Adab dalam berjihad fi sabilillah, jihad memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam menjadikan Jihad sebagai amal tertinggi di dalam Islam. Dan telah pula disebutkan tentang keutamaan, dorongan (motivasi), serta perintah untuk melaksanakan jihad dalam nash-nash yang sangat banyak. Akan tetapi, terdapat adab-adab yang harus diperhatikan berkaitan dengan jihad tersebut, diantaranya:
- Niat yang Tulus dan Ikhlas
Suatu amal akan rusak dan tidak diterima apabila tidak dilakukan dengan niat ikhkas karena Allah Subhanahu Wata’ala.
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
ٱنفِرُواْ خِفَافا وَثِقَالا وَجَٰهِدُواْ بِأَموَٰلِكُمۡ وَأَنفُسِكُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكُمۡ خَير لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعلَمُونَ ٤١
Artinya:
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah Subhanahu Wata’ala . Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”[1]
Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman:
وَجَٰهِدُواْ فِي سَبِيلِهِۦ لَعَلَّكُم تُفلِحُونَ ٣٥ ….
Artinya:
“Dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” [2]
- Meminta Izin kepada Kedua Orang Tua Sebelum Berangkat ke Medan Jihad
Izin kepada orang tua berlaku untuk selain jihad fardhu ‘ain. Maka dari itu, seseorang tidak boleh berangkat berjihad tanpa meminta izin kepada orang tuanya. Adapun untuk jihad fardu ‘Ain, seperti jihad untuk mempertahankan negeri Muslim dari serangan tentara kafir, maka tidak perlu meminta izin kepada kedua orang tua atau yang selainnya untuk berjihad.
- Bertaubat dari Segala Dosa Sebelum Berangkat ke Medan Perangi
Orang yang bertaubat dari segala dosa sebelum berangkat perang berhak mendapatkan pertolongan dari Allah Subhanahu Wata’ala . Maka ia tidak berperang dalam keadaan membawa dosa yang ia belum bertaubat darinya yang mengakibatkan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala menjauh. Para mujahidin adalah orang yang paling membutuhkan untuk bertaubat, dan memohon ampunan untuk meraih pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala karena mereka berada di ujung kematian. Maka dari itu, wajib atas mereka menyiapkan diri untuk menyambut datangnya kematian.
- Mengerjakan Amal Shalih Sebelum Berangkat ke Medan Perang
Mengerjakan amal shalih sebelum berangkat berjihad dikerjakan untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan mendapatkan pertolongan-Nya. Telah datang kepada Nabi seorang laki-laki dengan memakai beju besi seraya berkata: “Yaa Rasulullah , Aku berperang atau masuk Islam? Maka beliau bersabda kepadanya: “Masuk Islamlah, kemudian berperanglah…”[3] Oleh karena itu, Abu Darda mengatakan: “Sesungguhnya kalian berperang dengan membawa amal-amal kalian”[4]. Diantara amal shalih tersebut adalah taubat, sedekah, berbakti, kepada kedua orang tua, dan lain sebagainya.
- Menyiapkan Segala Sesuatu yang Diperlukan untuk berperang
Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman:
وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱستَطَعتُم مِّن قُوَّة وَمِن رِّبَاطِ ٱلخَيلِ تُرهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡء فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظلَمُونَ ٦٠
Artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah Subhanahu Wata’ala dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah Subhanahu Wata’ala mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah Subhanahu Wata’ala niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)” [5]
Hal ini meliputi segala macam persenjataan yang digunakan untuk berperang, semua itu termasuk kekuatan.
- Hendaklah Kaum Muslimin Menyiapkan Bekal Pasukan yang Akan Berperang dan Mengurus Keluarga Mereka dengan Baik
Mempersiapkan Bekal untuk pasukan yang akan berperang dan mengurus keluarga mereka dengan baik termasuk hal yang dianjurkan dalam syari’at yang Hanif (lurus). Oleh karena itu, wajib atas orang-orang kaya dan mampu untuk membantu menanggung nafkah dan bekal bagi para mujahidin. Demikian juga menjaga keluarga para mujahidin saat mereka keluar berperang. Dengan demikian, mereka bagaikan orang yang berperang dengan jiwa mereka di jalan Allah Subhanahu Wata’ala .
- Memilih Orang-Orang yang Paling Kuat dan Tangguh dalam Menghadapi Musuh
Hendaknya waliyyul amri (pemimpin) memilih orang-orang yang pemberani, kuat, dan tangguh dalam peperangan menghadapi musuh. Di samping itu, hendaknya mereka termasuk orang-orang yang shalih dan bertaqwa. Demikian juga, hendaknya memilih Orang-orang yang berpengalaman dan ahli dalam menggunakan senjata-senjata baru, mengerti tentang seluk-beluk perang, memahami kondisi musuh, dan lain sebagainya.
- Meneladani Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam dalam Berjihad
Salah satu cara meneladani Rasulullah dalam berjihad adalah dengan menggunakan tipu muslihat jika khawatir musuh mengetahui tujuan mereka. Sebab, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam: “Apabila hendak berangkat berperang, beliau berpura-pura berjalan ke arah lain”[6]
Demikian pula membawa serta istri atau mengundi di antara istri untuk ikut serta dalam perjalanan jihad. Hal itu dilakukan terutama jika safar memakan waktu yang lama atau peperangan terjadi di daerah yang didalamnya tersebar fitnah dan kekejian,[7] dan lain-lain seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam.
- Amir (Pemimpin) Beserta Kaum Muslimin Melepas Keberangkatan Pasukan
Hendaknya kaum Muslimin melepas keberangkatan pasukan sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam.
- Hendaknya Amir Memberikan Nasihat kepada Pasukan, Mengingatkan Mereka agar Berbuat Ketaatan dan Meninggalkan Kemaksiatan Serta Menjelaskan Kepada Mereka Hukum-Hukum yang Berkaitan dengan Jihad
Apabila melepas keberangkatan para Sahabat ke medan perang, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda kepada mereka:
“Berperanglah kalian dengan nama Allah Subhanahu Wata’ala, di jalan Allah Subhanahu Wata’ala, dan perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah Subhanahu Wata’ala, s . Barperanglah kalian, namun jangan menyembunyikan harta rampasan, jangan berkhianat, jangan mencincang musuh, dan jangan membunuh anak-anak dari kaum musyrikin.”[8]
Ini adalah adab yang sangat agung. Adab yang mengingatkan agar pasukan yang berperang mengikhlaskan niat karena Allah Subhanahu Wata’ala semata dalam jihad mereka serta mengajarkan kepada mereka petunjuk Islam berkaitan dengan perang.
- Tidak Merasa Takjub dengan Banyaknya Jumlah Pasukan
Allah Subhanahu Wata’ala, Berfirman:
لَقَدۡ نَصَرَكُمُ ٱللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَة وَيَومَ حُنَينٍ إِذ أَعجَبَتكُمۡ كَثرَتُكُمۡ فَلَمۡ تُغنِ عَنكُمۡ شَيا وَضَاقَتۡ عَلَيكُمُ ٱلأَرضُ بِمَا رَحُبَت ثُمَّ وَلَّيتُم مُّدبِرِينَ ٢٥ ثُمَّ أَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَعَلَى ٱلمُؤمِنِينَ ….٢٦
Artinya:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala, telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah Subhanahu Wata’ala menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman…”[9]
Dengan demikian, banyaknya jumlah pasukan kaum Muslimin sama sekali tidak bermanfaat ketika mereka merasa takjub dengannya. Tetapi, mereka wajib bergantung hanya kepada Allah Subhanahu Wata’ala, Bertawakkal kepada-Nya, menyerahkan segala urusan kepada-Nya, tidak bergantung kepada kekuatan materi. Tentu saja hal itu disertai dengan mengambil sebab-sebab yang logis dan disyari’atkan seperti mempersiapkan segala keperluan dan lain sebagainya.
- Hendaknya Pasukan Senantiasa Menjaga Adab-Adab Safar
Di antara adab safar adalah berkumpul ketika hendak turun kejalan, tolong-menolong, saling menyayangi dan lain sebagainya.
- Mentaati Amir (Pemimpin) Selama Bukan dalam Maksiat
Mentaati amir (pemimpin) termasuk perkara yang sangat penting, yang wajib dilaksanakan untuk mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala . Ketika sebagian kaum Muslimin membangkang perintah Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam pada perang uhud, hal itupun menyebabkan malapetaka. Kejadian ini secara lengkap telah kita ketahui bersama. Siapa yang membangkang perintah amir dalam kondisi seperti ini, maka akibatnya akan menimpa seluruh pasukan. Oleh karena itu, wajib atas seorang mujahid mentaati perintah pemimpin, kecuali jika ia memerintahkan suatu perbuatan maksiat.
- Hendaknya Kaum Muslimin yang Berperang Benar-Benar Mengharapkan Mati Syahid dan Memintanya dengan Sungguh-sungguh
Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam Bersabda:
“Demi Allah Subhanahu Wata’ala yang jiwaku berada ditangannya, sungguh aku berangan-angan agar dapat terbunuh dijalan Allah, lalu aku dihidupkan, lalu terbunuh, lalu dihidupkan, lalu terbunuh, lalu dihidupkan, lalu dibunuh.”[10]
- Pemimpin Bermusyawarah dengan Pasukan
Pemimpin bermusyawarah dengan pasukan baik dengan seluruh pasukan ataupun memilih beberapa orang dari mereka yang memiliki kemampuan dan keahlian. Bermusyawarah dengan mereka mengenaii taktik berperang maupun masalah lain. Pemimpin pasukan boleh menerima pendapat mereka jika memang mengandung maslahat.
Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman:
…”وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلأَمرِۖ … ١٥٩
Artinya:
”… bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…”[11]
Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam juga bermusyawarah dengan para Sahabat pada perang badar dan beliau menerima pendapat Al-Hubab bin Al-Mundzir.
- Pemimpin Pasukan Mengirim Mata-Mata dan Spionase
Pemimpin mengirim mata-mata atau spionase untuk mengintai keadaan musuh. Hal ini akan membantu pemimpin pasukan untuk memilih strategi perang yang tepat. Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam juga melakukan hal itu. Beliau pernah mengirim Busaisah untuk memata-matai kafilah dagang Abu Sufyan.[12]
Siasat ini merupakan perkara yang penting dalam peperangan medern dan setiap pasukan pastii membutuhkannya.
- Tidak Berharap Bertemu Musuh
Jangan berharap bertemu dengan musuh karena seseorang tidak tahu, bisa jadi ia akan tertimpa bencana dengan musuh atau ia tidak teguh ketika berhadapan dengan mereka. Karen itu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam melarang kita berharap bertemu dengan musuh.
Beliau Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda:
“Janganlah kalian berharap bertemu dengan musuh. Namun, jika kalian bertemu dengan mereka, maka bersabarlah.”[13]
- Menunjukkan Kekuatan di Hadapan Musuh dan Tidak Menampakkan Kelemahan
Jika terdapat kelemahan pada kaum Muslimin, maka dianjurkan untuk menyembunyikan kelemahan tersebut di hadapan musuh. Hendaknya menunjukkan kekuatan kepada mereka, seperti menampakkan perlengkapan yang canggih dan pasukan yang berani, menempatkan pasukan yang lemah dibelakang para pemuda di depan, dan lain sebagainya. Hal ini akan membangkitkan semangat dalam menghadapi musuh dan memotivasi kaum Muslimin.
- Berdoa sebelum Berperang
Sesungguhnya apabila berperang, Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam berdoa:
“Ya Allah Subhanahu Wata’ala , Engkau adalah pelindungku dan penolongku. Dengan-Mu aku bergerak, menyerang dan berperang.”[14]
- Memulai Peperangan pada Pagi Hari atau Ketika Matahari Tergelincir
Demikian kebiasaan Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam. Jika beliau tidak memulai peperangan pada pagi hari, maka beliau mengakhirkan perang pada saat matahari tergelincir, bertiup angin dan turun pertolongan.[15]
- Berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala Ketika Berperang
Hendaknya berdzikir ketika berperang berkecamuk, karena Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan hal itu kepada para hamba-Nya.
Allah Subhanahu Wata’ala Berfirman:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُم فِئَة فَٱثبُتُواْ وَٱذكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرا لَّعَلَّكُمۡ تُفلِحُونَ ٤٥
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah Subhanahu Wata’ala sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”[16]
Dzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala ketika berperang merupakan kewajiban yang sangat penting atas mereka dan akan membantu meneguhkan mereka dihadapan musuh.
- Teguh Menghadapi Musuh dan Tidak Melarikan Diri
Setiap Mukmin yang berjihad harus teguh dan tidak melarikan diri ketika menghadapi musuh, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala pada ayat di atas. Hendaknya seorang Mukmin ketika itu menyadari bahwasannya Surga berada di bawah kilatan pedang. Maka jika seseorang gugur dengan niat yang tulus, niscaya ia akan masuk surga.
Allah Subhanahu Wata’ala juga telah memperingatkan orang-arang yang lari dari medan pertempuran dalam firman-Nya:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحفا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلأَدبَارَ ١٥ وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَة فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَب مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئسَ ٱلمَصِيرُ ١٦
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah Subhanahu Wata’ala dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.”[17]
- Diam dan Tidak Berbicara Ketika Berhadapan dengan Musuh
Diam dan tidak berbicara ketika berhadapan dengan musuh akan lebih memusatkan tekad dan niatnya. Para Sahabat Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam membenci berbicara saat berperang,[18] kecuali berdzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan perkataan yang membawa maslahat jihad, karena hal itu baik.
- Berusaha Mengumpulkan Jumlah Pasukan yang Disebutkan dalam Hadits Nabi Shalallahu Alaihi Wasallam
Sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam:
“Sebaik-baik teman adalah empat orang, Sebaik-baik pasukan kecil adalah empat ratus personel. Sebaik-baik pasukan besar adalah empat ribu personel. Pasukan yang berjumlah dua belas ribu personel tidak akan terkalahkan karena sedikitnya jumlah, (tapi karena sebab yang lain).”[19]
Namun jumlah ini tidaklah diharuskan. Akan tetapi, apabila mungkin untuk menyiapkannya, atau lebih dari itu, maka yang demikian itu lebih Afdhal (Utama).
- Bertawakkal kepada Allah Subhanahu Wata’ala Semata dan Yakin kepada-Nya serta Mengharapkan Pertolongan dari-Nya
Bertawakkal, Yakin, dan mengharapkan pertolongan Allah Subhanahu Wata’ala perlu karena pertolongan hanya berada ditangan-Nya, tiada sekutu bagi-Nya.
Firman Allah Subhanahu Wata’ala :
إِن يَنصُرۡكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمۡۖ وَإِن يَخذُلكُمۡ فَمَن ذَا ٱلَّذِي يَنصُرُكُم مِّنۢ بَعدِهِۦۗ وَعَلَى ٱللَّهِ فَليَتَوَكَّلِ ٱلمُؤۡمِنُونَ ١٦٠
Artinya:
“Jika Allah Subhanahu Wata’ala menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah Subhanahu Wata’ala membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah Subhanahu Wata’ala sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah Subhanahu Wata’ala saja orang-orang mukmin bertawakkal.”[20]
Allah Subhanahu Wata’ala juga Berfirman:
…. وَمَا ٱلنَّصرُ إِلَّا مِنۡ عِندِ ٱللَّهِ ٱلعَزِيزِ ٱلحَكِيمِ ١٢٦
Artinya:
“… dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[21]
Maka dari itu, wajib atas setiap muslim menjadikan keyakinan itu kepada Allah Subhanahu Wata’ala semata, bertawakkal kepada-Nya, dan Bersandar kepada-Nya, bukan kepada jumlah, perlengkapan, pasukan, dan lain sebagainya.
Inilah yang dimudahkan Allah Subhanahu Wata’ala dari adab-adab yang berkaitan dengan jihad, yang jumlahnya ada 25 adab. Mudah-mudahan beberapa penjelasan yang telah diuraikan di atas dapat mudahkan untuk mengamalkannya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin…
Referensi:
Nada, Abdul Aziz bin Fathi as-Sayyid. 2019. Ensiklopedia Adab Islam Menurut al-Quran dan as-Sunnah. Penerjemah, Abu Ihsan Al-Atsari: Jakarta: Pustaka Imam Asy-syafi’i,.
Diringkas oleh Hanadhia (Pengajar di Ponpes Darul Qur’an wal Hadits OKU Timur).
[1] QS. At-Taubah:41`
[2] QS. AL-Maidah: 35
[3] HR. Bukhari (2808) dari Al-Bara’. Bukhari telah membuat bab khusus tentang hadits ini dengan judul “Amal shalih qoblal Qital” (amal shalih sebelum berperang)
[4] Fathul Bari (VI/29) secara mua’allaq dengan riwayat jazm (pasti) dari Abu Darda.
[5] QS. Al-Anfaal: 60
[6] HR. Bukhari (2947) dan Muslim (2769) dari Ka’ab bin Malik.
[7] Silakan lihat pasal Adab Safar pada adab kesebelas
[8] HR.Muslim (1730) dari Buraidah
[9] QS.At-Taubah 25-26
[10] HR.Bukhari (2797) dan Muslim (1876) dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu
[11] QS.Ali-Imran 159
[12] HR. Muslim (1901) Dari Anas Radhiallahu Anhu. Ada yang mengatakan namanya Basbas wallahu a’alam.
[13] HR.Bukhari (3026) dan Muslim (1741) dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu.
[14] HR.Ahmad (III/184), Abu Dawud (2632), At-Tirmidzi (3584) dan ia menghasankannya, Ibnu Hibban (4741) dalam al-ihsan dari Anas Radiallahu Anhu. Lihat kitab Shahih Abi Dawud (2291)
[15] HR. Abu Dawud (2655) dari an-Nu’man bin muqrin. Lihat kitab Shahih Abi Dawud (2313)
[16] QS.Al-Anfaal: 45
[17] QS.Al-Anfaal: 15-16
[18] HR.Abu Dawud (2656) dari Qais bin Abbad. Lihat kitab ShahihAbi Dawud (2314)
[19] HR.Ahmad (I/299), at-Tirmidzi (1555) dan ia menghasankannya, ad-Darimi (II/215), al-Hakim (I/433, II/101), Ibnu Hibban (4697) dalam al-ihsan, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (2538), dan Ibnu Adi dalam al-Kamil (II/427) Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma. Lihat kitab Shahih Abi Dawud (2275)
[20] QS.Ali-Imran:160
[21] QS. Ali-Imran: 126
Baca juga artikel berikut:
Leave a Reply