Penyakit yang merambah badan manusia memang begitu musykil mengusik hati. Walau kecil sakit yang diderita, namun itu sudah membuatnya begitu terganggu dan cukup menghambat beberapa aktivitas yang selama ini biasa dikerjakannya. Apalah lagi bila penyakit ini adalah penyakit akut yang cukup membuat para ahli medis kalang kabut mencarikan formula tepat untuk menyelamatkan si penderita. Namun sebenarnya ada penyakit yang lebih mengganggu dan lebih berbahaya daripada penyakit yang menjangkiti badan; yaitu penyakit yang terkait dengan hati. Penyakit yang munculnya dari dalam diri seseorang, yang disadarai atau tidak, sangat berpotensi untuk singgah dan bercokol di hati setiap manusia. Bukankah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk menyempurnakan akhlak; yang itu artinya adalah ajakan untuk mengentaskan diri dari berbagai penyakit yang menodai kemurnian dan kemuliaan akhlak seseorang; dan itu sangat erat terkait dengan hati? Dan lagi-lagi, hatipun menjadi muara sekaligus sumber dari baik dan selamatnya seseorang dan amalannya. Bila hati baik, maka itupun akan menjalar dan merambat pada anggota badan, sehingga beningnya hati bisa mewarnai pola dan gerak anggota badan lainnya. Dan begitu sebaliknya dengan hati yang rusak, yang sangat susah untuk mencarikan solusi dan terapi mujarab bila penyakitnya sudah sampai pada taraf yang sudah akut. Saat itu, segala kelakuannya sudah tidak lagi bercermin dari norma dan etika, apalagi dari norma dan ajaran agama. Segala tindak-tanduknya hanya didasari oleh perhitungan mengeruk untung dan menghindari rugi, hanya berpijak pada pijakan hawa nafsu dan ambisinya; meski harus melibas semua norma yang ada, mendapatkan beningya hati sirnah sudah.
Nah, di sinilah perlunya setiap manusia untuk menengok pada situasi hatinya. Bagaimanakah kiranya kondisi hatinya selama ini. Apakah hatinya menunjukkan sinyal-sinyal kebaikan seperti yang dikehendaki syariat, ataukah justru hatinya selalu memancarkan gelombang negatif yang semakin menjauhkannya dari Allah ‘azza wa jalla?!
Maka hati merupakan pangkal dari segala hal. Ia adalah sebagai raja dari semua anggota badannya. Ini sebenarnya merupakan perihal yang telah maklum bagi setiap muslim. Kebersihan dan keelokan hatilah yang menjadi ukuran, sedangkan keelokan fisik dan rupa hanyalah ikutan belaka, bukan asasi. Karena keelokan itu ada dua kategori; keelokan zahir dan keelokan batin; seperti keelokan dalam hal ilmu, akal, kemuliaan, dan semacamnya. Dan inilah yang menjadi obyek yang dilihat oleh Allah ‘azza wa jalla. Orang yang mempunyai keelokan batin akan Allah ‘azza wa jalla berikan kepadanya kebagusan dan kewibawaan sesuai dengan sifat-sifat tersebut yang dimilikinya. Dan seorang mukmin diberikan kebagusan dan kewibawaan sesuai dengan kadar imannya. Maka orang yang melihat kepadanya akan merasa segan, orang yang bergaul dengannya akan mencintainya; meskipun ia seorang yang hitam lagi buruk rupa. Dan ini adalah hal yang bisa disaksikan di tengah kita.
Imam al-Ghazali berkata: “Bahwa hatilah yang menjadi tempat Allah ‘azza wa jalla melihat hamba-Nya. Maka sungguh mengherankan orang yang begitu memperhatikan wajahnya, di mana itu adalah obyek yang dilihat oleh para makhluk, sehingga ia pun akan senantiasa mencuci dan membersihkannya dari kotoran dan noda, dan ia hiasi dengan sedemikian rupa agar tak ada aib yang terlihat di hadapan sesama makhluk, namun ia justru tidak memperhatikan keelokan dan kesucian hatinya; di mana itu sebenarnya merupakan obyek yang dilihat Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya; sehingga seharusnya iapun membersihkan dan menghiasi hatinya; agar Robbnya tidak melihat ada noda dan cela pada dirinya”.
Dan hanya dengan berhati bersihlah seseorang akan bisa selamat di akhirat, pada saat tak lagi bermanfaat harta dan anak-anaknya. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
يَوْمَ لاَ يَنفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُونَ إِلاَّ مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Asy-Syu’aro:88-89)
Yang berhati bersih ini adalah orang yang hatinya selamat dari syirik dan keraguan, selamat dari kecintaan pada hal yang buruk, selamat dari sikap tetap terus melestarikan bid’ah dan dosa. Artinya ia adalah seseorang yang berhias dengan sifat-sifat kebalikan itu semua, berupa ikhlas, ilmu, yakin, cinta akan kebaikan serta menghiasi hatinya dengan kebaikan; dan agar kehendak dirinya, dan kecintaannya, mengikuti pada kecintaan pada Allah ‘azza wa jalla, dan hawa nafsunya mengikuti apa yang diajarkan oleh Allah ‘azza wa jalla.
Karena itulah di antara doa yang diajarkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
وَأَسْأَلُكَ قَلْبًا سَلِيمًا وَأَسْأَلُكَ لِسَانًا صَادِقًا
“…dan aku meminta kepada-Mu hati yang bersih, dan aku meminta kepada-Mu lisan yang jujur…” (HR. Ahmad).
Tingkatan Bersuci
Bersuci secara umum mempunyai kedudukan yang penting dalam agama ini. Dan ritual ibadah kita yang keseharian pun tak lepas dari perkara bersuci ini. Sehingga Allah ‘azza wa jalla pun memberikan pujian kepada orang-orang yang suka untuk bersuci. Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla menyukai orang-orang yang bersih”. (QS. At-Taubah:108). Dan bersuci inipun menjadi kunci dari sholat; seperti sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Kunci dari sholat adalah bersuci.” (HR. Turmudzi).
Menilik pada pentingnya bersuci ini, dan melihat pada zahir dari apa yang diperintahkan tersebut, maka orang yang punya ilmu akan tahu dan tanggap bahwa perkara yang paling penting adalah mensucikan hati. Karena mustahil kalau yang dimaksudkan dengan hadits Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Bersuci adalah separuh dari iman” adalah hanya sekedar bersemarak dalam mensucikan hal-hal lahiriah dan yang tampak oleh mata, namun mengacaukan dan merusak batin serta membiarkan hati berjejalan dengan kotoran dan noda. Ini sungguh sangat jauh sekali.
Beningnya Hati, Mudah Digapai, Asalkan…
Allah ‘azza wa jalla sudah memberikan jalan kepada hamba-Nya untuk mengupayakan bersih dan sucinya hati. Dan itu sebenarnya sudah terpatri jelas dalam pribadi Rosulalahu shalallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian diikuti oleh para sahabat beliau, dan kemudian oleh para generasi penerus mereka yang berusaha untuk mengikuti gerak-gerik beliau secara esensinya; yakni perbaikan diri dengan mengedepankan bersih dan sucinya hati. Di antara langkah untuk mengupayakan terciptanya hati yang bersih adalah:
1. Membaca Al-Quran Dengan Penuh Tadabbur
Ini adalah terapi yang paling agung dalam menangani masalah hati. Allah ‘azza wa jalla sendiri telah berfirman dalam Kitab-Nya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus:57-58)
Ini adalah terapi Rabbani untuk segala penyakit hati dan jiwa. Ketika umat ini berpaling dari Kitab Allah ‘azza wa jalla, maka umatpun menjadi mundur dan rapuh. Hati mereka menjadi gersang, tak disejukkan dengan siraman cahaya Al-Quran. Bayangkan tatkala kita membaca Al-Quran, Allah ‘azza wa jalla memberi kesembuhan pada jiwa dan hati kita! Langkah pertama dan utama untuk menyusikan diri adalah dengan Al-Quran. Jiwa ini akan tetap dalam keadaan hina dan sakit tatkala kita jauh dari Al-Quran. Karena itu ramaikanlah hidup kita dengan Al-Quran. Laluilah hari-hari kita dengan Al-Quran, bersama orang-orang terdekat kita; sehingga semua bisa merasakan manis lezatnya Al-Quran.
2. Mempelajari Sunnah Nabi
Mengingat Rosulallahu shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ‘penjelamaan’ riil dari Al-Quran dalam tatanan kehidupan nyata, maka ini pun merupakan sebab yang agung dalam merealisasikan sucinya hati. Mengingat Al-Quran tidaklah bisa dipisahkan dari Al-Quran. Dan yang keluar dari Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam, itu semata datangnya dari wahyu. Seperti dalam firman-Nya: “Dan tidaklah ia berkata-kata karena atas dasar hawa nafsu. Tidak lain itu hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm: 3-4)
Maka langkah riil dan nyata perlu kita upayakan. Berapa banyak dari kita yang masih buta tentang sunnah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ketika ada suatu sunnah yang kurang banyak diketahui orang, cepat-cepat saja kita menolaknya tanpa landasan dan ilmu. Maka penting untuk menggerakkan niat kita untuk mengkaji sunnah; sehingga dengan menyelamai samudera sunnah, hati pun akan menjadi lebih rindu dan dekat dengan sunnah-sunnah beliau. Dan ini adalah penyucian hati yang benar-benar berlandas pada cahaya ajarannya. Cobalah kita kaji secara harian, melalui berbagai media yang tersedia. Minimal dengan satu hadits untuk satu hari. Dan dengan mencari penjelasan dari para ulama yang terpercaya. Insyaallah akan semakin menambah gelora kita dalam rangka untuk menghadirkan hati yang bersih untuk bekal hari menghadap kepada Allah ‘azza wa jalla.
3. Banyak Berdzikir Kepada Allah ‘Azza wa Jalla
Ini merupakan suatu hal yang memperlambangkan kuatnya hubungan antara hati si hamba dengan Allah ‘azza wa jalla. Ini merupakan rangkaian terapi yang agung dalam mengupayakan bersihnya hati; yaitu banyak berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla. Ibnu Taimiyyah pernah ditanya mengenai amalan yang paling utama; beliau berkata: “Adapun amalan yang utama adalah dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla; ini seperti sudah menjadi ijmak di antara umat ini. ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam bahwa beliau bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ تَعَاطِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَمِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ غَدًا فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ذِكْرُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Maukah kalian aku beritahukan amalan kalian yang terbaik, amalan yang paling harum di sisi Allah ‘azza wa jalla Penguasa kalian, dan yang paling tinggi untuk derajat kalian, juga lebih baik bagi kalian dari pada memiliki emas dan perak, juga lebih baik daripada kalian berjumpa dengan musuh esok lalu kalian pun menebas leher mereka dan merekapun menebas leher kalian? Mereka menjawab: Mau wahai Rosulallah. Beliau bersabda: Yaitu dzikir kepada Allah ‘azza wa jalla Azza Wa Jalla.” (HR. Ahmad dan lainnya).
Dan cukuplah kiranya bahwa hati yang bersih nan suci penuh dengan denyut kehidupan yang positif, tidak sama dengan orang yang tidak suka berdzikir, di mana hatinya pun bagaikan orang mati saja. Seperti dalam hadits:
مَثَلُ الْبَيْتِ الَّذِى يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ وَالْبَيْتِ الَّذِى لاَ يُذْكَرُ اللَّهُ فِيهِ مَثَلُ الْحَىِّ وَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan rumah yang disebut Allah ‘azza wa jalla di dalamnya dan rumah yang tidak disebut nama Allah ‘azza wa jalla di dalamnya, seperti halnya perumpaan orang yang hidup dan mati”. (HR. Muslim)
4. Menjaga Ketaatan dan Menjauhi Maksiat Serta Teman yang Buruk
Dan inipun sudah begitu jelas, di mana faktor ini mempunyai kekuatan yang cukup besar dalam rangka untuk menjaga kebersihan hati seorang mukmin. Jangan sampai langkah-langkah di atas yang telah diupayakan, menjadi luntur dan pudar hanya karena salah dalam pergaulan, salah dalam memilih teman, sehingga sedikit demi sedikit ia akan terseret pada gemerlapnya maksiat, tanpa ia sadari pada awalnya, yang untuk kemudian itu akan menjadi suatu hal yang dirasa biasa. Karena itulah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar memerintahkan kepada kita untuk memperhatikan siapakah yang menjadai kawan dan teman kita. mengingat agama seseorang dan kelakuannya, tergantung pula dengan kebiasaan dan kelakuan kawannya. Sehingga hendaknya kita pandai-pandai memilih kawan dalam bergaul. Sehingga jernihnya hati bisa selalu terjaga dengan baik.
Semoga kita diberi taufiq oleh Allah ‘azza wa jalla sehingga mempunyai hati yang selalu kita upayakan kebersihannya; tanpa dirasuki perasaan-perasaan besar diri dan ujub. Namun hanya karena mengharap ridha Allah ‘azza wa jalla semata. Aamin.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu, tahun ke-4 edisi ke-9
Leave a Reply