoga artikel ini bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca.
Ilmu itu dipelajari untuk dijadikan sarana bertakwa kepada Allah. Dan Ketika kita bertakwa, Allah akan memperbaiki amal ibadah kita, Allah akan memperbaiki urusan kita, Allah akan ampuni dosa-dosa kita.
Diantara adab ilmu adalah kita harus membersihkan hati kita, dan ini adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tugas kita bukan hanya menyimak, tapi tugas kita juga membersihkan hati dari banyak penyakit hati. Dan yang harus kita hati kita itu dari dua penyakit besar yang kalu kita memiliki dua penyakit besar ini dia akan gagal memiliki ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Sepintar apapun kita, sehebat apapun kita pasti gagal, kemungkinan kegagalannya adalah 100 persen dan tidak ada keraguan. Dan hafalan kita, ilmu kita akan jadi bumerang pada hari kiamat. Dua hal tersebut adalah Albuhtan wal Kadzib dengan artian satu definisi yaitu “kebohongan”.
Jadi sejenius apapun kita, secepat apapun daya tangkap kita kalau kita masih suka bong, ilmu kita tidak akan bermanfaat. Apa perbedaan albuhtan dengan kadzib ? Albuhtan[1] adalah kebohongan yang diucapkan oleh pelakunya dan ada unsur kesombongan dan tujuannya ingin menjatuhkan reputasi temannya. adapun kadzib kata Imam An-Nawawi yaitu menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta baik sengaja maupun tidak sengaja. Dan dijelaskan oleh ulama lain bohong itu tidak sesuai antara berita dan kenyataan.
Dan kebohongan adalah penggal seseorang mendapatkan ilmu nafi’ (bermanfaat). Jangan berfikir jika kita pintar kita akan mendapatkan ilmu nafi’. Apa hubungan antara bohong dengan ilmu nafi’. Bohong bukan hanya dosa besar, namun jika kita bohong maka ilmu kita tidak akan bermanfaat. Kalau kita bohong, tidak akan ada perubahan positif dalam proses hijrah kita. Kalau kita bohong, maka kita akan stagnan bahkan akan turun. Jadi semua pengorbanan kita untuk hijrah akan sia-sia, karena tujuan kita tidak akan tercepai Cuma karena berbohong.
Ada fakta yang menarik antara kebohongan dan ilmu yang bermanfaat. Diantara fakta tersebut yaitu:
Yang pertama dijelaskan oleh Ibnul Qoyyim dalam Al-Fawaid: jangan sekali-kali kamu berbohong, sesungguhnya berbohong itu akan merusak kemampuan kita dalam memahami sebuah maklumat dan kita akan memahami yang keluar dari konteksnya. Dan bohong itu akan merusak kemampuan memahami sebuah masalah, akan merusak kemampuan memahami sebuah ilmu, akan merusak proses pengajaran ilmu tersebut. Jadi kalau seorang guru bohong, itu akan berdampak ke cara dia menjelsakan sebuah ilmu. Seharusnya ilmunya ke kanan dia malah ke kiri. Ternyata ini sangat penting, dan ini yang dilupakan oleh banyak kita. Inilah yang membendakan ilmu agama, ilmu agama tidak hanya membutuhkan kecerdasan, tapi juga membutuhkan kejujuran, Bahkan kejujuran lebih penting dari pada kecerdasan. Dan ketika seseorang itu menjadi tukang bohong, itu membuatnya salah paham ketika datang kekajian. Ustadznya menjelaskan ke kanan dia pahamnya ke kiri. Karena Allah tutup atau terhalangi dari imu nafi’. Allah tidak memberi hidayah untuk memahami al-Qur’an dan sunnah yang benar kepada tukang bohong. Allah hanya memberikan kepada orang yang jujur.
Lihat bagaimana Iblis salah paham dan keliru menggunakan logika, ketika Iblis disuruh sujud oleh Allah. Dalam surah Al-A’raf: 12 disebutkan:
قال ما منعك ألا تسجد إذ أمرتك قال أنا خيرا منه خلقتني من نار وخلقتهمن طين
Artinya: “Allah berfirman: “Apakah yang mengalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik dari padanya, Emgkau ciptakan saya dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf: 12)
Itulah pandangan Iblis, argumentasi Iblis, dan para ulama mengatakan ini salah kaprah. Kata siapa api itu lebih baik dari pada tanah. Semisal, kita dikasih api 100 m dengan dikasih tanah 100 m, maka kita akan lebih memilih tanah 100 m dari pada api. Dan tidak ada hubungannya antara disuruh sujud dengan lebih baik api dari pada tanah, maka inilah cara pemahaman keliru dan salah. Dan taukah kita, bahwa argumentasi Iblis itu tidak bisa dilepaskan dan tidak bisa dilepaskan dengan kebohongan yang dimiliki oleh dia. Karena salah satu sifat Iblis itu adalah bohong. Al-A’raf: 20-21
فوسوس لهما الشيطان ليبدى لهما ما وورى عنهما من سوءاتهما وقال ما نهكما ربكما عن هذه الشجرة إلا أن تكونا ملكين أو تكونا من الخلدين 20 وقا سمهما إنى لكما لمن النصحين 21
Artinya: “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan setan berkata, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu beruda tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasehatmu.” (QS. Al-A’raf: 20-21)
Jadi pertama kali yang bermazhab bohong adalah Iblis. Dan akhirnya ngawur cara berfikirnya padahal ini makhluk potensinya luar biasa. Dan pada ayat berikutnya baru ketahuan tujuan utama Iblis ini. Makanya dia berbohong, dana cara berfikirnya eror. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
فدلهما بغرور فلما ذاقا الشجرة بدت لهما سوءاتهما
Artinya: “Dan (setan) membujuk mereka dengan tipu daya. Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah oleh kalian auratnya.” (QS. Al-A’rof: 22)
Begitu Iblis keliru dalam berfikir divonis bahwa Iblis enggan, Iblis sombong dan Iblis termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir, dan divonis kekal selama-lamanya dalam neraka, ini sangat fatal. Untuk hancur itu kita engga perlu salah disemua kondisi, cukup salah di satu dua hal yang sangat fital itu sudah hancur semuanya. Dan bagaimana ceritanya ketika menyikapi masalah-masalah fital tersebut kita tidak mendapat taufik dari Allah, akhirnya pola pikir kita eror, dan semua fatal. Jadi yang pertama kali bohong itu Iblis dan dampaknya fatal. Makanya jangan coba-coba bohong kalau kita masih berharap ingin istiqomah dan mendapatkan hidayah. Makanya kata Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam :
وإن الكذب يهدى إلى الفجور
Artinya: “Dan kebohongan itu akan membawa kepada kefajiran.” (Muttafaqun Alaih)
Tidak di beri taufik oleh Allah. Dalam hidup ini kita harus membuat banyak keputusan-keputusan besar, Allah akan membuat sebuah persimpangan-persimpangan hidup dan pada saat kita berada di persimpangan itu, kita butuh pertolongan Allah lalu kita butuh akal sehat dan kemampuan berfikir yang tepat, dan itu kuncinya ada pada kejujuran. Begitu kita bohong maka akan dirusak cara berfikirnya, cara membaca masalahnya, dibuat keliru. Makanya kalau kita baca sejarah, banyak bihak-pihak yang besar kehancuran banyak dari mereka, itu karena blunder-blunder mereka dan blunder itu karena salah dalam membaca masalah. Itulah poinnya, dan itu banyak terjadi di dalam sejarah.
Diperang Uhud kita tahu bagaimana endingnya. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam terdesak, orang-orang kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan mendominasi di akhir peperangan. Pada saat itu Nabi Shallallahu Alaihi Wasalah terdesak, dan kota Madinah kosong. Isi kota Mekah pada saat itu secara umum hanya anak-anak, wanita, orang tua, orang-orang yang udzur dan orang-orang munafik. Pertanyaannya, kenapa kaum kafir Quraisy tidak masuk pada saat itu ? Lihatlah kalau Allah tidak kasih taufik gimana eror dalam membaca situasi, padahal mereka ahli-ahli perang pada saat itu.
Ada banyak kejadian seperti itu dalam sejarah, bukan hanya sejaran namun sejarah hidup pun pasti ada hal yang seperti itu. Coba kita renungkan, ada blunder-blunder yang membuat kita berfikir kenapa saya melakukan ini, tidak ada alasan logis kita melakukan itu, atau tidak ada alasan logis untuk kita tidak melakukan itu, tapi kita tidak lakukan. Dan akhirnya kita kehilangan kesempatan besar. Dan coba evaluasi pada saat itu kita termasuk orang yang jujur atau orang yang bohong. Dan seringkali kesimpulannya adalah bohong.
Manusia itu lemah, butuh taufik dari Allah untuk memahami sesuatu, untuk mencerna sesuatu, untuk mengambil keputusan-keputusan besar. Ada banyak laki-laki dan manusia merasa menyesal telah menikahi pilihan dia sendiri, padahal semua orang tidak setuju. Sudah dinasehati tetap ngotot. Begitu menikah dia baru menyesal.
Al-Ahnaf mengatakan, “Orang yang muia tidak akan berkhianat, dan orang yang punya akal sehat tidak akan berbohong.” Karena begitu kita bohong maka akal akan dibuat eror, dibuat berantakan. Yang dimaksud dibuat eror bukan dibuat gila. Kita itu hancur tidak perlu karena salah memprediksi dalam semua kasus, cukup satu dua masalah saja namun yang fatal. Bukankah Allah memiliki konsep istidraj (diulur), kasus-kasus yang tidak terlu berdampak dibuat benar sama Allah. Dan membuat kita semakin tenggelam dalam euforia (kesenangan) kebohongan ini. Begitu dapat kasus hidup dan mati baru digelincirkan oleh Allah dan semuanya akan selesai. Hal ini banyak terjadi dan kita harus mengintrospeksi diri.
Oleh karena itu, jujur itu sangat berkaitan dengan ilmu dan kekuatan memahami sesuatu. Kalau kita salah, kita jujur dan istighfar, insyaAllah tidak akan berdampak, logika kita tidak akan dirusak. Namun kalau kita bohong, maka semuanya akan selesai. Makanya sebagian salaf atau sebagian ulama klasik, ketika ditanya, apakah Mukmin bisa menjadi orang yang pengecut ? Kata para ulama, ‘Bisa. Tapi ketika ditanya, ‘Apakah Mukmin bisa berbohong ? Kata para ulama, “Tidak, Mukmin tidak berbohong. Para sahabat itu tidak berbohong, walaupunmelakukan kesalahan fatal.”
Ka’ab bin Malik tidak ikut perang Tabuk, beliau tidak bohong. Perbuatan ini salah, fatal karena tidak ikut instruksi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, namun beliau tidak bohong. Hasil dari kejujurannya yaitu diberikan taufik oleh Allah. Diantara sahabat yang khilaf lain yaitu, Maiz, Juhainah, Ghamidiyyah jatuh dalam khilaf, namun mereka tidak bohong. Bahkan saking jujurnya mereka melapor kepada Rasulullah Shallallahu Alalihi wasallam. Sampai panjang riwayat Maiz Radiallahuanhu ini sampai Maiz lapor Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam buang muka, lapor lagi Rasulullah buang muka lagi. Saking jujurnya para sahabat Nabi Shallallahualaihi Wasallam.
Makanya kita itu seringkali tidak tau stadium dosa, sehingga kita menghindari sebuah dosa dengan berbohong dan kita lupa bahwa bohong ini stadiumnya lebih parah dari pada dosa yang kita hindari tersebut. Saya bukan menghindari dosa, tapi menghindari judgement orang atau hukuman dari dosa itu. Tapi kita lupa, bahwa hukuman dosa bohong lebih parah dari pada hukuman dosa ini. Itu yang menjadi masalah saat ini.
Salah satu yang menjadi masalah besar bohong itu, dijelaskan oleh para ulama. Seperti al-Imam Al-Mawardi, ‘Bohong adalah induk dari semua keburukan, dasar dari semua sikap yang tercela, dan bohong juga adalah induk dari kemunafikan’. Dan Al-Hasan juga berkata, ‘Bohong itu inti dari kemunafikan’. Jadi bagaimana mungkin seseorang mendapatkan ilmu nafi’ sedangkan bohong adalah induk dari kemunafikan dan induk dari segala bentuk keburukan. Makanya Rasulullah Shallallahualaihi Wasallam bersabda:
“Jika dia berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari dan jika dipercaya dia khianat.”
Jadi ini adalah induk dari kemunafikan dan induk dari kebohongan. Dan Nabi Shallallahualaihi Wasallam juga berkata, bahwa kebohongan itu akan membawa pelakunya kepada kebohongan, keburukan, kepada dosa.
Ada satu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Umamah bahwa Rasulullah Shallallahualihi Wasallam bersabda:
يتبع المؤمن على الخلال كلها إلّا الخيان والكذب
Artinya: “Seorang Mukmin bisa memiiki berbagai macam tabiat, kecuali dua tabiat yaitu khianat dan bohong.” (HR, Ahmad dalam musnadnya)
Dan itulah yang diterapkan oleh para sahabat Radiallahuanhu. Marilah kita latih diri kita untuk tidak berbohong, karena ini bukan hanya dosa besar tapi mencederai dan merusak ilmu kita, Dan menggagalkan misi kita istiqomah dalam hijrah kita. Dan tidak mungkin istiqomah.
Nabi Shallallahualaihi Wasallam juga berkata, dalam hadits yang dikeluarkan Ibnu Hibban dalam sunannya:
ثلاث من كن فيه فهو منفون، وإن صوم وصلى، وزعم أنه مسلم إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذأتمن خان.
Artinya: “Ada tiga sifat jika dimiliki oleh seseorang maka dia munafik, walupun dia puasa dan shalat, dan dia mengaku dirinya seorang muslim, Jika dia berbicara dia berdusta, jika berjanji dia mengingkari dan jika dipercaya dia khianat.” (HR. Ibnu Hibban dalam shahihnya)
Marilah kita menjaga diri dari sifat ini, karena sifat ini sangat parah, dia merupakan induk dari semua keburukan kata para ulama seperti imam Al-Mawardi Rahimahullah Ta’ala. Bahkan Ibnu Mas’ud pernah berkata, “Kesalahan terbesar adalah bohong.” Sebagaimana yang dikatakan juga oleh Abu Nu’aim. Al-Ahnaf berkata, “Ada dua hal yang tidak akan berkumpul, yang pertama bohong dan yang kedua muru’ah (wibawa).” Merupakan hukuman dari suatu masyarakat atau hukuman sosial bagi tukang bohong yaitu jujurnya dianggap bohong.
Maimun berkata, “Barang siapa yang sudah dikenal sebagai orang jujur, maka dia boleh berbohong, dan barang siapa yang dikenal sebagai tukang bohong maka dia tidak boleh jujur.” Maksud dari perkataan Maimun ini yaitu, kalau orang sudah dikenal jujur maka pada saat dia khilaf dan ia berbohong, maka semua orang berfikir dia jujur. Jadi seakan-akan dia boleh berbohong karena bohongnya pun dianggap jujur sama orang. Tapi sebaliknya kalau orang sudah dicap pembohong, seakan-akan dia tidak boleh jujur. Saking sudah dicap sebagai tukang bohong, dan ini seperti hukuman sosial terhadap orang yang pembohong.
Referensi:
Meringkas intisari kajian Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, pembahasan kitab Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim fii Adabil ‘Alim wal Muta’alim, karya Al-Alamah Ibnul Jama’ah Rahimahullah Ta’ala.
Peringkas : Fatma Khoirun Nisa (Staf pengajar dan santriwati khidmad ponpes DQH)
[1] Dijelaskan dalam kitab Al-Furuq Al-Lughowi perbedaan dalam bahasa arab, yaitu Dari Abu Hilal Al-Askari
Baca juga artikel:
Leave a Reply