DAKWAH SESUAI DENGAN KONDISI
Termasuk fiqih dakwah yang harus difahami dan dijalani seorang da’i adalah memahami bahwa metode dakwah berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Sebabnya ialah perbedaan kondisi masyarakat dan adat daerah tersebut.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala :
يٰاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤئلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقاكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS.al-Hujarat[49]:13)
Tetapi, jangan disalahpahami bahwa berbeda dalam dakwah antara satu daerah dengan daerah yang lain artinya satu daerah layak untuk dakwah tauhid dan shalat, sedang pada daerah yang lain tidak layak. Bukan demikian. Melainkan artinya ialah kalua satu daerah penduduknya ahli tauhid maka berdakwah di daerah tersebut tidak harus mendahulukan tauhid sebelum yang lain. Dan jika suatu daerah ahli syirik maka da’I harus mendahulukan dan mengutamakan tauhid sebelum mengajak kepada selainnya.
Bukan berarti mendakwahkan shalat dan puasa, atau menginkari minum khamar, zina dan judi tidak cocok untuk daerah tertentu. Namun, maksudnya ialah jika suatu daerah kebanyakan penduduknya meninggalkan shalat maka utamakan mengajak mereka shalat lima waktu, jangan mengutamakan mengajak infaq atau zuhud. Demikian pula, jika pada suatu daerah minum khamr atau zina merajalela maka jangan mengutamakan mengingkari rokok dan nyanyian, sedang mereka giat dalam menghilangkan akal mereka dengan minum Khama dan merusak kehormatan dan nasab dengan zina. Begitu juga jika di suatu daerah kebanyakan masyarakatnya melakukan kemaksiatan seperti terkenal sering merampok, maka dakwah yang pantas di daerah tersebut adalah tentang bagaimana caranya mengasihi antar sesame, menyayangi antar sesama yaitu tentang kezaliman.
Bukan pula berarti bahwa al-amru bil ma’ruf dan an-nahyu ‘anil munkar ditegakkan pada satu daerah tidak kepada daerah yang lain. Namun, maksudnya ialah terkadang kita terang-terangan dan keras dalam menginggkari kemungkaran seperti judi dan minum khamar karena sang da’I memiliki kekuatan dan para pelaku maksiat lemah; dan terkadang sang da’I tidak mampu mengingkari dengan terang-terangan karena para pelaku kemaksiatan kuat dan memudharatkan da’i. jadi, yang berubah dan berbeda adalah keadaaan da’I dan keadaan masyarakat atau daerah yang di dakwahi. Adapun tabiat dan sifat dakwah yang dating dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya tidak berubah.
Bukan berarti da’i berbicara dan terkadang dia diam. Terkadang dia menyegerakan ajakan atau pengingkaran dan terkadang dia menunda tergantung pada keadaan. Terkadang dia memfokuskan pada perkara tertentu dan terkadang hanya seperlunya. Terkadang terang-terangan dan terkadang rahasia dan sembunyi-sembunyi tergantung pada maslahat. Terkadang terus dan terkadang dan harus hijrah ke daerah yang lain tanpa meninggalkan dan mengabaikan daerah yang ditinggalkannya tersebut selamanya.
Harus dipahami bahwa bukan dakwah dan materi dakwah yang berubah. Bukan metode dan uslub yang disyari’atkan oleh Allah yang berubah, melainkan sikap dan perilaku da’I yang berubah. Contohnya dakwah kepada tauhid atau mengajak manusia untuk menunaikan shalat dengan uslub hikmah dan dengan cara yang baik, ini berlaku pada setiap daerah, setiap zaman, dan setiap kondisi tanpa kecuali.
Harus dipahami bahwa berdakwahtergantung pada kondisi dilakukan tanpa mengubah syari’at. Seperti jika kondisi masyarakat menyukai music, maka da’i bukan harus berdakwah dengan nyanyian dan music. Tidak, bukan begitu. Akan tetapi yang dimaksud berdakwah sesuai dengan kondisi dalam keadaan semacam ini adalah mengingkari nyanyian dengan cara menjelaskan kepada mereka dalil kitab dan sunnah tentang keharamannya; tidak seperti yang lain yang tidak ada kemungkaran tersebut.
Contoh lain, pada kondisi masyarakat yang meninggalkan shalat dengan cara mengadakan acara peringatan maulid Nabi dengan alasan pendekatan kepada masyarakat. Tidak ada pendekatan kepada manusia dan mendekatkan manusia kepada Allah Subhanahu wata’ala kecuali dengan mengikuti stari’at-Nya. Adapun menyelisihi syari’at Allah Subhanahu wata’ala maka justru akan menjauhkan dari -Nya.
PENTINGNYA MEMBEDAKAN DAERAH
Di antara kewajiban bagi da’i yang harus diperhatikan dan dijaga di dalam menunaikan dakwah nya kepada Allah Subhanahu wata’ala ialah harus mengetahui perbedaan tabiat dan adat istiadat yang berbeda-beda dan kondisi yang tidak sama antara daerah satu dengan lainnya. Sedapatnya dia menjaga pada setiap keadaan perkara yang cocok dari uslub, perkataan maupun perbuatan.
Pemimpin para da’i, nabi kita Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam telah memperhatikan perkara ini di dalam dakwahnya. Sebagaimana dating di dalam al-Qur’an yang mulia yang menjelaskan pentingnya memperhatikan kondisi. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan bahwa Dia tidak mengutus seorang Nabi kecuali dengan lisan kaumnya agar dengan itu tegak hujjah pada mereka dan agar keterangannya lebih jelas dan lebih terang.
Firman Allah Subhanahu wata’ala:
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِه لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۗفَيُضِلُّ اللّٰهُ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَّشَاۤءُ ۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka. Maka, Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki (karena kecenderungannya untuk sesat), dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk). Dia Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS. Ibrahim[14]:4)
Termasuk di dalam perkara ini ialah bahwasannya para nabi dating kepada kaum mereka untuk mengajak mereka supaya meninggalkan kesalahan yang dilakkan oleh kaum tesebut. Dan ini bebeda antara satu kaum dengan kaum yang lain.
Ini Nabi Syu’aib ‘alaihis salam, disamping berdakwah kepada tauhid yang murni dan mendorong kepadanya, beliau juga dating untuk meluruskan perbuatan kaumnya yanitu mengurangi timbangan dan takaran; sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala tentang dakwahnya:
۞ اَوْفُوا الْكَيْلَ وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُخْسِرِيْنَ ۚ
Artinya:
Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan orang lain. (QS. Asy-Syu’aro’: 181)
Sementara itu, dakwah Nabi Luth ‘alaihis salam memperbaiki pada sisi lain yaitu mengingkari kaumnya melakukan kebiasaan liwath. Itu Sebagian contoh diantara dakwah para nabi yang memperhatikan lingkungan kaum mereka sesuai dengan kondisi mereka yang berbeda-beda dan apa yang terjadi ditengah umat mereka; bersamaan dengan itu, meeka sepakat dalam satu pokok dakwah yaitu tauhid.
Dalil lain yang meunjukkan perkara ini adalah apa yang datang dari Ibnu Abbas Rodhiallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam tatkala mungutus Mu’adz ibn Jabal Rodhiallahu ‘anhu ke Yaman, beliau bersabda,
“إنك تأتي قوما من أهل الكتاب، فليكن أولَ ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله” -وفي رواية: “إلى أن يوحدوا الله–، فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة، فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة تؤخذ من أغنيائهم فَتُرَدُّ على فقرائهم، فإن هم أطاعوك لذلك فإياك وكَرَائِمَ أموالِهم، واتق دعوة المظلوم فإنه ليس بينها وبين الله حجاب“.
Artinya: “Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka hal pertama yang harus engkau dakwahkan pada mereka adalah agar bersyahadat (bersaksi) bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi selain Allah -dalam riwayat lain: agar mereka menauhidkan Allah-. Jika mereka menaatimu untuk menauhidkan Allah, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan pada mereka untuk melakukan salat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menaatimu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat pada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu dibagikan kepada orang-orang fakir mereka. Dan jika mereka menaatimu, maka hindarilah harta-harta berharga mereka saat menarik zakat! Dan takutlah doa buruk (kutukan) orang-orang yang terzalimi, karena sesungguhnya tiada penghalang antara doa tersebut dengan Allah.” (HR. al-Bukhari).
Di dalam hadits ini, terdapat isyarat jelas dai Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam tentang perbedaan kota dan negeri dari segi perbedaan faham, adat, latar belakang, dan agama. Tatkala kaum yang dihadapi oleh Mu’adz Rodhiallahu ‘anhu adalah ahli kitab, maka pertamakali dakwah dimulai dengan tauhid dan ikhlas ibadah kepada Allah sebab diterima semua amal kecuali dengan perkara yang utama ini.
Dengan demikian, seorang da’i apabila mengetahui kondisi masyarakat pada suatu daerah, dia akan mampu menempuh jalan uslub yang sukses di dalam dakwahnya sebab setiap daerah ada kekhususan di dalam perkara dosa, maksiat, dan pelanggaran serta merajalelanya kemungkuran tertentu. Sebagaimana di maklumi bahwa pada zaman dahulu menyebar luas bid’ah Rafidhah di Kufah dan Nawashib (memusuhi Ali ibn Abi Thalib Rodhiallahu ‘anhu) di Syam dan sebagainya sehingga da’i mencurahkan perhatiannya dalam sisi yang harus diperbaiki.
Dalil yang lain adalah apa yang dating dari Anas Rodhiallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi Sholallahu ‘alaihi wasallam tatkala menulis surat kepada Romawi, dikatakan kepada beliau bahwa sesungguhnya mereka tidak membaca surat kecuali yang memiliki stampel. Maka dari itu, Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam membuat stampel dari perak. Hadits ini menunjukkan apa yang telah lewat tentang perbedaan kondisi setiap negeri yang harus diperhatikan oleh seorang da’i. lihat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau mengetahui adat istiadat Romawi di dalam surat-menyurat maka beliau Sholallahu ‘alaihi wasallam mengikuti adat mereka agar lebih dekat untuk dibaca suratnya dan diterima. Perkara ini penting untuk diketahui agar dakwah mudah diterima.
SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Setiap perkara di dalam syari’at selalu ada syubhat tentang dari mereka yang tidak paham atau paham tetapi memiliki maksud jelek. Ada beberapa syubhat di seputar “dakwah sesuai dengan kondisi” diantaranya:
- Dakwah harus bijaksana, dan makna “bijaksana” bagi mereka ialah menuruti kemungkaran masyarakat atau tidak boleh mengingkari dengan keras, maka dari itu, tatkala mereka melihat da’i yang menyeru kepada tauhid dan sunnah mengingkari syirik dan bid’ah, dia mengingkari seraya berkata “ini dakwah tidak bijaksana”. Menurutnya, dakwah yang bijak harus mendiamkan syirik, bid’ah dan maksiat.
- Menurut adat yang menyelisihi syari’at. Seperti jika kaum di suatu daerah tidak berhijab maka da’i tidak memerintahkan istri dan putrinya untuk berhijab dengan syubhat supaya dakwahnya diterima. Ini prasangka yang keliru. Justru dakwahnya tidak akan diterima dan tidak berkah karena dia sendiri tidak mengamalkan syari’at.
Atau suatu kaum yang merajalela ikhtilath, nyanyian, music dan tarian maka berdakwah dengan sarana nyanyian supaya orang tatkala mereka berkumpul untuk mendengarkan nyanyian maka diselingi dengan dakwah dan ceramah agama.
- Tidak mengingkari syirik, bid’ah dan kemungkaran karena khawatir memecah belah, membuat lari, dan menjadikan mereka tidak menyukai da’i dan dakwah.
- Mengingkari da’i yang benar. Misalnya mengetakan “jangan mengingkari pengeramatan kepada kuburan wali, sekarang belum saatnya”.
- Membuat cara baru. Seperti jika kebiasaan masyarakat memperingati maulid nabi dan tahun baru maka da’i mengajak mereka untuk majelis dzikir berjama’ah atau yasinan dan tahlillan tiap malam jum’at.
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam merupakan tauladan di dalam dakwah dengan bijaksana. Maka dari itu, kita tidak butuh akan ‘kebijaksanaan’ orang sekarang yang menyelisihi kebijaksanaan Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam di dalam dakwah. Mu’adz ibn Jabal Rodhiallahu ‘anhu tidak mendakwahi ahli kitab dengan Taurat dan Injil atau mengutamakan Nabi Musa ‘alaihis salam dan Nabi Isa ‘alaihis salam di atas Nabi kita Muhammad Sholallahu ‘alaihi wasallam dengan alas an agar dakwahnya lebih dekat dan lebih diterima oleh ahli kitab. Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat mendakwahkan tauhid, bersungguh-sungguh dan keras di dalam nya, tidak mengenal damai, dan tidak peduli dengan murka dan larinya manusia darinya. Sebab, apalah artinya umat menerima dakwah, sedang mereka tidak memahami tauhid dengan baik. Apalah faedah jumlah jutaan umat Islam pada saat ini, sedangkan mereka melakukan di kuburan wali apa yang tidak dilakukan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab terhadap patung Lata, Mana dan Uzza.
Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasallam mengingkari bala tentaranya dalam perjalanan perang menuju Hunai tatkala mereka meminta dibuatkan pohon keramat seperti kaum musyrikin tanpa beliau Sholallahu ‘alaihi wassalam terhalang atau menunda karena situasi peperangan. Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wassalam mengikuti kebiasaan Romawi yang menyetempel surat resmi karena ia hanya urusan dunia dan beliau Sholallahu ‘alaihi wasallam membuat dari perak bukan dari emas yang dilarang, menulis padanya ‘Muhammad Rasulullah” bukan “isa nabi kaum Romawi” ; dan beliau Sholallahu ‘alaihi wasallam tidak mengikuti mereka dalam cara perayaan bid’ah dan semisalnya.
Oleh Ustadz Abdurrohman al-Buthoni hafidzohullah
Diringkas oleh : Abu Ghifar Supriadi
والله أعلم بالصوب
Sumber :
- Usus Manhaj Salaf fi Dakwah Ilallah: 106-108 dan lainnya
- Majalah Al-Furqon Edisi 160 Vol. 1 Tahun ke-15 Sya’ban 1436
BACA JUGA :
Leave a Reply