HUKUM HANYA MILIK ALLAH. Allah menciptakan makhluk dengan tujuan agar mereka menyembah-Nya saja. Dia mengutus para rasul-Nya untuk mengajar manusia, kemudian menurunkan kitab-kitab suci kepada mereka, agar mereka dapat memberikan hukum (keputusan) yang benar dan adil di tengah-tengah manusia. Hukum tercermin dalam firman Allah dan sabda Nabi. Hukum-hukum tersebut meliputi berbagai masalah, termasuk ibadah, muamalah, aqa’id (kepercayaan), tasyri (penetapan syariat), siyasah (politik), dan berbagai masalah manusia lainnya.
- Hukum-hukum aqidah
Hal pertama yang diserukan oleh para rasul adalah meluruskan aqidah dan mengajak manusia kepada tauhid.
Nabi Yusuf misalnya, ketika di penjara mengajak kedua sahabatnya kepada tauhid, ketika mereka bertanya kepadanya tentang ta’bir (tafsir) mimpi. Sebelum Nabi Yusuf menjawab pertanyaan keduanya, beliau bersabda:
يصاحبي السِّجْنِ أَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرُ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ مَا تَعْبُدُونَ مِن دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءُ سَمَّيْتُمُوهَا أَنتُمْ وَءَابَاؤُكُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ بِهَا مِن سُلْطانَ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
Artinya: “Hai dua orang penghuni penjara, manakah yang lebih baik, ya Allah.” Hai dua orang, apakah mereka itu sama ataukah Allah Maha Kuasa? Kamu tidak menyembah apa pun selain Allah Lagi Mahanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenekmu buat-buat untuknya. Allah tidak menurunkan keterangan apa pun tentang nama-nama itu. Sesungguhnya hukum (keputusan) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan kamu agar tidak menyembah selain-Nya. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 39-40).
- Hukum dalam beribadah
Kita wajib mengambil hukum-hukum ibadah, baik zakat, shalat, haji, dan lain-lain dari Al-Qur’an dan hadits shahih sebagai realisasi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
صَلُّوْا كَمَ رَأَيْتُمُونِي أَصَلِّي
Artinya: “Shalatlah sebagaimana kamu melihatku shalat.” (Muttafaq alaih).
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
Artinya: “Ambillah contoh dariku dalam tata cara ibadah (haji kalian).” (HR. Muslim)
Dan ini merupakan penerapan dari sabda para imam mujtahid, “Jika hadits tersebut shahih, maka itu madzhabku.”
Jika terjadi perselisihan di kalangan para imam mujtahid, hendaknya kita tidak fanatik dengan perkataan salah seorang di antara mereka, kecuali mereka yang memiliki dalil shahih yang bersumber dari Al-Qur’an dan as-Sunnah.
3. Hukum dalam muamalah
Hukum dalam muamalah (hubungan antar manusia), baik dalam bentuk jual beli, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, mengontrak dan sebagainya. Semua hal tersebut harus berdasarkan hukum (keputusan) Allah dan Rasul-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wata’ala:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga menjadikanmu hakim dalam perkara yang tidak mereka setujui, kemudian mereka tidak keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan lapang dada.” (QS. An-Nisa’: 65).
Para mufasir yang mengutip riwayat Imam al-Bukhari mengatakan bahwa sebab turunnya ayat di atas adalah karena adanya pertikaian tentang pengairan (irigasi) yang terjadi di antara kedua sahabat Nabi. Kemudian Nabi memutuskan bahwa yang berhak atas pengairan adalah Zubair. Seketika lawannya berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah menetapkan hukum baginya (yakni dengan membela Zubair) karena ia adalah putra bibimu!” Sehubungan dengan ketetapan tersebut, turunlah ayat di atas.
4. Hukum dalam perkara hudud (pidana dan perdata) 11 dan qishash (hukum timbal balik)
Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala,
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنفَ بِالْأَنفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصُ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan qishashnya. Barangsiapa lepaskan (hak qishash)nya maka melepaskan hak itu (menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Ma’idah: 45).
Tasyri’ (penetapan Hukum) adalah milik Allah semata Allah berfirman,
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
Artinya: “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu.” (QS. Asy-Syura: 13).
Allah menolak orang-orang musyrik yang memberikan hak penetapan hukum kepada selain Allah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَوْا شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنُ بِهِ اللَّهُ
Artinya:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” (QS. Asy-Syura: 21).
Setiap umat Islam wajib menjadikan Kitab Suci al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih sebagai hakim (penentu hukum), merujuk kepada keduanya manakala sedang berselisih dalam segala hal, sebagai realisasi dari firman Allah Ta’ala:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ
Artinya:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan oleh Allah.” (QS. Al-Ma’idah: 49).
Juga penerapan dari sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهِ
Artinya:
“Dan selama para pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitob Allah, dan tidak memilih apa yang diturunkan oleh Allah, miscaya kesengsaraan akan ditimpakan di tengah-tengah mereka.” (HR. Ibnu Majah dan lainnya, hadits hasan).
Umat Islam wajib membatalkan hukum-hukum (perun- dang-undangan) asing yang ada di negaranya. Seperti undang- undang Perancis, Inggris dan lainnya yang bertentangan dengan hukum Islam.
Hendaknya umat Islam tidak lari ke mahkamah yang berlandaskan undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Hendaknya mereka mengajukan perkaranya kepada orang yang dipercaya dari kalangan ahli ilmu, sehingga perkaranya diputus- kan secara Islam, dan itulah yang lebih baik bagi mereka. Sebab Islam menyadarkan mereka, memberikan keadilan di antara me- reka, efisien dalam hal uang dan waktu. Tidak seperti peradilan buatan manusia yang menghabiskan materi secara sia-sia. Belum lagi adzab dan siksa besar yang bakal diterimanya pada hari Kiamat. Sebab dia berpaling dari hukum Allah yang adil, dan berlindung kepada hukum buatan makhluk yang zhalim.
Lewat manakah Islam akan tampil kembali memimpin dunia? Dai besar Muhammad Quthb menjawab persoalan ini dalam sebuah kuliah yang disampaikannya di Daarul Hadits, Makkah al-Mukarramah. Teks pertanyaan itu sebagai berikut: “Sebagian orang berpendapat bahwa Islam akan kembali tampil lewat kekuasaan, sebagian lain berpendapat bahwa Islam akan kembali dengan jalan meluruskan aqidah, dan tarbiyah (pendidikan) masyarakat. Manakah di antara dua pendapat ini yang benar?”
Beliau menjawab, “Bagaimana Islam akan tampil ber- kuasa di bumi, jika para du’at belum meluruskan aqidah umat, beriman secara benar dan diuji keteguhan agama mereka, lalu mereka bersabar dan berjihad di jalan Allah. Bila berbagai hal itu telah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, barulah agama Allah akan berkuasa dan hukum-hukumNya diterapkan di persada bumi. Persoalan ini amat jelas sekali. Kekuasaan itu ti- dak datang dari langit, tidak serta merta turun dari langit. Me- mang benar, segala sesuatu datang dari langit, tetapi melalui ke- sungguhan dan usaha manusia. Hal itulah yang diwajibkan oleh Allah atas manusia dengan firman-Nya,
وَلَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَانتَصَرَ مِنْهُمْ وَلَكِن لِبْلُوا بَعْضَكُم بِبَعْضٍ
Artinya:
‘Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain.’ (QS. Muhammad: 4).
Karena itu, kita mesti memulai dengan meluruskan aqi- dah, mendidik generasi pada aqidah yang benar, sehingga terwu- jud suatu generasi yang tahan uji dan sabar oleh berbagai coba- an, sebagaimana yang terjadi pada generasi awal Islam.” Wallahu a’lam
REFERENSI:
Ditulis Oleh : Syaihk Muhammad bin Jamil Zainu
Diringkas Oleh : Abdul Hadi Martapian
DiAmbil Dari : Jalan Golongan Yang Selamat
Baca juga:
Leave a Reply