Sunnah, juga Merupakan Wahyu – Segala puji hanya bagi Allah, Rabb alam semesta. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah Shallalahu Alaihi Wasallam, Nabi yang termulia. Begitu pula kepada keluarga beliau, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat tiba. Amma badu.
Sesungguhnya agama Islam telah sempurna, nyata, terang lagi jelas, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali pasti binasa. Dan Islam, adalah agama yang berlandaskan wahyu Allah Ta’ala; bukan berlandaskan akal fikiran maupun perasaan manusia. Barang siapa mengikuti wahyu, maka sesungguhnya ia berada di jalan yang lurus. Allâh ‘azza wa jalla berfirman:
فَاسْتَمْسِكْ بِالَّذِيْٓ اُوْحِيَ اِلَيْكَ اِنَّكَ عَلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ
Artinya: “Maka berpegang teguhlah kepada yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. (Qs az-Zukhruf/43:43).
Wahyu Allah merupakan kebenaran mutlak, tidak ada kedustaan dan kesalahan di dalamnya. Hal ini berbeda dengan akal dan fikiran manusia yang tidak ada jaminan kebenaran mutlak, bahkan fikiran seseorang itu sering berubah-ubah. Demikian juga fikiran manusia yang satu dengan lainnya, juga sering berbeda. Oleh karena itulah manusia itu sering berselisih.
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang kebenaran mutlak pada wahyu-Nya:
لَّا يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهٖ تَنْزِيْلٌ مِّنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
Artinya: “Kebatilan tidak datang kepadanya (Al-Qur’ân) baik dari depan maupun dari belakangnya. (Al-Qur’ân) diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Qs Fushshilat/41:42).
Dengan tegas Allah menyatakan, bahwa di dalam Kitab-Nya tidak terkandung kebatilan, baik saat diturunkan maupun sesudahnya. Kebatilan dalam arti kedustaan ataupun kesia-siaan.
Makna Sunnah¹
As-Sunnah, secara bahasa artinya ialah jalan atau ajaran, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah, Sunnah memiliki beberapa makna sebagai berikut.
- Makna Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqh.
Al-Amidi radhiallahu ‘anhu berkata: “Dalil-dalil syari’at yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang tidak dibaca, bukan merupakan mu’jizat, dan tidak termasuk mu’jizat.² Dan Sunnah ini mencakup perkataan-perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, perbuatan-perbuatan, dan taqrîr-taqrîr (ketetapan-ketetapan) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam”.³
Istilah Sunnah di sini, contohnya perkataan, “sumber aqidah dan hukum Islam ialah Al-Kitab dan Sunnah”, “kita wajib berpegang kepada Al-Kitab dan Sunnah”, dan semacamnya.
- Makna Sunnah menurut istilah ulama ahli hadits.
Yaitu apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan) beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sifat jasmani, atau sifat akhlak, perjalanan setelah bi’tsah (diangkat sebagai Nabi), dan terkadang masuk juga sebagian sebelum bi’tsah. Sehingga arti Sunnah di sini semakna dengan al-Hadits.
- Makna Sunnah menurut istilah ulama ahli fiqih.
Yaitu perkara yang pelakunya terpuji dan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang meninggalkannya tidak tercela dan tidak mendapatkan dosa. Istilah Sunnah menurut ahli fiqih ini semakna dengan mustahab, mandûb, tathawwu’, nafilah, muragh-ghab fihi, dan semacamnya.
Istilah as-Sunnah di sini, contohnya perkataan, “hukum shalat rawâtib adalah Sunnah, bukan wajib”, “pendapat yang râjih (kuat), hukum shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki adalah wajib ‘ain, bukan sunnah”, dan semacamnya.
- Makna Sunnah menurut istilah ulama aqidah atau ulama Salaf.
Yaitu bermakna jalan dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diikuti oleh para sahabatnya. Sunnah di sini kebalikan dari bid’ah. Oleh karena itu, banyak ulama pada zaman dahulu menulis kitab-kitab aqidah, dan mereka menamakannya dengan Sunnah. Misalnya, “as-Sunnah” karya ‘Abdullah bin Imam Ahmad, “as-Sunnah” karya al-Khallâl, dan lain-lain.
Adapun makna Sunnah yang dimaksudkan dalam tulisan ini, yaitu Sunnah menurut istilah ahli ushûl fiqh.
Sunnah, Juga Merupakan Wahyu
Allâh ‘azza wa jalla memerintahkan manusia agar mengikuti wahyu yang telah Dia turunkan kepada mereka melalui perantaraan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allâh ‘azza wa jalla berfirman:
اِتَّبِعُوْامَآ اُنْزِلَ اِلَيْكُمْ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَلَاتَتَّبِعُوْامِنْ دُوْنِه اَوْلِيَاۤءَۗ قَلِيْلًامَّاتَذَكَّرُوْنَ
Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”. (Qs al-A’raf/7: 3).
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk mengikuti apa yang diturunkan dari-Nya secara khusus, dan Dia memberitahukan bahwa barangsiapa. mengikuti selainnya, maka dia telah mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya”.⁴
Allah juga telah menjelaskan, apa yang Dia turunkan bukan hanya al-Kitab (Al-Qur’ân). Bahkan yang Allah turunkan ialah berupa al-Kitab (Al-Qur’ân) dan al-Hikmah (Sunnah).
Allâh ‘azza wa jalla berfirman:
وَٱذْكُرُوا۟ نِعْمَتَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَآ أَنزَلَ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلْكِتَٰبِ وَٱلْحِكْمَةِ يَعِظُكُم بِهِۦ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah (Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs al-Baqarah/2: 231).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: “Dan ingatlah nikmat Allah kepada kamu”, yaitu Dia mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa petunjuk dan penjelasan-penjelasan, “dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah”, yaitu Sunnah, “Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu”, yaitu Allah memerintah kamu, melarang kamu, dan mengancam kamu dari melakukan perkara-perkara yang haram.⁵
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Allah menyebutkan al-Kitab, yaitu Al-Qur’ân, dan menyebutkan al-Hikmah. Aku telah mendengar orang yang aku ridhai, yaitu seseorang yang ahli ilmu Al-Qur’ân berkata, Al-Hikmah ialah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam’.” ⁶
Bukti nyata bahwa maksud dari al-Hikmah yang diturunkan Allah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ialah Sunnah yaitu yang dibacakan di rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah Al-Qur’ân dan Sunnah. Sementara Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْنَ مَايُتْلٰى فِيْ بُيُوْتِكُنَّ مِنْ اٰيٰتِ اللّٰهِ وَالْحِكْمَةِۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ لَطِيْفًاخَبِيْرًا
Artinya: “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kamu (para istri Nabi) dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (Sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui”. (Qs al-Ahzab/ 33: 34).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan makna ayat ini: “Yaitu amalkanlah (wahai istri-istri Nabi) apa yang diturunkan Allah Tabaraka wa Ta’ala kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah-rumah kalian, yang berupa Al-Kitab dan Sunnah”.⁷
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberitakan bahwa beliau diberi al-Kitab’ dan yang semisalnya, yaitu Sunnah. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, sama-sama wajib diikuti.
Penulis kitab ‘Aunul-Ma’bûd Syarh Sunan Abi Dâwud mengatakan: “(Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) ‘aku diberi al-Kitab’, yaitu Al-Qur`ân, ‘dan (diberi) yang semisalnya’, yaitu wahyu batin yang tidak dibaca, atau penjelasan wahyu zhahir, dengan menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambah, mengurangi, atau hukum-hukum, nasihat-nasihat, atau perumpamaan-perumpamaan, yang menyerupai Al-Qur`ân dalam masalah kewajiban yang diamalkan, atau dalam hal kedudukannya”.
Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini memungkinkan dua makna. Pertama, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diberi wahyu batin yang tidak dibaca, seperti diberi wahyu zhahir yang dibaca. Kedua, maknanya, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diberi al-Kitab yang merupakan wahyu yang dibaca, dan diberi penjelasan semisalnya. Yaitu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam diizinkan menjelaskan yang ada di dalam al-Kitab, sehingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan keumuman, mengkhususkan, menambahkan, sehingga beliau mensyari’atkan sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Kitab. Maka jadilah hal itu, dalam masalah kewajiban berhukum dan keharusan mengamalkannya seperti wahyu yang zhahir yang dibaca”. ¹⁰
Dengan demikian, Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berasal dari Allah Ta’ala sebagaimanan Al-Qur’ân. Hassan bin ‘Athiyah rahimahullah berkata:
كَانَ جِبْرِيلُ يَنْزِلُ عَلَى النَّبِيِّ بِالسُّنَّةِ كَمَا يَنْزِلُ عَلَيْهِ بالْقُرْآنِ
Artinya: “Dahulu, Malaikat Jibril turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan membawa Sunnah, sebagaimana ia turun membawa Al-Qur’ân.”¹¹
Kedudukan As-Sunnah Sama dengan Al-Qur’an dalam Hujjah
Setelah mengetahui bahwasanya wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada dua, selain Al-Qur’ân atau al-Kitab, yang merupakan wahyu zhahir yang dibaca, juga as-Sunnah yang merupakan wahyu batin yang tidak dibaca, sehingga kedudukan-keduanya ini satu derajat dalam hal hujjah dan sumber aqidah dan hukum, karena keduanya sama sebagai wahyu Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, termasuk perkara yang pantas untuk diperingatkan, yakni pendapat sebagian ahli ushul fiqih yang menyatakan bahwa kedudukan Sunnah berada di bawah Al- Qur’an dalam pengambilan sumber hukum. Sehingga pendapat ini memunculkan prinsip yang tidak benar pada sebagian umat Islam; misalnya hadits yang shahîh, jika bertentangan dengan Al-Qur’ân maka hadits itu berarti hadits lemah dan ditolak. Kemudian mereka menggunakan akal fikirannya sendiri, atau bahkan kebodohannya untuk menghukumi sesuatu hadits bertentangan dengan ayat Al-Qur’ân. Dari sinilah, kemudian timbul berbagai penyimpangan.
Oleh karena itu, kami ingatkan bahwasanya Sunnah juga merupakan wahyu Allah, sehingga tidak akan bertentangan dengan Al-Qur’ân. Jika ada hadits yang telah memenuhi syarat shahih, tetapi menurut akal, seolah-olah hadits itu bertentangan dengan Al-Qur’ân, maka hendaklah kita mendahulukan naql (wahyu) daripada akal. Demikian ini merupakan prinsip Ahlus-Sunnah wal- Jama’ah.
Imam Abul-Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah berkata: “Ketahuilah bahwasanya madzhab (jalan) Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (menyatakan), akal tidaklah mewajibkan sesuatu kepada seorangpun, tidak menghilangkan sesuatu darinya, tidak ada peran bagi akal dalam menghalalkan dan mengharamkan, menganggap baik dan menganggap buruk.¹² Seandainya tidak ada penjelasan dari agama, maka tidak ada sesuatu pun yang wajib atas diri seseorang, dan mereka tidak terkena pahala atau siksa”.
Imam Abul-Muzhaffar as-Sam’ani rahimahullah juga berkata: “Ahlus Sunnah mengatakan, prinsip dalam beragama adalah ittiba` (mengikuti dalil wahyu), sedangkan akal mengikutinya. Seandainya prinsip agama itu berlandaskan akal, maka sesungguhnya manusia tidak membutuhkan wahyu dan nabi-nabi. Demikian juga makna larangan dan perintah (dari Allah lewat perantaraan para nabi) menjadi sia-sia. Dan setiap orang akan berbicara sesuai yang ia kehendaki”.¹³
Syaikh ‘Abdul-Ghani ‘Abdul-Khaliq rahimahullah berkata: “Sunnah dengan al-Kitab berada pada satu derajat. Dari kedua sumber ini diambillah sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen) dalam menentukan hukum-hukum syari’at. Untuk menjelaskan hal ini, kami katakan: ‘Termasuk perkara yang telah diketahui, tidak ada perselisihan bahwa al-Kitab (Al-Qur`ân) memiliki keistimewaan dan kelebihan di atas Sunnah; dengan lafazhnya yang diturunkan dari sisi Allah, membacanya merupakan ibadah, merupakan mu’jizat (perkara luar biasa yang melemahkan) manusia dari membuat yang semisalnya. Sedangkan Sunnah, dilihat pada sisi ini, keutamaannya berada di bawah Al-Qur`ân.
Akan tetapi, hal itu tidak menyebabkan keduanya berbeda keutamaannya dalam masalah penggunaan sebagai hujjah. Yaitu menganggap kedudukan Sunnah di bawah Al-Qur’ân dalam penggunaan sebagai ‘ibrah (penilaian) dan hujjah (argumen); sehingga seandainya terjadi pertentangan, maka Sunnah disia-siakan, dan hanya Al-Qur’ân yang diamalkan.
Sesungguhnya kedudukan Sunnah itu sederajat dengan al-Kitab (Al-Qur’ân) dalam pengambilannya sebagai hujjah. Dijadikannya al-Kitab sebagai hujjah, karena ia merupakan wahyu dari Allah…, dan dalam masalah ini, as-Sunnah sama dengan Al-Qur’ân, karena as-Sunnah juga merupakan wahyu seperti halnya Al-Qur’ân. Sehingga wajib menyatakan, dalam hal i’tibar, Sunnah tidak berada di belakang Al-Qur’ân”.¹⁴
Oleh karena itu, Al-Qur’ân dan Sunnah merupakan dua perkara yang saling menyatu, tidak terpisah, dua yang saling mencocoki, tidak bertentangan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Artinya: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.¹⁵
Kesimpulan:
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa Sunnah merupakan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana Al-Qur’ân. Oleh karena itu, keduanya memiliki kedudukan yang sama sebagai hujjah (argumen) dalam agama, dan wajib diikuti.
Wallahu a’lam bishshawwab.
Referensi:
Kejahatan Terhadap Wahyu di susun oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari Majalah As-Sunnah EDISI 12/Tahun XI/1429H/2008M
Diringkas oleh : Sherly Marsella (Pengabdian Ponpes Darul Quran Wal-Hadits OKU Timur)
BACA JUGA:
Leave a Reply