Kita layangkan sejenak pandangan ke alam sekitar. Nafas kehidupan mendesah pada setiap makhluk yang bernyawa. Semuanya mendapatkan jatah hidup sesuai dengan porsi dan hakikat dirinya. Hewan mempunyai alokasi waktu yang telah ditentukan untuk bisa menghirup udara bumi. Dan bila telah habis jatah hidupnya, iapun akan segera meninggalkan alam yang selama ini menjadi lahan dan rimba hidupnya. Sekilas tak ada bedanya dengan roda dan siklus kehidupan manusia. Ia lahir, berkembang, melanglang ke sana ke mari menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan dan aktivitas sampai ransumnya untuk tetap eksis di bumi ini habis, yang menghantarkannya untuk mendatangi telaga kematian. Karena semua makhluk pasti akan meminum dari telaga kematian ini.
Sekilas memang tak ada beda. Namun justru kalau manusia menjadikan hidupnya hanya sebagai rutinitas belaka tanpa ada misi dan visi dalam hidupnya, tanpa berpegang pada prinsip-prinsip agung yang diajarkan Alloh dan Rosul-Nya, apa kira bedanya dengan sosok binatang, yang terlahir, hidup, menyaluarkan hasrat instinknya, kemudian mati tanpa meninggalkan nama?! Ia akan menjadi sosok manusia berwatak binatang. Semua kecenderungannya bernuansakan hewani.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Alloh) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Alloh), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Alloh). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf:179)
Hadirkan Obsesi Hidup Hakiki
Sebenarnya aktivitas rutin manusia tak ada salahnya. Hanya saja, bila rutinitas ini berjalan tanpa ditopang ada tendensi mulia, tanpa ada tujuan luhur, tanpa mendapat arahan dari sinar agama dari Alloh dan Rosul-Nya, ketika itulah hidupnya menjadi hampa. Sama dengan binatang yang menjalankan aktivitasnya untuk menjaga keeksistensiannya.
Mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya, bagaimana bisa mereka lebih sesat dari binatang ternak? Zamakhsyari seperti yang dikutip Asy-Syinqithi mengatakan: karena binatang ternak masih mau tunduk pada pemiliknya yang senantiasa memberinya makan dan memeliharanya. Ia bisa mengenal siapa yang berbuat baik kepadanya dan siapa yang suka jahil berbuat buruk padanya. Ia bisa mencari apa-apa yang bermanfaat baginya, dan menghindari apa-apa yang membahayakannya. Ia bisa tahu mana tempat yang merupakan ladang makanannya dan tempat minumnya. Ini keadaan binatang ternak. Sedangkan keadaan mereka yang ingkar, mereka tidak mau tunduk pada Pemilik mereka, yaitu Alloh. Mereka tidak mengenal kebaikan dari-Nya kepada mereka, tidak bisa membedakannya dengan perbuatan jahat setan yang merupakan musuh sejati mereka. Mereka tidak mau mencari pahala yang merupakan kemanfaatan yang paling agung, dan tidak mau untuk menjaga diri mereka sendiri dari siksaan-Nya yang merupakan marabahaya dan kebinasaan yang paling parah. Mereka tidak bisa mengambil petunjuk dari kebenaran ang sebenarnya itu adalah mata air yang lezat lagi mengenyangkan. (Adhwâ’ul Bayân 6/368).
Bahkan dikarenakan orang yang ingkar menyelewengkan penggunaan fasilitas hidayah yang ada pada dirinya, maka iapun meluncur ke jurang hina, lebih parah kehinaannya dari binatang yang tidak diberi fasilitas untuk bisa menerima taklif Alloh.
*Hidup di atas cahaya dari Alloh
Untuk meniti hidup, tentu semua manusia memerlukan penerang. Alam ini sebenarnya gelap dan kelam, bila tak disinari dengan cahaya dari Alloh. Alam akan menjadi ganas dan beringas, kala lengang dari ajaran agama Alloh. Oleh karena itulah, manusia yang berjalan di muka bumi ini tanpa mengambil obor dari ajaran Alloh dan Rosul-Nya, maka ia tak sampai pada daratan kebahagiaan. Dan hidupnya pun akan sia-sia belaka.
أَفَمَن شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ من رَّبِّهِ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Alloh hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Alloh. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az-Zumar:22)
Ini adalah dasar dari semua keberhasilan hidup, yang bila tak terpenuhi dalam diri seseorang, maka apapun perolehannya akan sia-sia belaka kelak, meski ia mendapat balasan instan di dunia dengan mendapatkan harumnya nama. Namun secara pasti, di akhirat, bila ia tak mau mengambil Islam sebagai jalan hidupnya, maka celakalah bagi mereka kelak di akhirat.
Bagaimanapun keadaan hamba, namun bila ia berjalan di atas pelita dari Robb nya, dadanya akan terasa lapang, hatinya pun tenang. Karena seorang mukmin bila benar-benar menghadirkannya, ia telah merasakan manisnya iman. Dan Rosul bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh, telah beruntung orang yang Islam, dan diberi rejeki yang berkecukupan, serta Alloh membuatnya menerima (qona’ah) terhadap apa yang telah Alloh berikan kepadanya. (HR. Muslim)
Ini gambaran orang yang berjalan di atas cahaya Alloh. Ada cahaya yang menyertainya dari Alloh, di mana ia berjalan berpedoman padanya. Orang-orang berjalan di tengah kegelapan buta, sedangkan ia diterangi cahaya iman. Dengan cahaya ini ia bisa melihat segala hal yang terkecil sekalipun. Bila cahaya ini menyorot suatu tindakan maksiat, maka cahaya inipun akan memberikan sinyal ke otak bahwa itu adalah pelanggaran dan mengundang murka-Nya.
Inilah Ibnul Qoyyim menggambarkan tentang gurunya; Syaikh Ibnu Taimiyyah: apabila kami tertimpa kesempitan dunia sedangkan kami ada di Damaskus, kamipun pergi untuk menziarahi beliau di tahanannya di Qal’ah. Maka demi Alloh, baru saja kami melihatnya, maka kesempitan duniapun sudah pupus dari diri kami.
Ia juga berkata: ketika kami melihat kepadanya, hati kami menjadi lapang, padahal dia tengah berada di tahanan, sedangkan kami orang bebas. Dan adalah beliau berkata kepada kami: orang yang dipenjara adalah orang yang dipenjara oleh hawa nafsunya. Dan orang yang ditahan adalah orang yang tertahan dari Tuhannya.
*Menjadikan kesempurnaan akhirat sebagai obsesi terbesarnya
Manusia hidup diusung oleh berbagai obsesi dan misi. Besar kecilnya obsesi seseorang, mulia dan hinanya obsesi hidup seseorang, sejauh itu pulalah kadar usaha yang ia kerahkan. Dan dari jenis obsesi dan misi hidupnya itu pulalah yang akan ia tuai kelak di kemudian hari.
Maka bila hidup manusia di muka bumi ini dikemudikan oleh obsesi duniawi, baik berupa kekayaan dunia, jabatan tinggi, karir dan prestige+, serta hal-hal serupa yang bermuara pada kebinasaan, maka apalah arti dari hidupnya di alam ini?! Bahkan sangat lebih baik baginya bila ia tak pernah terlahir ke muka bumi ini.
Namun lain halnya dengan para pencari kemuliaan sejati. Hidup baginya sangat berharga sekali. Salah ia melangkah, akan ia tanggung penyesalan dan penderitaan berkepanjangan yang mungkin tak akan pernah berakhir. Iapun selalu berusaha untuk menggapai kemuliaan dengan memancangkan kebahagiaan abadi sebagai terminal akhirnya. Karena bila seseorang telah mempertaruhkan dirinya dalam meraih kemuliaan, maka ia tak akan pernah rela selain dengan menggapai ‘bintang’. Dan bintang yang terpancang dalam citanya adalah kemuliaan hidup nan abadi di surga Alloh. Maka tak heran bila semua langkahnya selalu mencerminkan kemuliaan dan kesungguhan untuk meraih bintangnya. Ia tak mau keluar dari dunia dengan membawa kerugian.
Inilah Abu Bakar Ash-Shiddiq, seperti dalam riwayat Imam Muslim. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah bertanya: “Siapakah di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab: “Saya.” Beliau bertanya kembali: “Lalu siapakah di antara kalian yang turut mengiringi jenazah pada hari ini?” Abu Bakar menjawab: “Saya.” Beliau bertanya lagi: “Siapakah di antara kalian yang pada hari ini memberi makan orang miskin?” Abu Bakar kembali menjawab: “Saya.” Beliau bertanya kembali: “Siapakah di antara kalian yang menjenguk orang sakit?” Abu Bakar menjawab: “Saya.” Maka Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Tidaklah itu semua terhimpun pada diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.”
Siapakah yang meragukan kegigihan Abu Bakar? Beliau yang telah menjadikan akhirat sebagai obsesi hidupnya, sehingga tak heran bila Rosululloh n pun mengharapkan bahwa ia akan dipanggil masuk ke surga dari semua pintu-pintu surga. Dalam hadits Abu Huroiroh bahwa Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ أَنْفَقَ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ نُودِيَ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا خَيْرٌ فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّلَاةِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجِهَادِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الْجِهَادِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصِّيَامِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الرَّيَّانِ وَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الصَّدَقَةِ دُعِيَ مِنْ بَابِ الصَّدَقَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عَلَى مَنْ دُعِيَ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ مِنْ ضَرُورَةٍ فَهَلْ يُدْعَى أَحَدٌ مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ كُلِّهَا قَالَ نَعَمْ وَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menginfakkan dua pasang (dari perbuatan kebajikan) di jalan Alloh, ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga, wahai hamba Alloh, ini adalah kebaikan. Barangsiapa yang termasuk ahli sholat, ia dipanggil dari pintu sholat. Barangsiapa yang termasuk ahli jihad, ia dipanggil dari pintu jihad. Barangsiapa yang termasuk ahli puasa, ia dipanggil dari pintu Royyan. Barangsiapa yang termasuk ahli sedekah, ia dipanggil dari pintu sedekah. Lalu Abu Bakar a berkata: “Ayah ibuku sebagai tebusanmu wahai Rosululloh! Tak ada rugi bagi orang yang dipanggil dari (salah satu dari) pintu-pintu tersebut (atau maknanya: kalau sudah dipanggil dari salah satu pintu, itu sudah cukup, tidak perlu lagi untuk dipanggil dari pintu lainnya). Apakah ada seseorang yang dipanggil dari semua pintu-pintu tersebut?” Beliau menjawab: “Ya. Dan aku mengharapkan engkau termasuk di antara mereka.” (HR. Bukhori Muslim)
Inilah sosok yang menjadikan kehidupan akhiratnya sebagai obsesi utama dan pertamanya. Semua hidup ia dermakan untuk mendatangkan ridho dan cinta Alloh. Maka tidak mengherankan bila Rosululloh mengharapkan kalau Abu Bakar akan dipanggil dari semua pintu surga. Adapun kita, yang tak punya jaminan tiket ke surga, -hanya saja kita mengharap agar Alloh dengan kasih sayang-Nya berkenan untuk memasukkan kita ke dalam surga-Nya meski hanya dari satu pintu saja, dan itu kemenangan yang tiada tara, amiin-, sudah sepantasnya untuk menjadikan akhirat sebagai obsesi pertama dan utama dalam hidup. Dan ini menuntut kita agar obsesi terbesar kita terutama adalah obsesi kesuksesan hidup di akhirat kelak. Amin.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 04 Tahun 04
Leave a Reply