40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 4)

40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah 4

40 Hadits Pilihan Pembentuk Karakter Muslimah (Bagian 4) –

HADITS KE-8

Dari Asma` binti Abu Bakar Radhiyallahu Anha, dia berkata,

جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ: إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْخَيْضَةِ فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ؟ قَالَ: تَحْتُهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيْهِ.

Artinya: “Seorang wanita datang kepada Nabi, kemudian ia berkata, ‘Salah seorang dari kami ada yang bajunya terkena darah haid. Apa yang harus dia perbuat dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Dia menggosok darah tersebut, kemudian mencucinya dengan air, kemudian membilasnya, lalu dia boleh shalat dengan pakaian tersebut.” (shahih, HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dll).

Penjelasan:

Hadits ini menunjukkan kenajisan darah haid dan kewajiban mencucinya, serta sungguh-sungguh dalam menghilangkan darah tersebut dengan cara yang telah disebutkan, yakni menggosok darah, mencucinya dengan air, dan membilasnya.

Al-Khaththabi dalam Ma’alim as-Sunan berkata pada juz, hal. 112 “Arti الْقَرْصُ adalah seseorang memegang sesuatu dengan jari jemarinya, kemudian menyikat dan menggosoknya. Adapun اَلنَّضْحُ adalah menyiramkan air, atau bisa juga mengandung arti membilas dan menuangkan air.”

Al-Hafizh berkata dalam Kitab Fath al-Bari, “Kata تَحِيضُ فِي التَّوب bermakna darah haid mengenai pakaian, نَحْتُهُ bermakna menggosok dan mengeriknya, sedangkan تَقْرُصُهُ bermakna menggosok dan memijat bagian kain yang terkena darah dengan ujung jari tangan agar bersih dan keluarlah darah yang telah diserap oleh kain tersebut, kemudian makna تَنْضَحُهُ jika kembali kepada tempat darah, maka yang dimaksud adalah mencuci, dan jika kembali kepada pakaiannya, maka bermakna membilas.”

Ash-Shan’ani dalam Subul as-Salam berkata pada juz 1, hal. 68, “Hadits ini menunjukkan bahwa darah haid itu najis, dan kita wajib mencuci dan sungguh-sungguh dalam menghilangkan darahnya berdasarkan adanya perintah untuk dikerik dan digosok serta dibilas untuk menghilangkan bekas darahnya. Zahir hadits ini menunjukkan bahwa tidak wajib selain apa yang disebutkan di dalam hadits, walaupun dzatnya masih berbekas, sehingga tidak harus melakukannya berulang-ulang untuk menghilangkannya karena tidak disebutkan dalam hadits ini, yaituhadits Asma’, dan itulah tempat penjelasannya dan juga karena ada (penjelasan) dalam riwayat lain,

وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ.

Artinya: ‘Dan bekasnya tidaklah membahayakanmu’.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 365) dari Khaulah binti Yasar).

Saya mengatakan bahwa pernyataan ini mengandung kritik, karena dalam satu hadits shahih ada perintah untuk memakai daun bidara, dan daun ini termasuk dalam benda kesat (yang dapat membersihkan noda), yaitu hadits Ummu Qais binti Mihshan:

أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ، قَالَ: حُكِيْهِ بِضِلَعٍ وَاغْسِلِيْهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ

Artinya: “Dia bertanya kepada Rasulullah tentang darah haid yang mengenai pakaian, beliau menjawab, ‘Keriklah dengan kayu ranting, lalu cucilah dengan air dan daun bidara’.” Sedangkan Hadits Khaulah binti Yasar yang diriwayatkan at-Tirmidzi dibawakan kepada pengertian bahwa apabila telah memakai benda kesat (yang dapat membersihkan noda), namun bekas najis tersebut tidak hilang. Wallahu a’lam.

Imam al-Khaththabi mengatakan dalam Kitab Ma’alim as-Sunan, juz 1, hal. 113, “Sebenarnya perintah menggosok (darah haid) dengan kayu ranting adalahagar darah yang menempel pada kain bisa hilang, kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan bekas najis tersebut.”

Aisyah pernah ditanya oleh Mu’adzah tentang darah haid yang mengenai pakaian. Dia menjawab:

تَغْسِلُهُ فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ أَثَرُهُ فَلْتُغَيِّرُهُ بِشَيْءٍ مِنْ صُفْرَةٍ.

Artinya: ‘Hendaklah kamu mencucinya, lalu apabila bekasnya belum hilang, maka hendaklah kamu merubah warnanya dengan memakai sesuatu yang berwarna kuning (seperti za’faran)’.” (shahih, disebutkan dalam Syarh as-Sunnah mengatakan pada juz 2, hal. 77)

HADITS KE – 9

Dari Aisyah, dia berkata:

كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ يَسْتَاكُ فَيُعْطِينِي السَّوَاكَ لِأَغْسِلَهُ فَأَبْدَأُ بِهِ فَأَسْتَاكُ ثُمَّ أَغْسِلُهُ وَأَدْفَعُهُ إِلَيْهِ.

Artinya: “Nabi Allah pernah bersiwak kemudian memberikannya kepadaku agar aku mencucinya, maka aku mulai memakainya dan bersiwak, kemudian aku mencuci siwak tersebut dan memberikannya kepada beliau.” (Diriwa- yatkan oleh Abu Dawud).

Penjelasan:

Hadits ini menerangkan diperbolehkannya memakai siwak orang lain, tentunya dengan seizin pemilik nya, namun disunnahkan sebelum dipakai agar dicuci dahulu kemudian memakainya. Keterangan ini diambil dari Kitab Ma’alim as-Sunan, karya al-Khaththabi, juz 1, hal. 30.

Dalam Kitab Shahih al-Bukhari, juz 8, hal. 136 dan di dalam Shahih Muslim, ada hadits yang menerangkan masalah tersebut, hal itu terjadi saat Rasulullah sakit menjelang wafat, ketika itu Abdurrahman bin Abu Bakar masuk menemui Rasulullah, sedangkan Rasulullah sedang menyandarkan kepala beliau kepada Aisyah Waktu itu Abdurrahman membawa siwak yang masih basah yang biasa dipakainya. Beliau mengarahkan pandangannya ke arah Abdurrahman, lalu Aisyah mengambil siwaknya kemudian meremukkan (ujung) siwak tersebut dengan mulutnya dan melembutkannya. Kemudian memberikannya kepada Rasulullah lalu be liau menggunakannya.

HADITS KE – 10

Dari Ummu Salamah, dia berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا سَمِعْتُ اللهَ ذَكَرَ النِّسَاءَ فِي الْهِجْرَةِ بِشَيْءٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى : وَأَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى

Artinya: “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, saya belum pernah mendengar Allah menyebut (keutamaan) wanita dalam berhijrah.” Lalu Allah menurunkan ayat, “Sesungguh- nya Aku tidak akan menyianyiakan amalan orang yang beramal dari kalian; baik laki-laki atau perempuan.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya). 14 Penjelasan:

Makna ayat tersebut adalah bahwa setiap yang beramal akan dibalas sesuai dengan perbuatannya, baik laki-laki maupun perempuan. Lihat tafsir ayat ini dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 182.

HADITS KE – 11

Dari Anas hadits panjang ini diriwayatkan secara marfu’ dari ceramah Nabi terhadap Aisyah,

يَا عَائِشَةُ، لَا تَرُدِي الْمِسْكِينَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ يَا عَائِشَةُ، أَحِبِي الْمَسَاكِينَ وَقَرِبِيْهِمْ، يُقَرِّبُكِ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.

Artinya: “Wahai Aisyah, janganlah kamu menolak (untuk memberi) orang miskin walau hanya dengan setengah buah kurma. Wahai Aisyah cintailah orang-orang miskin, dan dekatilah mereka, niscaya Allah akan mendekatimu pada Hari Kiamat.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi). 15

15 Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, 4/2352. Hadits ini dha’if (lemah) ka rena ada Tsabit bin Muhammad al-‘Abid al-Kufi, dia shaduq, namun sering salah dalam (meriwayatkan) beberapa hadits. Dan al-Harits bin an-Nu’man al-Laitsi seorang yang dhaif sebagaimana yang di katakan Ibnu Hajar dalam Kitab at-Taqrib, akan tetapi hadits ter sebut memiliki banyak hadits syahid di dalam kitab-kitab shahih der dat lainnya yang bisa mengangkat delajat hadits tersebut ke derajat shahih. Wallahu a’lam.

HADITS KE – 12

Dari Usamah bin Zaid, dia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ، فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينَ، وَأَصْحَابُ الْجَدِ مَحْبُوسُوْنَ، غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ، وَقُمْتُ عَلَى بَابِ النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ.

Artinya: “Aku berdiri di depan pintu surga, maka kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah orang-orang miskin, dan orang-orang kaya tertahan (karena lama dihisab), tapi para peng- huni neraka dari mereka telah diperintahkan untuk masuk ke dalam neraka. Dan aku berdiri di depan pintu neraka, ternyata kebanyakan yang masuk ke dalamnya adalah kaum wanita.” (Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani; al- Bukhari dan Muslim). 16

16 Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahihnya, no. 5196; Muslim, no. 2736; dan Imam Ahmad, 5/205-209. Juga, diriwayatkan dari hadits Imran bin Hushain yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, no. 5198; dan Ahmad, 4/429. Juga, Imam Muslim, no. 907; dan Imam Ahmad, 1/234 meriwayatkan dari hadits Ibnu Abbas yang serupa dengan hadits di atas.

Penjelasan

Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari mengutip keterangan Imam al-Qurtubi خاش, “Sesungguhnya kaum wanita menjadi penghuni surga yang paling sedikit, karena sangat mudah dikalahkan oleh hawa nafsu dan lebih condong terhadap gemerlapnya perhiasan dunia, dan berpaling dari kehidupan akhirat, disebabkan akal mereka yang kurang (lebih mengedepankan emosi dan perasaan) dan cepat tertipu daya.

Kata أَصْحَابُ الْجِدِ bermakna orang-orang kaya, dan kata مَحْبُوسُوْنَ َ bermakna mereka tercegah masuk surga bersama orang-orang fakir, disebabkan adanya penghitungan terhadap harta mereka. Dan tampaknya peristiwa itu terjadi pada Qantharah (setelah melintasi jembatan ash-Shirath). Lihat Kitab Fath al-Bari, juz 11, hal. 420.

Bersambung………

 

REFERENSI:

Diringkas oleh : Anggi Abu Rayyan pegawai ponpes DQH

Referensi : 40 hadits pilihan pembentuk karakter muslimah oleh al ustadz Mansyur Bin Hasan Al-abdullah

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.