SYARAT TAUBAT YANG DITERIMA
At-taubah diambil dari kata taaba yatuubu yang artinya kembali, yaitu kembali dari kemaksiatan menuju ketaatan-Nya. Taubat memiliki lima syarat:
Pertama: Ikhlas
Keikhlasan merupakan syarat dalam setiap ibadah, dan taubat termasuk di dalamnya.
Allah Ta’ala berfirman:
وما أمروا إلاّ ليعبدوا الله مخلصين له الدّين
Artinya: ‘’Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.’’ (QS. Al-Bayyinah: 5)
Siapa yang bertaubat karena riya’ (ingin di lihat) atau takut akan ancaman pengusaha, bukan untuk mengagungkan Allah Ta’ala, maka taubatnya tidak akan diterima.
Syaikh prof.Dr.Ibrahim ar-Ruhaili hafizhaullah mengatakan, ‘’Ikhlas dalam beramal karena Allah ta’ala merupakan rukun paling mendasar bagi setiap amal shalih. Ia merupakan pondasi yang melandasi keabsahan dan diterimanya amal di sisi Allah ta’ala, sebagaimana halnya mutaba’ah (mengikuti tuntunan) dalam melakukan amal merupakan rukun kedua untuk semua amal yang shalih Allah.’’ [1]
Kedua: Menyesali Perbuatannya
Yaitu seseorang merasa resah dan malu di hadapan Allah Ta’ala untuk melakukan apa yang dilarang atau meninggalkan yang diwajibkan Allah Ta’ala padanya.
Jika seseorang bertanya: penyesalan merupakan reaksi jiwa, bagaimana mungkin seseorang mengendalikannya? jawaban: ia menguasainya di saat dirinya merasa malu kepada Allah Ta’ala, seperti ucapannya: seandainya saja aku tidak melakukannya, atau ucapan yang semisalnya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa penyesalan bukan termasuk syarat, dengan alasan: pertama sulit diketahui, dan kedua: orang yang bertaubat tidak mengakhiri perbuatannya melainkan dengan perasaan menyesal, jika tidak ada perasaan ini ia akan terus melakukannya. Namun mayoritas ulama rahimahumullah mensyaratkan adanya penyesalan.
Oleh karena itu, bahwa manusia itu sejatinya diperintahkan oleh Allah ta’ala untuk segera kembali kepada-Nya ketika berbuat dosa sebelum ditimpa ganjaran yang setimpal dari-Nya. Yang mana hal tersebut dijelaskan dalam al-qur’an surat Az-Zumar : ‘’Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang maha pengampun lagi maha penyayang. Dan kembalilah kamu kepada tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). (QS. Az-Zumar: 53-54)
Sebuah ayat yang merupakan tanda sebuah kegembiraan untuk kita semua, yang mana ayat tersebut menyebutkan bahwa Allah mengampuni setiap dosa yang dilakukan oleh hamba-Nya. Dan tidak hanya itu, dalam tafsir ibnu katsir juga diterangkan bahwa Allah mengampuni semua dosa hamba-Nya bila disertai taubat.
Ketiga : Mengakhiri Kemaksiatannya
Apabila hal itu berupa meninggalkannya yang wajib, maka dimungkinkan baginya untuk mengghada’ kewajiban yang ia tinggalkan, seperti orang yang tidak membayar zakat, maka ia harus membayar yang ditinggalkannya (sebab menyangkut hak orang lain). Atau maksiat itu berupa melakukan hal yang diharamkan seperti mencuri. Jika pencuri ia bertaubat, maka ia harus mengembalikan harta yang dicurinya. Jika tidak, maka taubatnya tidak akan diterima (tidak sah).
Apabila seseorang berkata: bagaimana caranya jika seorang pencuri yang bertaubat kepada Allah Ta’ala dan ingin menyerahkan harta curiannya kepada pemiliknya? Sedangkan ia khawatir, jika diserahkan kepada pemiliknya, akan terjadi banyak masalah, seperti si pemilik mengklaim bahwa barangnya lebih banyak dari yang diserahkan, atau menuduh si pencuri telah menyebarkan aibnya, dan lain sebagianya. Apa yang harus ia perbuat?
Kita katakan: harta tersebut harus diserahkan kepada pemiliknya dengan cara apapun, bisa saja ia menyerahkannya lewat orang yang bisa dipercaya, dan mengatakan padanya: ‘’Wahai fulan, ini dari seseorang yang dahulu ia curi darimu waktu lalu, dan sekarang ia mengembalikannya padamu.’’ Dan yang dimanahkan ini hrndaknya orang yang terhormat dan yang dipercaya. Artinya, si pemilik harta merasa enggan untuk berkata padanya: “Anda harus memberitahukan kepadaku siapa pencurinya, jika tidak berarti anda lah pencurinya.’’ Namun jika orang yang diberi amanah tidak seperti ini kondisinya, maka bisa timbul masalah.
Hal itu seperti mengamanahkan kepada hakim, atau penguasa dengan berkata padanya: barang ini milik si fulan yang dulu saya ambil darinya, dan sekarang saya bertaubat, saya mohon sampaikanlah kepadanya. Dalam keadaan ini orang yang diberi amanah wajib melaksanakan perintah orang yang bertaubat ini, untuk menyampaikan harta itu kepada pemiliknya.
Jika seseorang bertanya: Jika pemilik harta itu telah meninggal, apa yang harus dilakukan? Jawaban: bersedekahlah atas nama pemiliknya, Allah Ta’ala yang Maha Tahu akan menyampaikan (pahalanya) kepada si pemilik. Inilah tahapan-tahapan taubat bagi seseorang pencuri yang telah mengambil harta orang lain.
Adapun dalam masalah ghibah, orang yang beratubat dari ghibah harus meminta maaf dari yang dighibah. Di antara para ulama ada yang mengatakan: ia harus mendatanginya, dan berkata: saya telah menghibahimu, maafkanlah saya. Dengan cara seperti ini menimbulkan masalah.
Sebagian yang lain memperinci dan mengatakan: jika yang di ghibah tahu dirinya telah dighibah, maka pengghibah harus mendatanginya dengan meminta maaf, dan jika tidak tahu, maka tidal perlu untuk mendatanginya, sebab bisa menimbulkan keburukan yang lain.
Sebagian ulama mengatakan: tidak perlu memberi tahukannya sama sekali, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits: “Kafarah (penghapus) terhadap orang yang engkau ghibai adalah engkau memintakan ampun baginya.[2] Maka cukup dengan memintakan ampun untuknya.
Akan tetapi pendapat yang pertengahan adalah yang terbaik, yaitu kita katakan: jika yang dighibah tahu, maka harus dimintakan keridhaannya (minta maaf), sebab meskipun pengghibah bertaubat, yang dighibahi akan tetap merasakan keganjilan. Jika ia tahu, cukup baginya untuk meminta ampunan.
Keempat: Bertekad (‘Azm) Untuk Tidak Mengulanginya
Hal ini harus ada, sebab jika seseorang bertaubat dari dosa, tetapi ia masih berniat untuk mengulanginya di saat ada kesempatan, berarti dirinya belum bertaubat. Sebaliknya jika ia berazam untuk tidak mengulanginya, kemudian ia dikuasai hawa nafsunya sehingga kembali melakukannya, maka taubat yang pertama tetap berlaku, namun ia harus memperbaharui taubatnya atas kesalahan yang kedua.
Sebab itu harus kita fahami perbedaan antara dua pernyataan:
- Disyaratkan untuk tidak mengulangi
- Disyaratkan agar bertekad untuk tidak mengulanginya
Kelima: Bertaubat di Saat Pintu Taubat Masih Dibuka
Sebab pada saat taubat sudah tidak diterima lagi, maka taubat tidak akan bermanfaat baginya. Hal itu dalam dua keadaan: umum dan khusus
Keadaan khusus, yaitu: di saat ajalnya tiba, maka taubatnya tidak berguna, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وليست التوبة للّذين يعملون السّيّئات حتّى إذا حضر أحدهم الموت قال إنّي تبت اللآن
Artinya: ‘’Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang ayng mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang diantara mereka, (barulah) ia mengatakan: ‘’Sesungguhnysnsaya bertaubat sakarang.’’ (QS. An-Nisaa’: 18)
Tatkala Fir’aun akan tenggelam, ia berkata: “Aku beriman bahwasannya tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain ilah yang di yakini oleh Bani Israil dan aku termasuk orang yang menyerahkan diri.’’ Maka Allah katakan kepadanya:
آللآن وقد عصيت قبل وكنت من المفسدين
Artinya: ‘’Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakkan.’’(QS. Yunus: 91)
Artinya, sekarang baru kamu menyatakan berserah diri. Meskipun demikian, tetap tidak bermanfaat baginya.
Keadaan umum, yaitu: ketika terbit matahari di sebelah barat, yang biasanya terbit di timur dan terbenam di barat. Ketika matahari terbit dari barat, semua manusia akan berimsn, akan tetapi tidak bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau ia belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya.
Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
لا تنقطع الهجرة حتى تنقطع التوبة، ولا تنقطع التوبة حتى تخرخ الشمس من مغربها
Artinya: ‘’Hijrah itu akan senantiasa ada hingga taubat terputus, dan taubat tidak akan terputus hingga matahari terbit dari sebelah barat’’[3]
Inilah syarat-syarat taubat, mayoritas ulama mengatakan: syarat taubat ada tiga: penyesalan, mengakhiri dan bertekad untuk tidak mengulanginya. Akan tetapi apa yang kita sebutkan di atas lebih lengkap dan detail. Orang tyang bertaubat harus melaksanakan apa yang akmi jelaskan diatas.
Barokallahufikum
Referensi:
Syarah Hadist Arba’in. Karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin
Peringkas: NENSI LESTARI (UMMU SALMA ATIKAH HASNA) pengajar di Ponpes Darul Qur’an wal Hadist OKU Timur Sumsel
[1] (Tajrid al-ittiba’ fi Bayan Asbab Tafadhul al-A’mal, hal.49)
[2] Musnad al-Hararits (II/74, no:1080), dengan lafazh dari Anas rodiyaallahu, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah :{كفّارة الاغتياب أن تستغفر لمن اغتبته } [Kafarah/penghapus dosa ghibah adalah dengan cara engkau memintakan ampunan bagi orang yang engkau ghibah]
[3] HR. Abu Dawud, kitab al-Jihaad, bab fil Hijrati Hal Inqatha’at? (no:2479), Imam Ahmad, dalam Musnad asy-Syaamiyyiin, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan (IV/99, no:17030). {Shahih, lihat Shahiihul Jaami” (no.7469]
Baca juga artikel:
Leave a Reply