Kembali Kepada Ulama Rabbani Ketika Fitnah Terjadi

kembali kepada ulama rabbani

Kembali Kepada Ulama Rabbani Ketika Fitnah Terjadi – Di antara hikmah Allah Ta’ālá dan rahmat-Nya bahwa Allah subhanahu Wata’ala pilihkan bagi manusia para pemimpin di dalam petunjuk, ilmu, keshalihan, dan hikmah yang dijadikan petunjuk oleh manusia di dalam kegelapan kejahilan, syubhat, dan kesesatan. Allah Ta’ālá berfirman:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

Artinya: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pe- mimpin-pemimpin yang memberi petunjuk de- ngan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. as-Sajdah (32):24)

Jika manusia kehilangan para pemimpin ini maka mereka akan tersesat dari jalan yang lurus, dengan tetap adanya para ulama ini maka masih ada ilmu, kebaikan, dan keshalihan pada manusia semuanya, jika mereka telah pergi maka manusia terjerumus ke dalam kesesatan sebagaimana di dalam hadits di dalam Shahīhain dari ‘Abdullah bin Amr, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengabarkan bahwasannya:

) إِنَّ اللهَلَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu (agama) dengan serta-merta dari hamba-ham- ba-Nya. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu de- ngan mewafatkan (mematikan) ulama, sehingga Allah subhanallahu ta’ala tidak menyisakan orang berilmu. Maka, manusia mengambil bodoh se- bagai Lalu, mereka ditanya, dan me- reka memberi fatwa tanpa ilmu. Maka, mereka sesat dan menyesatkan.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1:36) dan Muslim dalam Shahih-nya (8:60))

 Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Wajib atas kaum muslimin memberikan walā’ (loyalitas) kepada orang-orang yang beriman-setelah loyali- tas kepada Allah dan rasul-Nya-khususnya para ulama yang merupakan ahli waris para nabi, yang Allah jadikan mereka di dalam umat ini seperti bin- tang-bintang yang dijadikan sebagai petunjuk arah di kegelapan daratan dan lautan. Kaum muslimin telah sepakat menjadikan mereka sebagai jalan pe- tunjuk. Karena sesungguhnya setiap umat-sebe- lum diutusnya nabi kita Muhammad shalallahu alaihi wasallam-ulama mereka adalah yang terjelek dari mereka, kecuali kaum muslimin yang ulama mereka adalah yang terbaik dari mereka. Karena sesungguhnya mereka (para ulama) adalah para penerus Rasulullah shalallahu alaihi wasallam di dalam umatnya, merekalah yang menghidup- kan sunnah-beliau yang telah mati, merekalah pe- negak al-Kitāb dan dengan al-Kitāb mereka tegak, melalui merekalah al-Kitāb berucap dan dengan al-Kitab-lah mereka berucap.” (Raful-Malam ‘An A’immatil-A’lam (hlm. 3-4))

Mengingat agungnya kedudukan para ulama di dalam umat, penting sekali untuk diketahui kedudukan dan posisi mereka di dalam syari’at dan di dalam masyarakat, khususnya di zaman fitnah pada saat ini yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Maka di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan urgensi “kembali kepada para ula- ma Rabbānī” di saat fitnah terjadi.

TIDAK SELAYAKNYA SETIAP ORANG BICARA TENTANG FITNAH

Di antara keadaan fitnah adalah samarnya per- kara-perkara di dalamnya, banyak kerancuan dan melencengnya pemahaman-pemahaman dan akal- akal, dan yang terjaga dari kesalahan pada saat itu adalah sebuah jama’ah yang dipimpin oleh para ulama. Maka yang wajib atas kaum muslimin-baik sebagai rakyat maupun pemimpin-adalah me- ngambil pendapat para ulama dan bertolak dari perkataan mereka.

Karena sibuknya umumnya manusia dengan fitnah-fitnah dan menampilkan pendapat di dalam- nya akan menambah fitnah dan memecah belah umat, urusan-urusan umum seperti keamanan dan ketakutan hendaknya dikembalikan kepada ahli ilmu. Allah Ta’alá berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرُ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ، وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلً

Artinya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menye- rahkannya kepada Rasul dan ulil-amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin menge- tahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil-amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali seba- gian kecil saja (di antaramu)”. (QS. an-Nisa’ (4): 83)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata: “Ini adalah pengajaran dari Allah kepada para hamba-Nya atas perbuatan mereka yang tidak pantas, dan bahwa seyogianya mereka jika datang suatu urusan dari urusan-urusan yang penting dan maslahat-maslahat umum yang berkaitan dengan keamanan dan kegembiraan kaum mukminin, atau ketakutan yang di dalamnya terdapat musibah me- reka, maka hendaknya mereka mengecek terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menyebarkan berita tersebut. Bahkan hendaknya mereka mengem- balikannya kepada Rasulullah dan ulil-amri di antara mereka, orang-orang yang memiliki pandangan, ilmu, nasihat, akal, dan keteguhan ser- ta ketenangan yang mengetahui perkara-perkara, dan mengetahui maslahat-maslahat dan mafsa- dah-mafsadah.

Jika mereka ini memandang di dalam menyebar- kan berita ini akan membawa maslahat, semangat kaum muslimin, kegembiraan mereka, dan me- nyelamatkan dari musuh-musuh mereka, maka mereka sebarkan berita tersebut. Dan jika mereka memandang tidak ada maslahat di dalamnya, atau ada maslahat di dalamnya tetapi mudharatnya me- lebihi maslahatnya, maka mereka tidak menyebar- kannya. Karena inilah Allah berfirman: ‘Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil-amri)’ yaitu mereka tampilkan berita terse- but dengan pikiran dan pendapat-pendapat me- reka yang lurus dan ilmu-ilmu mereka yang benar. Di dalam hal ini terdapat dalil atas sebuah kaidah yang penting yaitu: Bahwa jika ada suatu pemba- hasan tentang suatu masalah maka seyogianya dis- erahkan kepada orang yang memiliki kemampuan tentang hal itu, dan diberikan kepada ahlinya, dan tidak boleh ada seorang pun yang mendahului me- reka, maka ini yang lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Di dalam hal ini terdapat larangan dari tergesa-gesa dan bersegera menyebarkan perkara-perkara di saat mendengar- kannya, dan perintah untuk mencermati sebelum berbicara, dan melihat apakah ada maslahat di dalamnya sehingga dilakukan atau tidak ada se- hingga tidak dilakukan.” (Taisir al-Karimir-Rahman (2:54-55))

Maka Allah telah menjadikan para ulama se- bagai rujukan di saat terjadi fitnah-fitnah dan ujian- ujian.

FAHAT DAN MAFSADAH

Sesungguhnya manusia di dalam fitnah-fit- nah membutuhkan fiqih maslahat-maslahat dan mafsadah-mafsadah. Mereka lebih membutuh- kan ilmu tentang tingkatan maslahat-maslahat dan mafsadah-mafsadah ini daripada kebutuhan mereka terhadap nash-nash tertentu yang meng- hukumi kasus-kasus tertentu. Karena tidaklah kemungkaran-kemungkaran umum yang berkai- tan dengan siyāsah syar’iyah (politik syar’i)-yang secara umum merupakan sebab fitnah-fitnah-se- perti masalah-masalah thaharah, shalat, haji, dan ahwal syakhshīyah yang al-haq di dalamnya-secara umum-atas dalil-dalil tafshīlī, bahkan tegaknya ilmu tentang fitnah-fitnah tersebut di atas beberapa perkara di antaranya:

  1. Dalil-dalil syar’i yang umum dan kaidah-kaidah yang masuk di dalamnya perkara-perkara yang banyak.
  2. Maqashid syari’ah (tujuan-tujuan syari’at).
  3. Menimbang antara maslahat-maslahat dan maf- sadah-mafsadah.
  4. Dalil-dalil tafshili.

Tidak memungkinkan bagi orang-orang awam, bahkan para penuntut ilmu shighar (pemula) un- tuk memahami kasus-kasus kullī (universal) lagi umum, meskipun memungkinkan mereka untuk memahami nash-nash juz’i (parsial). Demikian juga pemahaman maqāshid syari’ah tidak terjadi kecuali dengan istiqra’ (menggali) nash-nash yang global dan perilaku-perilaku asy-Syari’. Maka fiqih maqashid syari’ah adalah fiqih yang agung, tidak setiap orang bisa menjangkaunya, bahkan tidak sampai kepadanya kecuali orang yang sudah naik ke atas tangga-tangga ilmu dan menelaah jelas atasrealita keadaan dan membolak-balik pandangan di dalam kemungkinan-kemungkinan yang disangka akan terjadinya.

Menimbang antara maslahat-maslahat dan mafsadah-mafsadah membutuhkan pemaha- man terhadap syari’at dan maqāshid-nya, pemaha- man terhadap realitas, dan tingkatan-tingkatan maslahat-maslahat dan mafsadah-mafsadah. Dan ini semua tidak bisa melakukannya kecuali para ulama, karena itulah maka sesungguhnya Khidhir mengetahui maslahat-maslahat dari perbuatan- perbuatan yang dia laksanakan yang tidak diketa- hui oleh Musa ‘alaihishshalātu wassalām.

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata tentang penjelasan faedah-faedah kisah Musa bersama Khidhir:

“Di antara faedah-faedahnya adalah: Kaidah be- sar lagi agung yaitu ‘ditepis kejelekan yang besar dengan melakukan kejelekan yang kecil’ dan ‘di- utamakan maslahat yang lebih besar dengan me- luputkan yang lebih kecil’. Karena sesungguhnya membunuh anak kecil itu adalah kejelekan, tetapi hidupnya anak kecil tersebut hingga memfitnah kedua orang tuanya dari agama adalah lebih jelek dari membunuhnya. Tetap hidupnya anak terse- but tidak terbunuh dan terjaga, meskipun diduga bahwa dia adalah baik, tetapi yang terbaik adalah terjaganya agama kedua orang tuanya, keimanan keduanya lebih baik daripada hal itu, karena itulah maka Khidhir membunuhnya.

Dan datang di bawah kaidah ini dari cabang-ca- bang dan faedah-faedah yang tidak bisa dihitung banyaknya. Maka pertentangan maslahat-masalat dan mafsadah-mafsadah semuanya masuk di dalam hal ini.” (Taisir al-Karim ar-Rahmān (5:70-71)}

Jika perkaranya demikian maka sesungguhnya perbaikan tidak bisa melakukannya kecuali bagi orang yang mengetahui kemungkaran dan cara- cara perbaikannya, dan di dalam perkara-perkara umum meluas yang bisa hanyalah para ulama.

Al-Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata: “Kemudian sesungguhnya yang memerintah dan melarang hanyalah seorang yang mengetahui apa yang dia perintah dan apa yang dia larang, dan hal itu berbe- da-beda sesuai dengan perbedaan perkaranya, jika perkara tersebut termasuk kewajiban-kewajiban yang zhāhir dan keharaman-keharaman yang ma- syhur seperti shalat, puasa, zina, khamar, dan yangsemacamnya maka seluruh kaum muslimin men- getahuinya, dan jika perkara tersebut termasuk perkara-perkara rumit dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan dan termasuk perkara- perkara yang berkaitan dengan ijtihad maka orang awam tidak boleh masuk kepadanya dan tidak boleh mengingkarinya bahkan hal itu hanya bagi para ulama.” (Syarh Shahih Muslim (2: 23))

FITNAH KEMUNGKARAN PENGUASA

Sesungguhnya kebanyakan kemungkaran- kemungkaran umum yang berhubungan dengan siyāsah syar’iyah (politik syar’i) orang-orang yang diingkari adalah para penguasa, sedangkan umum- nya kaum muslimin tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi mereka, padahal hukum- hukum syar’i dikaitkan dengan kemampuan. Dan yang mampu mempengaruhi para penguasa adalah para ulama, para tokoh, dan para pemuka manusia, sedangkan orang-orang awam hendaknya berdiri di belakang mereka. Jika orang-orang awam berupa- ya untuk mengubah kemungkaran-kemungkaran umum tersebut maka terkadang akan membawa kepada kerusakan yang meluas. (Lihat Qawa’id Fit- Ta’amul Ma’al-‘Ulama’ oleh asy-Syaikh ‘Abdurrah- man bin Mu’alla al-Luwaihiq (hlm. 122)!}

GERAKAN ORANG-ORANG AWAM AKAN MENGAKIBATKAN KERUSAKAN

Jika perkara-perkara seperti ini diserahkan ke- pada umumnya orang maka akan mencerai-berai- kan kaum muslimin dan memecah belah persat- uan mereka. Sebab, orang-orang awam tidak bisa bersepakat atas suatu perkara jika tidak ada para pemuka yang mengarahkan gerak-gerak mereka, dan demikianlah hendaknya hal tersebut dikemba- likan kepada ahlulhalli wal-‘aqdi.

Asy-Syaikh al-‘Allamah Shalih al-Fauzan berkata: “Maka yang wajib atas kita agar tatsabbut (mengecek ulang) dan tidak tergesa-gesa, Allah subhanallah ta’ala memerintahkan agar kita tatsabbut di dalam perka- ra-perkara yang berhubungan umat secara umum, Allah subhanallah ta’ala menjadikan perkara-perkara perdamaian, peperangan, dan perkara-perkara umum Dia jadi- kan rujukan di dalamnya kepada para walīyul-amri dan para ulama secara khusus, dan tidak boleh bagi person-person untuk campur tangan di dalamnya; karena akan mencerai-beraikan perkara dan mem-ecah belah persatuan, serta memberikan kesempa- tan bagi orang-orang yang berniat buruk kepada kaum muslimin.” (Wujübu at-Tatsabbuti Fil-Akhbari wa Bayānu Makānatil-‘Ulama’ (hlm. 21)}

YANG MEMUTUSKAN MENGINGKARI KEMUNGKARAN ATAU TIDAK ADALAH PARA ULAMA

Sesungguhnya tegaknya masalah inkärulmunkar di dalam perkara-perkara yang umum adalah di- dasarkan di atas pemahaman sebuah masalah yang agung yaitu: Memungkinkan atau tidak memung- kinkan:

Apakah memungkinkan mengubah kemungkaran dengan sarana ini atau tidak?

Apakah memungkinkan mengubah kemungkaran tanpa menghasilkan kemungkaran yang lebih be- sar apa tidak?

Dan di saat tidak memungkinkan apakah seorang muslim dalam keadaan bebas dari tidak mengam- bil sarana ini atau dari mengubah kemungkaran secara umum selama kondisinya seperti itu.

“Menentukan apakah memungkinkan atau tidak memungkinkan” bukanlah wewenang ma- yoritas kaum muslimin atau orang-orang awam mereka, bahkan dikembalikan kepada para ulama syar’i yang mengetahui realitas manusia. (Lihat Qawa’id Fit-Ta’amul Ma’al-‘Ulama’ oleh asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq (hlm. 123)!}

ORANG-ORANG AWAM DIWAKILI OLEH PEMUKA- PEMUKA MEREKA

Sesungguhnya orang-orang awam tidak mung- kin dipahami pendapat mereka-bahkan tidak mungkin diketahui-kecuali jika dikembalikan kepada para pemuka dan pembesar mereka. Di dalam Perang Hunain datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam suku Hawazin yang telah ditundukkan lalu mereka meminta kepada beliau agar mengem- balikan harta dan para tawanan mereka. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata kepada mereka: “Ucapan yang paling aku sukai adalah yang paling benar. Maka pilihlah salah satu dari dua hal apakah tawa- nan atau harta dan sungguh aku akan memberi kesempatan terhadap mereka.” Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah menanti mereka sekitar sepuluh malam ke- tika akhirnya mereka kembali dari Tha’if. Setelah jelas bagi mereka bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam tidak akanmengembalikan kepada mereka kecuali salah satu dari dua pilihan, mereka berkata: “Kami memilih tawanan.” Maka Rasulullah berdiri di hada- pan kaum muslimin kemudian memuji Allah yang memang Dia paling berhak untuk dipuji lalu ber- sabda: “Kemudian daripada itu, sesungguhnya saudara-saudara kalian ini telah datang kepada kita dengan bertaubat dan sungguh aku berpikir akan mengembalikan para tawanan. Maka siapa di antara kalian yang suka berbuat baik (dengan membebaskan tawanan) dalam masalah ini maka lakukanlah dan siapa di antara kalian yang ingin tetap menjadikannya sebagai haknya hingga kami berikan kepadanya harta fai’ yang Allah karuni- akan kepada kita, lakukanlah.” Maka orang-orang berkata: “Kami serahkan mereka untuk Rasulullah .” Maka Rasulullah bersabda: “Kami tidak tahu siapa di antara kalian yang berhak memberi izin dan siapa yang bukan, maka itu kembalilah hingga kalian bawa para pimpinan yang mengu- rusi urusan kalian.” Akhirnya mereka pulang dan berbicara dengan para pimpinan mereka lalu kem- bali menghadap Rasulullah dan mereka men- gabarkan bahwa (para pimpinan) mereka telah menyetujui dan memberi izin. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Shahih-nya (3:60))

Di dalam hadits di atas, Rasulullah menjadi- kan rujukan pendapat orang-orang awam kepada para pemuka dan pemimpin mereka.

SYAITHAN BERUPAYA MENJAUHKAN MANUSIA DARI PARA ULAMA

Sesungguhnya Allah memerintahkan agar kembali kepada ahli ilmu pada saat fitnah karena di antara tipu daya terbesar dari syaithan kepada orang-orang yang ghuluw adalah menghiasi me- reka menuruti hawa nafsu dan akal-akal mereka dan membuat mereka zuhud (tidak butuh) kepada para ulama, agar mereka tidak mendapatkan ara- han para ulama yang meluruskan langkah mereka, sehingga mereka tetap berada di dalam kegelapan dan kesesatan, Allah Ta’alá berfirman:

وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah”. (QS. Shad (38):26)

Dan Allah Ta’ala berfirman :

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ الله

Artinya: “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun”. (QS. al-Qashash (28): 50}

Dan Allah Ta’ālá berfirman:

أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ، فَرَوَاهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ

Artinya; “Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaithan)? Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. Fathir (35): 8)

Dan Allah Ta’ālá berfirman [yang artinya]: Di- alah yang menurunkan al-Kitāb (al-Qur’an) ke- pada kamu. Si antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamāt, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyäbihāt. Adapun orang- orang yang dalam hatinya condong kepada kes- esatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyābihat daripadanya untuk menimbul- kan fitnah untuk mencari-cari takwilnya. (QS Ali ‘Imran (3):7)

Dari ‘A’isyah bahwasanya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam ber- sabda:

إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُوْلَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ

Artinya: “Jika kalian melihat orang-orang yang mengi- kuti sebagian ayat-ayat yang mutasyābihāt maka merekalah yang disebut oleh Allah, berhati-hati- lah dari mereka.” (Muttafaq ‘alaihi}

KISAH KHAWARIJ DENGAN IBNU ‘ABBAS

Agar lebih jelas tentang urgensi kembali kepada para ulama dan pengaruh positif hal tersebut di dalam menjaga diri dari fitnah, serta bahaya men- jauh dan mencela mereka akan kita bawakan kisah orang-orang Khawarij yang memberontak kepada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib dan memerangin- ya, karena mereka memahami nash-nash syar’i dengan pemahaman yang keliru yang menyelisihi pemahaman para sahabat. Karena itu, tatkala me- reka didebat oleh Ibnu Abbas dan beliau jelas- kan kepada mereka pemahaman yang shahih ter- hadap nash-nash maka bertaubatkah dari mereka 2.000 orang.

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata: “Orang-orang Kha- warij memisahkan diri dari ‘Ali (), berkumpul di satu daerah untuk ‘keluar dari ketaatan’ (mem- berontak) kepada khalifah. Mereka ketika itu ber- jumlah enam ribu orang…”

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata: “Sungguh aku dapati diriku masuk di tengah kaum yang belum pernah sama sekali kujumpai satu kaum yang sangat ber- semangat dalam ibadah seperti mereka. Dahi-dahi penuh luka bekas sujud, tangan-tangan menebal bagaikan lutut-lutut unta. Wajah-wajah mereka pusat pasi karena tidak tidur, menghabiskan malam untuk beribadah.”

salam pada mereka. Serempak mereka menyambutku: “Marhaban (selamat datang), wahai Ibnu ‘Abbas. Apa gerangan yang membawamu ke- mari?”

Aku berkata: “Sungguh aku datang pada kalian dari sisi sahabat Muhajirin dan sahabat Anshar, juga dari sisi menantu Rasulullah, yang ke- pada merekalah al-Qur’an diturunkan dan me- rekalah orang-orang yang paling mengerti makna al-Qur’an daripada kalian.” Begitu mendengar ucapan Ibnu ‘Abbas yang penuh makna dan merupakan prinsip hidup-yang tentunya tidak mereka sukai karena menyelisihi prinsip sesat me- reka, berkatalah sebagian Khawarij memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kalian berdebat dengan seorang Quraisy (yakni Ibnu Abbas Sesungguhnya Allah Ta’ālá berfirman: ‘Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.’ (QS az-Zukhruf (43):58).” Berkata dua atau tiga orang dari mereka: “Biarlah kami yang akan mendebat- nya!”

Aku Ibnu ‘Abbas berkata: “Wahai kaum, datangkan untukku alasan, mengapa kalian mem- benci menantu Rasulullah beserta sahabat Mu- hajirin dan Anshar, padahal kepada merekalah al-Qur’an diturunkan, tidak ada pula seorang pun dari sahabat yang bersama kalian, dan ia (Ali adalah orang) yang paling mengerti dengan tafsir al-Qur’an?”

Mereka berkata: “Kami punya tiga alasan.”

Aku (Ibnu ‘Abbas berkata: “Sebutkan (tiga alasan kalian).”

Mereka berkata: “Pertama: Sungguh dia telah ja- dikan manusia sebagai hakim (pemutus perkara) dalam urusan Allah Ta’alá, padahal Allah Ta’ālá berfirman yang artimya (… keputusan itu hany- alah kepunyaan Allah…) (QS Yūsuf (12):40).”

Aku (Ibnu ‘Abbas berkata: “Ini alasan kalian yang pertama. Lalu apa lagi?”

Mereka berkata: “Adapun yang kedua, sesungguh- nya dia telah berperang dan membunuh, tetapi dia tidak mau menawan dan tidak mengambil rampas- an perang. Padahal (jika) yang diperangi itu orang kafir, maka boleh menawan dan mengambil harta mereka. Andaikan yang diperangi itu orang-orang mukmin, tentunya tidak halal memerangi mereka.” Ibnu Abbas berkata: “Lalu apa alasan kalian yang ketiga?”

Mereka berkata: “Ketiga: Dia telah hapus sebu- tan amirulmu’minin dari dirinya. Kalau dia bukan amirulmu’minin (karena menghapus sebutan itu) berarti dia adalah amirulkāfirin (pemimpin orang- orang kafir).”Ibnu Abbas berkata: “Adakah pada kalian ala- san selain ini?”

Mereka berkata: “Cukup sudah bagi kami tiga perkara ini!”…Ibnu Abbas nya Allah berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya telah menyerahkan di antara hukum-Nya kepada hukum (keputusan) manusia, seperti dalam menentukan harga kelinci (sebagai tebusan atas kelinci yang dibunuh saat ihram); Allah Ta’ālá berfirman (yang artinya): ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,menurut putusan (hukum) dua orang yang adil di antara kamu, sebagai hadyu yang dibawa sam- pai ke Ka’bah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikelu- arkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa kembali mengerjakan- nya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Ma- hakuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) me- nyiksa.’ (QS al-Ma’idah (5):95)… Maka demi Allah, jawablah oleh kalian. Apakah diutusnya seorang manusia untuk mendamaikan hubungan mereka dan mencegah pertumpahan darah di antara me- reka lebih pantas untuk dilakukan, atau hukum manusia perihal darah seekor kelinci dan urusan pernikahan wanita? Menurut kalian manakah yang lebih pantas?”

Mereka katakan: “Bahkan inilah (yakni mengutus manusia untuk mendamaikan manusia dari per- tumpahan darah) yang lebih pantas.”…

Ibnu Abbas melanjutkan: “Adapun ucapan kalian bahwa Ali (5) telah memerangi tetapi tidak mau mengambil ghanīmah (rampasan perang) dari yang diperangi dan tidak menjadikan mereka se- bagai tawanan, sungguh (dalam alasan kedua ini) kalian telah mencerca ibu kalian (yakni ‘A’isyah . Demi Allah! Kalau kalian katakan bahwa ‘A’isyah (4) bukan ibu kita (yakni kafir), kalian sungguh telah keluar dari Islam (karena meng- ingkari firman Allah). Demikian pula kalau kalian menjadikan ‘A’isyah (4) sebagai tawanan perang dan menganggapnya halal sebagaimana tawanan lainnya (sebagaimana layaknya orang-orang kafir), maka kalian pun keluar dari Islam. Sesungguhnya kalian berada di antara dua kesesatan, karena Allah Ta’ālá berfirman (yang artinya): ‘Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri, dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (QS al-Ahzab (33):6)…”

Ibnu Abbas berkata lagi: “Adapun ucapan kalian bahwasanya ‘Ali (5) telah menghapus sebutan amirulmu’minin dari dirinya, maka (se- bagai jawabannya) aku akan kisahkan kepada kalian tentang seorang yang kalian ridhai, yaitu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Ketahuilah, bahwasanya beliau di hari Hudaibiyah (pada tahun 6 Hijriyah) melaku- kan shulh (perjanjian damai) dengan orang-orang

musyrikin, Abu Sufyan dan Suhail bin ‘Amr. Tahu- kah kalian apa yang terjadi? Ketika itu, Rasulullah bersabda kepada ‘Ali: ‘Wahai ‘Ali, tulislah perjanjian untuk mereka.’ ‘Ali () menulis: Ini- lah perjanjian antara Muhammad Rasulullah…’ Segera orang-orang musyrik berkata: ‘Demi Allah! Kami tidak tahu kalau engkau rasul Allah. Kalau kami mengakui engkau sebagai rasul Allah tentu kami tidak akan memerangimu.’ Rasulullah bersabda: ‘Ya Allah, sungguh Engkau mengetahui bahwa aku adalah Rasulullah. Wahai ‘Ali, tulislah: Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin ‘Ab- dillah… (Rasulullah memerintahkan agar ‘Ali menghapus sebutan Rasūlullah dalam naskah perjanjian).”

Ibnu Abbas berkata: “Demi Allah, sung- guh Rasulullah lebih mulia dari Ali ( Meskipun demikian, beliau menghapuskan sebu- tan Rasûlullah dalam Perjanjian Hudaibiyah… Apakah dengan perintah Rasul menghapuskan kata Rasūlullah dalam perjanjian kemudian kalian mengingkari kerasulan beliau? Sebagaimana ka- lian ingkari keislaman ‘Ali () karena menghapus sebutan amirulmu’minin?”Kemudian Ibnu Abbas berkata: “Maka bertaubatlah dua ribu orang dari mereka, sedangkan lainnya tetap memberontak (dan berada di atas kesesatan), hingga mereka diperangi dalam sebuah peperangan besar (yakni Perang Nahrawan).”(Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya (4037) dan Ibnu ‘Abdil-Barr di dalam Jāmi Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi (hlm. 962-964) dan sanadnya dinilai hasan oleh asy-Syaikh al-Albani diShahih Sunan Abū Dawud (2:505))

Di dalam kisah di atas, dua ribu orang Khawarij telah bertaubat setelah mendapatkan penjelasan Ibnu ‘Abbas; ini merupakan dalil bahwa jalan keselamatan dari fitnah-fitnah adalah kembali kepada para ulama rabbānī.

KISAH KHAWARIJ DENGAN JABIR BIN ‘ABDILLAH

Di antara dalil lain yang memperjelas bahwa “kembali kepada para ulama” adalah sebab kesela- matan bagi agama dan dunia adalah sebuah kisah yang dibawakan oleh al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya (no. 282) dari Yazid al-Faqir bahwasa- nya dia berkata: “Dahulu aku telah terpengaruh dengan pemikiran Khawarij, kemudian kami ke-luar dalam sebuah rombongan besar untuk melak- sanakan haji. Ketika kami keluar dan melewati Madinah, ternyata Jabir bin ‘Abdillah sedang menceritakan hadits Rasulullah kepada suatu kaum sambil bersandar pada sebuah tiang.” Yazid al-Faqir berkata lagi: “Tiba-tiba dia menyebutkan al-Jahannamiyin. Maka aku pun berkata kepada be- liau: ‘Wahai sahabat Rasulullah, apa-apaan yang kau ceritakan! Padahal Allah berfirman: Sesung- gulnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam Neraka, maka sungguh Engkau telah menghinakannya (QS Ali ‘Imran (3):192), dan ayat: Setiap kali me- reka berkeinginan untuk keluar darinya, niscaya me- reka dikembalikan ke dalamnya (QS as-Sajdah (32):20) Apa yang kalian katakan ini?” Jabir menjawab (dengan balik bertanya): ‘Apakah kalian membaca al-Qur’an? Kami menjawab: ‘Ya. Jabir ber- tanya lagi: ‘Apakah kamu mendengar kedudukan (Nabi) Muhammad, yaitu memberikan syafa’at yang mana Allah mengutusnya di dalamnya? Aku menjawab: ‘Ya Jabir lalu berkata: ‘Maka itulah kedudukan (Nabi) Muhammad yang terpuji, dengannya Allah mengeluarkan orang yang beliau keluarkan (dari Neraka).” Yazid berkata: “Kemu- dian Jabir memperagakan peletakan shirath, dan manusia lewat di atasnya.” Kata Yazid: “Dan aku sangat khawatir tidak selamat dari hal terse- but. Hanya, Jabir tetap berkeyakinan bahwa sekelompok kaum pasti akan keluar dari Neraka, setelah mereka tinggal beberapa lama. Kata Jabir. ‘Maksudnya, mereka keluar seakan-akan tongkat arang yang hitam kelam.’ Kata Jabir menerus- kan: ‘Lalu mereka masuki salah satu sungai Surga, mereka mandi di dalamnya, mereka keluar dari sungai seakan-akan kertas (putih). Dan kami pun pulang. Kami berkata: ‘Celaka kalian, apakah ka- lian taksir bahwa syaikh ini (yakni sahabat Jabir bin ‘Abdillah) berdusta atas nama Rasulullah? Kami pun kembali; demi Allah, tidak ada yang khuruj dari kami melainkan hanya satu orang atau sebagaimana yang diucapkan Abu Nu’aim”

Hadits di atas menunjukkan bahwa sekelompok orang tersebut terpengaruh dengan pemikiran Khawarij yang mengkafirkan para pelaku dosa besar, ketika mereka bertemu dengan Jabir bin Abdillah maka mereka bertaubat dari pemikiran mereka setelah mendengarkan penjelasan dari Jabir bin ‘Abdillah Ini menunjukkan pengaruh positif yang besar di dalam “kembali kepada para ulama rabbani” ketika fitnah terjadi.

 

Referensi:

Idul Fithri dan Halal bin Halal di susun oleh Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah Hafidzahullah Majalah As-Sunnah EDISI 178 VOL 8 THN XVI

Diringkas oleh : Meilinda Sari (Pengabdian Ponpes Darul Quran Wal-Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.