Asuransi Syariah – Asuransi adalah perjanjian antara penanggung atau perusahaan asuransi dengan bertanggung jawab untuk memberikan penggantian kepada tertanggung atas resiko kerugian yang tertera di dalam perjanjian dan tertanggung berkewajiban membayar premi kepada perusahaan asuransi.
Sejarah Asuransi Konvensional
Asuransi modern muncul pertama kali di Italia pada abad ke-14 Masehi yaitu asuransi laut. Para pedagang membawa dagangan mereka dengan jasa kapal laut. Pada waktu itu kapal laut merupakan sarana transportasi dengan resiko tinggi. Maka muncullah polis asuransi, dimana para pedagang membayar sejumlah uang kepada suatu pihak dan bila terjadi kerusakan atas barang atau hilang selama dalam perjalanan maka pihak tersebut mengganti seluruh kerugian. Karena asuransi ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak, orang-orang melakukan perjanjian asuransi secara luas.
Hukum Asuransi
Asuransi semenjak kemunculannya telah diharamkan oleh para ulama baik perorangan maupun lembaga. Pada tahun 1978 dalam Muktamar ke-1 Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islami atau divisi fiqih rabitah alam Islami di Mekkah telah diputuskan bahwa asuransi dengan segala jenisnya adalah haram. Bunyi keputusan tersebut setelah melakukan kajian yang mendalam dan mendiskusikannya, maka Majelis Al-Majma memutuskan berdasarkan suara terbanyak bahwa asuransi konvensional dengan segala bentuknya : asuransi jiwa, asuransi niaga; dan lainnya adalah haram.
Dalil-dalil Haramnya Asuransi
Keputusan lembaga-lembaga fatwa internasional yang mengharamkan asuransi didasarkan kepada dalil-dalil berikut:
Polis asuransi termasuk dalam akad tukar menukar uang dengan uang. Akad asuransi ini mengandung gharar atau ketidakjelasan tingkat tinggi. Pihak tertanggung pada saat melakukan akad tidak tahu berapa jumlah uang atau premi yang harus ia bayar, karena jika terjadi kerugian yang dipertanggungkan setelah pembayaran premi pertama maka akad langsung berakhir dan pihak tertanggung memperoleh ganti rugi. Dan jika tidak terjadi kerugian maka pihak tertanggung terus membayar premi hingga waktu yang telah disepakati pada saat akad dilakukan pihak penanggung juga tidak tahu berapa jumlah uang yang akan Ia berikan jika terjadi resiko yang ditanggungkan. Bisa jadi pihak penanggung memberikan seperti yang disepakati dalam polis dan bisa jadi dia tidak memberikan apapun kepada pihak tertanggung jika resiko tidak terjadi. Tingkat gharar dalam polis asuransi ini sangat tinggi, sedangkan Nabi telah mengharamkan tukar menukar atau jual beli yang mengandung gharar.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu :
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر
Artinya: “Rasulullah melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim dalam shahihnya)
Polis asuransi termasuk qimar atau judi. Karena bisa jadi pihak tertanggung baru membayar premi pertama dan terjadi kerugian yang dipertanggungkan, maka pihak tertanggung memperoleh uang dari pihak penanggung jauh lebih besar daripada yang dibayarnya. Pihak tertanggung beruntung dan pihak penanggung merugi. Dan jika premi dibayar sampai waktu yang ditetapkan dalam perjanjian dan tidak terjadi kerugian maka pihak tertanggung merugi dan pihak penanggung beruntung. Inilah hakikat judi. jika satu pihak beruntung maka pihak lain merugi. Allah ta’ala telah mengharamkan perjudian dalam firmannya :
يٰاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala, dan mengundi nasib adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Maidah [5]: 90)
Polis asuransi adalah akad tukar menukar uang dengan uang. Karena pada saat tertanggung menerima uang ganti rugi berarti ia memberikan uang dalam bentuk premi dan menerima uang dalam bentuk ganti rugi. Dalam akad tukar menukar uang dengan uang, bila uangnya sejenis disyaratkan harus sama nominalnya dan harus serah terima tunai pada saat itu juga. Jika tidak terpenuhi salah satu persyaratan tersebut maka akad tukar menukar uang dengan uang ini termasuk riba bai’. Kenyataannya dua persyaratan tersebut tidak terpenuhi dalam polis asuransi. Pada saat terjadi perbedaan antara nominal premi yang dibayar dengan ganti rugi yang diterima maka transaksi ini dinamakan riba fadl dan nasi’ah yaitu, nominal kedua uang tidak sama dan tidak tunai atau uang premi telah diserahkan beberapa waktu yang lalu namun ganti rugi baru diterima setelah berlalu beberapa waktu. Dan jika nominal premi dan ganti rugi sama maka termasuk riba karena tukar menukar dua uang tidak tunai.
Pengecualian :
Majma’ al-fiqhi al-Islam dalam muktamarnya ke-16 di Emirat Arab tahun 2005 dengan keputusan No.149 (7/16) membolehkan asuransi kesehatan bila diterbitkan langsung oleh penyelenggara pengobatan, seperti asuransi rumah sakit.
Jika asuransi kesehatan diterbitkan langsung oleh badan penyelenggara pengobatan maka hukumnya dibolehkan syariat dengan syarat teknisnya harus diperhatikan agar gharar dapat ditekan seminimal mungkin karena hukum gharar yang sedikit dimanfaatkan, dan akan gharar yang dibutuhkan oleh banyak dan sangat mendesak, seperti asuransi kesehatan dalam rangka menyelamatkan jiwa, akal dan keturunan dan tiga hal ini termasuk hal yang sangat penting dijaga syariat Islam maka hukum garanya dimanfaatkan. Diantara hal teknis yang penting diperhatikan :
- Membuat perjanjian yang sangat terperinci dan dan jelas tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak.
- Memeriksa kondisi kesehatan pihak tertanggung terlebih dahulu, sehingga bisa diperkirakan jenis pengobatan dan biaya yang akan ditanggung oleh asuransi.
- Tagihan pembayaran yang diklaim oleh pihak rumah sakit harus sesuai dengan tindakan pengobatan yang telah diberikan kepada pihak tertanggung bukan berdasarkan rekayasa sebagaimana yang dilakukan oleh asuransi komersial.
Asuransi Syariah
Merupakan akidah seorang Muslim bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala jika mengharapkan sesuatu pasti memberikan ganti yang jauh lebih baik daripada yang dia haramkan. Oleh karena itu, ketika para ulama mengharamkan asuransi berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan Sunnah, maka mereka merumuskan penggantinya yang terbebas dari gharar, qimar, riba, dan dari sisi bisnis lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hal ini mengingat asuransi merupakan kebutuhan manusia di abad modern agar kehidupan mereka lebih tentram untuk menghadapi risiko dari di hari esok.
Adapun terbebasnya asuransi Islam dari gharar, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gharar dalam akad hibah dibolehkan. Dan akad asuransi Islam adalah hibah maka keberadaan gharar dalam akad ini tidak berpengaruh merusak. Sebagian orang masih meragukan kebolehan asuransi Islam karena mereka memahami bahwa dalam asuransi Islam yang akadnya berdasarkan hibah termasuk hibah yang kembali kepada pemberi hibah. Dimana uang yang telah disumbangkan akan kembali kepada pemberinya dalam bentuk uang penggantian kerugian akibat resiko yang terjadi dan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam telah melarang untuk menarik kembali sumbangan dengan sabdanya:
ليس لنا مثل السوء الّذي يعود في هبته كالكلب يرجع في قيئه
Artinya: “Kita tidak boleh mencontoh yang buruk. Orang yang menarik kembali pemberiannya seperti anjing yang menarik atau menelan kembali muntahnya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Tanggapan:
Maksud hadits ini bahwa yang dilarang adalah menarik kembali sumbangan yang telah dikeluarkan dan telah diterima oleh orang yang ditujukan sumbangan untuknya. Adapun sumbangan yang telah dikeluarkan tetapi belum lagi diterima oleh orang yang ditujukan sumbangan untuknya maka boleh menarik kembali sumbangannya. Berdasarkan perbuatan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu yang telah memberikan sebidang kebun kurma untuk anaknya Aisyah Radhiallahu ‘Anha sebelum Aisyah menerimanya Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu merasa ajalnya sudah dekat dan dia berkata:
والله يا بنيّة ما من الناس أحد احبّ إليّ غنى بعدي منكِ ولا اعزّ عليّ فقرأ بعدي منك و اني كنت نحلتك جادّ عشرين وسقا فلو كنت جددتيه واحتزتيه كان لك وانما هو اليوم مال وارث و إنما هما اخواك و اختاك فاقتسموه على كتاب الله
Artinya: “Wahai putriku demi Allah aku sangat senang engkau Aku tinggalkan dalam keadaan kaya dan sungguh aku pernah menghadiahkan untukmu sebidang kebun yang hasilnya sebanyak dua puluh wasaq. Andai engkau dahulu telah menerimanya niscaya kebun itu menjadi milikmu. Akan tetapi, hari ini kebun itu menjadi bagian dari harta warisanku yang engkau bagi-bagikan kepada saudara dan saudarimu.” (HR. Malik dalam Muwaththa’)
Dan para ulama fiqih juga membuat kaidah:
لا يتمّ التبرّع إلا بالقبض
Terjemahannya: “Akad hibab belum sempurna bila barang yang dihibahkan belum diterima.”
Referensi:
Majalah Al-Furqan 144 Edisi 08 Th.ke-13
Penulis: Ustadz Dr.Erwandi Tarmizi, M.A. حفظ الله
Diringkas oleh: Fadhil Didi Kurniawan (pengabdian ponpes DQH okut)
BACA JUGA :
Leave a Reply