Oleh: Brilly El Rasheed
Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjauhkan kita dari ketertipuan. Betapa mudahnya kita lupa dari menyempurnakan ibadah kepada Alloh. Betapa seringnya kita teledor dari mempersembahkan ibadah terbaik kepada Alloh. Uniknya kita masih saja berharap surga tertinggi. Jauh panggang dari api. Itu pun kadang dengan nada protes kita berkilah, “Di dalam Al-Qur`an, Alloh sudah mentolerir kelengahan kita sebagai manusia. Alloh Ta’ala berfirman, “Binasalah manusia, alangkah amat sangat keingkarannya.” [QS. ‘Abasa: 17].”
Kita memohon ampun kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala atas kebodohan dan kepongahan diri. Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah 9/326, Ibnu Katsir rahimahullah mengutip sebuah sya’ir yang menertawakan tingkah kekanak-kanakan ini,
Engkau menumpuk dosa demi dosa
Mengharap derajat-derajat surga
Dan enaknya balasan bagi ahli ibadah
Engkau lupa
Alloh mengeluarkan Adam
Dari surga ke dunia
Lantaran sebuah dosa
Salim maula Ubay bin Ka’ab radhiallahu anhu menasehatkan, setelah dimintai oleh ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz radhiallahu anhu, “Lantaran sebuah kesalahan yang dilakukannya, Adam ‘alaihissalam dikeluarkan dari surga. Adapun kalian, mengerjakan banyak kesalahan, namun herannya kalian mengharapkan masuk surga.”
Inilah kelemahan terbesar kita, setelah tertipu untuk berbuat dosa, yaitu terbuai angan hampa dan terbujuk prasangka yang melenakan. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengingatkan, “Ada sebuah komunitas yang dilalaikan oleh angan-angan meraih ampunan Alloh dan harapan menggapai rahmah-Nya, sampai-sampai mereka keluar dari dunia tanpa membawa amal shalih. Salah seorang dari mereka mengatakan (dengan penuh optimisme), “Saya berprasangka baik kepada Alloh dan mengharapkan rahmah-Nya.”.”
Rupa-rupanya, mereka salah paham terhadap hadits berikut. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ”Seseorang tidak akan masuk surga karena amalnya.” Para sahabat Nabi bertanya, ”Tidak juga Anda wahai Rosululloh?” Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ”Tidak juga aku. Kecuali bila Alloh menaungi diriku (juga kalian) dengan karunia dan rahmah {serta ampunan} Nya. Maka berusahalah untuk senantiasa tepat. Jika tidak bisa, berusahalah mendekati ketepatan. Berusahalah di waktu pagi, sore, dan sebagian waktu malam. Bersikaplah pertengahan (antara berlebihan dan meremehkan). Bersikaplah pertengahan. Niscaya kalian sampai ke tujuan. Janganlah salah seorang dari kalian mengangkan kematian. Karena bila ia orang baik, diharapkan ia menambah kebaikan. Dan jika ia orang yang buruk, diharapkan ia bisa memperbaiki diri.” [Shahih: Shahih Al-Bukhari no. 39, 5673, 6463, 6467, 7463; Shahih Muslim no. 2816] Padahal sudah jelas, untuk bisa masuk surga, harus ada jaminan karunia, rahmah, dan ampunan Alloh. Agar mendapatkan ketiga jaminan itu, Rosululloh shallallahu alaihi wasallam mensyaratkan untuk beribadah kepada Alloh seoptimal mungkin dengan metode yang telah beliau tuntunkan.
Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah memberikan kritik yang pedas, “Sungguh, ia telah berkata dusta. Kalausaja ia benar-benar berprasangka baik kepada Alloh, tentulah ia sungguh-sungguh beramal ketaatan dengan bagus. Sekiranya ia benar-benar mengharap rahmah Alloh, sudah pasti ia sungguh-sungguh mencarinya dengan amal-amal shalih. Besar kemungkinan akan binasa, musafir yang mengarungi padang sahara tanpa bekal dan air minum.” [Al-Bidayah wa An-Nihayah 9/338]
Sepertinya, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah terinsipirasi dengan firman Alloh Ta’ala, “Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Alloh (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan adzab Alloh kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A’raf: 99]
Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullah turut menyindir sikap linglung ini, “Amal bagai fatamorgana, qalbu kosong dari taqwa, dosa sebanyak butir pasir dan debu, berharap gadis surga yang jelita. Alangkah jauhnya. Mustahil. Meski tidak minum khamr, engkau sedang mabuk. Alangkah sempurnanya engkau jika amalmu mendahului anganmu. Alangkah mulianya engkau jika amalmu mendahului ajalmu. Alangkah perkasanya engkau jika engkau menyelisihi hawa nafsu.” [Shifah Ash-Shafwah 4/92]
Sindiran ini mengingatkan kita pada ungkapan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa ingin mengetahui apa yang akan ia terima di sisi Alloh kelak, hendaklah ia melihat hak-hak Alloh di sisinya (apa yang telah ia kerjakan).” [Shahih: Sunan Ad-Daruquthni. Shahih Al-Jami’ no. 6006; Ash-Shahihah no. 2310] Tepat sekali. Tidak ada yang didapatkan di akhirat selain yang telah dilakukan di dunia. Ingin tahu, kita menjadi penghuni surga ataukah penghuni neraka? Gampang, tengok saja apa yang telah kita perbuat. Alloh telah mengingatkan, “Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dipersiapkan untuk hari esok.” [QS. Al-Hasyr: 18]
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan telah menyindir, dengan sindiran yang sangat halus namun mengena, “Saya tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada neraka. Orang-orang mengaku takut kepadanya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak. Saya juga tidak melihat hal yang lebih mengherankan daripada surga. Orang-orang mengaku ingin memasukinya, tapi masih saja bisa tidur nyenyak.” [Shahih: Sunan At-Tirmidzi no. 2728. Ash-Shahihah no. 953]
Begitu seringnya kita menjadi bangkai di malam hari dan menjadi keledai di siang hari. Saat matahari hadir, kita masih seperti orang pandir. Saat bulan bersemayam, semangat qiyamul lail kerap padam. Saat awan berkejaran, kita terus saja dalam kelalaian. Saat bintang temaram, dalam tidur, kita tenggelam. Laksana seonggok kayu yang tidak punya nyawa. Tidak tergerak untuk mempersembahkan penghambaan terbaik kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sementara harapan menjadi penghuni surga dan bebas dari neraka sangat tinggi.
Kiranya, patut kita simak syair Isma’il bin Qasim Al-Baghdadi rahimahullah yang sangat populer, “Engkau berharap keselamatan, namun engkau menempuh jalannya. Adalah sebuah kemustahilan, bahtera berlayar di daratan.” [Al-Bidayah wa An-Nihayah 10/279]
Begitu pula, kita layak untuk menertawakan diri kita sendiri. Bagaimana tidak, kita seringkali menanti upah ibadah. Kita tidak sumringah, kalau ibadah kita tidak berbuah upah. Kita berdakwah, tapi berharap dunia. Kita membaca Al-Qur`an, tapi berharap harta. Kita membangun masjid, tapi berharap ada kelebihan dana, lantas mengambilnya dengan dalih ganti keringat. Padahal Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkata, “Tidaklah orang yang berperang di jalan Alloh kemudian ia mendapatkan harta rampasan perang (lalu mengambilnya untuk kepentingan diri dan kenikmatan dunia) kecuali ia telah mempercepat duapertiga pahala (yang mestinya didapat utuh) di akhirat sehingga masih tersisa sepertiga. Apabila tidak mengambil ghanimah, semua pahala akan ia dapatkan.” [Shahih: Shahih Muslim no. 1906]
Bagaimana bisa kita akan meraih surga tertinggi yang kita idam-idamkan, dan terbebas dari neraka yang ganas, kalau ibadah saja masih terengah-engah, dosa saja masih nikmat terasa, dunia saja masih menjadi fokus asa, kepada Alloh saja masih sering kita lupa? Inilah kelemahan kita yang lain. Terbiasa dengan dosa-dosa yang dianggap remeh, sehingga tidak ada rasa takut akan adzabnya, atau mengira pasti segera diampuni Alloh subhanahu wa Ta’ala.
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan wejangan, “Jauhilah oleh kalian dosa-dosa yang dianggap remeh. Sesungguhnya dosa-dosa yang dianggap remeh itu seperti sebuah kaum yang singgah di sebuah lembah. Mereka semua mencari kayu bakar, maka si A datang membawa sepotong kayu, si B datang membawa sepotong kayu, dan demikian juga yang lain. Akhirnya dengan kayu-kayu yang terkumpul, mereka bisa memasak roti sampai matang. Sesungguhnya bila dosa-dosa yang dianggap remeh itu diberi hukuman oleh Alloh, niscaya akan membinasakan pelakunya.” [Shahih: Musnad Ahmad. Ash-Shahihah no. 389; Shahih Al-Jami’ no. 2866, 2867]
Demikianlah, bahwa kita adalah hamba Alloh, kewajiban kita dalam hidup ini hanyalah mempersembahkan ibadah yang terbaik kepada Alloh sesuai ketentuan dari-Nya dengan penuh cinta, pengagungan, dan asa. Asa akan rahmah, ridha, maghfirah, dan karunia Alloh Ta’ala.
Tak perlu kita mengingat-ingat ibadah yang pernah kita sukses mengoptimalkan pelaksanaannya. Yang selalu kita ingat semestinya adalah keburukan kita, agar kita tidak ‘ujub dan lengah, agar semangat kita terjaga dan taubat tidak tersendat. Biarlah Alloh yang menilai seberapa bermutunya ibadah kita, dan biarlah kita sibuk dengan bertaubat dan terus memperbagus ibadah kita kepada Alloh.
Andaipun kita telah mampu berupaya seoptimal mungkin dalam beribadah kepada Alloh, dan nampaknya kita telah berada di puncak penghambaan, ingatlah, sehebat apapun ibadah kita kepada Alloh, kita masih saja bergelimang dosa yang tidak kita sadari.
Lupa dari Alloh misalnya. Lupa dari Alloh, barang sedetik saja, itu sudah merupakan dosa. Lemah semangat ibadah, walau semenit saja, itu sudah kelalaian. Terlintas niat untuk berbuat dosa, meski sekejap saja, itu sudah tercatat sebagai sebuah maksiat. Apalagi merasa telah sukses mengoptimalkan ibadah, itu sudah keterpurukan yang paling memalukan dan memilukan. Alloh pun telah mengingatkan, “Sekali-kali tidak, manusia itu belum melaksanakan apa yang diperintahkan Alloh kepadanya (secara optimal).” [QS. ‘Abasa: 23]
Tidak ada gunanya membanggakan keshalihan diri. Tidak ada untungnya merasa diri telah suci. Alloh Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan adzab Rabb mereka…. mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mengerjakan kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperoleh (balasan/pahala)nya.” [QS. Al-Mu`minun: 57, 61]
Sumber : Majalah Lentera Qolbu tahun ke-2 Edisi ke-6
Leave a Reply