Meniru Orang-Orang Baik Dengan Benar

meniru orang baik dengan benar

Meniru Orang-Orang Baik Dengan Benar – Segala puji hanya bagi Allah, Rabb alam semesta. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, Nabi yang termulia. Begitu pula kepada keluarga beliau, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat tiba. Amma badu.

Keinginan meniru orang-orang shaleh, Ulama dan orang-orang baik, merupakan sebuah kemauan yang bagus dan tinggi. Namun, itu bukan sekadar ucapan kosong tanpa bukti, juga bukan sekadar mengikuti apa yang tampak dari luar orang-orang shaleh itu saja. Ada hal-hal yang lebih penting dan urgens yang mesti dilakukan oleh orang-orang yang mengaku ingin meniru orang-orang baik, agar ia benar-benar berada di atas jalur yang lurus, bukan menyimpang tanpa ia sadari. Imam Ibnu Rajab rahimahullah telah mengupasnya dalam al-Hakim al-Jadirah bil Idza’ah.

Apakah poin-poin penting itu?

Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengawali pembahasan di atas dengan mengutip hadits berikut ini:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: “Barang siapa meniru suatu kaum, maka dia termasuk mereka”. (HR. Abu Dawud, dll)

 

Kemudian beliau rahimahullah menyampaikan, bahwa hadits ini menunjukkan dua hal.

Pertama, meniru-niru orang-orang yang buruk, seperti orang-orang kafir, orang-orang fasik atau tukang maksiat. Allah ‘azza wa jalla telah mencela orang-orang yang menyerupai mereka dalam keburukan mereka. Allah ‘azza wa jalla berfirman:

فَٱسْتَمْتَعْتُمْ بِخَلَٰقِكُمْ كَمَا ٱسْتَمْتَعَ ٱلَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَٰقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَٱلَّذِى خَاضُوٓاْ

Artinya: “Dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kalian mempercakapkan (hal yang bathil) sebagaimana mereka mempercakapkan nya.” (QS.  At-Taubah/9: 69)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang kaum Muslimin dari perbuatan tasyabbuh dengan kaum musyrikin dan ahli kitab. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kaum Muslimin mengerjakan sholat saat matahari terbit dan terbenam, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan alasan larangan itu. Alasannya adalah saat itu orang-orang kafir tengah bersujud kepada matahari, sehingga melakukan sujud pada waktu tersebut ada unsur keserupaan dengan mereka dalam perbuatan zhahir.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

خَالِفُوْا الْمُشْرِكِيْنَ أَحْفُوْا الشَّوَارِبَ وَأَوْفِرُوْا اللِّحَى

Artinya: “Berbedalah kalian dari orang-orang musyrikin. Rapikan kumis dan peliharalah jenggot.” (HR. Muslim, dll)

 Dalam riwayat lain, yaitu riwayat muslim, “Potonglah kumis, panjangkanlah jenggot, selisihilah orang-orang majusi”.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memerintahkan untuk mengerjakan shalat dengan mengenakan alas kaki sebagai bentuk sikap menyelisihi orang-orang Ahli Kitab.

Perbuatan tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang musyrikin, dan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat dari kalangan Ahli Kitab merupakan perbuatan terlarang. Namun, hal itu pasti terjadi pada umat ini, sebagaimana telah dikabarkan oleh ash-Shadiqul Mashduq Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا فِي جُحْرِ  ضَبٍ لَدَخَلْتُمُوهُ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ؟ قَالَ فَمَنْ؟

“Sesungguhnya kalian akan benar-benar mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta, hingga seandainya mereka masuk lubang dhabb, pastilah kalian akan memasukinya”. Mereka berkata, “Apakah (maksudnya) orang-orang Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab, “Siapa lagi?” (Muttafaqun Alaih)

Ibnu ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Dahulu dikatakan, Ulama kita yang rusak, pada dirinya ada keserupaan dengan orang-orang Yahudi. Dan ahli ibadah kita yang rusak, pada dirinya ada keserupaan dengan orang-orang Nasrani”.

Penjelasannya, sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla telah mencela tokoh-tokoh agama Yahudi, dengan banyak celaan, misalnya, memakan barang haram, makan harta orang lain dengan cara batil, menghalangi manusia dari jalan Allah ‘azza wa jalla membunuh para Nabi dengan alasan yang tidak benar, membunuh orang-orang yang memerintahkan berbuat adil. Allah ‘azza wa jalla juga mencela mereka karena sombong dan enggan menerima al-haq, dan meninggalkannya dengan sengaja, karena takut kehilangan sumber pangan dan jabatan-jabatan, dan mencela mereka dengan sifat hasad, hati yang keras, menyembunyikan al-haq, dan menguburkan kebenaran dengan kebatilan. Semua karakter ini ada pada Ulama su’ (tokoh-tokoh agama yang busuk) dari kalangan ahli bid’ah dan orang-orang yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu, orang-orang Syi’ah itu menyerupai Yahudi pada kurang lebih tujuh puluh sifat.

Sedangkan Nasrani, Allah ‘azza wa jalla mencela mereka, karena kebodohan, kesesatan, main- main dalam beragama, mengkultuskan makhluk sehingga diklaim memiliki unsur ketuhanan yang disembah, mengikuti tokoh-tokoh besar dalam menghalalkan dan mengharamkan. Semua ini ada pada orang-orang ahli ibadah yang bodoh dari umat ini.

Sebagian mereka menyembah Allah ‘azza wa jalla dengan ketidaktahuan, maksudnya tanpa dasar ilmu, bahkan ia mencela ilmu dan Ulama. Ada dari mereka yang berbuat melewati batas terhadap sebagian guru mereka sehingga diyakini sang guru telah mengalami hulul (menyatu dengan tuhan). Ada dari mereka yang meyakini keyakinan ekstrim pada guru-guru mereka, sebagaimana orang- orang Nasrani telah berlebih-lebihan terhadap para tokoh agama mereka. Mereka meyakini diri mereka boleh melakukan perbuatan berlebih apapun yang mereka inginkan, meyakini orang yang telah diridhai oleh tokoh agama mereka, niscaya akan diampuni dosa-dosanya, tanpa peduli apa yang akan ia perbuat di kemudian hari, dan dosa tidak akan merusak cinta terhadap mereka.

Sebenarnya, para guru yang bijaksana telah melarang berteman dengan orang-orang buruk dan melarang memutus hubungan dengan Allah ‘azza wa jalla gara-gara berteman dengan orang-orang baik (yakni secara berlebihan).

Barang siapa menjalin hubungan baik dengan orang-orang baik, karena pengagungan terhadap mereka saja dan sikap berlebihan terhadap mereka melebihi kadar yang dibenarkan, dan yang akhirnya hati terikat dengan mereka, berarti orang itu telah putus hubungan dari Allah ‘azza wa jalla karena mereka. Sebab, yang dimaksud dengan berkawan orang-orang baik itu, kawan-kawan yang mendorong kawan mereka menuju Allah ‘azza wa jalla menapaki jalan-Nya dan mengajarkan agama kepadanya.

Dahulu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada keluarga dan Sahabat untuk berkomitmen menaati Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan berkata:

اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ اللَّهِ لَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

Artinya: “Belilah (selamatkanlah) jiwa-jiwa kalian dari Allah. Aku tidak dapat memberi manfaat kepada kalian sedikit pun dari (siksaan) Allah.” (Muttafaqun Alaih)

Tatkala Rabii’ah al-Aslami radhiallahu ‘anhu meminta agar bisa bersama Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam di surga, Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ

Artinya: “Tolonglah aku untuk menolongmu dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim)

Jadi, yang dituju dari berkawan dengan orang-orang baik adalah perbaikan amalan dan keadaan serta meneladani mereka dalam perkara-perkara tersebut; Berubah dari lalai menjadi waspada, dari santai menuju sibuk beramal shaleh, mengetahui jiwa dan penyakit-penyakit.

Adapun orang yang bersahabat dengan orang-orang baik dan sekadar berbangga diri dengan persahabatan dengan mereka saja, lalu ia mengklaim macam-macam, sedangkan ia sendiri tetap lalai, malas, santai, maka hakikatnya ia terputus dari Allah ‘azza wa jalla, saat menyangka sedang berjalan menuju kepada-Nya. Demikian juga, orang yang berlebihan dalam mengagungkan para guru dan mendudukkan mereka layaknya para Nabi, sikap demikian adalah terlarang.

Dahulu, ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu para Sahabat lainnya juga generasi Tabi’in tidak suka jika mereka dimintai untuk mendoakan dan mereka mengatakan, Apakah kami Nabi?” Begitu pula, bertabarruk dengan peninggalan-peninggalan seseorang, itu hanya dilakukan para Sahabat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saja. Mereka tidak melakukan terhadap Sahabat Nabi yang lain. Para Tabiin pun tidak melakukannya terhadap para Sahabat, meskipun para Sahabat berkedudukan tinggi.

Ini menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan ini tidak dilakukan kecuali terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti bertabarruk dengan air wudhu, rambut, meminum sisa minuman Beliau atau makan apa yang telah Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam makan.

Ringkasnya, hal-hal ini menjadi musibah bagi orang yang mengagungkan dan orang yang diagungkan. Karena dikhawatirkan terjadi sikap berlebihan yang menyebabkan perbuatan bid’ah, bahkan mungkin saja meningkat menjadi satu bentuk kesyirikan.

Semua ini terjadi karena perbuatan tasyabbuh dengan Ahli Kitab dan kaum musyrikin yang umat Islam dilarang melakukannya.

Sifat berlebihan dalam mengagungkan adalah sifat orang-orang Nasrani, sementara sifat kurang ajar adalah karakter orang-orang Yahudi. Sikap tengah-tengah itulah yang diperintahkan.

Dahulu, generasi Salafus Shaleh melarang dengan tegas dari perbuatan mengagungkan mereka, seperti yang dilakukan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, Imam Ats-Tsauri rahimahullah dan Imam Ahmad rahimahullah.

Suatu saat pernah ada seorang lelaki datang kepada Imam Ahmad rahimahullah. la usapkan tangannya ke pakaian Imam Ahmad rahimahullah, lalu ia usapkan dua tangannya ke wajahnya. Melihat ini, Imam Ahmad rahimahullah marah dan benar-benar mengingkari. Lalu Imam Ahmad rahimahullah berkata kepadanya, “Dari mana engkau dapatkan ini?!”.

Kedua, tasyabbuh atau meniru-niru orang-orang baik, orang-orang bertakwa, orang-orang Mukminin dan orang-orang yang taat. Ini bagus dan dianjurkan. Oleh sebab itu, disyariatkan meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, gerakan, diam dan adab-adab serta akhlak-akhlak Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Itu adalah konsekuensi kecintaan yang benar. Sesungguhnya orang yang mencintai akan bersama dengan orang yang ia cinta. la mengambil bagian pada prinsip amal-amal orang yang ia cintai, meskipun orang yang mencintai itu tidak sederajat dengan orang yang dicintainya.

Imam Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Janganlah engkau tertipu sendiri dengan ucapanmu ‘seseorang itu akan bersama orang yang ia cinta. Sebab, sesungguhnya orang yang mencintai suatu kaum, niscaya ia akan mengikuti jejak-jejak mereka. Engkau tidak dapat menyusul orang-orang baik hingga engkau sendiri mengikuti jejak-jejak mereka, mengambil petunjuk mereka, dan meneladani jalan mereka.

Sore dan pagi, engkau di atas jalan-jalan mereka, karena antusiasme yang besar untuk menjadi bagian mereka dan berjalan di atas jalan mereka dan mengambil jalan mereka, kendatipun engkau masih ada kekurangan dalam beramal. Sebab, pegangan dalam semua urusan adalah engkau istiqamah. Bukankah engkau lihat, orang-orang Yahudi dan Nasrani, serta para ahli bid’ah mencintai Nabi-Nabi mereka, namun orang-orang itu bukanlah dari golongan mereka. Sebab, orang-orang tersebut telah bertentangan dengan mereka dalam ucapan dan perbuatan, dan menapaki jalan yang bukan jalan para Nabi, sehingga tempat kembali mereka ke Neraka?. Kami berlindung kepada Allah dari Neraka”.

Barangsiapa mencintai ahlul khair (orang-orang baik) dan berusaha sekuat tenaga untuk meniru mereka, niscaya ia akan menyusul mereka.

Adapun meniru-niru ahlul khair dalam penampilan lahiriyah saja, sementara keadaan batinnya tidak menyerupai mereka, maka orang tersebut hakikatnya jauh dari mereka. Tujuannya meniru mereka hanya ingin disebut orang itu termasuk mereka, padahal tidak demikian adanya. Ini termasuk sifat-sifat kemunafikan.

Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salafus Shaleh: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari khusyu’ munafik, di mana tubuh terlihat khusyu’, akan tetapi hati tidak khusyu”.

Dahulu, generasi Salafus Shaleh sudah benar-benar bersemangat dalam melakukan berbagai macam kebaikan, namun mereka masih menilai diri mereka kurang dan berbuat dosa. Sementara keadaan kita, kita telah berbuat kesalahan-kesalahan, namun kita memandang diri kita termasuk orang-orang Muhsinin (yang telah berbuat baik).

Yunus bin Ubaid rahimahullah berkata, “Aku hitung seratus macam-macam kebaikan, ternyata tidak ada satu pun yang ada pada diriku”.

Muhammad bin Wasi’ rahimahullah berkata, “Sekiranya dosa itu mempunyai aroma busuk, niscaya tidak ada seorang pun yang kuat duduk bersamaku”.

Demikian paparan Imam Ibnu Rajab rahimahullah tentang larangan meniru orang-orang buruk dan keharusan seorang hamba serius dalam meniru orang-orang baik dan berjalan di atas jalan lurus dalam meniru mereka.

Semoga Allah ‘azza wa jalla tumbuhkan pada diri kita kecintaan meniru orang-orang shaleh. Aamiin.

Wallahu a’lam bishshawwab.

 

Referensi:

Dunia Ladang Ujian Bagi Mukmin di susun oleh Ustadz Muhammad Ashim bin Musthafa, Lc حَفِظَهُ اللَّهُ Majalah As-Sunnah EDISI 02/THN XXIV/1441 H/2020 M

Diringkas oleh : Sherly Marsella (Pengabdian Ponpes Darul Quran Wal-Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.