Hukum Minta Salam Tempel dan Traktir (Fikih Meminta, As-Su’al)

hukum salam tempel dan traktir

Hukum Minta Salam Tempel dan Traktir (Fikih Meminta, As-Sual) – Su-al, berasal dari kata kerja “sa-ala” berarti meminta, minta pemberian/ sedekah, memohon, bertanya. Secara istilah, su-al (meminta) berarti bertanya tentang suatu ilmu atau yang mengantarkan pada ilmu atau meminta harta.

Istilah Yang Terkait Dengan As-Sual

Asy-syahadzah artinya mendesak terus dalam meminta. Al-amr artinya meminta melakukan suatu pekerjaan dengan ucapan dalam bentuk memerintah dari atas ke bawah. Ad-du’a’ artinya meminta melakukan suatu pekerjaan, dari bawah ke atas. Ad-du’a’ merupakan bentuk as-sual. Al-iltimas artinya meminta melakukan suatu pekerjaan dari pihak yang levelnya sama.

HUKUM TAKLIFI

Hukum meminta-minta berbeda-beda tergantung keadaan orang yang meminta dan jenis permintaan.

Pertama: Su-al yang artinya bertanya

Bertanya dalam rangka at-tabayyun (klarifikasi) dan belajar yang mencakup masalah agama atau masalah dunia adalah suatu yang diperintahkan atau perkara mubah yang sesuai dengan keadaan yang diminta.

Kedua: Su-al (bertanya) antara orang yang berilmu dan orang yang berbicara

Bentuknya:

  1. Seorang yang berilmu bertanya pada yang berilmu lainnya.
  2. Seorang murid yang belajar bertanya pada murid lainnya.
  3. Seorang yang berilmu bertanya pada muridnya.
  4. Seorang murid yang belajar bertanya pada yang berilmu.

Bentuk pertama, kedua, ketiga, jawabannya jika ia ketahui, hendaklah memberikan jawaban.

Bentuk keempat ada rincian: (1) jika memiliki ilmu, wajib untuk menjawab; (2) tidak wajib menjawab ketika dalam keadaan: (a) jika pertanyaan tidak ditujukan padanya, dan (b) permasalahan ijtihadiyah yang tidak ada dalil.

Ketiga: Su-al (meminta hajat atau kebutuhan)

Islam memerintahkan untuk menjaga kehormatan diri. Seorang muslim tidak boleh menghinakan diri. Seorang muslim tidak boleh meminta-minta sedekah atau menampakkan diri sebagai orang yang meminta-minta.

Orang yang berkecukupan atau punya kemampuan untuk bekerja dilarang meminta-minta.

Meminta-minta di sini yang dimaksud adalah meminta zakat, sedekah sunnah, atau kafarat. Orang yang meminta-minta atau menampakan diri sebagai orang yang butuh seperti ini tidak halal mengambil harta yang diberi. Jika seseorang butuh pada sedekah di mana ia termasuk orang yang butuh karena fakir, memiliki penyakit kronis, atau tidak mampu bekerja, ia boleh meminta-minta sesuai kadar kebutuhannya dengan syarat: (1) tidak menghinakan diri, (2) tidak mendesak-desak saat meminta, (3) tidak menyakiti orang yang memberi.

Meminta yang masih dibolehkan: (1) meminta air untuk diminum tidaklah masalah karena ada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal ini; (2) meminta meminjam suatu barang atau meminjam uang; (3) meminta sesuatu yang sedikit seperti meminta tolong karena tali sandal yang terputus.

Jika seseorang diberi harta yang halal bukan karena mengemis dan menzalimi diri sendiri, dimana pemberian ini boleh-boleh saja diambil berupa harta zakat, kafarat, sedekah sunnah, atau hadiah (hibah), ulama Hambali mengatakan mengambilnya itu wajib. Ini juga pendapat dari Imam Ahmad menurut sebagian ulama.

Poin-poin di atas diringkas dari Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 24:95-98.

RINCIAN MEMINTA HARTA

PertamaMeminta harta zakat dari para muzakki (yang wajib membayar zakat) hanya boleh dilakukan oleh orang yang berhak mendapatkan zakat. Meminta disini boleh jika memang muzakki akan tahu kebutuhan harta hanya lewat bertanya. Meminta dalam keadaan ini dibolehkan sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud pada istrinya Zainab. Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah, istri ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ

Artinya: “Hai kaum wanita, bersedekahlah kalian walaupun dari perhiasan kalian.” (shahih, HR. Muslim dalam shahihnya)

Kemudian Zainab pulang menemui ‘Abdullah bin Mas’ud dan berkata, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang tidak mampu dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kami untuk bersedekah. Pergilah dan tanyakan kepada beliau, apakah aku diperbolehkan memberikan sedekah untukmu ? Jika tidak, aku akan memberikannya kepada yang lain.” Ibnu Mas’ud berkata, “Engkau sajalah yang pergi ke sana.”

Zainab pun berangkat ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan di sana ada seorang wanita Anshar berada di pintu rumah beliau untuk menyampaikan permasalahan yang sama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang dikaruniai kewibawaan. Lalu keluarlah Bilal untuk menemui Zainab dan wanita Ashar. Mereka berkata, “Beritahukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada dua orang wanita berada di depan pintu hendak menanyakan sesuatu kepada beliau. Apakah sedekah boleh diberikan kepada suami dan anak-anak yatim yang diasuhnya? Namun jangan engkau beritahukan siapa kami.”

Bilal kemudian masuk dan menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelum menjawab, beliau bertanya, “Siapakah dua orang wanita itu ?” Bilal menjawab, “Seorang wanita Anshar dan Zainab.” Beliau bertanya lagi, “Zainab yang mana ?” Bilal menjawab, “Istri ‘Abdullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَهُمَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

Artinya: “Kedua wanita itu mendapatkan dua pahala yaitu pahala membantu kerabat dan pahala sedekah.”
(HR. Bukhari, no. 1466 dan Muslim, no. 1000)

Sedangkan ada yang meminta zakat namun tidak berhak seperti dikisahkan dalam hadits dua orang pemuda yang terlihat kuat ketika itu mereka meminta harta zakat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا وَلاَ حَظَّ فِيهَا لِغَنِىٍّ وَلاَ لِقَوِىٍّ مُكْتَسِبٍ

Artinya: “Jika kalian berdua mau, aku akan memberikan zakat tersebut pada kalian. Akan tetapi ingatlah, zakat itu tidak berhak diberikan pada orang kaya dan tidak pula pada orang yang kuat dan mampu bekerja.
(HR. Abu Daud, no. 1633; An-Nasai, no. 2599; dan Ahmad, 4:224, 5:362. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

 

KeduaMeminta selain harta zakat, ada rincian :

Ia berhak mendapatkan harta tersebut karena ia berhak mendapatkan jatah nafkah sehingga, ia adalah orang yang bekerja ingin menagih gajinya, atau ia adalah tamu yang berhak dilayani selama tiga hari, maka tidak mengapa untuk meminta harta dalam kasus-kasus ini. Ia tidak berhak mendapatkan harta dengan segala bentuk, maka meminta harta dalam hal ini tercela. Keadaan kedua ini termasuk dalam berbagai hadits yang melarang meminta-minta (mengemis). Yang dikecualikan dalam poin kedua sebagaimana disebutkan dalam hadits Qabishah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا

Artinya: “Wahai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal kecuali untuk tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya berkata, ‘Si fulan benar-benar telah tertimpa kesengsaraan’, maka boleh baginya meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain ketiga hal itu, wahai Qabishah adalah haram dan orang yang memakannya berarti memakan harta yang haram.” (HR. Muslim, no. 1044)

 

Catatan: Ada perbedaan antara meminta untuk kebutuhan dirinya dan meminta untuk kebutuhan orang lain. Meminta untuk kebutuhan orang lain masih dibolehkan.

TERLARANGNYA MENGEMIS (MEMINTA-MINTA PADA MANUSIA)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Artinya: ”Jika seseorang meminta-minta (mengemis) pada manusia, ia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki sekerat daging di wajahnya.” (HR. Bukhari, no. 1474 dan Muslim, no. 1040).

Dalam Syarh Shahih Muslim dijelaskan tentang hadits ini, ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan hina tanpa memiliki wajah di hadapan Allah. Ada yang mengatakan bahwa ia akan dibangkitkan dalam keadaan wajahnya berupa tulang tanpa ada daging sedikit pun sebagai hukuman untuknya. Yang dimaksud dengan meminta-minta yang tercela adalah bukan dalam keadaan darurat dengan maksud memperbanyak harta, bukan karena kebutuhan. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Artinya: “Siapa yang meminta-minta harta pada manusia untuk memperbanyak harta (bukan karena kebutuhan), maka ia berarti meminta bara api, maka sedikitkan atau perbanyak.” (HR. Muslim, no. 1041)

Ada hadits pula dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لأَنْ يَغْدُوَ أَحَدُكُمْ فَيَحْطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَتَصَدَّقَ بِهِ وَيَسْتَغْنِىَ بِهِ مِنَ النَّاسِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ رَجُلاً أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ ذَلِكَ فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ

Artinya: “Andai engkau pergi mencari kayu bakar dan memanggulnya di atas punggungnya, sehingga dengannya ia dapat bersedekah dan mencukupi kebutuhannya (supaya tidak meminta kepada) orang lain, itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik akhirnya orang itu memberinya atau menolak permintaannya. Sesungguhnya tangan yang di atas itu lebih utama dibanding tangan yang di bawah. Mulailah (nafkahmu dari) orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu.” (HR. Bukhari, no. 5355 dan Muslim, no. 1042)

Dari Hubsyi bin Junadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

Artinya: “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka ia seakan-akan memakan bara api.” (HR. Ahmad, 4:165. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa hadits ini sahih dilihat dari jalur lain).

Dari Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

Artinya: “Meminta-minta adalah seperti seseorang mencakar wajahnya sendiri kecuali jika ia meminta-minta pada penguasa atau pada perkara yang benar-benar ia butuh.” (HR. An-Nasai, no. 2600; Tirmidzi, no. 681, Abu Daud, no. 1639; dan Ahmad, 5:19. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Imam Nawawi memberi pada hadits-hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim dengan judul “Bab: Karahah al-mas’alah li an-naas (terlarang meminta-minta pada manusia)”. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Maksud dari bab dan hadits-hadits yang ada adalah terlarangnya meminta-minta. Para ulama sepakat bahwa terlarang meminta-minta jika bukan dalam keadaan darurat. Para ulama Syafiiyah berselisih pendapat jika ada orang yang mampu untuk bekerja lantas ia meminta-minta. Ada dua pendapat dalam hal ini, yang paling sahih adalah diharamkan karena makna tekstual dari hadits. Ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa seperti itu halal namun dimakruhkan asalkan memenuhi tiga syarat, yakni:

tidak menghinakan diri,tidak meminta dengan terus mendesak,, tidak menyakiti orang yang memberi. Jika tiga syarat ini tidak terpenuhi, hukum meminta-minta adalah haram berdasarkan kata sepakat para ulama. Wallahu a’lam.” Lihat Syarh Shahih Muslim, 7:127.

Abu Hamid Al-Ghazali rahimahullah menyatakan dalam Ihya’ Al-‘Ulumuddin,

السُّؤَالُ حَرَامٌ فِي الأَصْلِ، وَإِنَّمَا يُبَاحُ بِضَرُوْرَةٍ أَوْ حَاجَةٍ مُهِمَّةٍ قَرِيْبَةٍ مِنَ الضَّرُوْرَةِ، فَإِنْ كَانَ عَنْهَا بُدٌّ فَهُوَ حَرَامٌ

Terjemahannya: “Meminta-minta itu haram, pada asalnya. Meminta-minta dibolehkan jika dalam keadaan darurat atau ada kebutuhan penting yang hampir darurat. Namun kalau tidak darurat atau tidak penting seperti itu, maka tetap haram.”

 

IKHTISAR TENTANG HUKUM MEMINTA

Hukum meminta sedekah adalah haram. Hukum meminta diberi hadiah termasuk makruh. Minta-minta salam tempel atau minta ditraktir teman termasuk dalam meminta-minta hadiah. Meminta dalam hajat dunia seperti “tolong dong ambilkan kursi di pojok sana”, permintaan seperti ini tidak masalah sama sekali. Ini termasuk meminta tolong dalam perkara mubah. Seperti halnya pula meminta tolong untuk diambilkan air wudhu, dihukumi boleh.

Dalam kitab Safinah An-Naja disebutkan oleh Syaikh Salim Al-Hadramy,

الاسْتِعَانَاتُ أرْبَعُ خِصَالٍ مُبَاحَةٌ وَخِلاَفُ الأَولَى وَخِلاَفُ الأوْلَى: هِيَ صَبُّ الْمَاءِ عَلَى نَحْوِ الْمُتَوَضِّىءِ ومَكْرُوْهَةٌ وَالْمَكْرُوْهَةُ: هِيَ لِمَنْ يَغْسِلُ أعْضَاءَهُ وَاجِبَةٌ وَالْوَاجِبَةُ: هِيَ لِلْمَرِيْضِ عِنْدَ الْعَجْزِ فَالْمُبَاحَةُ: هِيَ تَقْرِيْبُ الْمَاءِ.

Terjemahanyya: “Meminta tolong (dalam bersuci) ada 4 keadaan, yaitu mubah, khilaful aula (menyelisihi yang lebih utama), makruh, dan wajib. Yang mubah adalah meminta mendekatkan air; yang khilaful aula adalah meminta menuangkan air ke arah anggota wudhu; yang makruh adalah bagi orang yang meminta dicucikan anggota wudhunya oleh orang lain; dan yang wajib adalah bagi orang sakit yang lemah”.

 

KESIMPULAN TENTANG HUKUM MEMINTA SALAM TEMPEL (ANGPAU, THR) DAN TRAKTIR

Untuk memulai meminta, sebaiknya jangan, namun jika diberi; jangan menolak. Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّ الْيَدَ الْعُلْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

Artinya: “Sesungguhnya tangan yang di atas itu lebih utama dibanding tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari, no. 5355 dan Muslim, no. 1042).

 

REFERENSI:

Diringkas dari : Artikel rumaysho

Karya : Ustaz Muhammad Abduh tuasikal

Diringkas oleh : Fadhil Didi Kurniawan (Pengabdian sekalian pengajar Ponpes Darul Quran wal-Hadits, Martapura OKU Timur)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.