Bagian I – Pendahuluan
Oleh: Said Yai Ardiansyah, M.A.
Bismillah. Alhamdulillah washshalatu wassalam ‘ala Rasulillah.
Merupakan kenikmatan yang sangat besar, Allah subhanahu wa ta’ala masih memperkenankan kita untuk hidup di dunia ini. Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kesempatan kepada kita untuk membenahi diri. Apakah dengan waktu yang tersisa hingga datangnya kematian kita bisa mengisinya dengan amalan-amalan saleh, memohon ampun kepadanya dan bisa bersyukur, ataukah sisa umur yang Allah berikan justru kita gunakan untuk selalu bermaksiat kepada Allah, tidak pernah sadar akan banyaknya dosa yang telah kita lakukan dan selalu mengingkari kenikmatan.
Berbicara tentang harta haram tentu permasalahannya sangatlah kompleks dan butuh kajian atau pembahasan yang sangat panjang untuk membahas permasalahan ini. Sebelum kita memasuki pembahasan tentang harta haram dan bagaimana bermuamalah dengan harta haram, maka sudah sepantasnya kita merenungi beberapa hal sebagai muqaddimah (pendahuluan) agar kita bisa sadar akan pentingnya mempelajari ilmu agama secara umum dan ilmu tentang muamalat, bagaimana akibat dari memanfaatkan harta haram, pentingnya keberkahan di dalam harta dan apa sebenarnya tujuan kita berbisnis.
Sepenting apakah kita harus belajar agama?
Jika kita ditanya oleh seseorang, “Sepenting apakah kita harus belajar agama Islam?” maka sudah sepantasnya jawaban yang kita sampaikan kepadanya adalah “Dia lebih penting dari makan dan minum.” Karena seseorang apabila kelaparan dan kehausan dan dia mati dalam keadaan seperti itu, tetapi dia mengetahui tentang ilmu, maka ilmunya akan mengantarkan dia kepada kehidupan yang penuh dengan kenikmatan dan tidak akan pernah kelaparan dan kehausan lagi. Sedangkan orang yang kenyang dengan makanan dan minuman dan dia mati dalam keadaan tidak mengetahui ilmu yang bisa memasukkan dia ke dalam surga atau neraka, maka bisa jadi dia mati konyol dan kekal dalam neraka selama-lamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan banyak sekali keutamaan ilmu agama di dalam hadits-hadits-nya. Di antaranya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا ، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa yang menapaki jalan untuk menuntut ilmu di dalamnya maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga.”[1]
Pada hadits ini kita bisa memahami bahwa orang yang ingin mendapatkan kesusahan hidup di dunia dan kesulitan untuk menuju surga Allah, maka dia tidak perlu belajar ilmu agama. Tetapi jika yang diinginkan adalah sebaliknya, maka dia harus belajar ilmu agama, sehingga dia akan memahami jalan-jalan yang tepat dan mudah untuk menuju surga Allah ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَاللَّهُ الْمُعْطِي وَأَنَا الْقَاسِمُ ، وَلاَ تَزَالُ هَذِهِ الأُمَّةُ ظَاهِرِينَ عَلَى مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ.
“Barang siapa yang Allah menginginkan kepadanya kebaikan maka Allah akan memahamkan agama kepadanya. Allah Maha Pemberi dan sayalah yang membagi. Umat ini akan senantiasa tampak di atas orang-orang yang menyelisihi mereka sampai datang urusan Allah dan mereka tetap tampak (di atas kebenaran).”[2]
Pada hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang Allah inginkan kebaikan kepadanya adalah Allah berikan ilmu kepadanya. Karena dengan ilmu orang tersebut akan mengetahui apa saja yang dicintai oleh Allah dan apa saja yang dibenci oleh-Nya. Begitu pula orang tersebut akan mengetahui batasan-batasan yang halal dan haram dan Allah juga akan berikan sifat takut kepadanya ketika dia mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah ta’ala.
Pada hadits ini juga terdapat faidah bahwa akan ada di antara kaum muslimin yang berada di atas kebatilan dan memperjuangkan hal tersebut sehingga mereka akan menyelisihi orang-orang yang tampak dengan kebenaran.
Apa tujuan kita berbisnis, berniaga dan mencari harta?
Terkadang manusia perlu untuk selalu diingatkan tujuan mulia yang Allah subhanahu wa ta’ala harapkan dari penciptaan manusia. Tujuan manusia diciptakan oleh Allah adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah, yaitu melakukan segala hal yang dicintai oleh Allah dan meninggalkan semua hal yang dibenci oleh Allah.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)
Ayat di atas sangat menjelaskan tujuan penciptaan manusia. Begitu pula Allah subhanahu wa ta’ala katakan:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah, Rab semesta Alam.” (QS Al-An’am: 162)
Jika kita memahami tujuan kita hanya untuk itu, maka sudah sepantasnya kita tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tujuan tersebut. Jika manusia tidak sadar dan tidak pernah ingin tahu akan hal ini, maka selamanya dia tidak akan mendapatkan kebahagian hakiki.
Apabila manusia lalai dengan tujuan ini dan mengganti tujuannya dengan tujuan lain, seperti: mencari dunia, mengejar ketenaran, memenuhi syahwat dan mendapatkan kedudukan tinggi, maka dia akan sangat mudah untuk berbagai cara yang diharamkan oleh Allah untuk mencapai tujuan tersebut.
Menyebarnya harta haram di masyarakat
Menyebarnya harta haram di masyarakat kita sudah dianggap sebagai hal yang biasa. Bahkan sebagian kaum muslimin tidak perhatian lagi dengan apa yang dia dapatkan, darimana harta yang didapatkan, apakah dari yang halal ataukah yang haram. Hal ini telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ أَمِنَ الْحَلاَلِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ
“Akan datang suatu zaman, seseorang tidak peduli apa yang dia ambil, apakah dengan cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.”[3]
Sebagian kaum muslimin merasa tidak mungkin mencari rezeki kecuali dengan cara yang haram, padahal seorang muslim harus paham bahwa rezeki telah diatur oleh Allah dan tidak mungkin rezeki tersebut tertukar kepada orang lain.
Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan salah satu sifat-Nya di dalam Al-Qur’an:
يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ
“Melapangkan rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya dan menyempitkannya.” (QS Ar-Ra’du: 26, Al-Isra’: 30, Ar-Rum: 37, Saba’: 36, Az-Zumar: 52 dan Asy-Syura: 12)
dan dengan lafaz:
يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ
“Melapangkan rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” (QS Al-Qashash: 82, Al-’Ankabut: 62 dan Saba’: 39)
Dan sudah sepantasnya seseorang memiliki sifat tawakkal kepada Allah dan tidak tergantung dengan harta haram. Di dalam hadits Ibnu ‘Umar berikut disebutkan pelajaran yang sangat berharga agar tidak tergantung dengan manusia begitu pula tidak tergantung dengan harta haram:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّ سَائِلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذَا بِتَمْرَةٍ عَائِرَةٍ فَقَالَ: أَمَا إِنَّكَ لَوْ لَمْ تَأْتِهَا لَأَتَتْكَ
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya dia berkata, “Sesungguhnya ada seorang peminta meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datanglah kurma yang sangat banyak dan beliau berkata, ‘Sesungguhnya jika engkau tidak mendatanginya, maka dia akan mendatangimu.’.”[4]
Urgensi memahami harta haram
Agar terhindar dari harta yang haram maka seseorang harus belajar ilmu agama dan meningkatkan ketakwaan dan ketakutakannya kepada Allah.
Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu mengatakan:
لاَ يَبِعْ فِى سُوقِنَا إِلاَّ مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِى الدِّينِ.
“Tidak ada yang berjualan di pasar kami kecuali orang yang telah belajar agama.”[5]
Umar radhiallahu ‘anhu melarang orang yang tidak tahu ilmu agama untuk berjualan di pasar, karena seorang pedagang harus memahami banyak hal agar bisa mendapatkan rezeki yang halal, bagaimana agar dia bebas dari riba, dari menipu orang lain dan dari hal-hal yang tidak jelas dalam perniagaan.
Hal tersebut di atas membutuhkan ilmu. Jika seseorang tidak memperhatikan ini, maka penyesalan yang mendalam akan dia alami baik di dunia ataupun di akhirat apabila dia benar-benar takut kepada Allah ta’ala. Cukuplah seseorang merasakan pedihnya azab Allah di dunia dengan kebodohan yang dia miliki.
Bahaya atau dampak buruk harta haram
Harta haram sangat berbahaya untuk seorang muslim. Sudah sepantasnya dia tidak mendekatinya. Seorang muslim seharusnya bisa mengatakan, “Alhamdulillah 100 % harta yang saya dapatkan adalah halal.” Sanggupkah pembaca untuk mengatakan hal tersebut?
Di antara bentuk bahaya dan ancaman untuk orang yang memakan harta yang haram adalah sebagai berikut:
- Dia akan dimasukkan ke neraka
Orang yang memakan harta haram diancam oleh Allah untuk masuk ke dalam neraka. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ ، إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ.
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah! Sesungguhnya tidaklah daging tumbuh dari harta yang haram, kecuali neraka lebih berhak untuknya.”[6]
- Umat Islam akan ditimpa kehinaan
Banyak yang mengingingkan agar Islam kembali ke masa kejayaannya. Akan tetapi, banyak kaum muslimin justru meninggalkan banyak sebabnya dan melakukan hal-hal yang dapat menghinakan umat Islam. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ .
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘iinah (suatu jual beli yang ada riba di dalamnya), kalian mengambil buntut-buntut sapi (sibuk dengan peternakan), kalian telah rida dengan pertanian dan kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kepada kalian sebuah kehinaan. Dan Dia tidak akan mencabutnya kecuali kalian kembali kepada agama kalian.”[7]
Jual beli ‘Iinah adalah jual beli yang terdapat unsur pengelabuan di dalamnya untuk menghalalkan riba. Dosa riba adalah dosa yang besar, tetapi ketika diadakan manipulasi dalam jual beli sehingga seolah-olah ketika dilihat tidak ada riba di dalamnya, maka ini bentuk dosa yang lebih besar karena adanya unsur pengelabuan. Tidak lain seperti apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi untuk menghalalkan apa yang mereka diharamkan untuk melakukannya dengan menggunakan tipu daya.
- Pemakan harta haram telah mengikuti bujukan setan
Orang yang memakan harta haram maka sebenarnya dia telah mengikuti langkah-langkah setan dan telah bermaksiat kepada Allah ta’ala:
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi yang halal dan baik, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah: 168)
Allah sudah mengabarkan bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Dan sebenarnya kita semua mengetahui bahwa setan tidak akan membiarkan diri mereka sendirian berada di neraka, tetapi mereka akan selalu menggoda manusia sampai akhir zaman nanti.
- Orang tersebut telah membangkang dari perintah Allah
Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh para Rasul dan kaum muslimin untuk selalu mencari rezeki yang halal dan meninggalkan harta yang haram. Barang siapa yang melalaikannya maka dia telah membangkang dari perintah Allah ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para Rasul! Makanlah kalian dari yang baik-baik dan beramalsalehlah. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahu apa yang kalian lakukan.” (QS Al-Mukminun: 51)
- Menjadi sebab tidak dikabulkan doa seseorang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ ( يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) وَقَالَ (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ) . ثُمَّم ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ .
“Wahai manusia! Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan orang yang beriman sebagaimana yang diperintahkan kepada para mursalin (rasul). Allah berfirman: ‘Wahai rasul-rasul! Makanlah kalian dari yang baik-baik dan beramal shalihlah. Sesungguhnya saya Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.’ Dan Allah juga berfirman: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah kalian dari yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepada kalian.’ Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang sedang mengadakan perjalanan jauh, rambutnya acak-acakan dan berdebu. Dia mengangkat tangannya mengarah ke langit, (dia berkata), ‘Ya Rab-ku! Ya Rab-ku! Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya juga haram dan dipenuhi dengan yang haram. Bagaimana mungkin akan dikabulkan (doanya) dengan keadaan seperti itu. ”[8]
Keberkahan dari harta halal
Para sahabat meskipun mereka memiliki kesibukan sebagai pedagang, mereka tetap tidak melalaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan kepada mereka, bahkan Allah menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allah ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Para lelaki yang perniagaan dan jual beli tidak melalaikan mereka dari mengingat Allah, mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut terhadap suatu hari dimana hati-hati dan penglihatan-penglihatan menjadi goncang.” (QS An-nur: 37)
Seorang muslim harus memperhatikan keberkahan pada hartanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا.
“Penjual dan pembeli memiliki hak khiyar (pilih) selama mereka belum berpisah. Apabila keduanya jujur dan saling menjelaskan maka diberkahilah merek pada jual beli mereka. Apabila keduanya saling menutupi (aib) dan berdusta, maka akan dilenyapkan keberkahan jual beli mereka berdua.”[9]
Yang dimaksud dengan keberkahan pada harta adalah orang tersebut akan mendapatkan kebaikan dari hartanya, mendapatkan kebaikan yang berkesinambungan dan selalu mendapatkan tambahan kebaikan dengan harta tersebut.
Apabila seseorang tidak memperhatikan keberkahan pada hartanya, maka dia akan mendapatkan keburukan dari hartanya, seperti selalu menggunakannya pada maksiat dan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Penutup
Demikian muqaddimah atau pendahuluan yang saya tulis. Mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua.
Menutup tulisan ini penulis ingin memberikan masukan bahwa ilmu itu dipelajari oleh seseorang bukanlah untuk dilirik dengan mata sebelah, tetapi dia dipelajari untuk bisa berubah ke arah yang lebih baik dan untuk bisa mendapatkan keridaan dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala.
Karang Anyar, 1 Jumada Ats-Tsaniyah 1437 H/10 Maret 2016
Footnote :
[1] HR Abu Dawud no. 3643, At-Tirmidzi no. 2646 dan Ibnu Majah no. 223.
[2] HR Al-Bukhari no. 3116 dan Muslim no. 1037.
[3] HR Al-Bukhari no. 2059.
[4] HR Al-Baihaqi no. 1146 dalam Asy-Syu’ab.
[5] HR At-Tirmidzi no. 489.
[6] HR At-Tirmidzi no. 614.
[7] HR Abu Dawud 3464.
[8] HR Muslim no. 1015.
[9] HR Al-Bukhari no. 2082 dan Muslim no. 1532.
Leave a Reply