Agar Amal Tak Sia-sia (Bagian 2 : Keutamaan Niat dan Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi)
Keutamaan Niat
Allah berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَه
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (Al-Kahfi: 28)
Yang dimaksud iradah (mengharap) di sini adalah iradah yang berkenaan dengan niat. Dalam hadits Anas bin Malik disebutkan, “Sesungguhnya di Madinah tinggal beberapa kaum Selama kita lewati lembah, melalui suatu tempat untuk membuat mara orang-orang kafir, berinfak dan ditimpa kelaparan, pada hakikatnya mereka juga bersama kite meskipun mereka berada di Madinah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mereka bisa mendapatkan pahala seperti kami, padahal mereka tidak bersama kita?” Beliz menjawab, “Karena mereka tertahan udzur (suatu kondisi yang membuat mereka boleh tinggal di Madinah-edt)”
Sebagian salaf berkata, “Seringkali amalan yang kecil menjadi besar karena niat; demikian pula amalan besar menjadi kecil, juga karena niat.”
Yahya bin Katsir berkata, “Belajarlah niat, karena sesungguhnya ia lebih berat dibanding amal.”
Sebagian ulama mengatakan, “Perdagangan niat adalah perdagangan para ulama.” Maksudnya, para ulama lah yang tahu bagaimana cara mereka berinteraksi dengan Rabb mereka, dan mereka meraup keuntungan yang besar dari Allah. Karena, dalam satu ketaatan mereka bisa berniat dengan beberapa niat.
Orang yang pergi ke masjid, misalnya. Ia berniat mengunjungi Baitullah dan bermaksud mendatangi shalat jamaah yang pahalanya dua puluh tujuh kali lipat dibanding shalat sendirian. Kedatangannya ke masjid juga ia niatkan untuk mendengarkan dzikir dan nasihat dari para ulama, dan memanfaatkan ilmunya dengan melakukan amar makruf dan nahi mungkar.
Selain itu, karena masjid tidak lepas dari orang-orang yang kurang baik dalam melaksanakan shalat, ia berniat memberi manfaat kepada saudara seagamanya Sungguh, itu adalah keuntungan dan penolong untuk kehidupan akhirat. Dia juga berniat meninggalkan dosa karena malu kepada Allah. Yang perlu diingat, satu ketaatan bisa saja mengandung beberapa niat.
Perkara mubah dapat berubah menjadi amal baik dengan niat. Ini sebagaimana pernyataan sebagian ulama, “Sesungguhnya aku mengharap pahala dari tidurku seperti aku mengharap pahala dari ibadahku.” Di antara mereka ada yang memberi nasihat, “Janganlah kamu beramal kecuali disertai niat.”
Seorang hamba bisa menghadirkan niat dalam amalan-amalan mubah, agar menjadi
amalan qurban (amal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah). Misalnya memakai minyak wangi. Jika tujuannya hanya mencari kesenangan dan menikmati harumnya, tu mubah (diperbolehkan). Tetapi, jika ia berniat mengikuti sunnah Rasulullah amalan tersebut berubah menjadi qurbah.
Sebaliknya, bila niatnya untuk mencari simpati para wanita yang bukan mahram, mencari kebanggaan dan persaingan, hukumnya menjadi dosa. Pendek kata, dengan miat baik amalan mubah bisa menjadi qurbah, dan niat buruk akan mengubahnya menjadi maksiat.
Mengikuti Sunnah
Syarat diterimanya amal yang kedua adalah harus sesuai dengan sunnah Nabi Dasar hukum ini diambil dari hadits Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدُّ
“Barangsiapa yang membuat-buat hal baru dalam urusan ibadah yang tidak ada dasar hukumnya (bid’ah), maka ia tertolak “
Sementara menurut riwayat Muslim:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ
“Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah kami, maka ta tertolak.”
Hadits ini merupakan dasar yang agung diantara dasar-dasar Islam. Kalau hadits yang menyebutkan, “Sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat,” adalah sebagai neraca amalan dari sisi internal, hadits di atas adalah sebagai neraca amalan dari sisi eksternal Amal yang tidak didasari perintah Allah dan Rasul-Nya akan tertolak, sebagaimana orang yang melakukan amalan dengan tujuan selain Allah, tidak akan mendapat pahala. Dengan demikian, sabda beliau, yang tidak dudasarı perintah kami.” adalah syarat bahwa semua amal perbuatan hendaklah sesuai dengan syariat Islam. Hukum syariat yang berupa perintah dan larangan adalah hakim. Oleh sebab itu, amalan yang selaras dengan hukum-hukum Allah akan diterima. Sebaliknya, amalan yang keluar dari ketentuan syariat akan tertolak.
Nabi telah menunjukkan jalan yang seharusnya mereka lalui agar kelak pada hari kiamat tidak termasuk orang-orang yang terpedaya:
الَّذِينَ ضَلَّ سَعَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ تَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ تُحْسِنُونَ صُنعًا
“Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya” (Al-Kahfi: 104).
Beliau juga bersabda dalam hadits Irbadh bin Sariyah:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِش مِنْكُمْ يَرَى بَعْدِي اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بسنّتي وسنّة الخلفاء الراشدين المهديين وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنّوَاحِذ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَإِنَّ كُل بدعة ضلالة
“Siapa pun di antara kalian yang masih hidup, niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan setelah masaku. Karena itu berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnahku dengan gigi geraham. Dan hindarilah hal-hal baru dalam soal agama, karena semua yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” [1]
Ini adalah berita dari Rasulullah mengenai apa yang terjadi pada umatnya setelah masa beliau berlalu. Yaitu banyaknya perselisihan dalam masalah pokok agama dan cabang-cabangnya, juga dalam amal perbuatan, perkataan, dan keyakinan. Hal ini juga selaras dengan hadits beliau tentang perpecahan umatnya menjadi 73 golongan Semuanya masuk neraka, kecuali satu, yaitu kelompok yang konsisten dengan ajaran beliau dan para sahabat
Hadits ini mengandung perintah untuk berpegang teguh pada sunnah Rasulullah dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Pada saat terjadi perpecahan dan perselisihan sesudah masa beliau, sunnah adalah jalan yang harus dilalui. Hal itu meliputi keteguhan dalam berpegang pada sunnah beliau dan sunnah Khulafaur Rasyidin, yang berupa keyakinan, perbuatan, dan perkataan.
Inilah sunnah yang sempurna. Ulama salaf memutlakkan sunnah dengan ketiga cakupan tersebut. Sabda beliau, Gigitlah sunnah sunnahku dengan gigi geraham adalah kiasan yang menggambarkan kuatnya berpegang teguh pada sunnah. An- Nawajidz artinya gigi geraham.
Sabda beliau, Dan hindarilah hal-hal yang baru dalam agama, karena semua yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat” adalah peringatan bagi umat untuk tidak mengikuti hal-hal yang baru dan bid’ah. Hal itu dikuatkan dengan sabda beliau,” setiap bid’ah adalah sesat.”
Jabir menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda dalam khutbahnya:
إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيث كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٌ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Sejelek-jelek perkara adalah hal-hal yang baru dalam urusan agama, dan setiap bid’ah adalah sesat” [2]
Maksud dari sabda beliau, “setiap bid’ah adalah sesat,” merupakan salah satu bentuk jawami’ al-kalām (perkataan ringkas namun sarat makna), tak ada satu pun yang terkecuali. Hadits ini serupa dengan sabda beliau. “Barangsiapa yang membuat- buat hal baru dalam urusan ibadah yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia tertolak.
Karena itu, barangsiapa membuat-buat hal baru dalam urusan ibadah, dan menisbatkannya pada agama, sedangkan itu tidak ada dasar hukumnya, semua itu sesat dan agama Islam berlepas darinya. Tidak ada bedanya, baik masalah keyakinan, perbuatan atau perkataan, baik yang nampak maupun yang tersembunyi.
Mengenai perkataan ulama salaf yang menganggap sebagian bid’ah adalah baik, hanya berlaku pada arti bid’ah secara estimologi, bukan secara terminologi syari’ah
Misalnya, pernyataan Umar bin Khaththab, ketika mengumpulkan orang-orang untuk shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan satu imam dan satu masjid. Umar keluar dan melihat mereka yang sedang shalat, lalu berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”
Perbuatan ini meski sebelumnya tidak pernah dilakukan, tetapi ia mempunyai dasar hukum yang dijadikan rujukan. Di antara dasarnya adalah bahwa Nabi menganjurkan dan memerintahkan shalat tarawih pada bulan Ramadhan.
Pada masa Rasul, shalat tarawih dilakukan di masjid secara berkelompok dan sendiri-sendiri. Nabi shalat bersama para sahabat lebih dari satu malam. Beliau kemudian melarangnya dengan alasan khawatir jika shalat tersebut mereka anggap wajib, sehingga mereka berat untuk melaksanakannya.
Dasar hukum lainnya, Rasulullah memerintahkan agar mengikuti sunnah Khulafaur Rasyidin, dan ini sudah menjadi sunnah Khulafaur Rasyidin
Al-Hafizh Abu Na’im menceritakan bahwa Ibrahim bin Al-Junaid berkata, “Aku Pernah mendengar Imam Syafi’i bertutur, ‘Bid’ah itu ada dua macam: bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Hal-hal yang sesuai dengan sunnah adalah bid’ah terpuji, sedangkan hal-hal yang tidak sesuai dengan sunnah adalah bid’ah yang tercela. Imam Syafi’i berhujah dengan perkataan Umaras, ‘Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Ibnu Rajab is berkata, “Maksud perkataan Imam Syafi’i tersebut adalah bahwa dasar bid’ah yang tercela ialah hal-hal yang tidak mempunyai dasar hukum yang bisa dijadikan rujukan. Itulah bid’ah menurut terminologi syariat. Sedangkan bid’ah yang terpuji adalah hal-hal yang sesuai dengan sunnah. Yaitu segala hal yang memiliki dasar hukum dari sunnah yang bisa dijadikan rujukan. Bidan yang dimaksud hanyalah bid’ah secara etimologi, bukan secara syar’i karena kesesuaiannya dengan sunnah.
Pada masa sekarang, berdasarkan pengetahuan para ulama salaf, maka yang dinukil dari mereka tadi dijadikan batasan untuk membedakan pengetahuan yang ada pada masa mereka dan hal-hal baru yang terjadi setelah generasi mereka. Dengan demikian, bisa diketahui mana yang bid’ah dan mana yang sunnah.
Benar apa yang diceritakan Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya kalian pada hari ini berada di atas fitrah. Namun, kalian pasti akan berbuat hal baru (bidah) dan akan menyaksikannya Apabila kalian melihat hal baru dalam masalah agama, kembalilah pada ajaran generasi pertama.” Ibnu Mas’ud mengungkapkan perkataan ini pada masa Khulafaur Rasyidin.
Malik bercerita kepada Ibnu Humaid, “Hawa nafsu ini sedikit pun tidak ada pada masa Nabi Abu Bakar, dan Utsman” Malik mengisyaratkan bahwa yang dimaksud hawa nafsu di sini adalah peristiwa perselisihan dalam pokok agama, seperti masalah-masalah kaum Khawarij, Rafidhah (Syiah), Murji’ah, dan kelompok lain yang mengkafirkan kaum muslimin serta menghalalkan darah dan harta benda mereka.
Mereka berasumsi bahwa pelaku dosa kekal di neraka, atau menganggap orang- orang tertentu dari umat ini fasik. Sebaliknya, mereka juga berasumsi bahwa perbuatan dosa atau maksiat tidaklah membahayakan pelakunya, dan tak seorang pun dari ahli tauhid yang masuk neraka
Allah telah memerintahkan untuk mengikuti sunnah Nabi dalam firman-Nya
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah amat keras azab-Nya” (Al-Hasyr: 7)
Allah berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).
Lebih dari itu, Allah menjadikan mengikuti sunnah Nabi sebagai bukti cintanya kepada-Nya, sehingga Dia berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رحِيم
“Katakanlah, Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali ‘Imran: 31)
Hasan Al-Basri menegaskan, “Orang-orang mengaku cinta kepada Allah, lalu Allah menguji mereka dengan ayat ini, “Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku….”
Az-Zuhri berkata, “Berpegang teguh pada sunnah adalah keselamatan, seperti kata Imam Malik bahwa sunnah bagaikan perahu Nabi Nuh Siapa yang naik perahu tersebut akan selamat dan siapa yang tidak mau naik akan celaka.”
Sufyan berkata, “Perkataan saja tidak akan diterima kecuali disertai dengan amal perbuatan. Perkataan dan amal tidak akan lurus melainkan dengan niat. Perkataan, amal, dan niat juga tidak akan lurus kecuali selaras dengan sunnah.”
Ibnu Syaudzab berkata, “Termasuk nikmat Allah kepada pemuda adalah apabila ia beribadah sesuai dengan pemilik sunnah yang membawanya”
Al-Mu’tamar bin Sulaiman berkata, “Aku pernah mendatangi ayahku ketika aku sedang bersedih. Ayah bertanya, ‘Apa yang terjadi padamu?” Aku menjawab, “Temanku meninggal. “Meninggal dengan menetapi sunnah?” katanya. “Iya,” jawabku. Ia berkata, ‘Bersedihlah karena kepergiannya.”
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Berwasiatlah kebaikan kepada ahli sunnah, karena mereka ghuraba’ (orang-orang yang asing)”
Diambil dari buku Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa dalam Islam) terjemahan kitab Al-bahru Raiq fiz zuhdi war raqaaiq karya Dr. Ahmad Farid – Jakarta: Ummul Qura, 2012.
Oleh: Sahl Suyono (Staf Pengajar Ponpes Darul-Qur’an wal Hadits OKU Timur)
[1] HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi
[2] HR. Muslim
BACA JUGA :
Leave a Reply