Oleh : Ust Ahmad Khaidir
Bulan Muharram adalah bulan yang agung dan penuh berkah. Ia adalah bulan urutan pertama
dalam Islam dan salah satu bulan haram sebagaimana firman Alloh,
yang artinya “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Alloh ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Alloh pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu mendzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” (QS. At-Taubah: 36).
Dalam hadits dari Abu Bakrah dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam,
beliau bersabda : “… Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga (bulan) berurutan ; Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muharram. Sedangkan Rajab terhimpit antara bulan Jumaada dan Sya’ban.” (HR. Bukhori 2985)
Dan dinamakan Muharram karena statusnya sebagai bulan yang diharamkan dan adanya penekanan atas keharamannya. Mengenai firman Alloh : “Maka janganlah kamu mendzalimi dirimu dalam (bulan yang empat ) itu”. Dari Ibnu ‘Abbas, ia mengatakan : “(yaitu) Pada semua bulan, lalu Alloh mengkhususkan darinya empat bulan yang kemudian Alloh jadikan haram dan Dia besarkan keharamannya dan menjadikan dosa di dalamnya lebih besar dan amal sholih dan pahala juga lebih besar (dari pada selain di bulan haram).” Berkata Qotadah mengenai ayat ini: “Sesungguhnya kedzaliman pada bulan-bulan haram lebih besar kesalahan dan dosanya dari pada kedzaliman di bulan yang lainnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surat at-Taubah ayat 36).
Disunnahkannya Berpuasa
Disunnahkan memperbanyak puasa sunnah pada bulan Muharram, khususnya hari kesembilan dan
kesepuluh.
Dari Ibnu Abbas menceritakan : Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam tiba di Madinah, lalu beliau melihat orang-orang yahudi berpuasa ‘Asyuro’ (`10 Muharram), maka beliau bertanya: “Hari apakah
ini?” Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik. Ini adalah hari di mana Alloh menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa berpuasa pada hari itu (karena syukur kepada Alloh).” Nabi bersabda: “Aku lebih berhak atas Musa daripada kalian”, maka Nabi berpuasa ‘Asyuro’ dan memerintahkan puasanya”. (HR. Bukhori 1860).
Dalam hadits lain dari Abu Hurairah, ia berkata: Rosululloh bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah bulan Muharram.” (HR. Muslim: 1163, Nasai di As-sunan Al-Kubrô:2905, Ibnu Majah: 1162 ).
Sabda Rosululloh: “Bulan Alloh”, penyandaran bulan ini kepada Alloh menunjukkan pengagungan.
Dalam hadits dinyatakan keutamaan puasa pada bulan Muharram. Dan masuk di dalamnya secara husus puasa ‘Âsyûrô’, di samping juga ada keutamaan puasa di seluruh hari bulan Muharram. (Mirâtul Mafâtîh 7/ 43 dengan penyesuaian).
Berkenaan dengan puasa ‘Âsyûrô’ imam Nawawi berkata: ‘Âsyûrô’ dan Tâsû’â’ adalah dua isim yang bermadd ( bacaan panjang), dan ini adalah yang terkenal di kitab-kitab bahasa. Sahabat kami berkata: ‘Asyuro’ adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Tâsû’â’adalah hari kesembilan dari bulan muharram… dan ini adalah pendapat kebanyakan para ulama..” (Al-Majmû’).
Dari Ibnu Abbas berkata: “Rosululloh memerintahkan puasa hari ‘Âsyûrô’ (yaitu) hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (HR. Tirmidzi, ia berkata: “Hadits hasan shohih”)
Dalam riwayat dari ‘Abdullah Bin ‘Abbas, ia berkata:
“Tatkala Rosululloh puasa pada hari ‘Asyuro’ , lalu beliau memerintahkan untuk berpuasa (pada hari tersebut). Para sahabat berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ‘Âsyûrô’ itu hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nasrani”, maka Rosululloh bersabda: “Tahun depan insya Alloh kita akan puasa (juga) pada hari yang kesembilan”.
Berkata Ibnu ‘Abbas: “Sebelum tahun depan tiba,Rosululloh meninggal dunia. (HR. Muslim: 1134). Menurut Imam Syafi’i, para pengikutnya, Imam Ahmad, Ishaq dan yang lainnya, bahwa disunnahkan untuk berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh (bulan Muharram), karena Nabi berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat untuk berpuasa pada hari kesembilan (bulan Muharram).”
Oleh karena itu, puasa ‘Asyuro’ memiliki tingkatan. Tingkatan yang paling rendah adalah hanya berpuasa pada hari ‘Asyuro’ , dan tingkatan yang tinggi adalah puasa pada hari kesembilan dan ‘Asyuro’ , dan setiap bertambah banyak puasa di bulan Muharram maka itu lebih utama dan lebih baik.
Keutamaan ‘Asyuro’
Dari Abu Qotadah bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
“Puasa ‘Asyuro’ , sesungguhnya aku mengharap kepada Alloh (dengan puasa ‘Âsyûrô’ ) dapat menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim: 1162,Ahmad: 5/296,297).
Karena itu pantaslah bila Ibnu ‘Abbas menyatakan: “Saya tidak pernah melihat Rosululloh berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (‘Âsyûrô’ ) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya bulan Ramadhan).” (HR. Bukhori : 2006, Muslim: 1132).
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rosululloh bersabda: “Puasa yang paling utama setelah Ramadhan
adalah bulan Muharram.” (HR. Muslim: 1163, Nasai di Al-Kubra:2905, Ibnu Majah: 1162 ).
Berpuasa ‘Asyuro’ meskipun bertepatan pada hari Jum’at atau Sabtu
Ada larangan menyendirikan puasa hanya hari Jum’at saja atau hari Sabtu saja, kecuali puasa wajib. Akan tetapi akan hilang larangannya apabila menggabungkan satu hari kepada setiap kedunya (Jumat atau Sabtu), atau bertepatan dengan suatu kebiasaan syariat Islam seperti sehari puasa sehari buka (puasa Dawud), puasa nadzar, qadha, atau puasa yang disyariat seperti puasa ‘Arafah atau pusa ‘Asyuro’ … (Tuhfatul Mukhtâr jilid 3, bab puasa sunnah, Musykilul Âtsâr jilid 2 bab puasa hari sabtu.)
Puasa Hari Ke-11
Di atas telah disinggung disunnahkannya puasa 10 Muharram dan puasa 9 Muharram. Ibnu Abbas juga mengatakan: “Berpuasalah kalian hari ke-9 dan ke-10. Selisihilah kaum yahudi.” Ini adalah ucapan yang shohih berasal dari Ibnu Abbas. Adapun hadits yang mengatakan “Berpuasalah kalian sebelum itu satu hari (maksudnya sebelum puasa 10 Muharram), atau satu hari sesudahnya (tanggal 11 Muharram)” ini adalah hadits yang dhaif. Demikian juga hadits yang berbunyi: “Berpuasalah kalian satu hari sebelumnya dan satu hari sesudahnya.” Karena itu sebagian ulama memandang bahwa puasa hari ke-11 tidak berdasar; demikian pula puasa tiga harinya (9, 10, 11 Muharram). Kecuali bila diniatkan sebagai puasa tiga hari setiap bulan, terlebih lagi di bulan haram, di mana dianjurkan untuk berpuasa di dalamnya.
Adapun berpuasa tanggal 10 saja, di antara ulama ada yang memakruhkannya, karena menyerupai ahlul kitab. Ini pendapat yang masyhur dari Ibnu Abbas, dan ini madzhab Imam Ahmad dan sebagian Hanafiah. Ulama yang lain mengatakan tidak makruh, karena termasuk hari-hari yang utama. Dan kebanyakan ulama menyatakan itu makruh bagi orang yang mampu untuk menggabungkan tanggal 10 dengan hari lain. Namun hal itu tidak menafikan tergapainya pahala bagi berpuasa hari ke-10 saja. Dan dia mendapat pahala insya Alloh. Wallahu a’lam. (Minhatul Allâm; Abdullah Bin Shalih Al-Fauzan)
Perkara-perkara yang tak berdasar di bulan Muharram.
Dengan keutamaan yang telah Alloh karuniakan kepada kita yang terdapat pada bulan Muharram ini, khususnya di hari Asyura, maka kita berusaha mengerjakan amalan sholih yang sesuai dengan tuntunan Rosululloh n dengan disertai niat ikhlas hanya karena Alloh semata. Juga kita menjauhi segala hal yang tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh yang dikaitkan dengan bulan yang mulia ini. Di antara perkara yang tak ada dasar dan contohnya yang terkait dengan bulan ini adalah:
- Bid’ah Syi’ah.
10 Muharram adalah hari terbunuhnya Al-Husein Bin ‘Ali di padang Karbala. Oleh karena itu 10 Muharram (‘Âsyûrô’ ) dijadikan oleh Syiah sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sendiri, seperti membentuk kelompok-kelompok untuk pawai berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukul kepala dan badan dengan pedang sebagai ungkapan kesedihan dan penyesalan atas kematian Al-Husein. (At-Tasyayyu’
Wasy-Syi’ah, Ahmad Al-Kisrawiy Asy-Syi’iy, tahqiq Dr. Nasyir Al-Qifari, dengan sedikit ringkasan pen.)
- Bid’ah Orang yang tidak berilmu.
Sebagian kaum muslimin yang menisbatkan kepada Ahlussunnah dari kalangan yang tidak
berilmu, mereka menjadikan hari ini sebagai hari raya, hari suka cita, di antaranya:
- Melakukan ritual tertentu pada hari ‘Âsyûrô’ seperti sholat ‘Âsyûrô’ atau membaca dzikir-dzikir dan ritual lainnya yang tidak pernah dicontohkan Rosululloh dengan
mengaitkannya dengan hari ‘Âsyûrô’ . Dalil tentang sholat ‘Âsyûrô’ adalah palsu, seperti yang disebutkan oleh As-Suyuti di dalam Al-La’âli’ Al-Mashnû`ah (As-Sunan wal Mubtada’ât, 134) - Memakai celak (dengan meyakini ada keutamaan khusus saat itu)
- Mandi (dengan meyakini ada keutamaan khusus saat itu)
- Mewarnai kuku (dengan meyakini ada keutamaan khusus saat itu).
- Bersalam-salaman Imam Suyuti berkata: “Semua perkara ini (no.2-5) adalah bid’ah munkarah, yang didasarkan pada hadits palsu atas nama (Al-Amru bil lttibâ’, hal.88)
- Berhias dan memperbagus diri (dengan meyakini ada keutamaan khusus saat itu)
- Memberi makan seorang mukmin di malam ‘Âsyûrô’ . Mereka berdalih dengan hadits palsu dengan sanad dari Ibnu ‘Abbas yang mirip dengan haditsnya orang syiah yang berbunyi:
“Barangsiapa berpuasa pada hari ‘Âsyûrô’ dari bulan Muharram, maka Alloh memberinya (pahala) sepuluh ribu Malaikat, sepuluh ribu haji dan umrah dan sepuluh ribu orang mati syahid. Dan barangsiapa memberi buka seoarang mukmin pada malam ‘Âsyûrô’ , maka seakan-akan seluruh umat Muhammad berbuka di rumahnya sampai kenyang. (Hadits palsu dinyatakan oleh Imam As-Suyuti dan Asy-Syaukani, no.34, lihat Tanbîhul Ghôfilîn, 1/366). - Bersedekah kepada fakir miskin (dengan meyakini ada keutamaan khusus saat itu)
- Saling maaf-memaafkan.
- Mengusap-usap anak yatim.
- Membaca do’a ‘Âsyûrô’ . Seperti yang tercantum dalam kumpulan do’a, yang berisi minta panjang umur, kehidupan yang baik dan khusnul khotimah dan keyakinan bahwa barang siapa yang membaca do’a ‘Âsyûrô’ tidak akan meninggal pada tahun tersebut; itu adalah bid’ah yang (As-Sunan wal Mubtada’ât, Muhammad Asy-Syuqairi, hal.134)
- Menambah belanja dapur (dengan meyakini ada keutamaan khusus saat itu) Hal ini disandarkan pada riwayat yang mengatkan: “Barangsiapa yang meluaskan (nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Âsyûrô’ , maka Alloh akan melapangkan (rejekinya)selama setahun itu”. (HR. Thabrani, Baihaqi dan Ibnu Abdil Bar). Asy-Syaibani berkata: semua jalurnya lemah.
- Membaca “HasbiyAllôh wani`mal wakîl pada air kembang untuk obat dari berbagai penyakit.
- Keyakinan salah sebagian orang jawa (seperti kejawen) terhadap hari Asyura.
Mereka menamai bulan ini dengan bulan Suro yang mana di dalamnya dipenuhi dengan mitos dan khurafat. Contohnya adalah adanya keyakinan bahwa bulan Suro adalah bulan keramat, maka tidak boleh bersenang-senang di dalamnya, seperti larangan mengadakan acara pernikahan di dalamnya. Ini adalah keyakinan yang bisa mengantarkan pelakunya ke perbuatan syirik besar, na’udzubillah min dzalik. Demikian hal-hal yang berkaitan dengan hari ‘Âsyûrô’. Ringkas kata bahwa Islam hanya memberikan syariat puasa ‘Âsyûrô’ dengan satu hari sebelumnya. Semoga Alloh selalu memberikan hidayah kepada kita semua sehingga kita bisa menunaikan amalan puasa ‘Âsyûrô’ dan meraih pahalanya, yaitu diampuni dosa yang telah lalu. WAllohu a’lam bishshowâb. Walhamdulillah Robbil ‘âlamîn.
Maraji:
1. Fadhlu ‘Âsyûrô’Wa Syahrullahil Muharrom, Muhammad Sholih al-Munajjid.
2. Shohîh Fiqhis Sunnah. Jilid 2, Abu Malik Kamal Ibnu As-Sayyid Salim. Th. 2003. Al-Maktabah At-Taufiqiyyah. Dll.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 04 Tahun 02
Syukran atas ilmunya. Jazakallahu khairan…